November 16, 2008

Apresiasi: Tubuh Urban Teater Syahid

Oleh Iskandar G.B.*

LABORATORIUM Teater Syahid melakukan pementasan eksperimental bertajuk Kubangan karya Bambang Prihadi di aula Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro, pada 5 November lalu. Akankah Metro menjadi kiblat teater di Lampung selain Bandar Lampung?

Tubuh adalah ihwal yang mengalami bentukan budaya dari berbagai nilai, yang pada gilirannya memperlihatkan bagaimana manusia mengalami kesulitan dalam membaca tubuhnya sendiri. Semua peradaban manusia berkaitan langsung dengan kelebihan, keterbatasan maupun pengagungan tubuh manusia, sejak dari militerisme, seni, filsafat hingga ke kosmetika (Aprizal Malna).

Road to Sumatera oleh teater yang bermarkas di Jakarta ini terselenggara berkat hibah seni Yayasan Seni dan Budaya Kelola untuk kategori pementasan keliling yang rutin memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok kesenian di Indonesia untuk mengembangan kreativitas. Pemilihan Kota Metro sebagai salah satu tujuan pementasan Kubangan merupakan pertama kali di Lampung. Pementasan Kubangan kemudian menjadi salah satu momen istimewa bagi kehidupan teater di Metro sekaligus menandai makin berkembangannya perteateran di kota ini; yang memiliki obsesi menjadi pusat perkembangan teater selain Bandar Lampung.

Perjalanan lakon ini sudah berlangsung sejak 2005. Awalnya, Kubangan dan Tubuh-tubuh yang Terkontaminasi menjadi tajuk pementasan mereka. Juga sudah melakukan sejumlah pementasan sebelum dibawa keliling Sumatera.

***

Kubangan adalah perwujudan ruang yang penuh beragam pencitraan: Masyarakat konsumtif, hedonis, pragmatis, masyarakat amnestik, dan traumatik. Masyarakat tong sampah tanpa identitas dan sikap. Cerita menunjukkan eksistensi yang tak lagi memiliki arti dan carut marut dunia ketika kemanusiaan menghilang. Kehidupan tak ubah seperti kerumunan kawanan binatang dalam sebuah kubangan.

Mungkin gagasan yang tepat ketika seseorang di antara mereka menggugah masuk dalam tanah, berkontemplasi, dan membuat kekuatan dari potensi yang dimiliki setiap individu. Tubuh-tubuh yang bergetar sepanjang pertunjukan seakan mencoba mencitrakan bagaimana manusia sebenarnya gemetar melihat tubuh sendiri karena tubuh bisa sakit, terluka, lumpuh, tua, cacat, dan mati. Tubuh manusia adalah medan perang dengan lalu lintas nilai yang bergerak di sekitarnya, mulai dari soal kegagahan, kecantikan, ikon ras, ideologi, dan agama hingga ke ikon kelas ekonomi yang menegaskan diri dari pakaian yang dikenakan.

Dalam proses pencapaian artistik (penciptaan karya) Kubangan, Teater Syahid memilih pendekatan eksperimental dalam spirit eksplorasi. Hal itu diyakini dapat membuka ruang tafsir yang lebih progresif terhadap bentuk-bentuk dramaturgi yang sudah ada. Sekaligus dapat membuka ruang kemungkinan penjelajahan teks-teks "baru", sesuai kebutuhan dalam proses tersebut.

Dari situ Teater Syahid melakukan penelusuran dan pengalihan kekuatan dalam tubuh setiap pemain, dalam konteks persoalan global-lokal. Muncul ide dasar bentuk dari representasi masyarakat kekinian (penuh pencitraan padahal rapuh); tubuh bergetar, tubuh cepat digital, tubuh model, tubuh boneka, tubuh binatang, tubuh laying-layang, dan suara-suara etnik tragis di kejauhan. Dari bentuk dasar itu pemain menghidupkan dalam style realis, surealis, atau nonrealis dalam satu ruang dan waktu.

Mulanya tubuh digadaikan dalam sebuah ruang yang menggambarkan zaman pencitraan yang sempurna, seolah tidak terjadi sesuatu yang menyakitkan. Padahal dominasi pikiran masyarakat modern yang menelurkan sistem beku telah menjadi penjara tersendiri bagi masyarakatnya.

Tubuh menjadi panik merespons derasnya perubahan. Tubuh tak punya pilihan kecuali melakukan penyesuaian atas percepatan zaman yang terjadi. Laku masyarakat pun menjadi tergesa-gesa dan mekanis.

Pada titik tertentu, tubuh mengalami trauma dan skizoprenia. Ingatan-ingatan pahit bermunculan dari ruang bawah sadar. Ketika tubuh makin tertekan, mereka berontak dari pikiran dan perasaan yang tidak mampu lagi menjalin kerja sama: Tubuh, jiwa, dan pikiran ingin bekerja dengan cara sendiri. Kemudian tubuh bergerak tak lagi terkontrol, bergentar terus menerus dalam ruang personalnya, menyiksa hingga terbawa ke dalam ruang publik yang meriah tapi hampa.

Menurut Dominic Straiti, pengamat budaya populer asal Inggris, sebagaimana sifat kapitalisme yang membawa masyarakat menjadi massa, masyarakat dilebur dari batas-batas tradisionaln menjadi satu masif konsumsi. Masifikasi dan penyeragaman konsumsi merupakan bagian kehendak kapital (dari nasional sampai global) agar beranak-pinak sehingga kapital itu membengkak.

Mengingat sentralisasi konsumsi, barang konsumsi (komoditi) mempunyai kedudukan penting untuk hadir dalam masyarakat. Untuk menintegrasikan seseorang dalam masyarakat.

Rasa yang kurang lebih sama dengan menjadi ikatan sosial, barang konsumsi menjadi kartu identitas sosial. Barang (yang difetiskan) ini mengatasi kekuatan ideologi yang selama ini menjadi prinsip penggologan sosial atau adat istiadat.

Ketercerabutan masyarakat dari tradisi kemudian kegagapan menanggapi perkembangan zaman yang demikian cepat inilah yang menjadi isu pementasan Kubangan oleh Teater Syahid.

***

Ruang bermain dibangun seperti arena cat walk dengan dua arah pandang penonton. Properti (setprop, handprop) dibuat warna-warni, serbaguna, dan multipesan. Dengan kostum keseharian orang-orang modern, orang-orang urban yang hidup jauh dari kampung. Begitu pula musik, menjadi simbol realitas dan peristiwa permukaan yang kontradiktif dengan pikiran dan perasaan sosok-sosok pemain di atas panggung.

Atmosfer ruang diperkuat cahaya yang membias ke tempat-tempat sehari-hari. Fungsi cahaya hadir untuk menguatkan pesan tersirat seperti halnya teks-teks verbal di beberapa adegan. Area penonton pun jadi permainan cahaya untuk membuka ruang keterlibatan intim penonton melalui sensasi-sensasi yang dialami.

Permainan lewat simbol cahaya, melibatkan penonton dengan lampu-lampu manual auditorium yang dinyalakan sesekali dalam pertunjukan. Pencahayaan juga akan menjadi simbol keterbelahan jiwa dan kepribadian ganda dengan potongan-potongan ekstrem cahaya pada tubuh pemain. Menggambarkan ruang privasi individu yang seolah kuat dan indah padahal rapuh.

Pengadeganan dalam alur pertunjukan ini tidak berangkat dari logika sebab akibat yang runut. Tetapi karakter dasar pemain menjadi benang merah yang akan mengikat lompatan-lompatan pesan antaradegan.

Setiap adegan terdiri beberapa potongan peristiwa dengan konflik yang meranting, mengendap, dan kabur pokok masalahnya. Komentar atau kata-kata verbal menyiratkan ketidakmampuan Teater Syahid mengetahui sesuatu lebih mendalam, kecuali lewat gosip infotainment sebagai basis referensi paradigma dan mentalitas masyarakat kubangan. Kata-kata pamflet, prosaik, dan puitis (melalui koor dan monolog) memiliki beban yang kontradiktif dengan bentuk adegan.

Para pemain menggunakan getaran seluruh tubuh yang secara konstan dilakukan dalam kata-kata gosip. Dalam getar tubuh, sikap tubuh, gestur, dan moving pemain tetap dalam kewajaran sebagaimana gaya realis. Begitu pula saat bentuk gerak laku menggunakan speed cepat, Teater Syahid tetap dengan detil gaya tersebut. Ada distorsi dan stilisasi, tetapi masih dalam tingkat wajar.

***

Pementasan berdurasi sekitar 60 menit ini cukup menghibur penonton yang memadati gedung pertunjukan di Metro. Tidak kurang 500 pasang mata menyaksikan pementasan Kubangan, yang sebagian adalah mahasiswa dan pelajar.

Ikon-ikon urban cukup kental mengisi ruang pertunjukan dan perilaku aktor di panggung. Hanya saja, setiap adegan terkesan melarat-larat (berlaman-lama) sehingga pertunjukan pada titik tertentu menjadi membosankan. Selain cekaman menimbulkan kesan penderitaan masyarakat modern oleh kecepatan, tergesa-gesa, rutin, membosankan, hampa kurang hadir dengan optimal.

Strategi membagi ruang menjadi dua, di sisi kanan dan kiri di antara area berlangsungnya pementasan. Strategi pemanggungan ini membuat pemain lebih dekat dengan penonton. Saya rasa cukup membantu terjadinya interaksi dengan penonton secara langsung. Konsep macam fashion show bisa tergambar dengan baik.

Akan tetapi, tema yang terlalu luas yang diusung oleh Teater Syahid ini menjadikan pertunjukan seperti kehilangan fokus: Aantara tubuh yang dikontruksi pasar (kapitalisme) hingga soal kebejatan moral masyarakat seperti koruptor, spekulan, manipulator kurang tertangkap dengan baik. Bahkan pada beberapa adegan, pertunjukan ini terkesan terlalu cerewet dan dipaksakan sehingga bukan hanya masyarakat modern yang gamang dipertajam dengan kegamangan pementasan Kubangan ini.

Namun, secara umum, pertunjukan ini cukup baik dan segar apalagi di Kota Metro sendiri pertunjukan seperti ini cukup jarang.

Menyaksikan animo penonton, boleh dikatakan Metro akan segera menjadi pusat perkembangan teater di Lampung masa mendatang. Gairah berteater yang mulai hidup ini tentu menjadi kabar gembira pelaku teater di tengah banyaknya kendala yang menyertai kehidupan teater di Lampung saat ini.

Situasi kondusif perteateran di Metro tidak lepas dari dukungan beberapa elemen pendukung teater seperti perguruan tinggi, sekolah-sekolah menengah, dan Dinas Pendidikan yang mencoba mengembangkan kesenian spesifik teater. Rektor STAIN Metro berjanji akan terus mendukung segala kegiatan yang berbau seni di kampusnya.

Tentu ini menjadi kabar baik bagi pelaku teater Metro khususnya di kalangan mahasiswa. Dukungan seperti ini tidak terjadi di daerah lain bahkan di Bandar Lampung yang hingga saat ini masih tetap kesulitan dukungan dari pihak akademik maupun pemerintah.

Kondisi positif perteateran di Metro juga tampak dengan makin banyaknya kelompok yang lahir, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun independen. Selain dukungan beberapa pihak dalam hal pendanaan, kondisi penonton juga luar biasa. Aula berkapasitas 500-an orang penuh bahkan banyak yang rela menonton pertunjukan sambil berdiri.

Bila dibandingkan dengan kondisi perteater di Bandar Lampung, yang selama ini menjadi kiblat perkembangan teater di Lampung, Metro malah lebih baik dalam beberapa hal, khususnya soal penonton dan dukungan pihak-pihak yang selama ini menunjukan interses yang baik terhadap perkembangan seni dan budaya. Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan apa yang dialami pelaku teater di Bandar Lampung hingga sat ini masih dipusingkan dengan sulitnya mendanai proses yang dilakukan, sulitnya menghadirkan pnonton dan terakhir mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menggelar pertunjukan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung.

* Iskandar G.B., aktor dan penikmat teater, tinggal di Bandar Lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 November 2008

No comments:

Post a Comment