August 10, 2008

Persona: Bukan untuk Cari Uang

PROF Dr Margono Slamet lulus dari Institut Pertanian Bogor—waktu itu masih bernaung di bawah Universitas Indonesia—tahun 1961 sebagai dokter hewan. Akan tetapi, pendidikan S-2 dan S-3 serta kemudian guru besarnya di bidang penyuluhan pembangunan.

Dalam buku Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan, dia menulis, banting setir yang dia lakukan tidak tanggung-tanggung. Dari ilmu eksakta kedokteran hewan yang ditekuni tujuh tahun ke bidang baru yang tergolong ilmu sosial. Namun, kegiatan sehari-hari mengajar ilmu penyuluhan dan kegiatan pengabdian masyarakat membuat Margono akrab dengan ilmu baru tersebut.

Sampai kini pun, meski telah pensiun, dia masih mengajar dan membimbing mahasiswa program S-3 di Institut Pertanian Bogor (IPB).

”Kalau tidak mengajar nanti saya malah cepat mati,” guraunya di rumahnya di kompleks perumahan Bogor Baru, Bogor, Jawa Barat. ”Honornya tergantung jumlah mahasiswa. Kalau jumlah mahasiswa ada 15 orang dalam satu kelas, honornya bisa Rp 1,5 juta per semester, 16 kali mengajar. Saya bukan orang yang bisa cari uang dengan mengajar, sehingga mengajar bukan untuk mencari uang.”

Sesekali mantan Dekan Fakultas Peternakan IPB dan kemudian Rektor Universitas Lampung tersebut masih diminta menjadi pembicara dalam seminar di luar kota. Namun, waktu luangnya selalu diisi dengan membaca buku berbagai topik, tetapi bukan novel.

”Sudah lewat masa saya membaca novel,” kata Margono yang namanya kerap ditulis HR Margono Slamet. ”Orang sering menuliskan nama saya dengan HR, itu singkatan dari haji dan raden karena nama saya di akta kelahiran memakai kata raden. Tetapi, saya sendiri tidak pernah menggunakan HR itu.”

Di antara berbagai bacaan, yang dia usahakan untuk tidak absen membaca setelah salat magrib adalah hadis Nabi Muhammad. ”Isi hadis lebih membumi karena menyangkut apa yang dilakukan Nabi dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Margono.

Dalam menjalani kehidupan, termasuk kehidupan beragama, Margono mengaku menerima keberagaman dan tidak menghendaki keseragaman. Agama, demikian kakek sembilan cucu dari empat putrinya itu, adalah urusan kepercayaan yang merupakan hak individu.

”Kalau membaca sejarah Islam, ada bermacam aliran dan mazhab. Yang justru saya pertanyakan, kenapa ada kelompok yang tidak mau menerima keberagaman. Tetapi, memang di mana-mana perbedaan agama potensial menimbulkan konflik,” kata suami Rumsari yang orang Bogor. (NMP)

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment