October 16, 2013

[Voting] Era Matinya Politik Primordial

KEINGINAN pasangan calon gubernur/wakil gubernur (cagub/cawagub) Lampung untuk melirik basis dari organisasi primordial gencar dilakukan. Namun, mereka tak sadar hasil survei bahwa sejak 2009 rakyat Indonesia tidak lagi suka dengan politik jenis tersebut.

Hal itu terbukti dari hasil hasil survei Lembaga Survei Independen (LSI). Sejak Pemilu 2009, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono menandai era baru politik Indonesia.


Masyarakat Indonesia tidak lagi memilih pemimpin berdasarkan kesukuan, agama, asal daerah, gender, maupun permintaan elite organisasi massa. "Politik primordial atau politik aliran telah mati dan yang membunuh adalah masyarakat pemilih itu sendiri," ujar salah seorang pendiri LSI, Saiful Mujani.

Berdasarkan penelitian (exit poll) yang dilakukan pada 8 Juli kemarin, pada hari pemungutan suara, LSI menemukan 1.948 pemilih yang berhasil diwawancarai tatap muka. Mereka yang telah memberikan suaranya di TPS tidak mempertimbangkan rasa primordialnya, melainkan pertimbangan perbaikan kondisi ekonom.

Hal ini, menurut Saiful, membuka pengetahuan baru, bahwa perilaku pemilih di Indonesia telah lebih rasional dalam membuat keputusan politik untuk memilih pemimpin.

Dalam exit poll yang dilakukan kemarin, LSI menggunakan populasi semua pemilih yang memberikan suara di TPS (nasional), ditetapkan 2.116 TPS, dipilih secara acak dari populasi TPS tersebut (proporsional). Sampel dipilih secara random, satu responden untuk satu TPS.

Dari 2.116 tersebut, ternyata LSI hanya berhasil mewawancarai 1.948 orang sebagai sampel responden. Wawancara tatap muka dilakukan pada pukul 09.00 kepada pemilih yang baru saja keluar dari TPS. Margin of error adalah 2,8% dengan tingkat kepercayaan 95%.

Hasilnya, LSI menemukan satu petunjuk menarik bahwa pilihan masyarakat terhadap capres-cawapres tidak terpengaruh oleh pernyataan elite ormas Islam yang menjadi afiliasinya.

Data menunjukkan SBY-Boediono mendapat dukungan mayoritas pemilih yang mengaku sebagai warga NU (64%) maupun Muhammadiyah (58%). Sementara Mega-Prabowo mendapat dukungan mayoritas kedua dari warga NU (26%) dan Muhammadiyah (24%). Adapun JK-Wiranto, mendapat dukungan paling minimal dari warga NU (10%) dan Muhammadiyah (18%).

Menurut Saiful, fakta ini menunjukkan kesenjangan antara elite NU dan Muhammadiyah dengan massa di bawahnya. Seperti yang tampak dalam pernyataan-pernyataan para elite kedua ormas tersebut di media, lanjut Saiful, JK mendapat dukungan dari para elite NU (misal: Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (misal: Buya Syafii Maarif).

Namun, kenyataannya, JK-Wiranto justru mendapat dukungan minoritas, justru SBY-Boediono yang mendapat dukungan mayoritas. "Ini seperti ada kesenjangan antara elite ormas tersebut terhadap massa di bawahnya. Untuk urusan politik, pernyataan para elite ormas itu ternyata tidak didengar oleh para massanya," kata Saiful. (U1)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment