Oleh
Endri Y
BERUNTUNG, file berbentuk PDF yang sedang menuju percetakan berjudul Sehimpun Sajak; November Musim Dingin (selanjut ditulis: NMD) karya Isbedy Stiawan ZS yang terbit awal tahun 2016, saya
berkesempatan membacanya lebih dulu.
Akan tetapi, sebagai orang konvensional
meski semenarik apa pun sebuah buku dalam format digital, tidak semaksimal
ketika membacanya lewat versi cetak. Terlebih puisi. Sebab, sejak kecil saya
diajari guru bahasa untuk menemukan estetika dan apa itu makna licentia poetica, atau leksikal dan semantis sintaksis, dimana diperlukan secara pelan
membacanya, sambil tengkurap atau terlentang di kamar sebelum tidur. Sesekali
terpejam dan merenungkan pemaknaan larik, itu semua hanya bisa dibaca lewat
buku cetak. Jika di layar monitor, saya selalu sekadar melihat rentetan kalimat
yang terkadang, tak berdampak apa-apa.
***
Menjaga kenikmatan sebagai pembaca, saya
benar-benar menemukan apa itu yang dinamakan rima, diksi, dan larik-larik yang
digubah oleh Isbedy Stiawan ZS dalam buku NMD.
Meski demikian, beberapa pertanyaan
dasar masih terasa dan perlu dipertanyakan. Seperti, apakah kemudian
produktifitas penyair mampu menjaga substansi dari permenungan dan pengendapan
puisi? Apakah dunia baru yang ditawarkan Isbedy Stiawan ZS dalam buku NMD,
dibanding dengan puluhan buku puisi yang telah diterbitkannya sejak Menampar Angin (2003), K ota Cahaya (2005),
Perahu di Atas Sajadah (2006) sampai Pagi
Lalu Cinta (2015) dan terakhir pada buku November Musim Dingin (2016), dlsb itu?
Dua pertanyaan dasar yang akan penulis
urai dalam dimensi pembacaan atas teks NMD. Sebab, kalau boleh nyinyir, siapa
penyair yang sedemikian produktif menerbitkan buku kumpulan puisi selain Isbedy
Stiawan ZS. Bisa disebut, tidak ada. Bahkan, sejak meneguhkan diri sebagai
penyair, Isbedy hampir tiap tahun mulai 1982 rutin menerbitkan buku kumpulan
puisi. Kecuali hanya pada tahun 2004,
dia tidak menerbitkan buku puisi. Sebagai gantinya, Isbedy menerbitkan tiga
buku kumpulan cerpen.
Tentu sebagai pembaca yang menikmati
semua judul puisi pada NMD, harus mengakui tidak ada tatal-tatal yang menjadi
penanda pembaharuan sekitar 52 puisi itu, sama seperti karya-kerya Isbedy
lainnya. Benar-benar tidak punya kejutan avant
garde, semua sekadar reportase dan kisah-kisah selama kunjungannya
menyusuri negeri kincir angin. Dimana ketika ada nama asing dan kebetulan
dilintasi, dijadikan judul puisi. Ya, hanya sebatas itu. Beberapa judul juga
tak ada pembaharuan. Seperti puisi yang diberi judul Waktu, Doa, Suatu Malam dan Menyebut
Namanama.
Akan tetapi, penasaran dengan sebuah kesimpulan atas
pertanyaan-pertanyaan dasar dalam pembacaan, penulis mencoba secara pelan
menikmati setiap sajak, dan pada judul Sudah
Berapa Jarak Berpisah pada halaman 39. “kembali ke masa kanak/menyusuri jalan berpanjang/kanal
membentang/dari bilik ke kuburan//musim dingin, angin gegas/daun-daun berserak
di jalan/gerimis mengetuk rambut/aduhai, tiada gadis menyambut//
Saya merasa terkejut. Ada
nuansa asing dan indah yang lain dari judul biasa tersebut. Dibanding misalnya,
puisi berjudul Antara Nondine dan
Witte Rozen
di halaman 37.
Sosok penyair berambut gondrong dan
pirang itu seolah mewujud dalam teks. Saya melihat kesunyiannya merangkai
estetika kata di tempat yang asing. Isbedy Stiawan ZS selalu membawa masa
kanak-kanak yang terus dirawat, menjadi perpustakaan-perpustakaan bagi
puisinya.
Keterkejutan saya, ketika
sampai pada larik-larik terakhir dari puisi yang digubah di Witte Rozen, 17 Nov
2015 itu. “rumah-rumah bertubuh tinggi/tak
bisa mengubur sejarahku:/aku pernah luka dan mati//.
Mengucapkan secara pelan, saya menirukan kalimat itu; “aku pernah luka
dan mati”.
Kalimat ini mengingatkan pendapat di Buletin Sastra Litera, bahwa Isbedy
Stiawan ZS adalah generasi setelah Abdul Hadi WM, salah satu penyair profetik
yang kebanyakan sajak-sajaknya bernilai sufiisme. Yaitu, bahwa pada ajaraan
fundamen sufiisme, misalnya yang dipopularkan oleh Suhrawardi, sebagai tonggak berdirinya ajaran filsafat
kesempurnaan manusia adalah ketika mampu menghadirkan “kematian yang hidup.”
Bahasa yang mudah dipahami adalah, seseorang yang benar-benar sudah mampu menanggalkan
keinginan manusiawinya untuk melebur pada ingin Ilahiah.
Bagian dari konsep wahdatul wujud itu kemudian berkembang, jika menurut banyak
generasi setelah Suhrawardi. Misalnya oleh Iqbal disebut, sifat yang bukan
menghancurkan nilai personalitas. Melainkan lebih menyempurnakan, menyucikan
dan melarut pada petunjuk-petunjuk Ilahiah.
Sederet “penyair cinta” itu memang
ditandai dengan mengagung-agungkan kematian yang hidup dan kesakitan-kesakitan
sebagai tangga spiritual. Pencapaian “aku pernah terluka dan mati” pada sajak
Isbedy itu ternyata, ditemukan ketika dia benar-benar dicekam penderitaan.
Disiksa musim dingin, sulitnya mendapat makanan (nasi) yang wajib disantap
setiap hari, serta getirnya puisi berjudul “Teman Perjalanan” pada halaman 66,
menjadi korelasi secara utuh sebuah sikap dan perjalanan puitik Isbedy. Meneguhkan
sikap kanak-kanak yang terus dipupuk dan dirawat.
Menggunakan pisau Roman Ingarden untuk
secara formal membaca dengan analisis strata norma. Sepintas, memang kita
serasa disodori rangkaian reportase biasa. Setelah melihat dari lapis bunyi
(sound stratum), lapis arti atau unit of
meaning serta lapisan pribadi penyair,
NMD benar-benar menghadirkan sajak-sajak perjalanan ritual. Ternyata,
dunia kewartawanan sosok Isbedy yang juga anggota AJI Bandar Lampung, memberi
warna tersendiri sehingga kita merasa ada nama-nama yang wajib dikunjungi
ketika ke Belanda.
NMD, tidak bisa dibaca secara parsial
atau perjudul. Melainkan secara utuh keseluruhan. Setidaknya, itulah yang penulis rasakan. Bahkan
juga tak bisa dipertanyakan. Meski akrab dengan penyair, sering duduk berhadap-hadapan,
saya selalu tak mendapat jawaban ketika menanyakan maksud dari puisinya. “Wah,
saya shalat ashar dulu,” atau “Itu urusan Anda sebagai pembaca.” Demikian Isbedy selalu berkilah menjelaskan
maksud puisinya.
Dengan membaca NMD secara utuh, barulah
saya menemukan keindahan yang dingin dan mistis seperti apa yang ditulis pada
sajak pembuka; Surat dari Belanda.
Isbedy melontarkan pertanyaan, apakah
sastra masih diperlukan di dunia yang serba pragmatis dan perintah membaca
puisi karena penyair jarang lahir (halaman 4).
Kalaupun ada, penyair hanya bersolek. Jawaban itu, tertuang dalam larik
penutup buku NMD “agar kau semakin fasih”. Dan menariknya, saya menemukan
setelah membaca dengan strata norma. Sebagaimana ada poster sang penyair di
cover bukunya. []
Endri
Y, Pembaca dan penikmat sastra,
tinggal di Bandarlampung
Fajar Sumatera, Kamis, 4 Februari 2016
No comments:
Post a Comment