August 13, 2008

Sosok: Triyatno dan Pantai Pulau Pasir Putih

-- A Tomy Trinugroho

SUKATINAH terdiam. Anak bungsunya, Triyatno, meminta jalan-jalan ke tempat wisata Pantai Pulau Pasir Putih, Lampung. Tak ada jawaban yang bisa diberikan Sukatinah, selain menjelaskan, keluarga mereka tidak memiliki cukup uang untuk mengongkosi perjalanan Triyatno ke pantai itu.

Triyatno

Saya dulu ingin sekali main ke Pulau Pasir, tetapi tidak pernah kesampaian. Minta ke Ibu, tak dikasih karena enggak ada biaya,” kata lifter Triyatno, Selasa (12/8), sehari setelah mendapat medali perunggu Olimpiade Beijing 2008 di kelas 62 kilogram.

Sekitar tujuh sampai 10 tahun lalu, dari tempat tinggalnya di Metro, Lampung, perlu dana sekitar Rp 10.000 per orang untuk membayar bus dan tiket masuk ke tempat wisata Pantai Pulau Pasir Putih. Uang sejumlah itu tergolong besar bagi Triyatno dan keluarganya.

Penjelasan dari Sukatinah sangat dipahami Triyatno. Pemuda kelahiran Metro, 20 Desember 1987, ini tak pernah lagi meminta jalan-jalan ke Pantai Pulau Pasir Putih.

Namun, hasrat untuk pergi ke pantai itu tetap membara di dalam hatinya. Mungkin, tanpa dia sadari, hasrat ini pula yang menuntunnya menyusuri jalan berliku sampai menjadi atlet angkat besi dunia.

”Suatu hari saya bersama tiga teman melihat-lihat orang latihan angkat besi. Saya didekati pelatih dan dia bilang, besok kamu datang pakai sepatu dan ikut latihan, ya,” tuturnya.

Triyatno yang waktu itu berusia 14 tahun dan duduk di kelas II SMP 7 Metro memenuhi permintaan pelatih di sasana asuhan Yon Haryono tersebut. Ia datang keesokan harinya dengan memakai sepatu.

”Saya dibilangin, kalau jadi juara, bisa hidup enak dan bisa ke luar negeri,” kenangnya.

Iming-iming ke luar negeri memberi motivasi besar bagi Triyatno untuk terus menekuni angkat besi. Ia rupanya sangat ingin membalas kekecewaan tak bisa jalan-jalan ke Pantai Pulau Pasir Putih.

Babak baru hidup Triyatno dimulai. Kegiatan mencari ikan di sawah atau mengeringkan saluran kecil irigasi guna mendapatkan ikan mulai ditinggalkannya. Selain bersekolah, Triyatno sibuk berlatih mengangkat barbel.

Rekannya sesama lifter nasional, Eko Yuli Irawan, sudah bergabung dengan sasana yang sama sekitar satu bulan sebelumnya. Eko yang turun di kelas 56 kilogram juga meraih perunggu dalam Olimpiade Beijing 2008.

Rajin datang dan berlatih di sasana membuat Triyatno mendapat uang saku Rp 5.000 per minggu. Jumlahnya lalu meningkat menjadi Rp 7.000 per minggu.

Triyatno senang mendapat uang saku karena baru pertama kali itu ia memegang uang sendiri. ”Uang saku diberikan untuk membeli makanan tambahan seperti telur,” katanya.

Pada April 2002, Triyatno dan rekan-rekan pindah ke sasana di Parung Panjang, Jawa Barat. Ia meninggalkan keluarganya demi olahraga angkat besi. Pada tahun 2006, ia mengikuti kejuaraan dunia yunior dan berhasil meraih perunggu. Penggemar film laga, terutama yang dibintangi aktor Jackie Chan ini, meraih emas pada SEA Games 2007. Ia juga merebut perunggu pada kejuaraan dunia yunior 2007.

Membiayai orangtua

Setelah meraih perunggu pada Olimpiade Beijing 2008, Triyatno berharap bisa membiayai ayahnya, Suparno, dan ibunya, Sukatinah, menunaikan ibadah haji. ”Setelah SEA Games 2007, saya membantu orangtua untuk bisa umroh,” tuturnya.

Orangtuanya sampai sekarang bekerja sebagai petani. Lahan garapan mereka bertambah luas karena Triyatno kerap mengirimkan uang yang dipakai sang ibu untuk membeli tanah.

Setelah meraih perunggu Olimpiade Beijing 2008, Triyatno langsung mengabari orangtuanya. Namun, keduanya sudah tahu lebih dahulu karena mendapat kabar dari dua kakaknya yang bekerja di Malaysia.

”Orangtua bilang ke saya, syukur alhamdulillah mendapat juara tiga. Yang Kuasa sudah ngasih rezeki segitu. Syukur,” kata Triyatno menirukan ucapan orangtuanya.

Kakak tertua Triyatno, Sunandar, bekerja di Malaysia sejak enam tahun silam. Selama periode itu, dia tidak pernah lagi bertemu Sunandar.

Kakaknya yang nomor dua, Agus Sidik, baru bekerja di Malaysia sekitar dua tahun terakhir. ”Mereka bekerja di industri mebel di Malaysia,” ungkapnya.

Peluang

Triyatno meraih perunggu dengan angkatan total 298 kilogram. Angkatan snatch Triyatno adalah 135 kilogram, sedangkan angkatan clean and jerk-nya 163 kilogram.

Medali emas dikantongi lifter tuan rumah, Zhang Xiangxiang, dengan angkatan total 319 kilogram (snatch 143 kilogram dan clean and jerk 176 kilogram). Lifter Diego Salazar asal Kolombia mendapat perak dengan angkatan total 305 kilogram (snatch 138 kilogram dan clean and jerk 167 kilogram).

Kata Triyatno, dia sebenarnya tak terlalu berpeluang meraih medali dalam laga hari Senin (11/8) itu. Namun, kegagalan dua musuh beratnya membuat laga berakhir menggembirakan baginya.

Dua musuh utamanya adalah atlet Korea Selatan, Hunmin Ji, dan lifter Korea Utara, Yong Su Im. Angkatan snatch mereka lebih besar dibandingkan dengan angkatan snatch Triyatno.

Namun, Hunmin Ji dan Yong Su Im gagal total dalam melakukan angkatan clean and jerk. Hunmin Ji yang angkatan snatch-nya 142 kilogram tak bisa melakukan angkatan clean and jerk 161 kilogram hingga kesempatan ketiga atau terakhir.

Yong Su Im memiliki angkatan snatch 138 kilogram. Namun, ia gagal melakukan angkatan clean and jerk 168 kilogram hingga kesempatan ketiga. Yong Su Im dan Hunmin Ji akhirnya didiskualifikasi.

Begitu gembiranya Triyatno mendapat perunggu, sampai- sampai ia baru bisa tidur pukul 01.30 keesokan harinya. ”Saya enggak bisa tidur saking senangnya. Sampai jam setengah dua pagi, saya mainan laptop aja,” tuturnya.

Olimpiade Beijing 2008 kemungkinan akan menjadi turnamen terakhir yang diikutinya dengan turun di kelas 62 kilogram. Ia akan naik ke kelas 69 kilogram.

Sebagai atlet yang disibukkan dengan latihan, Triyatno tetap memendam keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

”Saya ingin ambil Sastra Inggris supaya bisa lancar omong (bahasa) Inggris. Setiap mengikuti turnamen internasional saya ingin ngobrol dengan atlet dari negara lain, tetapi enggak bisa ngomong (bahasa) Inggris,” kata Triyatno.

Ia mendengar kabar sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta menawarkan kesempatan kuliah bagi atlet berprestasi. Triyatno yang bercita-cita menjadi pegawai negeri berencana mengambil kesempatan ini.

Dia menuturkan, Indonesia sebaiknya melakukan persiapan sejak jauh-jauh hari sebelum mengikuti Olimpiade. Sebagai atlet, ia mengaku sangat membutuhkan kesempatan mengikuti turnamen internasional sebanyak mungkin guna mengasah kemampuannya menjelang Olimpiade.

”Apalagi jika kita juga bisa melakukan uji tanding di China. Negara ini memiliki banyak lifter bagus yang dapat menjadi lawan tanding berharga buat kita,” tutur Triyatno.

Sumber: Kompas, Rabu, 13 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment