August 31, 2008

Apresiasi: Spirit Seni dan Keeksakan Sains

-- Asarpin*

YANG rasional dan yang spiritual pada akhirnya juga diskusi tentang seni dan sains. Namun, sains tak mendapat perhatian budayawan dan sastrawan. Mungkinkah berharap puisi menjadi penyembuh luka besar kemanusian?

Pada diskusi tentang fiksi mikro di UKMBS Unila beberapa waktu lalu, Ari Pahala Hutabarat dan Iswadi Pratama menyinggung soal logika dalam sastra. Kedua penyair terdepan di Lampung ini tidak cuma sekali melontarkan hubungan seni dan sains.

Beberapa waktu lalu, Iwan Nurdaya Djafar juga meneropong novel tetralogi Andrea Hirata dari sudut pandang sains dengan kesimpulan yang agak ganjil. Isbedy Stiawan ZS dalam esai tanggapan atas esai Iswadi yang mengkritik miskinnya kritikus seni di Lampung menekankan keharusan memasukkan yang spiritual.

Diskusi tentang yang rasional dan yang spiritual, mau tak mau mengajak kita berdiskusi tentang seni dan sains. Beberapa karya sastra dan seni rupa akhir-akhir ini mulai ramai menyinggung apa yang dulu oleh Albert Einstein dinamakan relativitas dan gravitasi.

Andrea membuka novel ketiganya, edensor (2007), dengan teori relativitas Einstein dan mengajak kita berdiskusi tentang astronomi. Iwan Nurdaya Djafar mempersoalkan keberpihakan Andrea pada teori Barat dalam resensi atas tetralogi Andrea di Lampung Post (tanggal 22 dan 29 Juni 2008). Iwan juga menyebut novel Andrea sebagai takhayul dan klenik yang lain dengan cara pandang khas kaum rasionalis.

Empat novel Andrea, bagaimanapun, menyuguhkan tafsir-ulang atas peran fisika, kimia, biologi, dan astronomi yang sama sekali tak mengklaim agamanya yang mesti di lap-lap. Dalam Laskar Pelangi, Andrea menggugat Tuhan dengan cantik, dan katanya, seindah apa pun sebuah teorema tak akan mampu menjangkau Tuhan. Karena "Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan".

Bahkan di sana-sini Andrea menyinggung soal lambang dalam aritmatika dan geometri. Ihwal yang terakhir ini muncul bersamaan dengan perbincangan mengenai teori gravitasi dalam bab Rahasia Gravitasi buku edensor.

Makin jelas kini kita tengah dihadapkan pada karya sastra yang menampilkan berbagai ekspedisi dan petualangan, yang tampaknya menunjukkan kepada kita bahwa dunia kini memang tak lagi tersekat-sekat oleh batas dan disiplin ini dan itu. Ayu Utami dengan Bilangan Fu dan Andrea dengan tetraloginya jelas tifikal novelis lintas batas yang fasih mengaduk-aduk sains dalam narasi. Seperti kata salah seorang tokoh dalam edensor, "ekspedisiku telah membuka jalan rahasia yang tersembunyi di antara lipatan sekat-sekat dimensi ruang dan waktu; sebuah jalan rahasia yang menghubungkan apa yang kualami saat ini dengan peristiwa-peristia masa laluku. Ini adalah ekstase terbesar yang hanya mungkin dicapai mereka yang berani bermimpi, berani keluar dari cangkang siputnya, untuk menemukan jawaban pertanyaan atas dirinya. Inikah postulat hukum nasib? Inikah yang dimaksud Albert Einstein sebagai lngkaran alamiah filsafat manusia?"

***

Jika Iwan Simatupang pernah bilang, salah satu ciri novel masa depan adalah novel-esai dan novel tanpa genre, saya kira novel Bilangan Fu dan tetralogi Andrea adalah di antaranya, walau bukan juga sebuah kemutlakan. Gaya kedua novel ini nyaris tak bergenre, dan kalau pun ini novel maka tak lagi terpilah secara ketat dengan genre-genre kesenian yang lain.

Analogi antara geometri dan seni, atau bahkan antara geometri dan puisi, memang terhitung sudah tua, namun sampai kini masih diparodikan. Andrea hemat saya hanya memarafrasekan kembali dunia mimpi dan komedi putar yang mengingatkan saya pada istilah Richard Rorty--dalam terjemahan Arif Bagus Prasetyo--ini: suatu ziarah "komidi-putar sastra-sejarah-antropologi-politik".

Inilah ziarah kritisisme budaya, kata Arif, di mana matematika menopang fisika--yang berupaya menangkap sejumlah keping semesta-- sementara seni menyokong etika, yang berjuang menangkap sebagian lain dari keping semesta yang sama. Karena itu: "Sains, tak lebih dan tak kurang, hanyalah sebuah genre sastra", tulis Arif.

Seandainya sains dan seni tak mengandung keindahan melalui lambang-lambang, barang kali tak akan pernah menarik. Kekuatan puisi dan geometri justru pada pola dan topografi serta lambangnya yang ringkas. Simbol-simbol, khususnya bilangan dan perhitungan numerologi, muncul jauh sebelum kata-kata dipakai dalam tulisan. Nenek-moyang kita bahkan menulis dengan lambang-lambang seperti takik.

John Forbes Nash, yang pernah mengalami skizofrenia puluhan tahun dan akhirnya meraih Nobel Matematika, pernah menuturkan pengalaman hidupnya dengan gaya berpikir yang eksotik-matematik kepada Sylvia Nasar dalam buku A Beautiful Mind (1998). "Saya selalu asyik dengan konsep bahwa perhitungan numerologi yang bergantung pada sistem desimal mungkin tak cukup intrinsik. Bahwa bahasa dan struktur alfabet mungkin mengandung ciri-ciri budaya kuna yang bersilangan dengan pemahaman yang gamblang atau pemikiran yang tidak bias", kata Nash.

Dari sini Nash menuliskan serangkaian lambang "baru"; simbol-simbol yang terkait dengan sistem untuk menggambarkan bilangan-bilangan bulat melalui metafora-metafora yang berdasarkan perkalian-perkalian bilangan-bilangan prima yang berurutan, yang tak ubahnya dengan seni.

Tahun 1950-an, Nash berusaha menulis ulang dasar-dasar fisika kuantum dan tak henti-hantinya menggali makna tersembunyi di balik angka-angka dan teks Alkitab. Disertasinya yang hanya 12 halaman sangat populer karena mengekspresikan dunia sains yang kaya dengan metafora dan pikiran-pikiran simbolik yang tak mudah dicerna.

Banyak ahli fisika dan matematika menghasilkan karya kreatif yang juga menjadi inspirasi para penyair. Sistem numerologi dan teorema-teorema matematika telah memengaruhi penulisan puisi model kuatrin di negeri Arab-Islam.

Bahkan apa yang disebut fiksi mikro, seperti pernah diuraikan dengan baik oleh Hasif Amini dalam Dunia di Sebutir Pasir, yang disinggung panjang lebar oleh Iswadi dalam diskusi di UKMBS itu, salah satu cirinya adalah ringkas dan padat secara maksimal dan indah seperti sebuah teorema. Sajak-sajak haiku dan koan Zen, misalnya, mengandung teka-teki tak ubahnya dengan teorema aritmetika. Apa yang ditekankan bukan aritmetika sebagai ilmu pasti dan rasional, melainkan lambang, metafora.

***

Sains memang melahirkan rasionalisme. Sementara seni menguatkan spiritualisme.

Post-modernisme hadir sambil menggugat jalan tengah yang ditawarkan agama atau menampik sintesa dan dialektika Hegelian. Semangatnya yang mendekonstruksi di sana-sini banyak mempengaruhi keeksakan sains. Lonceng kematian filsafat dan kepastian sains ditabuh dan dipulangkan dalam dunia spiritual. Maka orang pun ramai menyebut filsafat dan sains jika hendak eksis, seperti kata Bambang Sugiharto, mesti mengambil spirit dari puisi.

Sains bagaimana pun mementingkan logika atau penalaran logis. Seni sepintas bertolak belakang, walau beberapa penyair Lampung masih menekankan kelogisan dalam puisi. Bukan sains sebagai genre sastra, tapi sastra sebagai genre sains.

Subagio Sastrowardoyo dahulu pernah menilai puisi dengan penekanan pada logika, bahkan tuntutannya pada logika hampir mutlak. Asrul Sani menganggap penilaian Subagio merupakan sikap "antipuisi yang paling ekstrim" seraya ditambahkannya bahwa "puisi punya logikanya sendiri".

Nirwan Dewanto menyayangkan kegagapan kita terhadap sains. Sains tak mendapat perhatian di kalangan budayawan dan sastrawan kita padahal kehadiran masyarakat sains yang terus membesar, kata Nirwan dalam pidato kebudayaan 1991 di TIM yang kemudian diterbitkan menjadi esai bertajuk Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991, mestinya akan terlihat dengan meningkatnya kemampuan mereka melakukan refleksi terhadap seluruh tata kebudayaan yang berlaku. Tapi nyatanya tidak. Hal itu justru menjadi bukti peran budayawan makin merosot. Bahwa cara berpikir kultural sudah aus.

Ayu Utami baru-baru ini menunjukkan paradoks post-modernisme yang tampaknya dialami sebagian besar orang Indonesia. Di satu sisi Ayu masih menganggap kanon sastra masih penting dan karena itu mengusulkan novel tetralogi Pulau Buru Pramoedya sebagai kanon sastra dalam esai Kanon Sastra: Mengapa Takut? Tapi pada novel Bilangan Fu (2008), Ayu secara terbuka mengkampanyekan apa yang disebutnya "3M: Tiga Musuh Dunia Postmodern, yaitu modernisme-monotheisme-militerisme".

Apa yang digugat dan digayang kaum post-modern ternyata itulah yang tengah mereka rayakan. Betapa pun ilmu pengetahuan ditolak dan ditampik, kenyataannya justru banyak yang terpukau. Aritmatika dan geometri masih laku, bahkan di sekolah-sekolah diminati siswa dan mahasiswa dengan gairah.

Kepercayaan kepada Tuhan yang Mahaesa, walau digugat habis-habisan oleh para teoritkus posmo, nyaris tak tergoyahkan. Bahkan muncul pembelaan dengan merebaknya semangat fundamentalisme.

Di lain tempat muncul gugatan tehadap paham monotheisme. Ada juga kritikus yang menggugat bentuk, ruang, dan pedalaman karena ketiga soal ini meniscayakan keterbatasan dan kedangkalan; tak lebih sebagai ilusi.

***

Gaston Bachelard pernah menulis tentang puisi ruang, yang oleh Syariati dalam esai Mazhab Pemikiran dan Ideologi dikatakan Bachelard meyakini anggapan: "manakala suatu gagasan dapat dikoseptualkan dalam bentuk geometris, ia telah menemukan bahasa yang tepat guna mengekspresikan dan menjelaskan dirinya sendiri. Artinya, manakala suatu gagasan bisa diekspresikan secara geometris, ia telah menemukan bahasa terbaik ekspresinya".

Bagi Syariati, jika seorang bisa memanfaatkan matematika sebagai bahasa ekspresi suatu mazhab agama, filsafat dan sastra atau seni pada umumnya, maka ia bakal menemukan ekspresi lewat penalaran logis seraya membuktikan dirinya logis dan ilmiah. Suatu mazhab puisi dan pemikiran akan teruji dan menampakkan sosoknya lewat batu-batu sendi dan sandi geometris: apakah ia berbentuk natural, apakah kurvanya normal dan abnormal, apakah bentuknya heterogen atau homogen, tak jadi soal.

Artinya, seseorang--entah sebagai filsuf maupun sebagai penyair--bisa memahami kualitas-kualitas natural suatu mahzab dari suatu ekspresi geometrisnya. Kaum sufi banyak menulis karya dengan teorema-teorema cantik yang umumnya dirumuskan dalam sembilan waktu dan sembilan ruang yang sangat simbolik.

Sebuah teorema bahkan sempat menjadi ekspresi di kalangan mistikus, koan zen, kebatinan Timur. Ada banyak contoh puisi tanpa kata yang mengekspresikan kekonkritan yang ditakik dari geometri, yang bisa dikemukakan di sini.

***

Demikianlah. Kesibukan berdebat soal seni untuk seni atau seni untuk politik sudah aus. Momentum krisis sains telah dimanfaatkan secara serius oleh kalangan penyair di belahan dunia. Tipologi matematika dan pola-pola kompleks geometri sudah bertemu dengan tipologi dan pola-pola puisi. Jorge Luis Borges dengan intim bicara tentang ensiklopedi berbagai disiplin dengan Tlon, Uqbar, Orbius, dan Tertius yang terkenal itu. Para kritikus dunia mulai tertarik menguak wawasan puitik Omar Khayam dalam al-Rubaiyat yang memanfaatkan lambang-lambang aljabar, algoritme dan trigonometri Al Khuwarizmi. Sebuah situs Aulipo di internet mulai banyak dibicarakan orang Indonesia sejak Nirwan Ahmad Arsuka menulis di Bentara.

Di kalangan penyair mulai tumbuh wawasan sains yang, mungkin karena daya gedor gerakan posmo yang begitu dahsyat, sehingga muncul karya sastra dengan gaya yang tampaknya bukan lagi ditulis pada zaman kita. Karya sastra bukan lagi buah dari suatu zaman kini, melainkan zaman entah. Karya sastra bukan ditulis dari tanah sendiri, melainkan tanah tak bernama.

Sains telah berkembang pesat sehingga, seperti halnya magi, ia bukan lagi suatu bangunan yang tunggal. Karena itu sains pun merumuskan dirinya terus-menerus dan senantiasa berada dalam proses yang tidak seperti labirin berujung tunggal. Baik sains maupun sastra memang membutuhkan sebuah kritik, mungkin sejenis kritik terhadap diri sendiri seperti tekanan yang diberikan Karl Popper.

Harus diakui, para penyair modern tidak lebih berhasil daripada ahli magi primitif. Teori Frazer tentang magi dan sains sebagai rangkai kejadian terhadap sesuatu yang pasti dan mengikuti aturan hukum yang ketat dan operasinya dapat diperhitungkan dengan tepat, telah banyak diakui ilmuwan. Terlepas dari adanya banyak kritik dan perbedaan mendasar antara magi dan ilmu pengetahuan, teori Frazer juga diyakni B. Malinowski yang--kendati Malinowski lebih tertarik menghubungkan magi dan agama ketimbang sains--menganggap magi sebagai pseudo ilmu dengan sebuah proses yang sama-sama dilakukan dengan perhitungan rasional.

Percuma saja berharap pada puisi agar bisa menjadi penyembuh luka besar kemanusian jika kita sendiri tidak memanfatkan puisi dengan mendasar. Begitu juga dengan sains, seperti yang dilukiskan ahli neurologi, Donal B. Calne dalam Batas Nalar: percuma kau mengharapkan sains menyembuhkan kanker kalau kau tidak lebih dahulu menempatkannya di jalur perkembangan yang cocok dengan itu.

Bahwa para ilmuwan dan penyair tak sanggup menentukan jalur yang dimaksud, tidak berarti sains dan puisi gagal, melainkan jalur tersebut tidak cukup dilejajahi dan karena itu terlalu banyak halangan harus dihadapi. Namun, siapa pun sulit mengingkari bahwa zaman teknologi yang dilahirkan sains sekarang ini ternyata bisa menghasikan tahap-tahap penting imajinasi yang terkadang masih berbau sihir. Dan sihir: mengapa tidak?

* Asarpin, Pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2008

Bingkai: Lenyapnya Tradisi dan Budaya Tradisional

-- Naim Emel Prahana*

BELUM lama ini penulis melakukan perjalanan "mudik" ke tanah kelahiran. Jika dicatat waktu tempuh antara pukul 06.00 dan 22.00, berarti perjalanan dapat ditempuh sekitar 16 jam, sudah termasuk istirahat beberapa kali. Perjalanan panjang itu melintasi kota, kampung, dusun, talang, kebun, sawah, pegunungan, sungai, kota, dan hutan, dengan berbagai pertemuan suku bangsa sepanjang jalan yang dilalui.

Kadang, kerinduan tidak cukup dituliskan dalam bait-bait lagu dan atau puisi maupun prosa. Tapi, lebih rindu jika menghadapi langsung dan nyata. Apa yang dilihat lalu dipikirkan, begitu juga yang tergambarkan tentang masa silam, sekarang dan akan datang.

Secara umum kesan penulis adalah lenyapnya tradisi dan budaya tradisional di hampir semua daerah dan masyarakat yang penulis lalui dalam perjalanan tersebut.

Saat melintas, terbacalah apa yang dikatakan budayawan dan antropolog Prof. Jaspen (asal Belanda) yang menetap di Australia. Tahun 1960, ia mengatakan jika 10 tahun ke depan generasi muda dari masyarakat di Sumatera bagian selatan tidak mempertahankan, melestarikan, dan memelihara budaya, budaya yang sangat agung akan lenyap.

Rentang tahun 1960 sampai 2008, berarti sudah lebih 48 tahun masa berjalan. Maknanya, sudah lewat 38 tahun sebagaimana dikatakan peneliti budaya tersebut. Kalau kita mengatakan "terbukti", mungkin banyak yang membantah. Biasanya mereka mengatakan bagaimana dengan seni suara, tari, seni ukir, dan tradisi lain yang sering dikemas saat ini. Itu membuktikan tradisi dan budaya tradisional masyarakat masih ada dan lengkap. Bukankan di hampir setiap kota ada gedung kesenian dan taman budaya?

Adalah betul kalau melihat hanya sisi format dan formalitas demikian. Masyarakat di Sumbagsel (Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Sumsel sendiri) sangat kaya nilai-nilai budaya dan tradisi agung. Yang ratusan tahun memberikan makna jati diri masyarakat di daerah-daerah tersebut.

Dari sejarah ideologi yang atheis, animisme, dan religius--khususnya agama Islam. Yang kita tahu orang Islam tidak menggandrungi nilai-nilai mitos, kulturistik atau dualistik perhambaan kepada Sang Pencipta semesta ini. Namun, agama masyarakatnya yang homogen disertai kepercayaan terhadap alam gaib yang melingkari kehidupan masyarakat. Akan tetapi, kepercayaan itu sebatas cerita lisan sebagai salah satu etika berkehidupan masyarakat.

Mereka tidak membuat bangunan khusus untuk makam-makam yang dianggap keramat, tidak melakukan sesajian di tempat-tempat keramat. Hanya cukup dikenang dan diingat serta sewaktu-waktu diceritakan kembali secara lisan. Cerita lisan itu pun sebagian besar diarahkan kepada edukasi (pendidikan dan pembinaan) kepada anak cucu atau generasi penerus.

Sopan santun, etika pergaulan masyarakat di Sumbagsel pada umumnya sama. Kuncinya saling menghormati dan menjaga komunitas suku-marga dari hal-hal yang sumbang kecil maupun sumbang besar seperti etika berpacaran, etika melaksanakan hajatan keluarga (perkawinan, khitanan, syukuran), puji puja kepada Tuhan atas keberhasilan, kesuksesan, dan musibah yang menimpa.

Masyarakat di Sumbagsel kini sedang dalam tradisi yang tiada berpedoman. Tidak pernah dikenal dalam kehidupan masyarakat, di mana saja masyarakatnya di daerah-daerah Sumbagsel yang mempunyai tradisi sebagai komunitas masyarakat yang gemar merampok, mencuri, mengganggu orang luar yang masuk daerahnya dan sebagainya perbuatan yang tergolong kriminal.

Sekarang, perbuatan-perbuatan itu sudah dianggap biasa dan para orang tua hanyalah "orang tua" yang tidak berdaya, apalagi memiliki kekuasaan dan kekuatan atas anak dan cucu mereka yang sudah bertindak di luar dari tradisi dan budaya serta garis pedoman kemasyarakatan mereka.

Mungkin ada perbedaan, walau tipis, antara "punah" dan "lenyap". Namun, pada kenyataannya antara punah dan lenyap mempunyai garis-garis yang lain.

Tentang tradisi dan budaya tradisionil masyarakat di Sumbagsel menurut hemat penulis adalah lenyap. Artinya, sudah tidak ada tempat lagi bagi tata krama, sopan satun, etika, dan akhlak mulia yang dipatuti dan dianut masyarakat selama ini. Boleh kita ambil sampel, misalnya perkara (masalah) hamil sebelum nikah, kawin cerai yang begitu mudah, serta kasus-kasus pemerkosaan yang dianggap hal biasa.

Jika sampai tahun 70-an, di tengah masyarakat Sumbagsel sangat tidak mengenal perbuatan zina, kemudian hamil dan dinikahi atau lebih buruk lagi hamil dan melahirkan anak tanpa sang bapak. Tradisi yang mengental lainnya, jika suami atau istri bercerai karena salah satunya meninggal dunia. Sangat jarang ditemui suami/istri yang menjanda/duda untuk merajut perkawinan baru. Kalaupun ada, itu sangatlah jarang dan sulit ditemui.

Kehidupan masyarakatnya sangat guyub (bersatu lahir dan batin), merasa satu dengan yang lainnya dalam satu keluarga besar. Bagi anggota masyarakat yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan sumbang besar, bisa juga akibatnya sumbang kecil. Biasanya masyarakat sebagai komunitas besar mengasingkan anggota masyarakat yang berbuat demikian.

Begitu pula tentang seseorang yang masuk penjara. Orang menyebutkan sebagai "orang buangan" alias anggota masyarakat yang pernah terbuang dari struktur kemasyarakatan mereka sendiri.

Standardisasi sopan santun atau adab kesopanan, etika, akhlak, dan etika pergaulan lebih banyak diletakkan pada nilai estetika religius dan tradisi yang turun-temurun. Kini, persoalannya sudah tidak ditemukan lagi. Kebiasaan buruk kini dianggap sebagai kebiasaan yang biasa saja, lumrah, dan wajar, tanpa sanksi sosial atau adat sebagaimana mestinya.

Ada beberapa faktor yang diindikasikan sebagai penyebab lenyapnya nilai tradisi dan budaya tradisional masyarakat tersebut. Di antaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa diimbangi keberadaan serta hakikat pendidikan rakyat. Pengaruh media televisi luar biasa kepada perubahan nilai kehidupan masyarakat di desa.

Tayangan-tayangan acara televisi yang umumnya menggunakan bahasa gaul dan busana pornografi hingga seksisme membuat anak-anak di desa menginginkan perilaku seperti itu. Misalnya diterjemahkan dalam komunikasi bahasa sehari-hari; anak-anak sudah biasa memanggil orang tuanya, paman, uwak atau orang yang lebih tua dan patut dihormati dengan sebutan "kamu" atau memanggil namanya. Padahal, itu sangat sensitif dan pasti menyinggung perasaan orang tua.

Tapi, itulah kejadian dan kenyataan yang dihadapi kini. Sebagaimana anak-anak gadis dengan mengenakan celana separo paha, kaus seperempat badan dengan mempertontonkan payudara, pinggang atau paha di dekat orang tua.

Perpaduan busana adat dalam perayaan-perayaan seperti resepsi pernikahan atau acara perangkat desa tidak lagi menjadi pusat perhatian, paduannya boleh apa saja. Itu menggambarkan bagaimana compang-campingnya persoalan tradisi dan budaya tradisional masyarakat dewasa ini. Bisa jadi, hal itu dilakukan karena pedoman atau ketentuan lisan itu sudah tidak dipahami lagi dalam konteks interaksi sosial masyarakat luas.

Anak-anak sekarang tidak lagi mengenal apa itu ziarah ke makam sebelum Hari Raya Idulfitri, tidak lagi mengenal penggunaan kain sarung, tidak lagi mengenal tata cara bercocok tanam, berkebun atau berladang. Mereka diombang-ambingkan pengaruh kehidupan kota, seperti yang mereka saksikan sepanjang hari di televisi atau di media massa jenis majalah-majalah.

Kehidupan praktis dan gratis tampaknya menjadi obsesi generasi muda di desa-desa. Demikian pula ketika mereka membangun rumah. Tidak ada desain rumah yang dibangun menonjolkan beberapa nilai seni ukir, yang selama ini menjadi andalan masyarakat ketika mereka membangun rumah. Mulai jendela, beranda (teras) rumah, dan tangga serta pintu-pintu di dalam rumah, biasanya penuh dengan ukiran yang mengandung nilai seni cukup tinggi.

Tulisan ini mungkin hanyalah sepercik persoalan tentang tradisi dan budaya tradisional yang saat ini tidak lagi menjadi etika masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu, teknologi yang mereka anggap sudah dikuasai hanyalah bayangan dan perasaan yang ingin mengatakan mereka juga bisa seperti orang kota.

* Naim Emel Prahana, Penyair, tinggal di Metro

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2008

August 30, 2008

Konservasi Harimau: Warga Way Pengekahan Bersikukuh Menolak Direlokasi

Bandar Lampung, Kompas - Warga Way Pengekahan, Desa Way Haru, Kecamatan Belimbing Bengkunat, Lampung Barat, menegaskan, tidak akan meninggalkan lokasi tanah adat mereka demi alasan apa pun, termasuk konservasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Mereka justru mempertanyakan niat Pemkab Lampung Barat memindahkan mereka.

Khusairi gelar Raja Muda Marga Belimbing atau Raja Pengekahan, Jumat (29/8), pada acara jumpa pers dengan sejumlah wartawan di Bandar Lampung dengan didampingi aktivis lingkungan Watala dan Kawan Tani menyatakan sikap tegas tersebut. ”Kami tidak ingin pergi atau meninggalkan tanah adat kami karena kami akan kehilangan hak-hak atas adat kami,” ujar Khusairi.

Dalam kesempatan tersebut Khusairi menjelaskan, alasan yang dikemukakan Pemkab Lampung Barat untuk memindahkan 164 keluarga di Way Pengekahan ke lokasi yang lebih baik adalah untuk mengentaskan warga dusun dari ketertinggalan. Akan tetapi, warga menegaskan, apabila alasan pemindahan adalah untuk peningkatan kesejahteraan, seharusnya Pemkab Lampung Barat lebih banyak membangun sarana dan infrastruktur wilayah di Way Pengekahan, tanpa harus memindahkan mereka.

Namun, warga justru semakin mempertanyakan pemindahan. Itu karena niat tersebut muncul setelah PT Adhi Niaga Kreasinusa, sebuah perusahaan yang mendapat konsesi lahan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di wilayah Belimbing seluas 100 hektar yang terletak dekat dengan kantong enclave atau lokasi permukiman Way Pengekahan seluas 1.200 hektar, memindahkan lima ekor harimau sumatera dari Nanggroe Aceh Darussalam ke TNBBS, Lampung Barat, Jumat (27/6). ”Niat itu belum muncul jauh-jauh hari,” ujar Khusairi.

Perusahaan sendiri sudah melepasliarkan dua dari lima ekor harimau itu ke hutan konsesi yang disebut sebagai Tambling Wildlife Nature Conservation dan berbatasan langsung dengan enclave pada Selasa (22/7). Pelepasliaran sudah menimbulkan akibat berupa serangan terhadap 12 ekor kambing dan 10 ekor ayam.

”Kalau pemindahan kami karena serangan harimau, kami tidak takut. Marga Belimbing sudah hidup di kawasan enclave sejak 1934 dan dikelilingi satwa-satwa liar,” ujar Khusairi.

Kompensasi

Khusairi lantas menyebutkan, sebagai bentuk kompensasi supaya warga mau pindah ke lokasi yang belum diketahui warga, pada ”sosialisasi” Pemkab Lampung Barat kepada warga Way Pengekahan pada Mei 2008 melalui Camat Bengkunat Belimbing M Nizom, warga akan mendapatkan sejumlah hak. Hak itu di antaranya pekarangan seluas 20 x 20 meter, rumah berukuran 4 x 6 meter (termasuk dapur), dana Rp 5 juta per keluarga, lahan perkebunan seluas 1,5 hektar, dan biaya hidup selama enam bulan.

Namun, tanpa alasan jelas pada Juli 2008 bentuk kompensasi itu berubah. Warga hanya mendapatkan Rp 7,5 juta per keluarga dan lahan perkebunan seluas 1,5 hektar, termasuk lahan pekarangan tanpa ada bangunan rumah.

Secara terpisah, Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, Selasa, mengatakan, pemkab memang berniat memindahkan warga Way Pengekahan.ke Desa Sumberejo, Bengkunat Belimbing. (hln/sem)

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008

August 28, 2008

Sosok: Bang Bam, Sebuah Buku yang Tak Pernah Habis Dibaca*

-- Machsus Thamrin**

LELAKI separuh baya itu menunggu kami di ujung gang. Dengan susah payah dan langkah diseret, menyambut kami dengan tangisan dan pelukan erat, lalu membawa kami ke sebuah rumah petak di sebuah gang sempit di ujung Jakarta.

Tanpa diminta diapun berkisah tentang sebuah peristiwa yang menghempaskannya dari sebuah puncak kejayaan. "Hari itu aku jalan membawa taft milik kantor. Ada tiga orang yang naik mobil itu, tiba-tiba semuanya gelap, ketika sebuah pukulan menghantamku dari belakang."

Seorang teman bercerita, saat kejadian lelaki itu membawa uang lebih dari Rp 100 juta, yang semula akan dipakai sebagai uang muka pembebasan tanah. Uang itu tak pernah diketahui dimana rimbanya.

Banyak orang yang menyangka itulah masa akhir lelaki itu. Namun Allah berkehendak lain, setelah dua puluh tujuh hari koma dan kritis, muzijat itu datang. Perlahan kesehatannya pulih, meski kedua tangannya sudah tak normal, dan jalan pun harus diseret.

Kecelakaan atau mungkin kejahatan itu itu telah merengut segalanya, karier yang cemerlang, dan semua yang pernah dimilikinya. Namun penjahat itu tak mampu menghilangkan kejernihan pikirannya. Dengan jernih dia bercerita tentang berbagai hal.

***

Bersama Syamsi Daruf, mantan wartawan foto Lampung Post, pertemuan yang lama saya inginkan itu terjadi, lewat SMS berisi nomor telepon, yang dikirim Jiun, atas permintaan Ujang dari Palembang.

"Jangan datang ke rumahku, rumahku jelek!,"katanya. "Aku tak peduli seperti apa rumahmu.Aku datang untuk bertemu, bukan untuk melihat rumahmu," kata Bang Syamsi, gantian menghardik.

Lelaki itu adalah Bachtiar Amran Daeng Malewa, wartawan Kompas asal Makasar yang ditempatkan di Lampung. Bagi anak-anak Teknokra, Bang Bam, begitu kami memanggilnya seperti inisialnya saat menulis berita di Kompas. Bagi anak-anak Teknokra, dia adalah guru, sekaligus teman.

Tanpa mau menerima imbalan, Bang Bam selalu hadir memberikan materi pelatihan, setiap penerimaan reporter baru Teknokra, Surat Kabar Kampus Universitas Lampung. Anak-anak Teknokra generasi akhir 80 hingga 90-an, memperoleh pengetahuan dasar dan motivasi untuk hidup sebagai wartawan darinya.

Kala itu, biasanya Bang Ansyori Djausal, memberikan materi fotografi, Bang Kolam Pandia dari Lampost tentang reportase. Bang Bam diminta memberikan materi tentang menulis laporan, tapi dia tak pernah mau mengajar menulis, yang dia ceritakan adalah bagaimana seorang wartawan itu bekerja. Dengan segala pengalamannya dan cerita lucu di lapangan.

Pergaulan erat itu demikian mendalam. Rumahnya di Jalan Gajah Kedaton, menjadi tempat berkumpul anak-anak Teknokra. Istrinya selalu diinstruksikan memasak nasi lebih banyak, karena setiap hari, ada saja anak Teknokra yang kehabisan uang dan ikut makan di rumahnya. Ketika kiriman itu belum datang, dengan berpura-pura ikut membaca koran, saya pun datang ke Jl Gajah, yang terletak tak jauh dari rumah kos. Biasanya tak lama kemudian, dia menyuruh saya makan, dengan Sayur Bayam dan Ayam Goreng yang terasa sangat mewah.

Saat saya tengah menulis skripsi, Bang Bam meminta saya menulis riwayat hidup, dan mengirimkannya kepada Mas Hendriwijono yang saat itu tengah memimpin Sriwijaya Post di Palembang. Lewat rekomendasi itu pun, jalan panjang sebagai wartawan dimulai.

Dengan Vespa milik Kompas, berdua kami kerap menelusuri pedesaan Lampung. Namun setelah masa magang itu selesai, saya sering dilepaskannya sendiri mencari berita.

Sore-sore dia tinggal tanya, "Dapat apa hari ini?" Kalau menurutnya, bagus, dia akan kirimkan berita itu juga ke Jakarta melalui modem (saat itu belum ada internet).

Dalam pertemuan pagi itu, kami berganti-ganti tertawa dan menangis. Tawanya terbahak-bahak, saat kuceritakan masa-masa bersama mencari berita dulu, bagaimana dia memarahi, karena menganggap berita yang kutulis tak layak, dan struktur beritanya kacau. "Sana kau pergi, belajar lagi!" katanya.

Keesokan harinya, berita yang kutulis untuk Sriwijaya Post itu dimuat di Kompas, tanpa perubahan apa pun termasuk titik dan komanya.

Dalam beberapa kesempatan dia juga dimarahi redaktur daerahnya, karena lupa mengganti lokasi peliputan, misalnya Bandarlampung, Sripost— dengan Bandarlampung, Kompas.

Pengalaman lain, saat suatu ketika terjadi kecelakaan tabrakan kereta dengan bus di dekat Kotabumi. Segera kutulis berita dengan Judul, "32 Tewas Dalam Tabrakan KA Vs Bus", dan dimuat di halaman 1 Sriwijaya Post. Judul yang sama juga muncul di Kompas halaman 1.

Tapi Lampung Post menulis lain, jumlah korban tewasnya "hanya" 31. Seperti biasa dia blingsatan, dan sempat memarahi saya karena dianggap tidak akurat. Dia pun sibuk menelpon ke sana kemari. Tak lama kemudian dia bicara, "He he kita tak jadi dimarahin redaktur. Untung dini hari tadi, ternyata yang luka itu meninggal, jadi kita ternyata tidak salah."

***

Atas kebaikan teman-temannya di Kompas, Bang Bam pernah dikaryakan kembali sebagai staf sekretariat di Pers Daerah Kompas Gramedia. Namun kesehatannya tak lagi bisa mengimbangi semangatnya. Beberapa kali dia terjatuh dari bus yang membawanya dari kontrakannya ke Kantor Gramedia di kawasan Palmerah, karena sopir bus kurangajar itu langsung menjalankan kendaraannya sebelum kakinya menyentuh aspal.

Karena kerapnya jatuh, dan bonyok-bonyok, Bang Bam pun mengundurkan diri. Pak Jacob Oetama memberi bantuan uang, untuk menambah pembelian rumah seharga Rp 40 juta yang sekarang ditempatinya.

Sementara untuk membiayai hidupnya, Bang Bam bertahan dengan uang pensiunannya dari Kompas sebesar Rp 950 ribu per bulan. "Jumlah ini sudah naik, sebelumnya Rp 850 ribu," katanya.

***

Delapan tahun lalu, sesaat setelah mulai pulih akibat kecelakaan itu, kami pernah bertemu di Kelapa Gading Jakarta. Saat itu dia mengundangku datang ke Lampung, "Kalau kamu bisa dan ada waktu datanglah minggu depan. Aku dan ayumu ini akan menikah," katanya menunjuk seorang gadis yang mendampinginya.

"Abang masih bisa?" kataku tak percaya.

"Itulah Sus, biar udah begini, itulah satu-satunya yang kubisa, dan yang satu itulah yang membuat abangmu ini masih semangat untuk hidup,"

Pernikahan ini membuahkan dua anak, satu duduk di kelas dua SD, dan satu lagi baru duduk di bangku TK. "Pak Jacob sampai tertawa-tawa, katanya, di tengah sakit, dan jalan saja susah, kamu masih bisa buat anak," katanya sambil terkekeh-kekeh.

Sementara tiga anaknya yang lain, yang dulu sempat saya asuh, dan ajak bermain kini sudah beranjak dewasa. Iqbal Daeng Myala, bekerja di Telkom, Daeng Masiga bekerja di sebuah kapal pesiar, sementara adiknya yang lain Dedi, kini sudah mahasiswa di Lampung.
.
Bagi kami, adik-adiknya di Teknokra, Bang Bam, memang adalah sebuah buku pelajaran hidup yang tak pernah habis untuk dibaca.

* Terambil dari milis Teknokra (27/8/2008) sebagai ingatan ulun Lampung bagi seseorang yang pernah menyumbangkan banyak hal bagi Lampung

** Machsus Thamrin, wartawan, alumnus aktivis pers mahasiswa Teknokra Unila

August 27, 2008

Teluk Semangka Memprihatinkan

KOTAAGUNG (Lampost): Pesisir Pantai Teluk Semangka di Kecamatan Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, kini memprihatinkan. Sampah perumahan, seperti plastik bekas, kardus, dan bangkai hewan, termasuk rongsokan kapal bekas, berserakan dan menyumbat sejumlah aliran sungai serta menciptakan endapan lumpur hitam.

Pemantauan Lampung Post, Selasa (26-8), bau busuk dari sampah dan tinja (kotoran manusia) yang bertumpuk di sepanjang perkampungan nelayan Dusun Kapuran, Kelurahan Pasarmadang, Kecamatan Kotaagung menusuk hidung.

Sampah organik dan anorganik serta bangkai hewan mulai bangkai ayam, itik, anjing, kucing, bahkan kambing, juga terlihat menumpuk dan berserakan di sepanjang Pelabuhan Kotaagung, Pantai Way Jelai (Kelurahan Baros) sampai Pantai Teritos (Pekon Talagening).

Bahkan, di sekitar eks Dermaga III Pertamina (Way Jelai Kelurahan Baros), selain tumpukan sampah, kondisi pantai juga terlihat rongsokan kapal bekas dan tiang-tiang besi dermaga yang tersembul atau terkubur pasir, dan sangat berbahaya bagi para pengunjung pantai, terlebih setiap hari Minggu dan hari libur termasuk menjelang Ramadan banyak dikunjungi warga untuk mandi.

Hal itu diperparah dengan aktivitas penambangan pasir dan batu liar warga sekitar untuk kebutuhan pembangunan.

"Wilayah pesisir pantai Kotaagung ini sudah sangat kotor dan bau. Penduduk sekitar sepertinya telah menjadikan laut seperti tempat sampah. Memang ada usaha pembersihan dengan bergotong royong, tetapi sifatnya insidental saja, itu pun jarang dilakukan, dan risikonya pantai bakal kotor lagi," kata Heryanto, warga Kelurahan Baros, Kecamatan Kotaagung.

Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pasar Madang, Kecamatan Kotaagung. Di daerah ini, sampah perkotaan yang berasal dari Pasar Kotaagung yang terbawa hanyut siring dan sungai juga terdampar dan mengotori pantai yang berada bersebelahan dengan Pelabuhan Laut Kotaagung.

Bahkan, tumpahan ikan busuk dari nelayan setempat atau sampah organik juga menyebabkan pantai di daerah itu kotor.

Warga berharap Pemkab Tanggamus segera beraksi membersihkan pesisir Pantai Teluk Semangka karena selai sebagai daerah wisata, pantai juga menjadi tumpuan bagi kebanyakan warga Kotaagung yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan.

Tentu saja upaya dilakukan bersama dengan berbagai pihak, termsuk melibatkan warga. Untuk membuat pantai bersih sangat sulit, tetapi itu tidak mustahil asalkan Pemkab menjadi pelopor dan tegas terhadap warga yang membuang sampah sembarangan, ujar Rina, warga Kelurahan Pasar Madang, Kecamatan Kotaagung.

Rahmat, aktivis lingkungan hidup di Tanggamus, mengakui kondisi itu tidak lepas dari budaya dan kebiasaan warga yang kurang peduli dengan lingkungan tempat mereka tinggal.

Perlu pemaksaan meskipun bukan berarti represif karena kebiasaan itu umumnya harus ditanamkan dengan dipaksakan. Selama ini kegiatan yang dilakukan Jumat bersih, tetapi itu juga sudah tidak dilaksanakan lagi. Dengan kerja bakti, kondisi itu diharapkan dapat diminimalkan, kata dia.

Menurut Rahmat, upaya membuat pesisir Teluk Semangka bersih harus dilakukan. Apalagi Kabupaten Tanggamus termasuk salah satu tujuan wisata utama di Provinsi Lampung terutama dalam menyambut Visit Indonesia 2009.

Rahmat mengatakan pantai-pantai di Kabupaten Tanggamus sangat potensial sebagai tujuan wisata, tapi belum dikelola secara profesional termasuk masalah penanganan sampah.

Namun, bisa saja arus laut dan angin membawa sampah tersebut pindah ke pantai-pantai wisata. Kawasan permukiman dan hunian warga yang tinggal di sepanjang pantai menjadi penyebab utama kotornya kawasan pantai Teluk Semangka.

Namun, menjaganya agar selalu bersih bukan hanya dilakukan guna menarik wisatawan, melainkan juga meningkatkan kualitas hidup warga yang tinggal di sana.n UTI/D-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Agustus 2008

Populasi Harimau Makin Turun

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Populasi harimau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) hanya 1,7 ekor per 100 km persegi. Harimau makin langka disebabkan karena spesies ini banyak diburu untuk dijadikan obat dan kulitnya dijadikan bahan busana.

Sedangkan habitat harimau di dunia hanya tinggal 7 persen dan tersebar di beberapa negara, salah satunya Indonesia. Harimau sumatera yang ada di Indonesia merupakan warisan alam dan harus dijaga kelestariannya. Indonesia dikenal sebagai negara yang keanekaragaman hayatinya terbesar di dunia. Namun, masih belum mampu untuk melestarikan spesies tertentu.

Pernyataan tersebut diungkapkan Kepala Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kurnia Rauf dalam Stadium General Konservasi Kolaboratif untuk Jejak Si Belang di Indonesia, di Pondok Rimbawan, Senin (25-8).

Kurnia mengatakan daya dukung konservasi di Sumatera makin berkurang seiring dengan makin berkurangnya hutan. Sebanyak 2.600 ha hutan di Sumatera terdegradasi setiap tahunnya.

Menurut Kurnia, TNBBS merupakan salah satu tempat konservasi bagi harimau sumatera. TNBBS masuk dalam tiger conservation unit level I dan tiger conservation landscape level IV. Hal tersebut yang menyebabkan TNBBS dipilih sebagai tempat translokasi lima harimau sumatera dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Alasan dipilihnya TNBBS juga karena kawasan itu masih cukup luas mencapai 360 ribu ha, dan masih memiliki jenis satwa yang menjadi pakan harimau.

Akademisi Fakultas Pertanian Unila, Agus Setiawan, mempertanyakan apakah telah dilakukan studi sebelum dilepaskannya harimau di TNBBS. Studi yang dilakukan tidak hanya pakan harimau saja, tetapi pesaing dan spesies harimau asli juga harus dipelajari. "Apakah harimau asli di TNBBS menerima adanya harimau baru. Hal tersebut memengaruhi interaksi harimau baru dengan harimau asli," ujar Agus.

Agus menilai konservasi di Indonesia belum mampu membuat spesies tertentu dapat berkembang biak dengan baik atau menghasilkan keturunan. Padahal biaya yang telah dikeluarkan sangat besar. Agus mencontohkan, mendatangkan badan dari Amerika ke Way Kambas untuk menunjang konservasi tenyata belum menghasilkan.

"Sampai kini badak belum mampu melahirkan keturunan," kata Agus. n */K-2 (Padli Ramdan)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 27 Agustus 2008

August 26, 2008

Lambar Gelar Gebyar Pesona Lumbok Ranau

LIWA (Lampost): Sukses dengan Festival Teluk Stabas XI, Pemkab Lampung Barat kembali menggelar acara serupa dengan nama Gebyar Pesona Lumbok Ranau pada Oktober 2008.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Barat Gatot Hudi Utomo mengatakan perhelatan Gebyar Pesona Lumbok Ranau juga dimaksudkan untuk mempromosikan objek pariwisata di kabupaten setempat.

Selain mendukung tahun kunjungan wisatawan, juga menyongsong Visit Lampung Year 2009 mendatang. "Lampung Barat akan terus mempromosikan potensi wisata yang ada untuk menarik minat wisatawan mancanegara", ujarnya, Senin (25-8).

Gatot mengatakan Gebyar Pesona Lombok Ranau akan dipusatkan di Pekon Lombok, Kecamatan Sukau, dengan lokasi Danau Ranau. Untuk Semarak Wisata Tanjung Setia dipusatkan di Pekon Tanjung Setia, Pesisir Selatan.

Paduan dua potensi pariwisata, yakni pantai laut dan danau, ini akan dikemas dalam berbagai lomba seperti Gebyar Pesona Lumbok Ranau, event yang dilombakan triatlon tradisional, motor hias, tarik tambang jukung, dan ngera'as (memanah).

Sedangkan Semarak wisata Tanjung Setia meliputi ekshibisi surfing, kebut jukung, dan memanah. Untuk waktunya antara minggu ketiga dan kempat bulan Oktober.

Kegiatan di Pekon Lombok, tambahnya, dilaksanakan untuk mendukung kawasan wisata terpadu Seminung Lumbok Resort, yang merupakan salah satu program unggulan Lampung Barat.

Sedangkan di Tanjung Setia karena selama ini daerah tersebut merupakan pantai tujuan wisatawan mancanegara dan ombaknya salah satu yang terbaik di belahan dunia. Gatot berharap dukungan dari semua pihak untuk suksesnya kegiatan tersebut, dan bisa memberikan multiplier effect kepada masyarakat sekitarnya.n HEN/D-2

Sumber: Lampung Post, Selasa, 26 Agustus 2008

Teater: Suara-Suara dari Balik Jendela

BANDAR LAMPUNG--Modernisasi terkadang menjebak generasi muda pada kebingungan mencari jati diri. Nilai-nilai tradisi yang seharusnya bisa menjadi pegangan pun seolah lenyap dimakan waktu.

Kegoyahan itu yang menjadi titik sentral kisah pertunjukan teater besutan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila, di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Sabtu (23-8) malam.

Teater berjudul Suara-Suara dari Balik Jendela ini melibatkan delapan pemain, yaitu Noversi M., Erdalia, Ratih P., Fitriyani, Tiara, Anggun F., Romadhon Edi Saputra, dan Didi Arsandi. Delapan aktor tersebut bermain dengan baik di bawah arahan sutradara Iskandar G.B.

Pertunjukan pada malam itu merupakan paduan antara dialog antarpemain dan ujaran dari beberapa pemain secara induvidu. Kata-kata yang digulirkan sarat dengan makna tersirat, sehingga penikmat teater ini mencoba menafsirkan makna jauh dari pertunjukan ini.

Juga banyak simbol-simbol yang digunakan untuk mendeskripsikan suasana. Warna-warna modernisasi, diperkuat dengan menghadirkan musik ala barat, kareografi tari, dan olah gerak kegelisahan dari para pemain.

Kegelisahan para pemain terlihat dengan kegamangannya untuk berpijak pada suatu waktu. Langkah bergerak maju, tetapi hati seperti masih merindukan kenangan masa lalu. Namun, ada juga pemain yang menegaskan dirinya ingin lari dari masa lalu.

"Itulah gambaran generasi masa kini, banyak yang masih berusaha mencari jati dirinya di antara segelintir orang yang sudah yakin tentang langkahnya untuk melepas masa lalu," ujar Iskandar, sang sutradara.

Modernisasi juga menyisakan catatan tentang kehidupan perempuan, yang pada beberapa hal masih terpasung tradisi paternalistik. "Wanita semakin menuntut kesetaraan, tetapi di sisi lain ia masih terikat secara kodrati pada kehidupannya di ranah domestik," tandas Iskandar kembali.

Iskandar menjelaskan alasan mengusung tema teater demikian, karena itulah yang terjadi di lingkungan sekitar saat ini. Naskah yang ditulis oleh Agit Yogi Subandi, Fitriyani, dan Didi Arsandi ini akan diikutsertakan pada Festival Teater Mahasiswa se-Indonesia ke-IV yang diadakan Teater Sahid Jakarta. n DWI/K-2

Sumber: Lampung Post, Selasa, 26 Agustus 2008

August 25, 2008

Sosok: Jumadi, Petani yang Pandai Memanfaatkan Celah

-- Hermas E Prabowo

PETANI tidak selalu berkonotasi dengan kemiskinan. Petani ”boleh” dan bisa kaya. Syaratnya, mau bekerja keras, pandai memanfaatkan setiap peluang usaha, dan berani berspekulasi. Spekulasi dalam usaha tani bukan berarti tanpa perhitungan, tetapi justru dengan perhitungan yang matang.

Sukses menjadi petani karena jeli memanfaatkan peluang usaha telah dibuktikan oleh Jumadi, pria berusia 40 tahun, warga Desa Margosari, Kecamatan Metrokibang, Kabupaten Lampung Timur.

Jumadi mengawali usaha taninya dengan lahan 0,75 hektar pada 1991. Dalam waktu kurang dari 17 tahun, ayah satu anak ini telah memiliki 28,5 hektar lahan kering yang tersebar di dua kabupaten, Lampung Timur dan Lampung Selatan.

Menghitung penghasilannya, dengan luas lahan pertanian 28,5 hektar, pendapatan Jumadi tentulah tidak kecil. Apalagi di tengah meroketnya harga jagung yang merupakan komoditas andalan Jumadi belakangan ini.

Ini belum termasuk pendapatan yang diperolehnya dari kontrak kerja sebagai ”buruh”—begitu dia menyebut dirinya—di Perkebunan Nusantara di daerahnya. Untuk pembersihan lahan perkebunan (land clearing) saja, sekarang ini kontrak kerjanya meliputi areal seluas sekitar 130 hektar.

Pendapatan Jumadi semakin besar bila dihitung dari penghasilan usaha jasa penyewaan enam traktor besar, satu truk, dan hasil dua hektar tanaman sawit miliknya di Pekanbaru.

Bukan hanya uang yang didapat Jumadi dari hasil kerja kerasnya. Di lingkungannya, dia telah tampil menjadi sosok ”panutan” para petani dalam urusan mengadopsi teknologi pertanian. Berbagai uji coba penanaman benih jagung varietas baru, pola pertanaman, pemupukan, hingga proses pascapanen kerap dilakukan di lahan Jumadi.

”Saya tidak alergi dengan teknologi pertanian baru. Setiap kali ada benih varietas baru, saya rela mengorbankan dua hektar untuk lahan uji coba. Kalau hasilnya bagus, semua lahan saya pertaruhkan,” katanya.

Tanam cabai

Keberhasilan Jumadi meniti ”karier” sebagai petani tentu tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Melalui fase berkali-kali ”jatuh-bangun”, Jumadi baru bisa mengenyam hasil kerja kerasnya selama ini. Kesulitan yang dihadapi Jumadi sebenarnya khas kesulitan nyaris setiap petani kecil. Misalnya, dia sulit mengakses permodalan, gagal panen, tanamannya terserang hama, dan jatuhnya harga komoditas pertanian di pasar.

Pernah suatu ketika Jumadi ditolak bank saat berniat meminjam dana Rp 500.000 untuk modal penanaman. Terpaksa dia meminjam uang yang sangat dibutuhkannya itu kepada seorang lintah darat dengan bunga 10 persen per bulan.

Juga pernah berhektar-hektar tanaman jagung di arealnya terserang ulat penggerek batang dan tongkol. Akibatnya, Jumadi hanya mendapat hasil sekitar 20 persen. Pernah pula ketika panen bagus, tetapi pada waktu bersamaan harga komoditas pertanian mendadak ”jatuh”. Tidak ada pilihan bagi Jumadi, selain harus menerima kerugian. Namun, dengan berjalannya waktu, semua rintangan itu mampu dilalui Jumadi dengan kepercayaan diri dan sikap tidak mudah patah arang.

Jumadi bercerita, awal dia menekuni usaha tani pada 1991, hanya dengan modal tanah garapan milik orangtua seluas sekitar 0,75 hektar. Ketika itu dia sempat merasa mendapat jatah lahan garapan terlalu sempit. Anak pertama dari delapan bersaudara ini lalu memutuskan menanam cabai. Alasannya sederhana, karena tanaman cabai bisa mendatangkan untung berlipat ganda.

”Menjadi petani cabai itu kalau lagi bagus nyugihi (membuat petani kaya). Tetapi kalau apes mudhani (menelanjangi alias mendadak miskin). Karena modal bertani cabai itu per hektar bisa mencapai sekitar Rp 25 juta,” kata Jumadi mengenang.

Oleh karena tak mau merugi pada awal menggeluti usaha tani, Jumadi serius mempelajari teknik budidaya cabai, sekaligus menghitung waktu penanaman yang tepat. Ini penting agar saat panen harga cabainya tak jatuh. Ketekunan Jumadi membuahkan hasil. Produktivitas cabai yang dia tanam tinggi. Harga pasar cabai Rp 2.800 per kilogram, harga yang fantastis kala itu.

Berkat keberhasilan panen cabainya, dalam tempo dua tahun Jumadi mampu membeli lahan kering baru 1,5 hektar. Akumulasi tanah yang baru dia beli dan tanah garapan orangtua membuat penghasilannya berlipat.

Komoditas yang dia tanam pun semakin bervariasi, tak hanya cabai, tetapi juga semangka dan jagung. Pikirnya, semakin variatif jenis tanaman makin baik karena risiko bangkrut makin kecil.

Meskipun pertambahan luas lahan Jumadi cukup cepat dibandingkan petani lain di daerahnya, dia belum puas. Jumadi lalu menyewa lahan, sekaligus membeli lahan kalau ada yang menjual. Hitung-hitungan Jumadi kala itu menunjukkan, dengan tanah sewa sekalipun, usaha pertanian cabai masih menguntungkan. Meningkatnya luas areal tanam membuat penghasilannya bertambah. Dalam waktu lima tahun, lahan kering milik Jumadi sudah mencapai 10 hektar.

Tahun 1998 dia melihat peluang usaha transportasi komoditas pertanian, dari tempat produksi ke pusat pasar, bisa menguntungkan. Jumadi pun membeli satu truk. Dua tahun kemudian dia menambah armada angkutan menjadi tiga unit. Jumadi juga melirik usaha penyewaan traktor. Selain untuk mengolah lahan sendiri, pendapatan dari penyewaan traktor juga bisa Rp 100.000 per hari.

Terbukti menguntungkan, jumlah traktor dia tambah. Pada 2003 Jumadi memiliki empat traktor, yang dia beli seharga sekitar Rp 200 juta per unit dalam kondisi bekas pakai.

Berdinding papan

Tahun 2003, meski telah memiliki lebih dari 15 hektar lahan kering, tiga truk, dan empat traktor, Jumadi belum tergiur membangun rumah besar. Rumahnya sempit dan berdinding papan. ”Prinsip saya, rumah bisa dibangun kapan saja, tetapi tidak setiap hari orang mau menjual lahan pertanian,” katanya.

Maka, walaupun dia mempunyai tiga truk, enam traktor, dua mobil Kijang, dan tujuh sepeda motor—sebagai alat transportasi ke kebun bagi para pekerja—Jumadi tak segan menjual barang untuk membeli tanah bila ada orang yang menjual. Tiap tahun setidaknya dia membeli 1-2 hektar lahan. Bahkan, pada 2006 dia membeli enam hektar lahan.

Seiring dengan pertambahan lahan, penghasilan Jumadi pun meningkat. Keuntungan dari usaha bertani jagung makin berlipat, apalagi sejak 2006 harga jagung naik sampai 300 persen. Hal yang menyenangkannya, usaha yang dilakukan itu juga mendatangkan berkah bagi para tetangga. Setidaknya, setiap musim tanam dan panen tiba puluhan orang bisa mendapat penghasilan dari bekerja di lahan Jumadi.

Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

Festival Krakatau XVIII, Upaya Raih Target 1,2 Juta Wisatawan

[LAMPUNG] Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung optimistis dapat mencapai target 1,2 juta wisatawan dalam program Visit Lampung 2009. Lewat semarak Festival Krakatau (FK) XVIII, berbagai potensi pariwisata Provinsi Lampung dipromosikan secara aktif.

Gunung Anak Rakata meletupan awan panas setiap 10 menit sekali foto dibuat dari perairan Kepulauan Krakatau, Lampung Selatan, Lampung, Minggu (24/8). Meletusnya Gunung Krakartau pada tahun 1883, dan munculnya Gunung berapi Anak Krakatau, menjadi sebuah keajaiban dan menjadi salah satu potensi pariwisata di Lampung. Meletusnya Gunung Krakatau pada 1883 selalu diperingati masyarakat Lampung dengan mengadakan Festival Krakatau. SP/Ruht Semiono

Kepada wartawan di Krakatau, Minggu (24/8), Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, M Natsir Ari mengatakan Pemprov optimistis target kunjungan 1,2 juta wisatawan domestik dan 24.000 wisatawan mancanegara dapat tercapai. Oleh karena itu, Pemprov akan menggelar beragam acara hiburan, kesenian, dan kebudayaan sehingga dapat memikat wisatawan.

"Festival ini memang jangka panjang, tidak hanya Krakatau saja, tapi setahun penuh ada banyak program dan kegiatan. Nanti juga akan ada festival layang-layang internasional. Kami ingin memecahkan rekor layang-layang terbanyak yang diterbangkan bersamaan," katanya.

Senin (25/8), pemda juga mengadakan program Krakatau Travel Exchange yang ditandai penandatanganan kontrak bisnis para pemangku kepentingan bidang pariwisata dan operator wisata dalam dan luar negeri. Program Krakatau Travel akan memberi banyak kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan saat mengunjungi Lampung.

Pada Sabtu (23/8) siang, Festival Krakatau (FK) dibuka secara resmi oleh Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu di PKOR Way Halim, Bandar Lampung. Acara dimeriahkan dengan tarian kolosal Gelegar Krakatau, tarian tambur Nusantara. Tamu undangan dari negara-negara sahabat juga disuguhi atraksi gajah.

Minggu (24/8), sejumlah duta besar, wartawan dan tur operator juga diajak menyaksikan langsung letupan gunung Krakatau dari dekat. Festival tahunan ini akan berlangsung sampai 31 Agustus 2008. Direncanakan, pada Sabtu (30/8), festival akan diramaikan dengan atraksi topeng dan prosesi nikah massal 60 pasang pengantin. Lalu, pada 29-31 Agustus, Krakatoa Nirwana Resort akan menggelar kejuaraan Off Road Krakatau Adventure.

Dalam sambutan pembukaan, Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu mengharapkan FK akan menjadi momentum yang tepat bagi pengembangan usaha jasa pariwisata, meningkatkan arus kunjungan wisata, dan peningkatan citra pariwisata Lampung. Gubernur juga berharap iklim investasi akan tumbuh sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat.

"Kami akan terus menjual Lampung seperti ini, sehingga bisa menjaring wisatawan dalam dan luar negeri. Kami akan perbanyak ajang seni dan pameran, kami juga punya banyak pantai bagus. Kami akan menjual itu," katanya.

Agenda

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Energi, Titin Sukarya yang mewakili Menteri Pariwisata Jero Wacik mengatakan FK memang termasuk agenda besar Visit Indonesia Year 2008. Meskipun demikian, Lampung belum termasuk kategori destinasi utama kunjungan wisa- tawan yang masih terkonsentrasi di Jawa dan Bali. Oleh karena itu, Pemprov Lampung harus terus mempromosikan pariwisata di daerah.

Selain FK, kata Titin, masih terdapat tiga acara lain di Lampung yang masuk agenda Visit Indonesia 2008, yakni Festival Begawi, Festival Teluk Stabas, dan Festival Way Kambas.

"Menurut data BPS, sampai semester kedua, jumlah wisman sudah mencapai 2,29 juta orang. Mudah-mudahan, target 7 juta wisatawan bisa tercapai karena musim liburan mendatang akan lebih ramai. Sekarang ini, kami sedang mendorong daerah-daerah untuk mempersiapkan destinasinya. Saya harap faktor kenyamanan, keamanan dan daya tarik bisa ditingkatkan," kata Titin.

Hal serupa juga dilontarkan Direktur Promosi Dalam Negeri Depbupar Fathul Bahri. Menurut dia, dengan komitmen Visit Lampung 2009, pemda harus dapat menjaring wisatawan lintas batas. Meskipun objek wisata masih terbatas dan belum masuk wisata unggulan, Lampung punya banyak potensi besar. Oleh sebab itu, pemda harus melakukan banyak pembenahan.

"Sarana untuk menuju objek wisata masih terbatas. Demikian juga untuk turis berspesial interest seperti Gunung Krakatau ini, aksesnya masih terbatas. Sarana kendaraan untuk ke sana belum regular," ujarnya. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 25 Agustus 2008

Opini: Tokoh Lampung Sulit Bersatu?

-- Muhammad Aqil Irham*

SAYA dan keluarga besar Gerakan Pemuda Ansor Lampung mengucapkan selamat ulang tahun ke-34 Lampung Post sekaligus mengucapkan selamat atas suksesnya launching buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung. Saya menyambut baik, gembira, dan apresiatif luar biasa atas inisiatif, kreativitas, dan inovasi pimpinan dan seluruh kru Lampung Post yang telah menghadiahkan kepada masyarakat Lampung sebuah kado istimewa yang mengandung pelajaran sejarah baru yang penting bagi generasi muda kini dan mendatang.

Sebuah cerita sejarah tentang kesuksesan dan keberhasilan "orang Lampung" yang memiliki identitas tradisi dan budaya lokal, yang pernah terlahir, tumbuh, besar, dewasa, dan setelah itu melanglang buana ke seluruh penjuru negeri ini sehingga jejak-jejak mereka nyaris tidak diketahui lagi sebagai "ulun Lampung".

Akhirnya, melalui perjalanan napak tilas intelektual dan jurnalistik yang berenergi, jejak-jejak mereka ditemukan kembali kemudian dihimpun dalam sebuah "ensiklopedia biografi" orang-orang sukses. Pertanyaannya kemudian, apakah kesuksesan dan keberhasilan tokoh-tokoh Lampung tersebut dapat berpengaruh secara signifikan bagi keberhasilan, kesuksesan, kemajuan, dan kesejahteran masyarakat Lampung? Serta berdampak terhadap terangkatnya derajat pembangunan Lampung di pentas nasional dan memiliki daya saing kompetitif dengan daerah lain?

Pertanyaan ini saya kira selaras dengan harapan Presiden/CEO Media Group Surya Paloh dalam kesempatan acara peluncuran buku tersebut, agar tokoh Lampung bersatu padu membangun Lampung. Saya menduga harapan tersebut berangkat dari asumsi dan pengalaman bahwa tokoh-tokoh Lampung sulit bersatu membangun negeri sendiri.

Memang harus diakui, secara individual banyak orang Lampung yang sukses di semua lini kehidupan di negeri kita ini. Namun, berapa banyak di antara mereka yang lupa dengan daerahnya sendiri. Bahkan mungkin juga ada prejudice yang masuk dalam alam bawah sadar betapa sulitnya membangun di Lampung karena banyak orang Lampung yang susah "diatur dan sulit diajak" maju.

Ungkapan ini sering terdengar di kalangan tokoh-tokoh. Kerangka berpikir demikian ini yang jadi alasan mengapa sebagian tokoh kita enggan berinvestasi dan membangun di daerah sendiri. Tidak sedikit pula yang sudah tidak mengakui identitas budaya sendiri kerena sudah terlanjur go public bahkan go international sehingga merasa malu menjadi orang Lampung.

Ini dampak globalisasi yang menggilas kita. Kita terpesona menjadi orang lain dan tidak menghendaki menjadi diri sendiri. Sungguh ironis. Saya kira sifat-sifat demikian tidak pantas diteladani oleh generasi muda sekarang. Mudah-mudahan semua dugaan ini keliru meskipun penulis pernah mendengar hal-hal demikian.

Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya belajar dari kiat-kiat sukses 100 tokoh tersebut dan dari tokoh-tokoh sukses lainnya; menjadikannya sumber inspirasi, motivasi, dan spirit menuju kesuksesan generasi baru sesuai dengan tantangan dan dinamika zaman. Selanjutnya kita perlu juga mengkritisi mengapa kesuksesan di semua lini dengan bermacam profesi yang ditekuni tokoh-tokoh kita belum cukup berarti bagi kolektivitas masyarakat Lampung.

Paling tidak ada tiga hambatan yang menyulitkan tokoh-tokoh Lampung, masih bercerai berai, dalam konteks pembangunan daerah Lampung: Psikologis, historis, dan modernisme.

Secara sosiologis, masyarakat Lampung terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Penduduk "asli" terdiri dari dua rumpun besar yang mewadahi keanekaragamanan suku, tradisi, budaya dialek bahasa, dan bahkan strata kekuasaan.

Dua rumpun besar tersebut adalah pepadun dan saibatin. Pendatang sebagian besar orang Jawa, Sunda, Minang, Semendo Palembang, dan lain-lain. Idealnya pembedaan teoritis ini tidak mempertentangkan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial, tapi menjadi kekuatan bersama menatap masa depan.

Namun, dalam pergaulan sehari-hari masih kita dengar, baik disadari atau tidak, terdapat dikotomi yang tidak produktif baik di kalangan orang asli Lampung (pepadun dan saibatin) maupun pendatang (munculnya organisasi, paguyuban bernuansa etnik, dan organisasi orang transmigran).

Dikotomi ini merupakan sekat-sekat yang membatasi dialog, komunikasi, kerja sama, dan saling mendukung untuk memajukan daerah. Inilah hambatan psikologis yang menghalangi percepatan pembangunan daerah. Masih terdengar di telinga kita saling klaim pewaris sah keturunan asal-usul orang Lampung di kalangan orang pepadun dan saibatin.

Semakin jelas juga membudaya dikotomi antara orang asli dan orang transmigran, bahkan dipertegas batas-batas tersebut dengan menyebut diri sebagai orang transmigran untuk membedakan diri dengan penduduk lain, bahkan semakin tumbuh suburnya organisasi dan paguyuban bernuansa etnik yang sewaktu waktu dimobilisasi untuk kepentingan politik tertentu.

Saya kira inilah warisan Belanda yang masih hidup di tengah-tengah keberagaman kita sebagai orang Lampung, sekalipun kita sudah menyemagati momentum 100 tahun hidup di alam Kebangkitan Nasional. Hambatan psikologis ini seiring dengan hambatan historis.

Sebagaimana kita ketahui, Belanda cukup lama menduduki Lampung dan menguasai tradisi, budaya, dan peta kekuasaan raja-raja kecil di Lampung. Sebagai bangsa Eropa yang sedang mengalami masa pencerahan ilmiah, kondisi ini tercatat secara rapi dalam dokumentasi dan literatur intelektual Belanda.

Politik pecah belah dengan cara menokohkan yang satu dan menjatuhkan yang lain. Memberi kehormatan terhadap kelompok etnik tertentu dan merendahkan kelompok etnik lain. Mengangkat pemimpin dan menjadikan yang lain sebagai pengikut. Inilah politik Belanda yang masih mewarnai dinamika dan political game politisi dan tokoh-tokoh kita.

Hambatan berikutnya adalah tuntutan modernitas. Modernisme mendewakan kekuatan daya manusia individual dan menghendaki spesialisasi profesi. Akhirnya, profesionalisme mengarah pada egosentrime profesinya sendiri dan berimplikasi pada sikap individulisme sebagai ciri khusus manusia modern.

Manusia modern sibuk dengan urusan sendiri sehingga kurang peduli dengan urusan orang dan dunia lain. Sikap modernisme semacam ini yang sesungguhnya melupakan jati diri kita sebagai makhluk tradisonal yang lebih mengutamakan perasaan dan pengalaman kolektif sebagai sendi-sendi kehidupan bersama.

Kini, kita sudah tidak mengenal dan sudah tidak saling menyapa dengan hati kecuali sebatas kontrak-kontrak formal dan seremonial. Saya pikir kita harus mampu mengarahkan arus profesionalisme individual tersebut searah dengan jiwa-spirit komitmen sosial dan solidaritas sosial kemudian dibingkai dalam kerangka kepemimpinan kolektif yang kuat (strong leadership) di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Lampung untuk kemajuan pembangunan daerah.

Untuk itu, sinergisitas lintas profesi dari tokoh-tokoh terkemuka Lampung baik yang tinggal di Lampung, di Jakarta dan di berbagai daerah bahkan di luar negeri sekalipun sangat urgen diwujudkan. Hambatan psikologis, historis, dan modernisme harus kita kikis kemudian membangun spirit baru yang dipupuk dengan komitmen kebersamaan untuk kemajuan Lampung. Segundukan masalah menggunung di depan mata kita tidak mungkin dibebankan pada kelompok tertentu saja, pemerintah saja, swasta saja, masyarakat saja dan sebagainya.

Kemiskian masih menjadi problem utama; daerah-daerah terpencil yang infrastrukturnya kurang memadai, ketiadaan lapangan pekerjaan di desa yang menyebabkan orang beramai-ramai mengosongkan desanya ke kota walau harus menjadi buruh pabrik dan pembantu rumah tangga di daerah dan negara lain. Belum lagi rendahnya mutu lulusan pendidikan dan kualitas SDM kita serta sederet panjang problem-problem lain yang masih menghantui kehidupan masyarakat Lampung.

Rasa tanggung jawab sosial bagi mereka yang mampu, yang sukses dan telah menikmati kemajuan untuk saling menyapa, saling membantu, dan mendorong agar orang lain juga sukses. Akhirnya, daerahnya juga sukses dan maju.

Apa pun profesi kita, seniman, akedemisi, intelektual, birokrat, politisi, praktisi pers dan hukum, pengusaha, polisi, TNI, dan lainnya serta orang yang tidak punya profesi sekalipun sungguh penting saling membantu, bahu-membahu, mendukung untuk membangun bumi Lampung yang kita cintai ini.

Momentum Pilgub Lampung pada 3 September mendatang adalah strategis untuk membuktikan bahwa kita semua bisa bersatu padu membangun negeri Sang Bumi Ruwa Jurai. Siap menang dan siap kalah. Yang kalah secara kesatria mengucapkan selamat pada yang menang; yang menang tidak sombong dan menganggap lawan adalah musuh. Selamat untuk tokoh-tokoh dan masyarakat Lampung.

* Muhammad Aqil Irham, Ketua GP Ansor Provinsi Lampung

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Agustus 2008

Teluk Lampung, Surga Pencuri Ikan Hias dan Terumbu Karang

Pengantar

AKSI pencurian ikan hias dan terumbu karang semakin marak di perairan Teluk Lampung mulai dari perairan di Padang Cermin hingga Teluk Kiluan. Untuk mengetahui aktivitas pencurian itu, bersama ahli selam Felix Dwiagung Widodo dan LSM Cikal (Fadliansyah dan Rico Stevanus), Lampung Post melakukan penelusuran selama tiga hari, sejak Jumat (23-8) sore hingga Minggu (25-8) pagi.

---

DI laut dengan kedalaman rata-rata 10--15 meter itu terlihat jelas betapa makin rusaknya terumbu karang di perairan itu. Populasi ikan hias mulai nemo, barongsai, sampai moris idol yang di pasaran harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah per ekornya kini makin sedikit.

Kami juga melihat para pencuri ikan hias dan terumbu karang itu beraksi. Di kedalaman sekitar 10 meter di spot yang menjadi daerah perlindungan laut (DPL), para pencuri dengan santai memasang bubu, perangkap ikan yang terbuat dari kawat yang biasa dipasang di sela-sela karang.

Beberapa perangkap ikan itu pun kami lepas termasuk sekitar 50 ekor ikan hias yang sudah terperangkap dalam bubu itu, beberapa jenis ikan hias dari kelompok barongsai tidak bisa diselamatkan karena kulitnya tersayat kawat bubu.

"Bayangkan hanya untuk mendapat uang ratusan juta dan menyenangkan nafsu para penghobi ikan hias yang ada di Jakarta, para pencuri ini tega merusak populasi ikan hias dan terumbu karang di sini, mereka sama sekali tidak memikirkan dampak dari perbuatan mereka yang bisa merugikan nelayan," jelas Felix D. Widodo yang biasa dipanggil Dodo.

Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa ikan hias yang ditangkap dan dijual secara ilegal itu termasuk kategori langka seperti jenis moris idol/banner fish (Heniochus acuminatus), angel fish (Chaetodontoplus sp), bat fish (Platax teira), damselfish (Pomacentrus sp dan Dascyllus ), parrot fish, surgeon fish, sergeant fish (Abudefduf sp), lion fish (Pterois volitans), trumpetfish (Aulostomus sp), blenny fish (Crossosalarias sp), gobyfish (Fusigobius sp), dan anemon fish (Amphiprion sp).

Ikan jenis ini populasinya makin sedikit. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh perairan dunia. Makin langka, artinya harga jualnya makin tinggi. Bayangkan, satu ekor ikan jenis moris idol, bat fish atau jenis angel fish bisa dijual Rp2 juta/ekor di Jakarta.

SELAMA tiga hari berturut-turut, kami menyaksikan langsung betapa leluasanya para pencuri ikan hias dan terumbu karang itu beraksi. Para pencuri ikan hias dan terumbu karang yang bekerja secara berkelompok ini mampu memasang bubu paling sedikit di 41 titik dengan jumlah bubu di satu titik sebanyak 10 bubu--satu bubu bisa menghasilkan ikan hias paling sedikit 10 kilogram.

Aksi mereka dilakukan di daerah yang menjadi kawasan perlindungan laut yang tidak boleh siapa pun masuk daerah ini untuk menangkap ikan. Mereka tergiur upah besar dari juragannya.

Bayangkan, untuk satu buah bubu yang bisa menangkap paling sedikit 10 kilogram ikan hias, mereka dibayar Rp1 juta untuk tiga orang. Artinya, rata-rata penghasilan mereka Rp300 ribu lebih sehari. Padahal, rata-rata nelayan pencuri ikan hias dan terumbu karang ini bisa membawa sepuluhan bubu dengan tangkapan sekitar 100 kg sehari.

Sepuluhan bubu dan tiga nelayan itu cukup dalam satu perahu ketinting. Padahal, dalam seharinya paling sedikit ada 10 perahu ketinting yang beroperasi mencari ikan hias dengan lokasi yang berbeda-beda.

"Cari duit cepet ya kerja seperti ini, nggak terlalu capek cuma memasang bubu pagi hari, sore hari sudah diambil lagi," ujar Mamat, salah seorang nelayan yang mencuri ikan hias di sekitar perairan Padang Cermin.

Kegiatan mereka bukan tidak berisiko. Sebab, untuk memasang bubu di kedalaman 10 meter itu para pencuri ini hanya mengandalkan kompresor sebagai alat bantu pernapasan mereka selama menyelam.

Biasanya, dalam menjalankan aksinya, para penyelam ini bekerja secara berkelompok dengan 4--5 perahu ketinting. Satu perahu berisi tiga orang.

Seorang bertugas menyelam, seorang lain mengambil hasil tangkapan dan menjaga agar mesin kompresor tetap hidup sebagai alat bantu pernapasan rekannya dalam air, sedangkan seorang lain sebagai juru mudi sekaligus mengawasi keadaan sekitarnya.

Bubu berisi ikan tangkapan diikat di bawah perahu dalam air untuk menghindari kapal patroli yang merazia perahu mereka. Dengan cara itu juga, ikan hias dalam bubu tidak mudah mati.

"Biasanya patroli sering curiga kalau lihat perahu bawa kompresor, mereka langsung mendekati perahu dan merazia bawaan perahu, makanya bubu kami ikat di bawah kapal jadi kalau ketahuan bisa langsung dilepas ke dalam laut," ujar Mamat.

Ikan-ikan hasil tangkapan ini kemudian dibawa ke pengumpul. Terdapat tiga lokasi pedagang pengumpul ikan hias dan terumbu karang, yaitu di Padang Cermin, Tarahan, dan Cukuh Balak.

Setiap pemasok ikan hias ke Jakarta ini memiliki paling sedikit 10 perahu ketinting atau 30 anak buah yang setiap harinya ditugaskan mencuri ikan hias.

Dari tiga bos ini, hampir semua nelayan menyebut Nj sebagai pengumpul paling besar. Bos besar ini menjalankan aksi di Cukuh Balak. Ia memiliki 20 perahu ketinting dengan 100 anak buah.

"Pak Nj itu yang paling kaya, sehari dia bisa menjual paling sedikit 3 ton ikan hias ke Jakarta, kalau yang lain paling banyak cuma 2 ton sehari. Dia juga berani bayar mahal ikan hias asalkan masih sehat dari jenis ikan yang harganya mahal, makanya banyak nelayan lain yang menjual ke tempatnya," ujar seorang nelayan.

Tidak heran kebanyak nelayan yang sebenarnya adalah anak buah dari pedagang pengumpul lain juga ikut menjual kepada Nj karena upah yang mereka dapat terkadang lebih besar dari bosnya.

Lampung Post mencoba mendatangi dua pedagang pengumpul di Padang Cermin dan Tarahan. Di dua lokasi ini terlihat sejumlah bak-bak penampung ikan hias yang di dalamnya terdapat ratusan bahkan ribuan ekor ikan hias siap jual.

Di rumah yang di bagian belakangnya disulap menjadi tempat meletakkan bak penampungan itu terdapat lima bak penampungan ikan hias. Ikan hias sejenis dimasukkan satu bak yang sama, seperti nemo dan barongsai.

Ikan hias mahal seperti moris idol atau angel fish sengaja diletakkan dalam rumah karena ikan ini tidak tahan kontak langsung dengan sinar matahari. "Untuk MI (moris idol, red) memang sengaja disimpan dalam rumah karena kalau sampai mati kami juga yang rugi," ujar seorang pedagang pengumpul di Padang Cermin kepada Lampung Post yang mengaku sebagai pembeli ikan hias.

Pengumpul ini menjelaskan hampir 80 persen ikan hias ini dijual ke Jakarta, sisanya di Lampung karena banyak juga pehobi ikan hias di Lampung. "Tapi yang di Lampung tidak tahu jenis ikan dan tidak berani bayar mahal, hobinya masih setengah-setengah, tidak seperti penghobi di Jakarta. Untuk ikan moris idol kalau memang lagi susah dicari, bisa dibayar jutaan rupiah seekornya, makanya banyak kami jual ke Jakarta," jelasnya.

Produsen Ikan Hias

Dodo menyatakan perairan Teluk Lampung dan sekitarnya masuk kategori kedua terbesar setelah Kepulauan Wakatobi sebagai produsen ikan hias dan terumbu karang untuk para pelaku illegal fishing.

"Setiap hari berton-ton ikan hias dijual ke Jakarta oleh jaringan pencuri ikan hias dan terumbu karang dengan omzet bisa seratusan juta rupiah, semua ikan hias dan terumbu karang itu diambil dari perairan Teluk Lampung dan aparat tidak berusaha mencegahnya apalagi menangkap mereka," kata Felix.

Menurut salah seorang penyelam kondang asal Lampung ini, aparat bukan hanya tidak peduli. "Nanti setelah populasi ikan hias dan terumbu karang di sini makin kritis, mereka baru peduli. Sebab, saat semua biota laut hancur, bagi mereka justru keuntungan karena berarti bakal ada program atau proyek ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah untuk merehabilitasi itu semua."

"Kita ini seperti maling teriak maling, di satu sisi sibuk menggalakkan tahun kunjungan wisatawan sementara di sisi lain kita malah membiarkan pencurian ikan hias dan terumbu karang atau bahkan bekerja sama merusak habitasi laut Teluk Lampung cuma karena uang sejuta-dua juta saja," kata Felix. n MEZA SWASTIKA/R-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Agustus 2008

Festival Krakatau Hanya Rutinitas

BANDAR LAMPUNG (Ant/Lampost): Sejumlah pengunjung pembukaan Festival Krakatau tahun 2008 di PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu (28), menilai kegiatan tahunan tersebut monoton dan tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pembukaan Festival Krakatau tahun ini bahkan tidak semeriah tahun lalu.

"Setiap pembukaan Festival Krakatau, yang ditampilkan dari setiap daerah hanya tarian dan selalu mengedepankan tari topeng," kata Esti, warga Kampungsawah, Bandar Lampung.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pembukaan Festival Krakatau diawali dengan tarian yang menggambarkan ketika Gunung Krakatau meletus tahun 1883, kemudian tarian tambur dari warga Lampung asal Sumatera Barat, dan tari topeng asal Yogyakarta. Selanjutnya, penampilan 11 kabupaten/kota dengan aneka tari, tapi lebih banyak menitikberatkan pada tari topeng.

"Kalau setiap tahun seperti ini, orang bisa bosan melihatnya. Saya pikir para duta besar yang hadir itu pun sebagian besar tahun lalu sudah menyaksikan hal serupa. Lalu, apa yang mau dijual," kata Prapto, warga Kedaton, Bandar Lampung.

Selain itu, warga juga mengeluhkan minimnya informasi mengenai Festival Krakatau. Warga mengaku kurang mendapatkan informasi tentang adanya festival yang digelar setiap tahun tersebut.

"Saya tahu kalau ada pembukaan Festival Krakatau karena hampir setiap hari datang ke arena sini untuk berolahraga. Jadi tidak dari media," kata Anwar, warga Way Halim, Bandar Lampung.

Untuk memeriahkan Festival Krakatau, empat ekor gajah jinak didatangkan dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, Lampung Timur. Sejumlah warga memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menunggangi gajah didampingi para pawang dan pengasuh gajah itu.

Gajah-gajah jinak terdidik dan terlatih itu didatangkan dari PLG Way Kambas untuk mengikuti parade pembukaan FK ke-18 yang merupakan agenda tahunan pariwisata Lampung sekaligus menyambut Visit Indonesia Years 2008 dan Visit Lampung Years 2009.

Kendati berada di lapangan kawasan PKOR Way Halim itu yang berdebu dan kotor, keberadaan gajah jinak itu tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi warga, terutama anak-anak untuk mendekat. Sebagian mencoba menaikinya dengan dipandu pawang atau pengasuh gajah itu. n K-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Agustus 2008

August 24, 2008

Apresiasi: Idealisme dalam Berkesenian

-- Syaiful Irba Tanpaka*

SPIRITUALITAS berkesenian menjadi barang langka. Sama langkanya dengan harimau sumatera. Sseniman kita lebih banyak tidur dan bermimpi.

Beberapa catatan menarik tentang dunia kesenian di Lampung saya dapatkan setelah membaca Lampung Post. Ari Pahala Hutabarat menulis kurangnya kesadaran seniman mendudukkan karya seni pada pondasi rasionalitas (Teater dan Usaha Menjadi Rasional, 27-7); Iswadi Pratama yang mengungkapkan masih banyak seniman yang malas dan takut menekuni kesenian secara mati-matian karena tidak menjanjikan masa depan (Kesenian di Lampung; Rasional, Spiritual atau Libidinal, 3-8); dan Isbedy Stiawan Z.S. yang menyatakan pentingnya spirit berkesenian untuk mempertahankan eksistensi kesenian (Bangun Spiritual Berkesenian?, 10-8).

Berangkat dari tiga tulisan itu, saya pun ingin turut memberikan iuran pemikiran seputar kehidupan kesenian kita di Lampung.

Perihal Idealisme dan Profesionalisme

Ini hal mendasar bagi kehidupan dunia kesenian di Lampung. Banyak seniman tidak memiliki idealisme dalam menekuni kesenian sehingga karya-karya yang dihasilkan adalah karya-karya yang tidak ideal. Karya-karya amatiran yang dibuat (seringkali) secara instan berdasarkan even-even plat merah (pemerintah) atau pesanan ini pesanan itu, dalam rangka ini dalam rangka itu. Sedikit yang mengasah potensi wawasan dan gagasan kreatifnya secara idealis.

Idealisme ini penting sebab, pertama, merupakan modal utama seniman memilih dan menentukan konsepsi estetik untuk diekspresikan dalam karya-karyanya sehingga dapat membedakan dengan jelas ekspresi artistik karya seniman yang satu dengan yang lainnya. Sebagaimana kita mencermati karya-karya lukis Affandi (abstrak) Basuki Abdullah (realis) dan Dede Eri Supria (surealis) atau karya-karya Chairil Anwar (ekspresionisme) Sapardi Djoko Damono (impresif) dan Afrizal Malna (obskurantis).

Kecenderungan konsepsi estetik ini yang kemudian dalam perjalanan sejarah estetika dunia memperkenalkan adanya estetika masa renaisans (Prancesco Petrarca, Leonardo da Vinci, Francis Bacon), estetika easionalisme kontinental (Descartes, Alexander Baumgarten), estetika masa romantik (Schopenhauer, Nietzsche) dll.

Dalam skala makro dapat kita sebutkan adanya estetika Yunani Kuno yang bertumpu pada suatu kerangka kosmosentris di mana alam menjadi sesuatu yang sakral. Sedangkan estetika abad pertengahan bersifat teologis, yang menjadi titik acuan refleksi estetis adalah Tuhan. Lalu estetika masa modern dengan kata kunci "antropos", di mana manusia menjadi titik pusat, titik tolak, dan titik gerak.

Kedua; idealisme secara otomatis akan membangun spiritualitas berkarya. Tidak hanya kemauan dan ketekunan tapi juga semangat mengeksplorasi proses kreatifnya menuju pencapaian yang bersifat inovatif.

Bagaimana misalnya Pablo Neruda (Peraih Nobel Kesusastraan Tahun 1971) terus memperbaiki gagasan-gagasannya dalam Obras Completas yang diterbitkan tahun 1951 sebanyak 459 halaman dan di tahun 1962 menjadi 1925 halaman lalu di tahun 1968 menjadi 3.237 halaman. Seperti juga karyanya Odas Elementales (1954--1959) yang berisi pesan-pesan kemanusiaan kepada dunia. Atau Elias Canetti (Peraih Nobel Kesusastraan Tahun 1981) yang menulis novelnya Die; Blendung pada tahun 1930-1931. Tentu masih banyak yang dapat dicontohkan bagaimana seniman dunia maupun Indonesia yang tetap memiliki semangat berkarya karena idealismenya, katakanlah Putu Wijaya.

Lalu, ketiga, idealisme akan mendasari moralitas seorang seniman untuk berkarya secara orisinal. Meski dikatakan "tidak ada yang baru di muka bumi ini" tapi buat seorang seniman yang bermoral tidak akan pernah berkarya dengan berdasarkan karya orang lain. Interteks dalam batas-batas tertentu adalah suatu kewajaran namun plagitasi merupakan "kekurangajaran" yang menghancurkan struktur nilai-nilai moralitas.

Dalam seni musik, suatu karya dikatakan sebagai karya plagiat apabila terdapat kesamaan dengan karya sebelumnya sebanyak 8 bar. Dalam karya sastra, suatu karya puisi sudah dapat dikatakan sebagai karya palgiat apabila terdapat kalimat "aku ini binatang jalang/dari kumpulan terbuang" dari puisi Aku Chairil Anwar yang sangat terkenal itu bila tanpa menuliskan alasan kenapa ia memakai larik-larik sajak itu.

Alhasil, idealisme dengan ketiga unsur yang dibangunnya yakni konsep, semangat, dan moral berkarya inilah yang membuat seniman menjadi profesional. Suatu kesadaran bahwa kesenian yang digelutinya adalah sebuah profesi.

Tentang profesionalisme ini, Iswadi Pratama pernah menganalogikan dengan sangat baik ketika membedah kesenimanan Isbedy Stiawan Z.S. yang dikatakannya ibarat "nelayan" maka apatah mungkin dapat disamakan dengan seseorang yang ingin mendapatkan ikan dengan memancing di kolam pemancingan sebagai rekreasi?

***

Fenomena kesenian di Lampung yang dituturkan Iswadi sebagai keadaan "jahiliah" sangat dimungkinkan karena ketiadaan idealisme seniman. Sehingga dalam banyak even kesenian kita seringkali kebingungan mencari konsepsi estetik karya-karya yang digelar, umpamanya. Kita lebih banyak menemukan karya-karya instan yang tidak didukung pengetahuan teknis standar, wawasan budaya yang memadai serta gagasan kreatif yang bernas. Kesenian yang inginnya berakar pada nilai-nilai tradisi tapi tidak dibarengi pengetahuan dan wawasan tentang filosofis tradisi itu sendiri. Kesenian yang maunya mengangkat nilai-nilai kontemporer namun miskin perenungan tentang peristiwa politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di sekitarnya.

Jadilah kesenian tanpa roh. Kesenian yang libidinal. Kesenian yang lahir dari syahwat berkreasi yang temporal.

Dalam keadaan ini maka spiritualitas berkesenian menjadi barang langka. Sama langkanya dengan harimau Sumatera. Pasalnya seniman kita lebih banyak tidur dan bermimpi. Baru satu-dua kali melukis sudah bergaya seperti Leonardo da Vinci. Baru satu-dua kali menulis puisi menganggap diri seperti Sutardji Colzum Bachri. Baru satu-dua kali bikin koreografi lagaknya kayak Boy G. Sakti. Baru satu-dua kali buat komposisi menganggap mirip Harry Roesli. Manajemen yang dipakai dalam proses kreatifnya adalah Manajemen Houdini (ilusionis kondang itu). Simsalabim!!!

Begitulah kenapa yang terhormat seniman kita enggan membedah keseniannya sampai putih tulang belulang. Tidak menjadikan keseniannya sebagai learning process. Lesu darah. Kehilangan motivasi. Pragmatis. Maunya mencari mutiara tapi takut menyelam. Maunya berburu rusa tetapi takut masuk rimba.

Terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara keinginan dan tindakan. Paradoks! Karena itu barangkali saya tidak perlu heran ketika mendapatkan karya-karya kesenian seniman Lampung yang menyajikan ikon-ikon tradisi Lampung sebagai ornamen belaka bukan jiwa dalam karya-karya yang katanya berakar tradisi. Lampung itu.

Bagaimana, misalnya, sebagian besar koreografer kita cuma memahami gerak-gerak dasar tari Lampung tapi tidak untuk filosofis ke-Lampung-annya. Sehingga yang kita saksikan dalam LombalTari Kreasi Festival Krakatau dari tahun ke tahun adalah koreografi yang hampir seragam, begitupun musik pengiringnya. Tersebab para koreografer dan penata musiknya hanya bertumpu pada gerak-gerak dasar tari Lampung dan ragam musik Lampung bukan pada nilai-nilai filosofis kehidupan masyarakat Lampung.

Sebagai perbandingan layak dicermati bagaimana seorang Eri Mefri mengangkat nilai-nilai tadisi Sumatera Barat dalam karya-karya koreografinya. Ini cuma contoh kecil dari kemalasan seniman kita.

Begitupun di bidang sastra masih kita lihat kosa-kata kosa kata Lampung yang dipergunakan dalam sebuah puisi atau cerpen melulu sebagai tempelan tanpa memengaruhi substansi filosofis dari pesan-pesan yang ingin disampaikan. Dan barangkali bila kosa-kata itu diganti dengan kosa kata yang sepadan dari daerah lain maka pesan yang terkandung dalam puisi masih tetap sama.

Pasalnya para seniman kita tidak pernah membaca dan memahami secara serius adat istiadat budaya Lampung. Masih sebatas permukaan saja. Mana pula ingin melakukan penelitian yang panjang untuk kebutuhan keseniannya. Melakukannya dengan metodologi-metodologi. Rasanya hampil mustahil apa yang diharapkan Ari Pahala untuk menjadi lebih rasional.

Lantas bagaimana dengan moralitas kesenian kita? Bagi para kreator, bagaimana ia membatasi proses kreatifnya dalam koridor etis dan estetis. Norma-norma yang disepakati sebagai bingkai moral berkesenian. Bahwa plagiator itu tindakan primitif dan karenanya tidak boleh mendapat tempat dalam dunia (kreativitas) modern. Bahwa kualitas karya lebih utama ketimbang kuantitas karya (produktivitas) sehingga penggalian kreativitas harus terus menerus dilakukan. Bahwa eksplorasi ide-ide lebih penting untuk menghasilkan pencapaian kreativitas yang inovatif.

Dan bagi para aktor mengasah kemampuan lewat latihan dan membaca literatur-literatur lebih perlu ketimbang pementasan-pementasan. Sebab pementasan yang utama itu adalah latihan itu sendiri. Bahwa materi bukanlah tujuan karena yang lebih afdol ialah kebutuhan "menjadi aktor". Ini merupakan persoalan-persoalan moral berkesenian yang harus

diatasi.

Pada sisi lain terjadi kasus-kasus moral yang sempat mewarnai kesenian kita. Dewan Juri Lomba Menulis Cerita Pendek untuk pelajar yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung pernah kecolongan; ternyata seorang pemenang memplagitasi karya sastrawan Hamsad Rangkuti.

Kasus moral ini mungkin bisa dimaklumi karena menyangkut seorang pemula namun tetap harus diberi peringatan keras bahwa plagiarisme merupakan cara-cara tidak bermoral dalam dunia kreatif. Juga menurut hukum dapat diberikan sanksi secara pidana.

Kasus lainnya saya temui di bidang seni tari kalau ternyata seorang koreografer di Lampung yang notabene sarjana seni tari, karya-karyanya justru memplagitasi koreografi yang dipentaskan dalam event tingkat nasional. Lalu karena minimnya wawasan dewan juri yang tidak mengikuti perkembangan tari nasional, karya-karya plagiat itupun beberapa tahun jadi juara pertama dalam event Lomba Tari Kreasi Festival Krakatau.

Sungguh dunia tari di Lampung sudah "diledek" dan "dikentuti". Tapi kenapa orang-orang tari tidak ada yang bersuara? Tidak mengikuti perkembangan tari nasional atau enggan menggugatnya. Padahal sudah beberapa tahun terjadi. Karena itu saya menyarankan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung jika betul-betul turut serta dalam pembinaan dan pembangunan dunia kesenian di Lampung, setelah pelaksanaan Lomba Tari Kreasi diadakan diskusi publik tentang pertanggungjawaban dewan juri dan para koreografernya. Jangan apriori dan menganggap ini bukan persoalan pemerintah daerah. Bukankah pembangunan kesenian menjadi tanggungjawab kita bersama: Seniman, pemerintah, dan masyarakat?

Kita tentunya tidak mengharapkan kesenian di Lampung dicemari oleh tindakan oknum-oknum seniman yang tidak memiliki moralitas berkesenian. Kesenian kita dicederai oleh karya-karya seniman yang culas. Yang berkarya atas nama kepentingan-kepentingan sesaat. Yang penting karyanya terlihat bagus. Yang penting dapat juara. Persetan kalau sudah melakukan pelecehan kreativitas.

Sungguh suatu hal yang memperihatinkan. Yang membuat satu faktor kenapa kesenian kita kurang mendapat tempat yang layak dan senimannya begitu langka yang meraih prestasi nasional.

Maaf kalau kebetulan saya mengambil bahasan dari dunia tari. Karena dibanding cabang-cabang seni yang lain (yang telah meraih prestasi nasional secara mandiri) bahwa seni tari kita belum bisa bicara apa-apa.

Betul kita memiliki penata tari yang meraih prestasi tingkat nasional sebagai koreografer terbaik Parade Tari Daerah (alm. Edi Bastari dan Titik Nurhayati) namun itu belumlah bisa dibanggakan karena terjadi pada event plat merah bukan hasil pencapaian kreatif yang "mengharu biru" (Taufiq Ismail).

Belum ada satupun koreografer kita yang dengan karyanya mendapatkan dana hibah dari Yayasan Kelola, misalnya. Ini tolok ukur yang sederhana. Konon pula yang diundang pada perhelatan akbar semacam Pentas Koreografer Muda Indonesia atau Indonesian Dance Festival (IDF) atau Arts Summit. Belum pernah ada.

Karena itu perlu menjadi renungan kita (para koreografer khususnya) bersama. Bahwa kondisi ini merupakan sebuah keprihatinan sekaligus peluang untuk berkompetisi secara konstruktif menjadi koreografer

pertama yang menembus blantika seni tari nasional secara mandiri dan

profesional. Tidak gampang memang. Karena merupakan hasil proses panjang berkesenian.

Seni dan Politik

Mencermati kegelisahan Isbedy tentang hubungan seni dan politik (pemerintah) sebagai suatu kenaifan. Saya pikir bukan suatu kesalahan dan bukan dosa manakala seorang atau sekelompok (komunitas) seniman menyertakan peran pemerintah dalam memproduksi karya keseniannya. Dan peran nyata dari pemerintah itu adalah dukungan dana yang memadai. Karena memang sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambil peran itu.

Sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya mengembangkan kebudayaan bangsa. Sehingga menjadi suatu kewajaran bagi seniman mengambil langkah itu sebagai bagian dari strategi manajerial dalam me-manage keseniannya.

Isbedy (mestinya) tidak perlu merasa khawatir kalau ada seniman-seniman yang memiliki kedekatan emosional dengan tokoh-tokoh tertentu yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan akan mengurangi dukungan pemerintah untuknya. Pemerintah dengan secara bijak telah mengalokasikan dana bantuan buat pembinaan dan pembangunan kesenian.

Justru kita harus merasa bangga bila pemerintah dapat mendukung seluas-luasnya setiap kegiatan kesenian dan membantu sebanyak-banyaknya seniman. Dan kita harus menerima kenyataan bahwa seniman sebagai manusia memiliki banyak karakter, motivasi dan tujuan berkeseniannya. Don't worry be happy. Karena betapa pun juga ada hubungan yang erat antara seni dan politik. Sebuah hubungan timbal balik.

Komunikasi dialogis. Dengan mengambil setting Rusia awal abad ini Leon Trotsky mengungkapkan bahwa seni tidak pernah lepas dari kepentingan dan muatan politik. Banyak seniman yang menjalankan kreativitas seninya dalam rangka mencari kedudukan dan prestasi politis atau sekadar menyelamatkan diri dari kemungkinan malapetaka politis, dengan membuat karya yang mengagungkan para penguasa. Di sisi lain banyak juga penguasa yang meneguhkan status quo dengan mendayagunakan para seniman. Mereka, dengan janji maupun ancaman, memaksa para seniman membuat mitos-mitos tentang keagungan para pahlawan dan para petinggi negara. Dan terbukti seni sangat efektif.

Di samping persetujuan; di sisi lain karya seni juga mengandung penolakan dan bahkan pemberontakan terhadap pemerintah. Dan kita tidak bisa menghakimi keduanya. Karena keduanya diberikan tempat yang sama dalam tubuh dan jiwa demokrasi. Maka saya berharap kita dapat mengarifi kondisi ini sebagai capaian manajemen yang baik dari para seniman dalam memfungsikan peran negara.

* Syaiful Irba Tanpaka, Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Agustus 2008

Festival Krakatau: Lampung Targetkan 1,2 Juta Wisatawan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah Provinsi Lampung menargetkan kunjungan 1,2 juta wisatawan domestik dan 24 ribu wisatawan mancanegara dalam program Visit Lampung 2009.

FESTIVAL KRAKATAU. Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu mengulurkan sehelai kain simbol Festival Krakatau kepada seekor gajah pada pembukaan Festival Krakatau XVII di PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu (23-8). Kegiatan rutin tahunan ini akan berlangsung sampai 31 Agustus 2008. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

Hal itu dikemukakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, M. Natsir Ari, pada pembukaan Festival Krakatau XVIII di PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu (23-8). "Target kunjungan dalam Visit Lampung 2009 adalah 1,2 juta wisatawan domestik dan 24 ribu dari mancanegara," kata Natsir Ali.

Natsir mengatakan dalam FK XVII akan dimulai program Krakatau Travel Exchange yang ditandai penandatanganan kontrak bisnis para pemangku kepentingan bidang pariwisata dan operator wisata dalam dan luar negeri pada 25 Agustus mendatang. Natsir mengatakan program Krakatau Travel akan memberi banyak kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan saat mengunjungi Lampung. "Hal ini berdampak positif pada peningkatan PAD," kata Natsir yang juga ketua panitia FK XVIII.

Saat membuka FK XVIII, staf ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Energi, Titin Sukarya, mewakili Menteri Pariwisata Jero Wacik mengatakan pemerintah daerah harus terus mempromosikan pariwisata di daerah untuk memperkenalkan potensi wisata. Titin mengatakan FK merupakan bagian dari Tahun Kunjungan Indonesia atau Visit Indonesa 2009. Selain FK masih terdapat tiga event lain di Lampung yang masuk agenda Visit Indonesia 2009, yakni Festival Begawi, Festival Teluk Stabas, dan Festival Way Kambas.

Menurut Titin, pada Visit Indonesia 2009, pemerintah menargetkan tujuh juta wisatawan domestik dan mancanegara. "Devisa yang dihasilkan sekitar 6,7 miliar dolar AS," kata Titin.

Sementara, Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu mengatakan FK akan menjadi momentum pengembangan usaha jasa pariwisata, meningkatkan arus kunjungan wisata, dan meningkatkan citra pariwisata Lampung. Gubernur berharap objek wisata juga akan berkembang sehingga mendukung pelestarian budaya dan adat Lampung. "Hal tersebut tentunya akan meningkatkan iklim investasi yang berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat," ujar Syamsurya.

Pembukaan FK XVII dihadiri para duta besar negara-negara Eropa dan Asia. Acara dibuka pukul 14.30 itu menyuguhkan tarian kolosal Gelegar Krakatau, tarian tambur Nusantara dari Ikatan Keluarga Minang, dan tarian dari 11 kabupaten/kota se-Lampung. Atraksi gajah menjadi suguhan khas untuk para undangan.

FK XVIII yang berlangsung hingga 31 Agustus 2008 akan dimeriahkan beberapa acara lain, lomba cipta lagu daerah Lampung, pergelaran tari kreasi daerah Lampung, Pemilihan Muli-Mekhanai Lampung 2008, lomba memancing tradisional dan pesta rakyat, Kiluan Fishing Week, Festival Layang-Layang Internasional, Krakatau Night, Tour Krakatau, Lampung Expo 2008, pergelaran seni budaya, Krakatau Travel, serta nikah massal di atas truck trailer. n */U-1 (Padli Ramdan)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Agustus 2008

August 23, 2008

Teluk Lampung Tercemar Berat

Bandar Lampung, Kompas - Pembudidaya ikan kerapu dan kerang mutiara mengeluhkan pencemaran berat akibat limbah tambak udang, limbah rumah tangga, dan industri di perairan Teluk lampung. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk mengelola pesisir dan mengatur tambak udang karena pencemaran mematikan kerapu atau kerang hingga mencapai 50-60 persen.

Presiden Direktur PT Hikari Lampung Permai Gunawan Yunarko, Jumat (22/8) di kompleks pembudidayaan kerang mutiara di Tanjung Putus, Pesawaran, pada acara penandatanganan kesepakatan kerja sama antara Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lampung dengan perusahaan produsen mutiara mengatakan, kondisi perairan Teluk Lampung saat ini sudah tidak sehat lagi untuk dimanfaatkan sebagai area pembudidayaan kerang mutiara. Limbah cair dari tambak-tambak udang yang terdapat di sekitar wilayah Padang Cermin hingga Punduh Pidada sangat kental dan mengandung sisa-sisa makanan udang ataupun obat-obatan.

Limbah cair itu kebanyakan dibuang begitu saja ke perairan Teluk Lampung tanpa melalui proses pengolahan limbah. Akibatnya, air laut yang masih bagus tercampur dengan limbah.

Langsung ke laut

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pesawaran Afrudin pada acara itu membenarkan, pencemaran berat itu semakin berat dengan banyaknya limbah rumah tangga ataupun industri di sekitar Bandar Lampung yang langsung membuang begitu saja limbahnya ke perairan Teluk Lampung.

Khusus untuk pencemaran tambak, ungkap Afrudin, ia membenarkan bahwa di wilayah Pesawaran sekarang ini semakin banyak tambak udang yang dibuka dan tidak memiliki unit pengolahan limbah. Terhitung dari perbatasan Bandar Lampung-Pesawaran mulai dari Kecamatan Padang Cermin hingga Kecamatan Punduh Pidada sebanyak 40-an pengusaha membuka usaha tambak di pesisir Pesawaran.

Terhitung lebih dari 300 hektar pesisir Pesawaran habis dan berubah menjadi tambak udang intensif dengan kepemilikan lahan antara 5 hingga 30 hektar.

”Para pengusaha tersebut bahkan membabat habis hutan bakau yang seharusnya menjadi penyaring perairan dengan tambak serta bisa menjadi area tumbuhnya ikan-ikan kecil atau kerang,” ujar Afrudin.

Menurut Afrudin, pencemaran terjadi saat petambak mulai memanen udang. Begitu udang terangkat, limbah cair dari kolam langsung dibuang ke laut tanpa melalui proses pengolahan. (HLN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Agustus 2008

Tajuk: Mengajak Tokoh Membangun Lampung

DALAM sebuah acara yang fenomenal, harian ini meluncurkan buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung, Rabu (20-8) malam. Buku ini bukan saja kado terindah ulang tahun ke-34 Lampung Post, melainkan juga merupakan persembahan terbaik harian ini bagi masyarakat Lampung pada momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 63 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI.

Buku ini memuat profil 100 tokoh terkemuka Lampung. Tim penulis bersama tim independen menilai para tokoh itu sebagai orang-orang terbaik Lampung pada masanya. Prestasi, reputasi, maupun dedikasi mereka patut diteladani. Apa yang mereka lakukan setidaknya memberi inspirasi bagi orang lain untuk melakukan hal-hal berprestasi.

Itulah mengapa rekam jejak para tokoh ini kami dokumentasikan dalam sebuah buku agar nila-nilai keteladanan mereka bisa menjadi referensi.

Lebih dari itu, berkaca dari 100 tokoh ini, kita kian menyadari betapa Lampung sesungguhnya memiliki banyak orang-orang hebat. Kita tidak hanya memiliki geografi yang strategis dan potensi alam luar biasa, tetapi juga mempunyai sumber daya manusia utama pada berbagai bidang.

Sekadar contoh, Lampung memiliki Sulaiman Rasyid (penulis fikih pertama), Tjindarboemi (tokoh pers), atau Bob Sadino dan Purdi E. Chandra yang sukses dalam wirausaha. Kita pun mempunyai Surono Danu, penemu benih padi unggul Sertani-1 atau Kiai Abdul Jamil yang berhasil mengembangkan bibit singkong "raksasa" Daarul Hidayah.

Pejabat tangguh di level nasional juga tidak kurang-kurang, seperti Sri Mulyani, Kausar Ali Saleh, Tursandi Alwi, Siti Nurbaya, dan Sapta Nirwandar; atau Aburizal Bakrie, Menko Kesra yang juga sukses dalam mengembangkan bisnis dan usaha; serta Ketua MA Bagir Manan.

Lampung pun memiliki para diplomat ulung yang punya segudang pengalaman dan akses sangat luas. Semisal Djafar Husin Assegaff, Saodah Batin Akuan, dan Nadjib Riphat Kesoema.

Dengan sederet nama-nama tokoh bereputasi hebat itu, kita sekali lagi perlu menyadari bahwa Lampung sesungguhnya banyak melahirkan sumber daya manusia brilian. Dengan potensi alam dan sumber daya manusia yang kaya itu, Lampung semestinya lebih maju atau paling tidak sejajar dengan perkembangan daerah lain. Tapi, faktanya, provinsi ini merupakan daerah termiskin kedua di Sumatera.

Mengapa bisa demikian? Tentu ada banyak faktor penyebab sehingga Lampung belum bisa terbebas dari kemiskinan. Meski demikian, kita harus selalu optimistis bahwa setiap persoalan pasti ada solusi. Satu solusinya diutarakan Presiden/CEO Media Group Surya Paloh saat me-launching buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung. Surya Paloh mengajak segenap tokoh Lampung untuk "turun gunung" dan bersama-sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat Lampung memberikan sumbangsih bagi percepatan pembangunan provinsi ini.

Bersatunya para tokoh tentulah sangat besar manfaatnya. Tenaga dan pemikiran mereka dibutuhkan untuk membantu mengatasi setiap persoalan yang terjadi di daerah ini. Dengan bekal pengalaman, pengetahuan, dan akses mereka yang begitu luas, mewujudkan Lampung menjadi daerah maju sudah pasti bukanlah mimpi, melainkan sebuah harapan yang realistis.

Dari pernyataan Surya tersirat pula makna bahwa salah satu penyebab lambannya pembangunan Lampung selama ini karena minimnya perhatian tokoh terhadap kampung halamannya. Kurangnya perhatian para tokoh tentu ada sebab. Dan, salah satunya adalah kurangnya apreasiasi terhadap mereka. Karena itulah mengapa harian ini menerbitkan buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung, sebagai bentuk apresiasi bagi para tokoh atas prestasi, reputasi, dan dedikasi mereka.

Di atas apresiasi itu, harian ini hendak mengajak para tokoh untuk terus mendedikasikan diri bagi kemajuan Lampung. Kita mengajak mereka untuk berada di depan dalam memajukan Lampung. Kita memberikan tempat seluas-luasnya kepada para tokoh untuk berkontribusi dalam pembangunan Bumi Ruwai Jurai. Sebab, kini Lampung sangat membutuhkan nilai-nilai keteladanan dan sentuhan dari orang-orang teladan.

Sumber: Lampung Post, Jumat, 22 Agustus 2008