-- Naim Emel Prahana*
BELUM lama ini penulis melakukan perjalanan "mudik" ke tanah kelahiran. Jika dicatat waktu tempuh antara pukul 06.00 dan 22.00, berarti perjalanan dapat ditempuh sekitar 16 jam, sudah termasuk istirahat beberapa kali. Perjalanan panjang itu melintasi kota, kampung, dusun, talang, kebun, sawah, pegunungan, sungai, kota, dan hutan, dengan berbagai pertemuan suku bangsa sepanjang jalan yang dilalui.
Kadang, kerinduan tidak cukup dituliskan dalam bait-bait lagu dan atau puisi maupun prosa. Tapi, lebih rindu jika menghadapi langsung dan nyata. Apa yang dilihat lalu dipikirkan, begitu juga yang tergambarkan tentang masa silam, sekarang dan akan datang.
Secara umum kesan penulis adalah lenyapnya tradisi dan budaya tradisional di hampir semua daerah dan masyarakat yang penulis lalui dalam perjalanan tersebut.
Saat melintas, terbacalah apa yang dikatakan budayawan dan antropolog Prof. Jaspen (asal Belanda) yang menetap di Australia. Tahun 1960, ia mengatakan jika 10 tahun ke depan generasi muda dari masyarakat di Sumatera bagian selatan tidak mempertahankan, melestarikan, dan memelihara budaya, budaya yang sangat agung akan lenyap.
Rentang tahun 1960 sampai 2008, berarti sudah lebih 48 tahun masa berjalan. Maknanya, sudah lewat 38 tahun sebagaimana dikatakan peneliti budaya tersebut. Kalau kita mengatakan "terbukti", mungkin banyak yang membantah. Biasanya mereka mengatakan bagaimana dengan seni suara, tari, seni ukir, dan tradisi lain yang sering dikemas saat ini. Itu membuktikan tradisi dan budaya tradisional masyarakat masih ada dan lengkap. Bukankan di hampir setiap kota ada gedung kesenian dan taman budaya?
Adalah betul kalau melihat hanya sisi format dan formalitas demikian. Masyarakat di Sumbagsel (Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Sumsel sendiri) sangat kaya nilai-nilai budaya dan tradisi agung. Yang ratusan tahun memberikan makna jati diri masyarakat di daerah-daerah tersebut.
Dari sejarah ideologi yang atheis, animisme, dan religius--khususnya agama Islam. Yang kita tahu orang Islam tidak menggandrungi nilai-nilai mitos, kulturistik atau dualistik perhambaan kepada Sang Pencipta semesta ini. Namun, agama masyarakatnya yang homogen disertai kepercayaan terhadap alam gaib yang melingkari kehidupan masyarakat. Akan tetapi, kepercayaan itu sebatas cerita lisan sebagai salah satu etika berkehidupan masyarakat.
Mereka tidak membuat bangunan khusus untuk makam-makam yang dianggap keramat, tidak melakukan sesajian di tempat-tempat keramat. Hanya cukup dikenang dan diingat serta sewaktu-waktu diceritakan kembali secara lisan. Cerita lisan itu pun sebagian besar diarahkan kepada edukasi (pendidikan dan pembinaan) kepada anak cucu atau generasi penerus.
Sopan santun, etika pergaulan masyarakat di Sumbagsel pada umumnya sama. Kuncinya saling menghormati dan menjaga komunitas suku-marga dari hal-hal yang sumbang kecil maupun sumbang besar seperti etika berpacaran, etika melaksanakan hajatan keluarga (perkawinan, khitanan, syukuran), puji puja kepada Tuhan atas keberhasilan, kesuksesan, dan musibah yang menimpa.
Masyarakat di Sumbagsel kini sedang dalam tradisi yang tiada berpedoman. Tidak pernah dikenal dalam kehidupan masyarakat, di mana saja masyarakatnya di daerah-daerah Sumbagsel yang mempunyai tradisi sebagai komunitas masyarakat yang gemar merampok, mencuri, mengganggu orang luar yang masuk daerahnya dan sebagainya perbuatan yang tergolong kriminal.
Sekarang, perbuatan-perbuatan itu sudah dianggap biasa dan para orang tua hanyalah "orang tua" yang tidak berdaya, apalagi memiliki kekuasaan dan kekuatan atas anak dan cucu mereka yang sudah bertindak di luar dari tradisi dan budaya serta garis pedoman kemasyarakatan mereka.
Mungkin ada perbedaan, walau tipis, antara "punah" dan "lenyap". Namun, pada kenyataannya antara punah dan lenyap mempunyai garis-garis yang lain.
Tentang tradisi dan budaya tradisionil masyarakat di Sumbagsel menurut hemat penulis adalah lenyap. Artinya, sudah tidak ada tempat lagi bagi tata krama, sopan satun, etika, dan akhlak mulia yang dipatuti dan dianut masyarakat selama ini. Boleh kita ambil sampel, misalnya perkara (masalah) hamil sebelum nikah, kawin cerai yang begitu mudah, serta kasus-kasus pemerkosaan yang dianggap hal biasa.
Jika sampai tahun 70-an, di tengah masyarakat Sumbagsel sangat tidak mengenal perbuatan zina, kemudian hamil dan dinikahi atau lebih buruk lagi hamil dan melahirkan anak tanpa sang bapak. Tradisi yang mengental lainnya, jika suami atau istri bercerai karena salah satunya meninggal dunia. Sangat jarang ditemui suami/istri yang menjanda/duda untuk merajut perkawinan baru. Kalaupun ada, itu sangatlah jarang dan sulit ditemui.
Kehidupan masyarakatnya sangat guyub (bersatu lahir dan batin), merasa satu dengan yang lainnya dalam satu keluarga besar. Bagi anggota masyarakat yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan sumbang besar, bisa juga akibatnya sumbang kecil. Biasanya masyarakat sebagai komunitas besar mengasingkan anggota masyarakat yang berbuat demikian.
Begitu pula tentang seseorang yang masuk penjara. Orang menyebutkan sebagai "orang buangan" alias anggota masyarakat yang pernah terbuang dari struktur kemasyarakatan mereka sendiri.
Standardisasi sopan santun atau adab kesopanan, etika, akhlak, dan etika pergaulan lebih banyak diletakkan pada nilai estetika religius dan tradisi yang turun-temurun. Kini, persoalannya sudah tidak ditemukan lagi. Kebiasaan buruk kini dianggap sebagai kebiasaan yang biasa saja, lumrah, dan wajar, tanpa sanksi sosial atau adat sebagaimana mestinya.
Ada beberapa faktor yang diindikasikan sebagai penyebab lenyapnya nilai tradisi dan budaya tradisional masyarakat tersebut. Di antaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa diimbangi keberadaan serta hakikat pendidikan rakyat. Pengaruh media televisi luar biasa kepada perubahan nilai kehidupan masyarakat di desa.
Tayangan-tayangan acara televisi yang umumnya menggunakan bahasa gaul dan busana pornografi hingga seksisme membuat anak-anak di desa menginginkan perilaku seperti itu. Misalnya diterjemahkan dalam komunikasi bahasa sehari-hari; anak-anak sudah biasa memanggil orang tuanya, paman, uwak atau orang yang lebih tua dan patut dihormati dengan sebutan "kamu" atau memanggil namanya. Padahal, itu sangat sensitif dan pasti menyinggung perasaan orang tua.
Tapi, itulah kejadian dan kenyataan yang dihadapi kini. Sebagaimana anak-anak gadis dengan mengenakan celana separo paha, kaus seperempat badan dengan mempertontonkan payudara, pinggang atau paha di dekat orang tua.
Perpaduan busana adat dalam perayaan-perayaan seperti resepsi pernikahan atau acara perangkat desa tidak lagi menjadi pusat perhatian, paduannya boleh apa saja. Itu menggambarkan bagaimana compang-campingnya persoalan tradisi dan budaya tradisional masyarakat dewasa ini. Bisa jadi, hal itu dilakukan karena pedoman atau ketentuan lisan itu sudah tidak dipahami lagi dalam konteks interaksi sosial masyarakat luas.
Anak-anak sekarang tidak lagi mengenal apa itu ziarah ke makam sebelum Hari Raya Idulfitri, tidak lagi mengenal penggunaan kain sarung, tidak lagi mengenal tata cara bercocok tanam, berkebun atau berladang. Mereka diombang-ambingkan pengaruh kehidupan kota, seperti yang mereka saksikan sepanjang hari di televisi atau di media massa jenis majalah-majalah.
Kehidupan praktis dan gratis tampaknya menjadi obsesi generasi muda di desa-desa. Demikian pula ketika mereka membangun rumah. Tidak ada desain rumah yang dibangun menonjolkan beberapa nilai seni ukir, yang selama ini menjadi andalan masyarakat ketika mereka membangun rumah. Mulai jendela, beranda (teras) rumah, dan tangga serta pintu-pintu di dalam rumah, biasanya penuh dengan ukiran yang mengandung nilai seni cukup tinggi.
Tulisan ini mungkin hanyalah sepercik persoalan tentang tradisi dan budaya tradisional yang saat ini tidak lagi menjadi etika masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu, teknologi yang mereka anggap sudah dikuasai hanyalah bayangan dan perasaan yang ingin mengatakan mereka juga bisa seperti orang kota.
* Naim Emel Prahana, Penyair, tinggal di Metro
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2008
No comments:
Post a Comment