October 6, 2013

Membongkar Penghancuran Buku

Oleh Padli Ramdan

Melarang sebuah buku untuk diterbitkan sama bahayanya dengan membakar buku.

BINCANG BUKU. Peserta Bincang Buku Lampost, Rabu (2/10) membahas buku
Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Baez.
LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMAY
PENGHANCURAN buku atau disebut bibliosida terjadi sejak zaman Yunani hingga kini. Termasuk di Indonesia, pemusnahan buku terjadi pada zaman Orde Baru. Seperti makhluk yang terus menyesuaikan keadaan, pemberangusan buku bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih halus.


Itulah pengantar bincang buku di kantor Lampung Post, Rabu (2/10). Perhelatan yang akan digelar rutin bulanan ini membahas buku fenomenal karya Fernando Baez Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Bincang buku dihadiri sekitar 50 peserta yang terdiri dari mahasiswa, jurnalis, dan akademisi.

Dosen IAIN Raden Inten, Damanhuri, dipercaya membedah sejarah librisida sebutan lain dari bibliosida. Daman, demikian dia biasa disapa, pun menelusuri dari beberapa literatur tentang sejarah penghancuran buku. Termasuk istilah bibliosida atau librisida.

Fernando Baez melakukan penelitian selama belasan tahun untuk melihat sejarah pemusnahan buku dari zaman dahulu, mulai dari Byzantium, Mesir, Yunani dan Romawi hingga saat ini. Fernando punya kemampuan berbahasa Arab sehingga mampu membaca manuskrip-manuskrip tentang sejarah penghancuran buku dari berbagai perpustakaan dunia.

Damanhuri menjelaskan penghancuran buku zaman dahulu dilakukan dengan membakar atau membuang buku ke laut dan sungai. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, penghancuran tidak hanya dilakukan dengan membakar atau membuang buku. Ada model penghancuran yang sama bahayanya dengan membakar buku. Misalnya melarang sebuah buku untuk diterbitkan.
Di Indonesia, pelarangan buku dilakukan oleh pemerintah Orde Baru atas beberapa karya penulis yang dianggap bertentangan dengan ideologi bangsa. Misalnya pelarangan buku-buku karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Pada masa Orba, buku karya Pramoedya sulit ditemukan, hanya beredar terbatas atau sembunyi-sembunyi. “Di Indonesia pelarangan terbit sebuah buku pernah dilakukan oleh pihak kejaksaan,” kata dia.

Menurut Damanhuri, cara lain pemusnahan buku adalah dengan melakukan penyensoran terhadap beberapa bagian dalam buku. Buku tetap dibiarkan terbit, tapi bagian tertentu yang dianggap membahayakan atau tidak sesuai dengan suara mayoritas disendor.

Ketika Presiden Soeharto masih berkuasa, buku-buku sejarah yang dipelajari di sekolah hingga perguruan tinggi adalah sejarah yang dibuat versi penguasa. Buku yang beredar berisi sejarah yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga berdampak peda penghapusan atau pengaburan fakta sejarah sebenarnya.

Pemusnahan buku, kata Damanhuri, tidak hanya dilakukan oleh penguasa atau negara. Otoritas keagamaan pun kerap melakukan pemusnahan terhadap buku-buku yang dinilai bertentangan dengan dogma agama. Termasuk pada masa kerajaan Islam, ada juga pembakaran buku atau penyensoran terhadap bagian buku yang dinilai melanggar kepentingan dominan.
Menurut dosen IAIN ini, pelarangan dan penyensoran buku yang dilakukan negara terhadap tidak kalah berbahayanya dengan pemusnahan. Penyensoran tersebut membuat beberapa bagian buku yang sebetulnya penting, tidak bisa dibaca publik.

Dia menilai swasensor yang dilakukan oleh penulis dan penerbit tidak kalah berbahayanya dengan pemusnahan buku. Ada penulis yang membuat kesepakatan dengan penerbit untuk menghilangkan beberapa bagian agar buku yang dibuatnya bisa terbit.

Dari semua kasus pemusnahan buku, muncul pertanyaan soal siapakah pihak yang berhak untuk melakukan penghancuran atau pelarangan buku. Termasuk pihak yang berhak menyensor atau menilai sebuah buku berbahaya sehingga dilarang terbit.

Mahasiswa IAIN Raden Intan Lampung, Abdullah Amar, menolak adanya pemusnahan atau pelarangan buku. Buku menjadi akses orang untuk belajar agar lebih pintas. Adanya pemusnahan buku akan menambah kebodohan.
Ali, salah satu peserta, menilai pemusnahan buku justru dilakukan kalangan terpelajar dan intelektual. Pemusnahan dari zaman kuno hingga sekarang, pelakunya adalah orang pintar yang punya pengetahuan luas. “Pertanyaannya, mengapa justru orang pintar yang melakukan pemusnahan buku?” tanya Ali.

Damanhuri juga mengatakan pembakaran memang dilakukan oleh intelektual. Para penguasa membutuhkan kalangan intelektual sebgai bentuk dukungan dalam memusnakan buku yang dianggap merugikan. Legitimasi dari para akademisi dan intelektual itulah yang terkadang mendukung negara dalam menyensor atau melarang penerbitan buku.

Namun, tidak jarang juga penghancuran buku dilakukan oleh kalangan bukan intelektual. Buku Franz Magnis Suseno yang mengkritik soal marxisme di-sweeping oleh FPI. Padahal mereka belum membaca dan tidak mengetahui isi buku tersebut.

Muncul fenomena baru terkait dengan buku. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi membuat keberadaan buku makin tergerus. Kemajuan teknologi yang memanjakan manusia membuat orang cenderung praktis. Kondisi ini membuat beberapa kalangan malas membaca buku dan lebih suka dengan media sosial. Damanhuri menilai perkembangan tekonologi yang makin meminggirkan keberadaan buku menjadi ancaman tersendiri. Apa lagi dikalangan mahasiswa yang makin kurang menyukai buku.

Buku menual memiliki pesaing yang dikenal dengan sebutan buku digital atau e-book. Beberapa pihak menyukai buku digital yang bisa bisa dibaca melalui gadget. Namun, masih ada beberapa orang yang lebih menyukai buku dalam bentuk konvensional. “Saya termasuk yang tidak suka buku digital. Buku manual lebih mudah dibaca dan bisa dicoret-coret,” kata dia. (P2)

padliramdan@lampungpost.co.id


Komentar

Yuli Nugrahani, bekerja di Keuskupan Tanjungkarang.
“Membaca buku adalah kemewahan tersendiri. Buku menjadi harta yang paling berharga. Sangat disayangkan jika ada pihak yang melakukan pemusnahan atau pelarangan buku. Apalagi yang bisa dinikmati jika tidak ada buku hilang karena dilarang.”

Ali Murthado, dosen IAIN.
“Pemusnahan buku dilakukan oleh kalangan terpelajar dan intelektual. Mereka yang mengetahui manfaat buku, justru melakukan pemusnahan karena menilai buku tersebut bertentangan.”

Akbar, BEM Unila.
“Tidak sepakat dengan adanya pemusnahan dan pelarangan buku. Hal itu membuat akses untuk belajar dan menimba ilmu makin terbatas.”

Aan Arizandi, mahasiswa IAIN Radin Intan Lampung.
“Fernando Baez telah menulis buku yang membuat kita tahu betapa mengerikannya pemberangusan buku sepanjang sejarah.”

Rizky Anugrah, Klub Buku Lampung.
“Mengikuti bincang buku ini membuat mata kita terbuka akan pentingnya membaca buku.”
    

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment