February 21, 2016

Les Manuscrits Lampongs

Oleh Arman AZ


BARON Sloet van de Beele menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda tahun 1861 sampai 1866. Pada era itu, dia mengoleksi sejumlah naskah beraksara Lampung. Naskah yang ditulis di kulit kayu, kulit hewan, rotan, tanduk, dan kertas itu berasal dari beberapa tempat, seperti Krui dan Menggala. Oleh Baron, sekitar 40 naskah itu diserahkan kepada Van der Tuuk untuk  diteliti dan ditransliterasi ke bahasa Prancis. Hasil telaah Van der Tuuk atas permintaan Baron itu kemudian menjadi manuskrip berjudul Les Manuscrits Lampongs.

Dalam buku Khazanah Naskah, Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia, karya Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman, terbitan YOI-Ecole Francaise d’Extreme-Orient (1999) diterakan bahwa ”Sampai sekarang ini, buku tesebut merupakan sumber utama tentang tulisan Lampung”. Istilah “sumber utama” ini  nampaknya terburu-buru, jika tidak ingin disebut keliru, karena dari penelusuran data, sampai saat ini belum ditemukan hasil kajian atau hasil penelitian mengenai isi Les Manuscrits Lampongs.

February 17, 2016

Balada Kutukan dari Lampung Tempo Doeloe

Oleh Endri Kalianda


Masih lebih lamakah kami kau tindas?
Karena uang hatimu telah menjadi kebal,
tuli terhadap tuntutan kedadilan dan akal,
menantang hati lembut bergelora kekerasan.

BAIT pertama pada sajak Balada Kutukan yang berjudul Hari Terakhir Orang Belanda di Pulau Jawa itu terjemahan Chairil Anwar dan dimuat dalam buku HB. Jassin.

Sajak yang menjadi penanda, ada seorang penjajah yang mengakui, darahnya mendidih dan memberontak karena menyaksikan penderitaan rakyat yang disaksikan, ditindas oleh bangsanya.

February 9, 2016

Soal Tetasan Telur MDMD

Oleh Endri  Y


BUKU sajak berbahasa Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi  (MDMD) yang diterbitkan BE Press pada 2007 lalu, dianggap sebagai upaya mengerami telur kebudayaan. Menetaskan anak pinak kekayaan seni budaya Lampung.

Tidak ada yang meragukan kemampuan dan konsentrasi Udo Z Karzi. Bisa disebut, satu-satunya pemikir kebudayaan Lampung yang langsung menggelutinya dengan karya-karya. Penuh literasi dan mengungkap sederet fakta kontekstual lewat kontemplasi. Baik itu pada sejumlah esai, tulisan pop, artikel maupun puisi. Satu-satunya penulis yang memelopori lahirnya sajak-sajak berbahasa Lampung. Lewat buku Momentum, 2002 dan MDMD.


February 4, 2016

Tiga Prodi untuk FIB

Oleh Eko Sugiarto


ANGIN surga” kembali berembus dari Universitas Lampung. Dalam tulisan berjudul “Unila Matangkan Fakultas Ilmu Budaya” (www.harianfajarsumatera.com), disebutkan bahwa Unila akan mewujudkan Fakultas Ilmu Budaya dan dua fakutas lain, yaitu Fakultas Teknologi Pertanian serta Fakultas Kemaritiman dan Perikanan.

Lagi-lagi, penulis menangkap sebuah keraguan yang secara tidak langsung muncul justru dari pemangku kepentingan, yaitu apakah adanya fakultas tersebut (dalam konteks tulisan ini FIB) sesuai dengan kebutuhan untuk pembangunan?

Membaca NMD dengan Strata Norma



Oleh Endri Y


BERUNTUNG, file berbentuk PDF yang sedang menuju percetakan  berjudul Sehimpun Sajak; November Musim Dingin (selanjut ditulis: NMD) karya Isbedy Stiawan ZS yang terbit awal tahun 2016, saya berkesempatan membacanya lebih dulu.

Akan tetapi, sebagai orang konvensional meski semenarik apa pun sebuah buku dalam format digital, tidak semaksimal ketika membacanya lewat versi cetak. Terlebih puisi. Sebab, sejak kecil saya diajari guru bahasa untuk menemukan estetika dan apa itu makna licentia poetica, atau leksikal dan semantis sintaksis, dimana diperlukan secara pelan membacanya, sambil tengkurap atau terlentang di kamar sebelum tidur. Sesekali terpejam dan merenungkan pemaknaan larik, itu semua hanya bisa dibaca lewat buku cetak. Jika di layar monitor, saya selalu sekadar melihat rentetan kalimat yang terkadang, tak berdampak apa-apa.