Oleh Eko Sugiarto
“ANGIN surga” kembali berembus dari Universitas Lampung. Dalam tulisan
berjudul “Unila Matangkan Fakultas Ilmu Budaya” (www.harianfajarsumatera.com), disebutkan
bahwa Unila akan mewujudkan Fakultas Ilmu Budaya dan dua fakutas lain, yaitu
Fakultas Teknologi Pertanian serta Fakultas Kemaritiman dan Perikanan.
Lagi-lagi, penulis menangkap sebuah keraguan yang secara tidak
langsung muncul justru dari pemangku kepentingan, yaitu apakah adanya fakultas
tersebut (dalam konteks tulisan ini FIB) sesuai dengan kebutuhan untuk
pembangunan?
Sebagaimana sudah diungkapkan oleh berbagai kalangan (termasuk
melalui petisi pada Maret 2014), saya juga berpendapat bahwa pembukaan FIB di
Unila memang diperlukan. Berdasarkan masukan dari berbagai kalangan tersebut,
setidaknya ada tiga program studi yang mendesak untuk dibuka jika nanti FIB
benar-benar terwujud.
Pertama, Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung
(murni/nonkependidikan). Program studi ini dibutuhkan sebagai salah satu upaya
penyelamatan bahasa dan sastra Lampung dari kemungkinan punah di kelak kemudian
hari. Bahasa Lampung merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia dengan
penutur yang relatif banyak. Sebuah artikel yang dimuat situs web kompas.com
pada pertengahan Juni 2015 menyebutkan bahwa ada 14 (lagi) bahasa daerah di
Indonesia yang dinyatakan punah. Dalam tulisan tersebut juga dinyatakan bahwa dari
726 bahasa daerah yang ada di Indonesia (versi Unesco 640 bahasa daerah), hanya
13 bahasa daerah yang memiliki penutur di atas satu juta orang. Tiga belas
bahasa daerah tersebut adalah bahasa Minangkabau, Batak, Rejang, Lampung,
Sunda, Makassar, Aceh, Jawa, Bali, Sasak, Bugis, Madura, dan Melayu. Senyampang
masih memiliki penutur yang relatif banyak, kajian terhadap bahasa Lampung
seyogianya terus digencarkan sehingga diharapkan bahasa ini bisa tetap lestari,
tidak ikut punah seperti beberapa bahasa daerah lain. Oleh karena itu, Program
Studi Bahasa dan Sastra Lampung diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap
upaya pelestarian bahasa dan sastra Lampung.
Kedua, Program Studi Antropologi Budaya. Lampung multietnis,
terdiri atas berbagai suku bangsa. Dalam masyarakat (Lampung yang) seperti ini, pemahaman lintas budaya (dalam hal ini antarsuku) yang
ada (di
Lampung)
sangat diperlukan. Jika berbagai suku yang ada di Lampung saling memahami
antara yang satu dengan yang lain, citra Lampung sebagai “Indonesia mini” bisa
benar-benar terwujud, bukan sebatas slogan. Pemahaman lintas budaya inilah yang
akan memperkuat persatuan di antara masyarakat Lampung yang multietnis tersebut
sehingga bisa dijadikan sebagai modal untuk membangun Lampung secara
bersama-sama. Oleh karena itu, Program Studi Antropologi Budaya diharapkan bisa
memberi kontribusi terhadap upaya pemahaman lintas budaya di Lampung yang akan
menjadikan masyarakat Lampung memiliki rasa persatuan yang kuat.
Ketiga, Program Studi Pariwisata. Potensi Lampung di sektor
pariwisata sangat luar biasa, khususnya wisata berbasis alam dan budaya. Sementara
itu, perguruan tinggi yang mencetak sumber daya manusia di bidang pariwisata masih
sangat kurang. Di situs web Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia
(www.hildiktipari.org), hanya ada satu perguruan tinggi swasta di Lampung yang
menjadi anggota. Pertanyaan penulis adalah apakah memang di Lampung hanya ada
satu perguruan tinggi yang memiliki prodi pariwisata atau sebenarnya sudah ada
perguruan tinggi lain di Lampung yang sudah membuka prodi pariwisata tetapi
belum bergabung dengan Hildiktipari? Wallahu ‘alam. Satu hal yang pasti,
Program Studi Pariwisata adalah salah satu program studi yang saat ini (di berbagai
perguruan tinggi di Jawa) peminatnya membeludak karena memang kebutuhan terhadap
lulusan program studi ini masih sangat dibutuhkan untuk sekian waktu ke depan.
Padahal, di Lampung masih sangat jarang perguruan tinggi yang membuka prodi
pawiwisata.
Tiga prodi di atas menurut penulis merupakan prodi yang layak
dipertimbangkan untuk dibuka. Jika selama ini muncul keraguan apakah pembukaan
FIB sesuai dengan kebutuhan untuk pembangunan, ketiga prodi tersebut mungkin
bisa menjawab keraguan tersebut. Untuk prodi yang lain, mungkin bisa menyusul. n
Eko
Sugiarto, Lulusan
Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Magister Kajian Pariwisata UGM, Dosen di Sekolah Tinggi
Pariwisata Ambarrukmo, Yogyakarta
Fajar Sumatera, Kamis, 4
Februari 2016
saya sangat sengan , maju terus Lampung
ReplyDelete