Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
KISAH Mahabharata dan perang Bharata tak habis-habisnya ditafsirkan orang. Kali ini perupa I Made Widya Diputra alias Si Lampung menafsirkan Mahabharata dalam karya tiga dimensinya dan ditaja di Gallery Semarang, Kota Lama, Semarang, dengan mengusung tema Carnival of Scenes. Pameran yang memajang 10 karya Si Lampung ini digelar dari penggal akhir Juni hingga Oktober 2013.
Nama Si Lampung di bumi kelahirannya Sang Bumi Ruwai Jurai kurang dikenal, bahkan di kalangan perupa sekali pun. Ia memang anak transmigran dari Bali, kelahiran Lampung, 10 Oktober 1981.
Konon julukan Si Lampung ketika Made masuk SMSR Denpasar. Mulai dari sanalah jagat seni rupa digelutinya. Si Lampung makin mantap melakoni kiprahnya di dunia seni rupa dengan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) pada 2000.
Pergaulannnya dengan para perupa dan kosmologi budaya mendukungnya membuat Si Lampung makin intens menggeluti jagat seni rupa yang jadi pilihannya. Si Lampung tak hanya menumbuhkembangkan talenta dan kreativitas di kampusnya, tetapi dia juga bergabung di Sanggar Dewata Indonesia. Selain itu, bersama teman-temannya mendirikan Kakul sebagai ruang kreativitas bersama. Si Lampung bersama SDI dan Kakul sering menggelar pameran di berbagai alternatif art space di Yogyakarta.
Wawasan berkesenian Lampung makin berkembang karena sering berinteraksi dengan sejumlah seniman Yogyakarta yang bernas, seperti Suwage, Ugo Untoro, Titarubi, Eko Nugroho, dan Samuel Indratma.
Setamat dari ISI Yogyakarta pada 2007, Si Lampung makin eksis menapak di panggung seni rupa. The Best Sculpture Dies Natalis XXIII ISI Yogyakarta ini terus berkiprah meramaikan dunia seni rupa Indonesia. Pemenang Academy Award On Young Artist Category dari ISI Yogyakarta ini berpameran di berbagai kota, baik pameran bersama maupun tunggal, antara lain di Yogyakarta, Magelang, Bandung, Jakarta, Bali, Surabaya, dan Singapura.
Kali ini peraih 25 Best Art Work, Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) ini membabar karya tiga dimensi, baik yang berdiri sebagai patung mau pun instalatif dalam pameran tunggalnya.
Ia menyodorkan serial adegan yang bersumber pada kisah lawas epos Mahabharata. Lampung mengangkat kisah dari pewayangan karena menurutnya masih relevan untuk menggambarkan berbagai persoalan kehidupan manusia pada era kini.
Kisah Mahabharata dan Bharatayudha hanya dijadikan pijakan tema dari karnaval adegan yang disajikan. Karya-karya tiga dimensi yang disodorkan bukan sekadar menggambarkan adegan-adegan dalam pakem wayang yang mengisahkan Mahabharata dan peperangan Bharatayudha di padang kurusetra, melainkan membuat tafsir visual dengan diksi pilihannya yang mempribadi.
Jadi jangan harap Anda menemukan sosok tokoh pewayangan pada karya-karya yang ditaja Lampung di ruang pameran. Tak ada figur-figur dalam pewayangan yang bisa ditemui seperti dalam pakeliran atau komik-komik pewayangan, seperti Arjuna, Kresa, Bisma, Sengkuni, Dursasana, Drupadi, dan Karna.
Si Lampung hanya meminjam adegan dalam kisah Mahabharata sebagai latar. Kemudian ia dengan bebas menginterprestasikan secara visual melalui pilihan diksi visualnya untuk menggambarkan figur yang ada. Pinjam istilah kurator Bambang ?Toko? Witjaksono bisa dikatakan figur anonim.
Figur tak hanya bisa dimaknai atau merujuk pada salah satu tokoh dalam pewayangan tetapi menjadi multitafsir, bisa siapa saja termasuk Anda, Saya atau Siapa pun.
Karya-karya Lampung dalam Carnival of Scenes ini sangat kontemporer, tetapi tetap dalam balutan tradisi yang kuat. Lampung mencoba mengolah material-material berupa besi, kayu, resin, silikon, dan kulit dengan telaten dan serius.
Sosok Lampung sendiri, menurut Chris Dharmawan, pemilik Semarang Gallery, merupakan contoh perupa Bali sesudah Made Wianta dan Nyoman Masriadi yang bisa lepas dari kungkungan kultur Bali untuk bisa dengan diksi visual global.
Simak karya pertamanya bertajuk The Art of War, yang menyajikan dua sosok hitam dan putih yang masing-masing menyandang pedang sedang bermain catur. Tetapi yang ada di depannya onggokan pion-pion hitam putih bercampur dan bertindihan.
Ini bisa saja menggambarkan perang Bharatayudha. Namun, bisa saja esensi yang bisa dipetik peperangan antara kejahatan dan kebaikan hingga kini tak pernah berakhir dan yang jadi korban adalah rakyat kecil. Perang terkadang hanya akibat keserakahan segelintir orang dan pion-pion yang jadi korbannya.
Karya kedua, No One Escafe The Death I Ride, bersumber pada kisah Bisma gugur. Bisma dalam perang Bharatayudha hanya bisa mati, jika terpanah oleh seorang wanita. Srikandi yang panahnya sudah dirasuki Dewi Amba jadi eksekutor kematian Bisma.
Meski demikian, tubuh Bisma tak sampai roboh ke bumi karena tersangga panah-panah yang lebih dulu menghujamnya. Ini bisa menggambarkan betapa pun hebatnya manusia pasti bakal berakhir pada takdir. Di atas langit ada langit. Begitu hikmah yang bisa dipetik pada sosok visual yang telentang disangga panah yang disajikan Lampung.
Final Warning, Everybody Stand Aside, visual berupa alat transportasi beroda empat yang dinaiki sebuah sosok. Bisa saja pada karya ketiga Lampung ini, orang berasosiasi tokoh ini penunggang kereta dalam pewayangan. Tetapi orang juga bisa saja menafsirkan dan menggambarkan relasi kendaraan dan yang menaikinya. Tafsir kekiniannya, kendaraan menunjukkan kelas pemiliknya.
Pada karya keempat, mevisualkan sesosok figur dengan busur. Bisa menggambarkan tentang kesatria yang piawai memanah, yaitu Arjuna dan tentunya juga ada Karna. Untuk kekinian bisa saja ditafsirkan terkadang manusia diperbudak oleh alat. Padahal alat diciptakan untuk mempermudah manusia. Ingat penyalahgunaan senjata api atau penyalahgunaan dunia IT untuk kejahatan.
Karya kelima instalasi, Five Element of Power, menggambarkan lima sosok yang bergandeng tangan. Orang bisa saja menafsirkan sosok Pandawa Lima yang menyatunya lima kekuatan Pandawa dalam perang Bharatayudha. Tetapi bisa saja lima elemen kehidupan berupa air, kayu, api, tanah, logam, dan air.
Hatred, Torment and Paint are My Strenghts, karya keenam ini memvisualkan sesosok yang tampak dengan susah mendorong troli yang bermuatan benda-benda yang tumpang tindih. Adegan bisa saja sanepo sosok Sengkuni yang kelelahan mengasuh Kurawa demi visi-misinya dalam perang Bharatayudha. Tetapi bisa juga menggambarkan berbagai upaya orang untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara seperti yang dilakukan Sengkuni sebagai penghasut alias provokator sehingga Kurawa mengobarkan kesumat menjadi perang saudara yang merugikan.
Karya ketujuh, Shepherd in Hatred, senada dengan karya keenam menggambarkan sosok pengembala yang tampak begitu berat mengendalikan binatang yang digembalakan. Ini kalau dalam pakeliran Mahabharata merujuk pada sosok Sengkuni yang kewalahan ?mengatur? Kurawa. Dalam kekinian bisa menjadi satir tentang dunia kekuasaan. Siapa mengendalikan siapa?
Untuk karya kedelapan, Rinsing with The Bloood of My Enemy, Lampung merujuk pada kisah Drupadi keramas darah Dursasana. Drupadi yang pernah dipermalukan Dursasana dan akan ditelanjangi. Drupadi pun bersumpah tidak akan bergelung lagi, kalau belum keramas dengan darah Dursasana. Ini bisa saja sebagai simbolisasi bahwa rambut adalah mahkota sehingga hingga kini wanita akan mempertahankan agar rambutnya tetap indah dengan berbagai cara.
Fortitude merupakan karya Lampung kesembilan menggambarkan sosok wanita yang membopong buket bunga. Ini menggambarkan sosok Drupadi dalam kisah Pandawa Dadu. Penampilan Drupadi yang anggun inilah yang menimbulkan decak kagum para lelaki termasuk Dursasana yang akhirnya tak kuat menahan syahwatnya dan menarik kain Drupadi. Visual ini bisa saja mengingatkan para wanita untuk mengugemi Ajining diri dumunung ing busono.
Karya kesepuluh yang merupakan pamungkas bertajuk A Hundred Greedy Person. Begitu melihat visual instalasi ini asosiasi kita akan terbang ke Kurawa. Pada papan pakeliran berderet 100 benda dari silikon yang dibungkus kulit dengan berbagai bentuk. Tentunya ini orang bisa saja menafsirkan kelompok manusia yang mempunyai bermacam sifat dan perilaku.
Dari kesepuluh karya Lampung ini kita melihat berbagai adegan yang multitafsir dan pemaknaan. Semua itu bisa kita jadikan cermin agar kita bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang jahat. Agar hidup kita lebih bermakna dan berarti.
Christian Heru Cahyo Saputro, pengamat seni rupa, bermukim di Tembalang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
KISAH Mahabharata dan perang Bharata tak habis-habisnya ditafsirkan orang. Kali ini perupa I Made Widya Diputra alias Si Lampung menafsirkan Mahabharata dalam karya tiga dimensinya dan ditaja di Gallery Semarang, Kota Lama, Semarang, dengan mengusung tema Carnival of Scenes. Pameran yang memajang 10 karya Si Lampung ini digelar dari penggal akhir Juni hingga Oktober 2013.
Nama Si Lampung di bumi kelahirannya Sang Bumi Ruwai Jurai kurang dikenal, bahkan di kalangan perupa sekali pun. Ia memang anak transmigran dari Bali, kelahiran Lampung, 10 Oktober 1981.
Konon julukan Si Lampung ketika Made masuk SMSR Denpasar. Mulai dari sanalah jagat seni rupa digelutinya. Si Lampung makin mantap melakoni kiprahnya di dunia seni rupa dengan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) pada 2000.
Pergaulannnya dengan para perupa dan kosmologi budaya mendukungnya membuat Si Lampung makin intens menggeluti jagat seni rupa yang jadi pilihannya. Si Lampung tak hanya menumbuhkembangkan talenta dan kreativitas di kampusnya, tetapi dia juga bergabung di Sanggar Dewata Indonesia. Selain itu, bersama teman-temannya mendirikan Kakul sebagai ruang kreativitas bersama. Si Lampung bersama SDI dan Kakul sering menggelar pameran di berbagai alternatif art space di Yogyakarta.
Wawasan berkesenian Lampung makin berkembang karena sering berinteraksi dengan sejumlah seniman Yogyakarta yang bernas, seperti Suwage, Ugo Untoro, Titarubi, Eko Nugroho, dan Samuel Indratma.
Setamat dari ISI Yogyakarta pada 2007, Si Lampung makin eksis menapak di panggung seni rupa. The Best Sculpture Dies Natalis XXIII ISI Yogyakarta ini terus berkiprah meramaikan dunia seni rupa Indonesia. Pemenang Academy Award On Young Artist Category dari ISI Yogyakarta ini berpameran di berbagai kota, baik pameran bersama maupun tunggal, antara lain di Yogyakarta, Magelang, Bandung, Jakarta, Bali, Surabaya, dan Singapura.
Kali ini peraih 25 Best Art Work, Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) ini membabar karya tiga dimensi, baik yang berdiri sebagai patung mau pun instalatif dalam pameran tunggalnya.
Ia menyodorkan serial adegan yang bersumber pada kisah lawas epos Mahabharata. Lampung mengangkat kisah dari pewayangan karena menurutnya masih relevan untuk menggambarkan berbagai persoalan kehidupan manusia pada era kini.
Kisah Mahabharata dan Bharatayudha hanya dijadikan pijakan tema dari karnaval adegan yang disajikan. Karya-karya tiga dimensi yang disodorkan bukan sekadar menggambarkan adegan-adegan dalam pakem wayang yang mengisahkan Mahabharata dan peperangan Bharatayudha di padang kurusetra, melainkan membuat tafsir visual dengan diksi pilihannya yang mempribadi.
Jadi jangan harap Anda menemukan sosok tokoh pewayangan pada karya-karya yang ditaja Lampung di ruang pameran. Tak ada figur-figur dalam pewayangan yang bisa ditemui seperti dalam pakeliran atau komik-komik pewayangan, seperti Arjuna, Kresa, Bisma, Sengkuni, Dursasana, Drupadi, dan Karna.
Si Lampung hanya meminjam adegan dalam kisah Mahabharata sebagai latar. Kemudian ia dengan bebas menginterprestasikan secara visual melalui pilihan diksi visualnya untuk menggambarkan figur yang ada. Pinjam istilah kurator Bambang ?Toko? Witjaksono bisa dikatakan figur anonim.
Figur tak hanya bisa dimaknai atau merujuk pada salah satu tokoh dalam pewayangan tetapi menjadi multitafsir, bisa siapa saja termasuk Anda, Saya atau Siapa pun.
Karya-karya Lampung dalam Carnival of Scenes ini sangat kontemporer, tetapi tetap dalam balutan tradisi yang kuat. Lampung mencoba mengolah material-material berupa besi, kayu, resin, silikon, dan kulit dengan telaten dan serius.
Sosok Lampung sendiri, menurut Chris Dharmawan, pemilik Semarang Gallery, merupakan contoh perupa Bali sesudah Made Wianta dan Nyoman Masriadi yang bisa lepas dari kungkungan kultur Bali untuk bisa dengan diksi visual global.
Simak karya pertamanya bertajuk The Art of War, yang menyajikan dua sosok hitam dan putih yang masing-masing menyandang pedang sedang bermain catur. Tetapi yang ada di depannya onggokan pion-pion hitam putih bercampur dan bertindihan.
Ini bisa saja menggambarkan perang Bharatayudha. Namun, bisa saja esensi yang bisa dipetik peperangan antara kejahatan dan kebaikan hingga kini tak pernah berakhir dan yang jadi korban adalah rakyat kecil. Perang terkadang hanya akibat keserakahan segelintir orang dan pion-pion yang jadi korbannya.
Karya kedua, No One Escafe The Death I Ride, bersumber pada kisah Bisma gugur. Bisma dalam perang Bharatayudha hanya bisa mati, jika terpanah oleh seorang wanita. Srikandi yang panahnya sudah dirasuki Dewi Amba jadi eksekutor kematian Bisma.
Meski demikian, tubuh Bisma tak sampai roboh ke bumi karena tersangga panah-panah yang lebih dulu menghujamnya. Ini bisa menggambarkan betapa pun hebatnya manusia pasti bakal berakhir pada takdir. Di atas langit ada langit. Begitu hikmah yang bisa dipetik pada sosok visual yang telentang disangga panah yang disajikan Lampung.
Final Warning, Everybody Stand Aside, visual berupa alat transportasi beroda empat yang dinaiki sebuah sosok. Bisa saja pada karya ketiga Lampung ini, orang berasosiasi tokoh ini penunggang kereta dalam pewayangan. Tetapi orang juga bisa saja menafsirkan dan menggambarkan relasi kendaraan dan yang menaikinya. Tafsir kekiniannya, kendaraan menunjukkan kelas pemiliknya.
Pada karya keempat, mevisualkan sesosok figur dengan busur. Bisa menggambarkan tentang kesatria yang piawai memanah, yaitu Arjuna dan tentunya juga ada Karna. Untuk kekinian bisa saja ditafsirkan terkadang manusia diperbudak oleh alat. Padahal alat diciptakan untuk mempermudah manusia. Ingat penyalahgunaan senjata api atau penyalahgunaan dunia IT untuk kejahatan.
Karya kelima instalasi, Five Element of Power, menggambarkan lima sosok yang bergandeng tangan. Orang bisa saja menafsirkan sosok Pandawa Lima yang menyatunya lima kekuatan Pandawa dalam perang Bharatayudha. Tetapi bisa saja lima elemen kehidupan berupa air, kayu, api, tanah, logam, dan air.
Hatred, Torment and Paint are My Strenghts, karya keenam ini memvisualkan sesosok yang tampak dengan susah mendorong troli yang bermuatan benda-benda yang tumpang tindih. Adegan bisa saja sanepo sosok Sengkuni yang kelelahan mengasuh Kurawa demi visi-misinya dalam perang Bharatayudha. Tetapi bisa juga menggambarkan berbagai upaya orang untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara seperti yang dilakukan Sengkuni sebagai penghasut alias provokator sehingga Kurawa mengobarkan kesumat menjadi perang saudara yang merugikan.
Karya ketujuh, Shepherd in Hatred, senada dengan karya keenam menggambarkan sosok pengembala yang tampak begitu berat mengendalikan binatang yang digembalakan. Ini kalau dalam pakeliran Mahabharata merujuk pada sosok Sengkuni yang kewalahan ?mengatur? Kurawa. Dalam kekinian bisa menjadi satir tentang dunia kekuasaan. Siapa mengendalikan siapa?
Untuk karya kedelapan, Rinsing with The Bloood of My Enemy, Lampung merujuk pada kisah Drupadi keramas darah Dursasana. Drupadi yang pernah dipermalukan Dursasana dan akan ditelanjangi. Drupadi pun bersumpah tidak akan bergelung lagi, kalau belum keramas dengan darah Dursasana. Ini bisa saja sebagai simbolisasi bahwa rambut adalah mahkota sehingga hingga kini wanita akan mempertahankan agar rambutnya tetap indah dengan berbagai cara.
Fortitude merupakan karya Lampung kesembilan menggambarkan sosok wanita yang membopong buket bunga. Ini menggambarkan sosok Drupadi dalam kisah Pandawa Dadu. Penampilan Drupadi yang anggun inilah yang menimbulkan decak kagum para lelaki termasuk Dursasana yang akhirnya tak kuat menahan syahwatnya dan menarik kain Drupadi. Visual ini bisa saja mengingatkan para wanita untuk mengugemi Ajining diri dumunung ing busono.
Karya kesepuluh yang merupakan pamungkas bertajuk A Hundred Greedy Person. Begitu melihat visual instalasi ini asosiasi kita akan terbang ke Kurawa. Pada papan pakeliran berderet 100 benda dari silikon yang dibungkus kulit dengan berbagai bentuk. Tentunya ini orang bisa saja menafsirkan kelompok manusia yang mempunyai bermacam sifat dan perilaku.
Dari kesepuluh karya Lampung ini kita melihat berbagai adegan yang multitafsir dan pemaknaan. Semua itu bisa kita jadikan cermin agar kita bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang jahat. Agar hidup kita lebih bermakna dan berarti.
Christian Heru Cahyo Saputro, pengamat seni rupa, bermukim di Tembalang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment