October 20, 2013

[Fokus]: Dilema Pemecah Batu Bukit Camang

SEBENARNYA batu tempat Wawan (49), bukan nama sebenarnya, memijakkan kakinya agak labil. Ia merasakan bebatuan kapur Bukit Camang itu seperti bergerak. Tetapi ia acuh tak acuh. Ia mengulur sedikit lilitan tali yang mengikat pinggangnya di bebatuan yang ada di sisi kirinya untuk ditambatkan ke bebatuan lain yang lebih kuat.

Bukit Camang
Dari tepian tebing setinggi hampir 10 meter itu ia melihat lereng bukit sisi barat itu mulai runtuh. Ia mulai sedikit ragu, tapi berusaha tetap bekerja meski batu-batu sebesar buah semangka di atasnya sudah mulai runtuh.


Tiga meter di bawahnya agak ke kanan, adik sepupunya, Rahmat, sedang menancapkan tiga besi pahat ke sebuah batu kapur besar.

Beberapa kali ia menoleh ke arah Rahmat. Ia sempat mengingatkan Rahmat untuk pindah ke titik yang lain agar lebih aman. Tetapi Rahmat diam saja, ia terus saja menancapkan pahat-pahat besinya.

Baru beberapa kali palu godamnya memukul batu, dari sekira 15 meter atas kepalanya, ia melihat serombongan batu-batu besar runtuh menuju ke arahnya. Cepat-cepat Wawan menarik tali yang mengikat di pinggangnya agar lebih kendur. Ia menggapai batu besar yang menyembul keluar di dekatnya untuk berlindung, tapi terlambat. Jari telunjuk tangan kanannya hancur dihantam batu.

Saat meringis kesakitan, ia melihat dari arah bawah, beberapa rekan sesama penambang menjerit-jerit dan menunjuk ke arah sepupunya, Rahmat. Rahmat sudah tergeletak, kepalanya terhantam batu. Dengan merintih, Wawan memanggil-manggil Rahmat, tapi sepupunya itu tak bereaksi.

"Kepalanya pecah kena jatuhan batu," kata Wawan tanpa ekspresi saat menuturkan peristiwa tiga tahun lalu yang merenggut nyawa sepupunya itu.

Tujuh hari ia tak bekerja. Jari manisnya yang putus hanya ia obati dengan bubuk kopi agar darah tak terus keluar dan ditutup dengan selembar kain.

Selama tujuh hari itu, istri dan anak-anaknya hanya mengandalkan hidup dari uang sumbangan rukun kematian dari tetangga-tetangganya untuk almarhum adik sepupunya yang kebetulan tinggal bersamanya.

Ia tak tahu lagi harus bekerja apa, dengan jari yang sudah putus. Wawan akhirnya kembali menjadi penambang hingga kini. "Mau kerja apalagi, bisanya cuma mecah batu, kalau enggak kerja ya enggak makan," ujar Wawan.

Ia bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Seorang anaknya yang hanya tamatan sekolah menengah pertama ia ajak serta untuk bekerja mengangkut batu, agar upah yang diterima bisa cukup untuk dapur di rumah.

"Sehari kadang saya sama anak saya cuma dapat Rp50 ribu, itu juga harus dipotong untuk jatah mandor, paling cuma sisa Rp40 ribuan lah untuk dibawa pulang.?

Bekerja sejak pukul 06.00 hingga menjelang magrib, Wawan dan anaknya hanya dibekali istrinya dua botol air putih dan dua bungkus nasi berlauk ala kadarnya.

Ia mengaku kerap harus berebut lahan dengan sesama penambang lainnya atau menyogok beberapa batang rokok untuk mandor agar tak perlu memanjat tebing-tebing bukit yang terjal.

Sejak 2000-an Wawan sudah bergelut dengan bahaya, ia mengaku kepalanya kerap bocor tertimpa batu-batu kecil yang runtuh atau digigit tarantula yang bersembunyi di celah-celah bebatuan

Anaknya yang semula hanya bertugas mengangkut batu pun kini mulai ikut memecah batu di tebing bukit. Meski khawatir, Wawan mengaku bingung harus melarang anaknya.

Wawan dan penambang batu di Bukit Camang tak peduli meski harus menggadaikan nyawanya dengan batu-batuan besar yang sewaktu-waktu bisa runtuh dan meremukkan tubuh mereka.

"Di mana-mana tempat kerja pasti ada risikonya, tidur saja bisa mati, apalagi kerjaan kayak gini, ya sudah pasrah saja, yang penting dapat duit," ujar Wawan.  (M1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment