December 28, 2014

[Buku] Bikin Acara Nulis Jadi Menyenangkan

Oleh Tita Tjindarbumi

Data buku:
Menulis Asyik: Ocehan Tukang Tulis
Ihwal Literasi dan Proses Kreatif
dengan Sedikit Tips

Udo Z. Karzi
Sai Wawai Publishing, Metro
vii + 104 hlm.
MEMBACA buku Udo si tukang tulis, saya jadi ingat pada seorang perempuan dari negeri yang sama... Negeri Ruwa Jurai... Perempuan yang suka nulis... ya nulis apa saja yang harus dikeluarkan dari kepalanya, biar enggak bikin otak buntu karena kesumbat berbagai hal. Tuang... tumpahkan... buang dari benak dengan menulis...
                               
***

Menulis bagi sebagian besar orang adalah katarsis. Setiap orang dapat melepaskan segala seuatu yang menumpuk di benak dan juga di dada. Bagi sebagian besar penulis, menulis membuat perasaan menjadi lega karena semua unek-unek bisa ditumpahkan dalam tulisan. Tentu selain merasa lega, penulisnya akan merasa mendapatkan kepuasan tersendiri manakala tulisannya dibaca oleh banyak orang sekaligus menjadi inspirasi bagi pembacanya.


December 19, 2014

[Tamu Kita] Cuma Butuh Dua Malam

Oleh Yoso Muliawan


Udo Z Karzi
BIKIN buku biasanya butuh waktu tak sebentar. Mulai dari mengumpulkan bahan tulisan, menulis, hingga merapikan menjadi buku yang utuh dan siap cetak. Ya, setidaknya bukan sehari dua hari, bukan semalam dua malam.

Namun, ini tak berlaku untuk Zulkarnain Zubairi. Wartawan cum sastrawan yang punya nama pena Udo Z Karzi ini cuma butuh dua malam untuk menuntaskan buku anyarnya. Judulnya, Menulis Asyik: Ocehan Tukang Tulis Ihwal Literasi dan Proses Kreatif dengan Sedikit Tips.


December 15, 2014

Klinik dan Buku Menulis Asyik Diluncurkan

KOMUNITAS diskusi Cangkir Kamisan Metro meluncurkan Klinik Menulis sekaligus buku Menulis Asyik karya wartawan Lampung Post Zulkarnain Zubairi di Saung Komunitas Diskusi Cangkir, Kota Metro, Sabtu 13/12).

MENULIS ASYIK. Penulis Udo Z Karzi menjelaskan buku Menulis Asyik karyanya, saat peluncuran di Saung Komunitas Diskusi Cangkir Kamisan, Kota Metro, Sabtu (13/12). Selain Menulis Asyik, saat itu juga diluncurkan Klinik Menulis. (LAMPUNG POST./RUDIYANSYAH)
Dalam peluncuran klinik dan buku tersebut, hadir sang penulis buku yang lebih dikenal dengan nama Udo Z. Karzi dan memberikan pelatihan menulis kepada sekitar 40 pegiat diskusi yang hadir.


November 27, 2014

Robohnya Rumah Besar Budaya Lampung

Oleh Hardi Hamzah


SEMANGAT Udo Z. Karzi dkk. untuk menguniversalisasi budaya Lampung, terus merangkak dalam skema yang terpilar, dalam arti gagasannya mulai menemukan beranda, ini berarti kita harus menemukan rumah besarnya (rumah besar kebudayaan Lampung).

Nah, tentu saja rumah besarnya harus bermuara dari gugusan kebudayaan Lampung yang shopistaced, artinya ada pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan, bahwa identifikasi terhadap rancang bangunan arkeologi, artepak, katakanlah sejenis situs Pugung Raharjo harus dirujuk ke dalam wahana yang jelas kait-mengkaitnya antara kesejarahan, kebudayaan, dan peradaban. Ini nantinya skema mekanistik yang dirajut oleh Udo Z. Karzi dkk. dalam memahami pemetaan budaya Lampung yang kelak akan menemukan titik keutuhannya.


November 7, 2014

Pendidikan dan Kebudayaan

Oleh Daoed Joesoef


SETELAH menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa.

Presiden cum pemimpin baru Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.

Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Ada Indonesische Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato.


October 20, 2014

Tesis Berbahasa Lampung?

Oleh Munaris


TABIK pun.

Ingat malam pertama? Bingung. Deg-degan. Nano-nano-lah yang dipikirkan. Ini, itu, bisa jadi inu. Begitulah kalau mau memulai sesuai yang baru. Hal yang dipaparkan pada tulisan ini juga nano-nano karena juga mengenai sesuatu yang baru. Bagaimana tidak, dalam tulisan ini dibahas mengenai tesis (karya ilmiah untuk S-2) yang ditulis dengan bahasa Lampung.

Pernahkah Anda membaca tesis berbahasa Lampung? Jawaban Anda tentu bisa Anda pahami. Sekalipun menugasi Hatim (tokoh utama The Adventure of Hatim), tidak akan menemukan tesis berbahasa Lampung di kolong langit ini. Namun, dua tahun lagi, kalau ada ibu mengidam nimang tesis berbahasa Lampung, kemungkinan bisa tertunaikan.


October 12, 2014

[Lampung Tumbai] Mahanay dan Moeli

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


DALAM semua kasus pertikaian, kesaksian dari dua orang yang dianggap dapat dipercaya dianggap cukup untuk membuktikan kebenaran. Perempuan dan budak tidak diperbolehkan memberikan kesaksian, kecuali bila mereka berani bersumpah. Sumpah itu dilakukan di atas Alquran, di bawah bimbingan seorang ulama atau di kuburan seorang tetua atau kepala adat buai itu.

Gadis-gadis di Metro, 1932. (KITLV-Leiden)
Jika orang yang menuntut tidak mempunyai saksi, kebenaran atau kesalahan pihak lainnya dibuktikan dengan bantuan para dewa atau arwah nenek moyang. Ada empat cara pembuktian kesalahan. Dua di antaranya adalah dengan menggunakan api. Cara ini tidak diuraikan lebih lanjut oleh JHT.


September 29, 2014

Orang Lampung Akrab dengan Sastra Sejak Lama

ORANG Lampung seringkali menggunakan kata sindiran, ungkapan, kata-kata bersayap, pepatah atau peribahasa dengan ungkapan kata-kata indah lagi bernas serta mengandung arti yang mendalam.

"Masyarakat Lampung telah lama mengenal bahasa, aksara, sastra. Termasuk peribahasa yang merupakan bagian dari sastra," kata Iwan Nurdaya-Djafar saat Diskusi Buku Petatah-Petitih Lampung karya Iwan Nurdaya-Djafar dan Lelaki Dari Timur, Man from the East karya Mohsen Al-Guindy, Sabtu (27/9).


September 27, 2014

[Buku] Sastra Lisan Lampung sebagai Kearifan Lokal

Oleh Udo Z. Karzi**



Buku
Iwan Nurdaya-Djafar. 2013. Pepatah-Petitih Lampung. Sukadana: Dewan Kesenian Lampung Timur. xiii + 105 hlm.

SASTRA juga disebut  seni berbahasa dengan posisi yang sama dengan bentuk kesenian lainnya. Sastra tidak hanya dianggap sebagai alat penghibur, tetapi juga sebagai bentuk pengekpresian perasaan pengarangnya dengan menggunakan seni kebahasaan yang indah. Sastra dipertimbangkan sebagai karya seni karena pada pembangunan karya sastra para pengarangnya tidak memilih kata-kata secara acak tanpa memperhatikan nilai-nilai keindahan yang menjadi bagian wajib pada karya sastra. Seperti puisi, seorang penyair harus memperhatikan rima dan nada dari puisi yang dibangunnya dengan memilih kosakata yang tepat, sehingga karya sastra tersebut dapat menyampaikan apa yang menjadi tujuan pengarang tanpa harus mengurangi nilai bahasa.

Dalam khazanah sastra lama, berkembang sastra lisan yang karena kelisanannya jarang diketahui siapa pengarangnya atau pengarangnya yang tidak mau mengaku telah menciptakan karya sastra (?)


September 21, 2014

[Lampung Tumbai] Membunuh dan Dibunuh

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


Radin Inten II
SEPENGETAHUAN JHT, orang Lampung adalah satu-satunya masyarakat yang tidak memiliki raja—yang memerintah dan memimpin seluruh atau sebagian daerah itu. Radeen Intang yang mulai berkiprah sejak 1808 bukan pengecualian. Dengan bantuan perompak-perompak Linga, ia berhasil berkuasa. 

Konon, Radeen Intang merupakan keturunan dari Dara Poeti—anak sulung Sabatang sehingga berhak berkuasa atas orang Lampung—yang merupakan keturunan dari anak bungsu Sabatang. Akan tetapi, entah dari mana sumbernya, JHT menyatakan anak-anak Sabatang, kecuali anak bungsu, meninggal dunia tanpa keturunan.

[Refleksi] Diskusi

Oleh Djadjat Sudradjat


DI negeri ini  kata "diskusi" kerap memunculkan konotasi tak sedap. Ia sebuah forum tukar pikiran, dialog, perdebatan, ruang mencari solusi sebuah soal, yang mestinya menyehatkan. Tapi, kemudian dipahami sebagi aktivitas banyak bicara tapi hampa makna. Sebab, sejak lama diskusi memang tak bertemu tuju. Diskusi berpokok dan bersoal tapi tak mengubah suatu hal. Ia akan seperti sedia kala.

Suasana akan kembali gaduh pada diskusi selanjutnya. Tapi, justru karena problem tak pernah diurai, diskusi justru jadi penting. Setidaknya ia jadi ruang "katarsis". Ruang penglepasan. Kanal yang meletupkan seluruh kejengkelan rupa-rupa problem. (Bukankah ini jauh lebih baik dari anarkisme di ruang publik?)  

September 17, 2014

Gubernur Ridho Ficardo akan Penuhi Janji Kampanye

Oleh Agusta Hidayatullah

GUBERNUR Lampung M Ridho Ficardo berjanji setelah 100 hari masa kepemimpinannya, akan memacu kinerja jajaran pemerintahannya untuk mencapai kemajuan daerah ini sehingga dapat memenuhi janji kampanyenya.

Gubernur Lampung M Ridho Ficardo (ketiga dari kanan), didampingi Wagub
Bachtiar Basri dan Kapolda Lampung, saat diskusi peluncuran buku "Dari
Oedin ke Ridho" di Bandarlampung, Rabu (17/9) petang.
(FOTO: LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMAY)
"Seratus hari pertama ini, kami memang terkesan kurang sigap dan tanggap, karena terus terang saya dan Pak Wagub masih penyesuaian. Tapi setelah ini, kami akan menaikkan ritme kerja kami agar harapan masyarakat untuk Lampung yang lebih baik dapat segera tercapai," kata Ridho, gubernur termuda hasil pilkada langsung, dalam peluncuran dan diskusi buku "Dari Oedin ke Ridho Kado 100 Hari Pemerintahan M Ridho Ficardo-Bachtiar Basri", di Bandarlampung, Rabu (17/9) petang.


September 15, 2014

Buku 100 Hari Gubernur Ridho Telah Terbit

Oleh Budisantoso Budiman


Cover depan buku Dari Oedin ke Ridho: Kado 100
Hari Pemerintahan M Ridho Ficardo-Bachtiar Basr
i.
BUKU kumpulan artikel para pihak berjudul Dari Oedin ke Ridho: Kado 100 Hari Pemerintahan M Ridho Ficardo-Bachtiar Basri telah terbit dan siap diluncurkan untuk dibedah bersama-sama isinya.

Penerbitan buku menyambut 100 hari pemerintahan Gubernur Lampung M Ridho Ficardo-Wagub Bachtiar Basri ini merupakan kerja sama Indepth Publishing dan Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM) Fakultas Hukum Universitas Lampung bersama sejumlah pihak lainnya, menurut Tri Purna Jaya, dari Indepth Publishing, di Bandarlampung, Senin (15/9), telah selesai penerbitannya dan siap diluncurkan dalam waktu dekat.


September 14, 2014

Fakta dan Fiksi Lampung

Oleh Beni Setia


WUJUD sampul kumpalan cerpen Isbedy Stiawan Z.S. ini, Perempuan di Rumah Panggung (Siger Publiser, Lampung: 2013), unik. Seorang wanita, dengan dandanan modern, bersendiri menunggu di puncak tangga, menatap ke kejauhan. Warna kusam kersang berjamur mengesankan kelampauan, keterbiarkanan, kontras dengan kostum  yang kekinian. Alhasil, terhembus saran, itu nostalgia.

TAPIS CARNIVAL. Pergelaran Parade Lampung Culture dan Tapis Carnival
IV bertajuk The Legends and Glories of Lampung Culture merupakan
rangkaian puncak Festival Krakatau 2014, Minggu (31/8). Kegiatan itu
dibuka Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI
Sapta Nirwandar. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Sebuah fakta. Seakan-akan yang akan diceritakan itu melulu kenyataan, hingga buru-buru dimentahkan dengan catatan tebal: Kitab Cerpen—mutlak fiksi. Dan si buku setebal 152 + viii halaman itu memang memuat 14 fiksi. Lalu apa yang dominan dari cerpen-cerpennya itu?


[Lampung Tumbai] Nenek-Moyangku Seekor Naga

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


DI Pulau Jawa, Sulawesi, dan di tempat-tempat lain hanya Raja saja yang boleh dianggap sebagai keturunan dewa atau makhluk-makhluk langit yang turun ke bumi. Berbeda halnya dengan di Lampung. Semua orang Lampung mempunyai cikal-bakal yang tinggi.

Tapis Naga. (http://megabordir.blogspot.com)
Menurut cerita, nenek-moyang orang Lampung adalah seekor naga atau ular yang terbang dan akhirnya mendarat di ujung selatan Pulau Sumatera. Ia menetaskan beberapa butir telur. Setiap butir telur itu menjadi nenek-moyang salah satu marga. Legenda kedua tentang asal-mula orang Lampung mengisahkan tentang seorang lelaki yang tinggal di daratan Asia. Ia bernama Walli-Ollah. Ia berlayar di atas sebuah kapal yang terbuat dari kain berwarna putih. Namanya dan kain putih yang menjadi kapalnya menunjukkan kesaktiannya. Setelah berpetualang ke mana-mana, ia akhirnya mendarat di Pulau Sumatera, di sebelah utara Lampung.


September 8, 2014

Tukang Tulis Plus

Oleh Jauhari Zailani


Jauhari Zaelani
(ilustrasi nefosnews.com)
KETIKA remaja, saya tinggal di Yogya. Sebagai anak muda ada dua pekerjaan yang saya kagumi yaitu sastrawan dan wartawan. Banyak teman yang mentertawakan, karena aneh. Teman sebaya amat kagum dan ingin menjadi dokter, insinyur, tentara atau pilot. Untuk apa menjadi wartawan? Jadi tentara, gagah. Jadi insinyur, kaya. Menjadi dokter, kaya dan bersih. Menjadi pilot, bisa melihat dunia dari langit, seperti Gatotkaca.

Tidak. Wartawan juga keren. Ada yang tetap konsisten menjadi wartawan saja hingga mati. Tetapi ada yang menambah profesi lain, misalnya menjadi pedagang. Setelah menjadi wartawan, banyak yang berhasil mendirikan usaha yang berhubungan dengan bisnis Pers. Bahkan banyak pula yang berubah menjadi pedagang saja, atau menjadi politisi kemudian menjadi pejabat. Meski banyak juga yang memanfaatkan kewartawanannya, menjadi penjahat. Memeras pejabat yang jirih, memalak pengusaha yang berkutat rezeki di birokrasi. Bahkan, menjadi wartawan bisa menjadi alat baru “ngemis” kesana-kemari.


Bersenyum Manis dari Pringsewu Raih Saidatul Fitriah 2014

BANDAR LAMPUNG, TRIBUN -- Endri Y, jurnalis harian Koran Editor, memenangkan Penghargaan Saidatul Fitriah 2014 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Karya jurnalistiknya yang menelusuri fenomena pekerja seks komersial (PSK) di Pringsewu menyisihkan dua karya jurnalistik lain yang menjadi nominator.

Ketua AJI Bandar Lampung Yoso Mulyawan (kiri) menyerahkan Penghargaan
Saidatul Fitriah 2014 kepada Endri Y, jurnalis Koran Editor (tengah).
Bersamaan dengan itu, diserahkan pula Penghargaan Kamaroeddin 2014
kepada Udo Z Karzi (kanan).
Menurut Dewan Juri terdiri dari H.S. Tisnanta, Budisantoso Budiman, dan Fadilasari, Endri dalam berita berserinya mengabarkan secara berkelanjutan mengenai kondisi seorang PSK yang memutuskan berhenti menjalani aktivitasnya.


September 7, 2014

Zulkarnain Zubairi Raih Penghargaan Kamaroeddin

JURNALIS Lampung Post, Zulkarnain Zubairi, dianugerahi Penghargaan Kamaroeddin oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung dalam malam puncak HUT ke-20 AJI, Sabtu malam, di Kafe Rumah Putih, Gotongroyong, Bandar Lampung.

Ketua Juri Tisnanta mengatakan Zulkarnain Zubairi dipilih sebagai pemenang karena berkontribusi besar terhadap perkembangan karya jurnalistik bertema budaya Lampung. Jurnalis yang juga biasa disapa Udo Z. Karzi ini juga dinilai konsisten dalam menggerakkan penulis muda di Lampung untuk berkarya, terutama menyangkut aspek lokalitas Lampung.

Indepth Publishing Siapkan Buku 100 Hari Gubernur Lampung

Oleh Gatot Arifianto

INDEPTH Publishing bekerjasama Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM) Fakultas Hukum Universitas Lampung, siap menerbitkan buku "Dari Oedin ke Ridho, Kado 100 Hari Pemerintahan M Ridho Ficardo-Bachtiar Basri".

Menurut pegiat PKKPHAM FH Unila, Dr HS Tisnanta, di Bandarlampung, Minggu (7/9), buku itu berupa kumpulan tulisan para penulis dari berbagai kalangan, yaitu akademisi, budayawan, peneliti, jurnalis, dan aktivis di Lampung tentang berbagai persoalan Lampung saat ini.

Udo Z Karzi Raih Kamaroeddin Award 2014

Oleh Budisantoso Budiman


JURNALIS, penulis sekaligus pegiat seni dan budaya khususnya sastra dan bahasa Lampung Zulkarnain Zubairi (Udo Z Karzi) meraih Kamaroeddin Award 2014 yang diberikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung pada Malam Refleksi 20 Tahun AJI sekaligus penganugerahan penghargaan, di Kafe Merah Putih Bandarlampung, Sabtu (6/9) malam.

Udo Z Karzi (tengah) saat menerima Kamaroeddin Award 2014
diserahkan wakil keluarga Alm Kamaroeddin, di Bandarlampung,
Sabtu (6/9) malam. (FOTO: ANTARA LAMPUNG/Budisantoso Budiman)
Dewan juri menilai, Zulkarnain Zubairi konsisten sebagai jurnalis dan penulis yang tidak hanya mampu menuliskan dan mengangkat problematika sosial politik dan kemasyarakatan dengan kemampuan jurnalistik yang dipunyai, tapi juga konsisten dalam berkiprah mengangkat budaya Lampung khususnya bahasa dan sastra Lampung yang terancam punah, sehingga tetap menjadi lestari, berkembang, dikenal publik dan eksis sampai saat ini.


[Buku] Menyandingkan Cerpen-Sketsa, Menghormati Kebhinnekaan

Data BukuDaun-Daun HitamYuli Nugrahani dan Dana E. Rachmat
Indepth Publishing dan Caritas Tanjungkarang
I, Agustus 2014
X +90 hlm.

MENJELANG peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah buku kumpulan cerita pendek (cerpen) dan sketsa diterbitkan untuk para pembaca sastra dan penggiat sosial. Dua segmen ini dituju terkait dengan maksud penerbitan buku ini seperti yang ditulis pada halaman awal buku, “Untuk menghormati kesejatian manusia yang memiliki keragaman cara pandang, budaya, etnis, dan keyakinan.”

Buku ini memuat 12 cerpen dari cerpenis Lampung, Yuli Nugrahani, dan 12 sketsa yang dibuat pelukis Lampung, Dana E. Rachmat. Sebanyak 12 cerpen dan 12 sketsa ini menggambarkan kesederhanaan yang mencuat dari keragaman masyarakat, khususnya masyarakat Lampung. Hal-hal yang sepele yang mudah kita jumpai sehari-hari di sekitar kita, itulah yang muncul dari padanya.


Udo Z. Karzi Raih Penghargaan Kamaroeddin

BANDARLAMPUNG - Zulkarnain Zubairi atau yang lebih dikenal dengan Udo Z. Karzi meraih Penghargaan Kamaroeddin pada malam refleksi 20 tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung yang digelar di Kafe Rumah Putih yang beradi di Kelurahan Gotongroyong, Tanjungkarang Pusat, tadi malam.

Dia dinilai memiliki konsistensi sebagai budayawan Lampung. Udo Z. Karzi menyisihkan nominator lainnya dalam meraih penghargaan tersebut, yakni Iswadi Pratama, LBH, S.B. Laila, dan Uki M. Kurdi.

September 6, 2014

Kota Lama, Kota Baru, Kota Kreatif

Oleh I.B. Ilham Malik


DALAM menilai sebuah kota, tentang kondisinya saat ini dan juga dalam memproyeksikan masa depannya nanti yang berbentuk seperti apa, kita tentu tidak bisa meninggalkan apalagi menanggalkan sejarah terbentuknya kota itu sendiri. Kita sebut saja misalnya ketika kita membicarakan dan juga membandingkan tentang tata ruang Kota Metro dan Kota Bandar Lampung.

Sebab, sejarah terbentuknya kota itu sendiri berbeda-beda. Proyeksinya juga berbeda, sehingga bentukannya pada masa kini menjadi juga berbeda. Karena itu, kita tentu perlu secara objektif melihat dan juga menilai kondisi suatu kota, yang mana sebaiknya tidak terlepas dari sejarah pembentukannya sendiri pada zaman awalnya dahulu. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas secara spesifik sejarah kota-kota kita, terutama membahas tentang sejarah Kota Metro dan Kota Bandar Lampung.


August 31, 2014

Diro Aritonang, Kalianda, dan Krakatau

Oleh Beni Setia


SEKITAR 40 tahun lampau, ketika saya mulai pendidikan pertanian di SPMA di Soreang—sekitar 20 kilometer dari Bandung—, saya sengaja menonton film Bernard Kowalski, Krakatoa, East of Java. Sebuah film yang menarik karena triller termaksud yang disajikan sebelum film inti main, karena judulnya dan sekaligus sebab judul itu mengandung kebenaran fakta serta kesalahan penandaan.

SYAIR LAMPUNG KARAM. Penyair Jawa Barat kelahiran Kalianda, Lamsel,
Diro Aritonang, membaca Syair Lampung Karam karya Muhammad Soleh,
dalam rangkaian Festival Krakatau XXIV di Pasar Seni, Enggal, Bandar
Lampung, Rabu (27/8). (FOTO ISTIMEWA)
Ada dua kepenasaran yang mengikutinya. Hingga apa yang sebenarnya terjadi dengan letusan (gunung) Krakatau itu? Setidaknya kalau dikaitkan dengan fakta: fiksi film kolosal itu punya efek khusus, sebelum era Steven Spielberg, yang melulu menggarap amukan ombak di laut.


Melirik Tanah Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


BELANDA dan Inggris bersepakat: mulai Maret 1824, seluruh Pulau Sumatera menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Lampung pun tidak luput. Hampir seluruh bagian selatan Pulau Sumatera termasuk wilayah Lampung, kecuali daerah Komering (yang masuk Residensi Palembang) dan daerah di balik Bukit Barisan (yang termasuk Residensi Bengkulu).

Edward Jenner (1749—1823) dengan vaksin cacar air
yang dikembangkannya sejak 1774.
Pada awal 1800-an, diketahui Lampung termasuk wilayah kekuasaan Banten, bahkan sebelum Islam berpengaruh di sana. Namun, sejarah asal-mula terjadinya kaitan antara Lampung dan Banten tidak banyak diketahui.


August 30, 2014

Kota Budaya, Kota Kreatif

Oleh Udo Z. Karzi


BANDAR Lampung Potensi Jadi Kota Budaya. Demikian judul berita Lampung Post, 23 Januari 2009. Kedengarannya gombal ya?

Bundaran Gajah, Bandar Lampung
Namun, benarlah. Ucapan itu datang langsung dari budayawan, sastrawan, teateran Putu Wijaya. Memang denyut nadi aktivitas kesenian, baik sastra, teater, maupun seni pertunjukan lain, di kota ini sangat kuat.

August 24, 2014

Mencari Perempuan Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


CERITA percintaan si bujang Lampung dengan gadis idamannya belum berakhir. Walaupun si bujang sudah bolak-balik datang berkunjung dan sudah pula berlembar-lembar surat cinta ditulisnya, percintaan itu belum dapat dilanjutkan ke jenjang selanjutnya, perkawinan, sebelum persetujuan resmi dari orang tua si gadis telah diperoleh.

Burung koewou.
Persetujuan itu baru diberikan setelah si bujang menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertuanya. Besarnya jumlah uang itu tergantung dari tingkat dan status sosial keluarga si gadis. Biasanya jumlahnya berkisar di antara $60?$300. Siapa pun dan dari mana pun asalnya boleh saja mengawini seorang gadis Lampung asal gadis itu bersedia dikawini dan lelaki itu sanggup menyerahkan uang yang dituntut untuk mendapatkan jodohnya.


June 1, 2014

[Lampung Tumbai] Lampung dalam Catatan Kern

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, tinggal di Belanda

Sawah di Metro, 1935 (KITLV, Leiden)
KEPALA marga bukanlah pemimpin-pemimpin absolut. Dalam pengambilan keputusan, mereka selalu bermusyawarah dengan penyimbang dan warganya. Bahwa Belanda hendak berlaku seolah kepala-kepala adat itu tidak ada dan tidak mengakui keberadaan mereka, menurut R.A. Kern, aneh sekali mengingat surat-surat resmi Hindia Belanda justru masih terus menyebut-nyebut kepala marga. Memang, sejak 1857, segala sesuatu dilakukan untuk melucuti hak masyarakat atas pranata-pranata sosial dan politiknya.

Sebelum 1870, kekuasaan marga atas pendayagunaan tanah—kekuasaan inilah yang terutama memberikan kekuatan politik kepada kepala marga—dikesampingkan oleh residen dengan suatu peraturan. Peraturan itu menentukan bahwa batas dusun tidak melebihi 4 paal (1 paal = 1.851,85 meter) dan batas dusun yang lebih kecil tidak melebihi 2 paal. Tak ada lagi pengakuan terhadap tanah marga. Siapa pun bebas membangun rumah, membuat ladang dan meramu hasil hutan. Perubahan ini memungkinkan orang yang bukan warga marga—seperti orang dari Palembang dan Jawa—dapat semena-mena menggunakan tanah yang tadinya termasuk dalam wilayah marga tertentu. Namun, warga marga nyatanya tetap memperhatikan pembagian wilayah marga (yang tradisional) dalam pembudidayaan tanah.


April 27, 2014

[Lampung Tumbai] De Lampoengers

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

BIASANYA dalam setiap pertemuan Indisch Genootschap, seseorang diminta memberikan ceramah dengan topik yang dianggap relevan untuk pengembangan kepentingan Hindia-Belanda. Pada 16 Maret 1923, ketua perkumpulan itu, C. van Vollenhoven, mempersilakan R.A. Kern untuk berbicara mengenai orang Lampung. Pada hari itu, ceramahnya berjudul Over 't Lampuengsche Volk dengan kata lain Tentang Orang Lampung.

Litograf armada dagang Cornelis de Houtman, abad ke-17.
(dilukis oleh W. Hanna)
Dari mana nama Lampung? Tidak diketahui apakah di zaman dahulu kala nama itu digunakan untuk membedakan diri dengan tetangga-tetangganya di daerah lain, tetapi pada awal abad ke-20, nama orang Lampung sudah lazim digunakan. Orang Lampung sendiri menggunakan istilah aboeng (oeloen aboeng) untuk mengacu pada penduduk yang tinggal di daerah dataran tinggi, berbeda dengan penduduk yang tinggal di dataran rendah. Oleh karena itu, ada dugaan nama Lampung sebetulnya digunakan sebagai istilah untuk menyebutkan penduduk dataran rendah.


[Perjalanan] Karang Eksotis Batu Gigi Hiu

Oleh Meza Swastika

Teluk Kiluan seperti tak ada habisnya di eksplorasi keragaman potensinya. Tak hanya sebagai habitat dua spesies lumba-lumba terbesar di dunia, Teluk Kiluan juga menyajikan beragam objek lain. Salah satunya, batu karang gigi hiu.

Batu gigi hiu. (LAMPUNG POST/MEZA SWASTIKA)
DI sisi barat teluk ini terdapat pantai berpasir putih yang menghadap langsung ke arah Samudera Hindia. Di pantai ini, terdapat gugusan karang eksotis yang oleh warga setempat disebut sebagai batu gigi hiu.


April 20, 2014

[Lampung Tumbai] P.A. Van der Lith di Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


HAMPIR dua puluh tahun setelah F.G. Steck berkelana di Lampung, sekitar tahun 1890-an, P.J. Van der Lith (guru besar di Universitas Leiden) melakukan penjelajahan di Sumatera.

Sebetulnya, bukan hanya di Sumatera, melainkan juga di pulau-pulau nusantara lainnya. Namun, yang menarik perhatian, tentunya adalah uraian mengenai Residensi Palembang, Bengkulu, dan Lampung.

Tujuan penjelajahannya itu adalah menelusuri wilayah Residensi Palembang sampai akhirnya tiba di Residensi Bengkulu. Dalam perjalanan, Van der Lith dan rombongannya berusaha untuk mampir di sana-sini.


April 13, 2014

Anak Dalom dan Dayang Rindu

Oleh Arman A.Z.

Penulis-penulis Lampung zaman itu merangkum Dayang Rindu dan Anak Dalom ke dalam teks beraksara Lampung setelah mendengar dari penutur lainnya. Ini mestinya jadi kebanggaan tersendiri buat Lampung.

Pentas 'The Song of Dajang Rindu” karya Ari Pahala Hutabarat dari
Teater Komunitas Berkat Yakin (KoBER). (Foto: Dedi Iswanto)
TULISAN ini sekadar menambah informasi dari esai Iwan Nurdaya Djafar di Lampost (9 & 16 Maret 2014) tentang cerita rakyat Anak Dalom dan Dayang Rindu, dua cerita rakyat Lampung. Memang menjadi kebetulan, naskah Anak Dalom ternyata ada di bagian akhir kamus Van der Tuuk. Naskah itu pun tulis tangan dan jumlah halamannya sedikit sekali.


[Lampung Tumbai] Kembali ke Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


BEBERAPA tahun setelah menerbitkan laporan topografi dan geografi Lampung pada 1859, F.G. Steck menerbitkan laporan tambahannya pada 1862. Ia membuat penelitian ulangan dengan fokus pada empat marga, yaitu Waay Orang, Radja Bassa, Datoeran, dan Negara Ratoe. Beberapa hal baru ditemuinya.

Gunung Radja Bassa paling mudah didaki melalui Taman dan Kalau, yang terdapat di sisi sebelah utaranya. Jalan-jalan setapak menuju puncak gunung yang melewati dari kedua tempat itu menyatu tidak jauh dari Toelong Kring. Jalan itu lalu melewati tempat yang dulu dikenal sebagai  Marambong.


April 12, 2014

Bukan Sekadar Kamus

Oleh Dyah Merta


SAYA mendengar kabar jika kamus Bahasa Lampung karya H.N. van der Tuuk telah “pulang kampung”. Ini sebuah berita baik. Jika ada warta menggembirakan, semestinya ini dirayakan. Merayakannya tentu tidak dengan jamuan akbar.

Van der Tuuk bekerja menyusun Bahasa Lampung setelah dia pernah tinggal setahun di Lampung. Lahir di Malaka pada 1824 dari darah Belanda-Jerman, Van der Tuuk atau Tuan Dertik mengenyam sebagian besar pendidikannya di Belanda.

Dia bukan penduduk asli Lampung. Keahliannya membuatnya mampu mengorganisasi kerja yang kala itu belum tercetus di pikiran penduduk setempat, yakni menyusun kamus.


April 6, 2014

[Perjalanan] Indahnya Pantai Labuan Jukung Krui

Oleh Tri Sujarwo


Lampung Barat dan Pesisir Barat. Dua kabupaten yang sebelumnya berada dalam satu daerah otonomi itu punya daya pikat pariwisata sama kuat, tetapi beda rasa. Liwa dengan sejuk alamnya. Krui dengan spektakulasi pantainya.

PERJALANAN ke Krui ini merupakan perjalanan pertama saya. Selepas menikmati pesona Kota Liwa, saya langsung beranjak menuju Krui, ibu kota Kabupaten Pesisir Barat.

Hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di kota pesisir ini dari Kota Liwa. Replika pohon damar tampak begitu kokoh dengan ikan marlin di atasnya yang seperti hendak terbang. Itulah tugu yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Tugu Marlin. Tugu ini menjadi ikon bagi kabupaten yang baru terbentuk sekitar tiga tahun yang lalu ini.


[Lampung Tumbai] Emas di Belantara Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


ORANG Lampung menanam padi, lada, dan kapas. Para petani di daerah pantai menanam padi di sawah. Memang sawah hanya ada di daerah pantai. Sungai-sungai yang dalam dengan tebing-tebing terjal di kiri-kanan alirannya di daerah perdalaman Lampung sulit diandalkan untuk pengairan sawah. Orang Lampung menanam padi di ladang-ladang yang kering.

Sebelum dapat berladang, petani Lampung harus membuka lahan lebih dahulu. Kayu-kayu dari semak dan perdu dipotong; pohon-pohon besar ditebang. Lalu, semuanya dibiarkan mengering, kemudian dibakar.


Melihat Sejarah Lampung dari Satu Sisi

Oleh Udo Z. Karzi

Dengan gaya tuturan langsung, akan sangat terlihat bagaimana kekhasan Sjachroedin berbicara: apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, dan terkadang meledak-ledak. Cukup memadai untuk memahami karakter Oedin, terutama selama memimpin Lampung.

Data buku:
Merampungkan Tugas Sejarah: Memoar Komjen
Pol. (Purn.) Drs. H. Sjachroedin Z.P., S.H.
Satu Dekade Memimpin Pembangunan Lampung
(2004- 2014)

Zulfikar Fuad
Alifes Inc.-by PT Media Kisah Hidup, Jakarta
I, Januari 2014
xvi + 292 hlm.
MEMBACA, mendengar, dan menyaksikan sendiri sepak terjang seorang Sjachroedin selama satu dasawarsa memimpin Lampung memang terasa menggetarkan. Ya, memang butuh orang yang luar biasa dalam memimpin provinsi ujung pulau ini. Wajar jika ada ujaran yang menyebutkan, "Kalau bukan Bang Oedin..." Sungguh tak terbayang bagaimana jadinya Lampung.

Menjelang habisnya masa jabatannya, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. memberikan kenangan indah bagi masyarakat berupa sebuah memoar: Merampungkan Tugas Sejarah, Memoar Komjen Pol. (Purn.) Drs. H. Sjachroedin Z.P., S.H. Satu Dekade Memimpin Pembangunan Lampung (2004-2014).

April 5, 2014

Menakar Peluang Pendirian FIB di Unila

Oleh Karina Lin


MENARIK dan seru! Itulah kesan yang saya tangkap ketika mencermati rubrik opini di surat kabar Lampung Post yang bertemakan wacana mendesak pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung (Unila).

Dalam sebulan ini (Maret 2014), saya mencatat telah tiga kali opini yang bertemakan mendesak pendirian FIB di Unila ditampilkan di Lampung Post. Artikel opini pertama ditulis Hardi Hamzah yang berjudul Urgensi FIB di Unila (Lampung Post, 3 Maret 2014); opini kedua berjudul Memimpikan FIB di PTN Lampung ditulis Dina Amalia Susanto (Lampung Post,15 Maret 2014); dan opini ketiga berjudul FIB Berbasis Empirisme? yang ditulis Destaayu Wulandari (Lampung Post,i 20 Maret 2014).


March 31, 2014

[Lampung Tumbai] Dusun, Doa, dan Aksara

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

Ny. Koning-Haring dengan anak gajah di
Perkebunan Ratai, Telok Betong, 1930
(KITLV, Leiden)
DUSUN-DUSUN di Lampung dibangun tanpa pertahanan sama sekali. Hanya di Marga Radjah Bassa dan Waay Orang di Distrik Telok Betong serta Marga Waay Blang di Distrik Samangka tampak adanya pertahanan sederhana. Itu pun dibangun karena penduduk ketiga marga itu belum lama berselang memberontak menentang Pemerintah Hindia-Belanda. Ditambah lagi, mereka juga berperang dengan dusun-dusun di sekitarnya.

Penduduk marga-marga itu membangun pertahanan dari bambu berduri dan pagar hijau dengan kanal kecil yang dalam. Satu atau dua buah pintu sempit yang hanya memungkinkan orang masuk satu per satu dibuatkan di dinding pertahanan itu. Pintu-pintu itu terbuat dari sebilah papan kayu yang sangat keras.

March 30, 2014

[Wawancara] Emha Ainun Nadjib: Lampung di Perempatan Jalan

Emha Ainun Nadjib
Lampung istimewa. Berbagai isu nasional dipantik dari sini. Berbagai julukan muncul: laboratorium politik, lumbung konflik agraria, hingga istilah negeri asal begal.

PERISTIWA-PERISTIWA fenomenal yang terjadi di Lampung tak kurang mengundang perhatian para tokoh nasional. Bahkan, banyak ahli dan pengamat mengidentifikasi masalah untuk mengetahui apa penyebab fenomena ini.

Saat menyampaikan sambutan pada diskusi kebangsaan Sekala Selampung II di Menggala, pekan lalu, budayawan Emha Ainun Nadjib tak kurang memberi komentar panjang lebar tentang Lampung. Berikut pendapat seniman yang kerap dijuluki Kiai Mbeling itu, yang ditulis dengan format tanya-jawab oleh Sudarmono dari Lampung Post.

March 27, 2014

Fakultas Ilmu Budaya sebagai Strategi Kebudayaan

Oleh Rudiansyah

Keberadaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di universitas dapat dipandang sebagai salah satu bentuk strategi kebudayaan.

FIB menjadi penting di tengah kondisi bangsa yang tengah mengalami krisis kebudayaan. "Butuh strategi untuk keluar dari krisis tersebut," kata sastrawan Iswadi Pratama dalam acara Ngopi Bareng dengan tema Urgensi Fakultas Ilmu Budaya yang disiarkan langsung Siger TV, Kamis (27/3) pukul 14.00.

March 24, 2014

Lampung Berpotensi Dirikan Fakultas Ilmu Budaya

Oleh Rudiansyah

Berdirinya fakultas ilmu budaya akan dapat mengkaji permasalahan sosial-budaya di Lampung dan konteks nasional-global.

Melani Budianta
WACANA pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung semakin mendapat respons dari berbagai kalangan. Tak hanya budayawan yang secara konkret telah membuat petisi, masyarakat luas pun tidak sedikit yang menyatakan dukungan mereka.

Hal tersebut membuat guru besar FIB Universitas Indonesia, Melani Budianta, ikut bersuara. Dosen sastra bergelar profesor ini mengungkapkan Lampung memiliki potensi untuk mendirikan FIB. “Saya yakin di Lampung sudah banyak pakar ilmu budaya yang dapat berkontribusi,” ujarnya saat dihubungi Lampung Post, kemarin.


March 23, 2014

[Lampung Tumbai] Orang Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

Gadis-gadis di Kampung Besar, Gunungsugih,
Lampung, 1901 (KITLV, Leiden)
KEDUDUKAN sosial yang tinggi sangat penting bagi orang Lampung dan dianggap berkaitan erat dengan harga diri seseorang. Banyaknya orang yang bergelar eatoe, dalem, pangherang, dan eadjah merupakan petunjuk betapa pentingnya hal itu walaupun saya sendiri menyangsikannya.

Menurut F.G. Steck, gelar-gelar itu dapat diperoleh dengan menyumbangkan sejumlah uang dan menyembelih beberapa ekor kerbau. Gelar itu, kata dia, dengan nama baru pula, seolah-olah dapat digunakan untuk menghapuskan kedudukan sosial yang lebih rendah di masa lalu seseorang.


March 22, 2014

Selamatkan Tanah Lapang

Oleh Jauhari Zailani

SEPULANG salat subuh di masjid, membaca koran di teras rumah.  Pagi itu, saya tercenung membaca iklan baris, tertulis: “Dijual tanah 10.600 m2. Ex lapangan bola, di kecamatan..., hubungi no telpon.....”. Yang membuat saya garuk-garuk kepala, padahal tak gatal, adalah keterangan pada iklan baris itu: “ex lapangan bola”. Iklan ini menarik perhatian saya karena di sekitar tempat tinggal saya, terdapat beberapa lapangan bola, yang bisa saja sewaktu-waktu dijual juga dan beralih fungsi.

Tanah Lapang Siapa Punya?

Tanah lapang penuh kenangan. Sejak kami kecil, 50 tahun yang lalu, saban sore tanah itu tempat kami bermain. Bermain kejar-kejaran, bermain bola, tempat upacara dan acara sekolah seperti pertandingan olahraga. Sesekali dipakai pertandingan bola antarkampung. Dalam lapangan, kami berlari-lari, dari pinggir lapangan, kami bisa berteriak-berjingkrak, saksikan pertandingan bola. Sekitar hari Lebaran, usai melakukan salat hari raya, lapangan itu dipakai untuk semacam pasar malam. Dengan aneka mainan. Sungguh, kenangan manis pada tanah lapang.


March 20, 2014

FIB Berbasis Empirisme?

Oleh Destaayu Wulandari


DAHI saya berkerut kala membaca opini Lampung Post, 13 Maret 2014 bertajuk Urgensi FIB di Unila. Setidaknya dua hal saya garis bawahi dari tulisan tersebut. Sekilas, kedua gagasan yang dimaksud bukan masalah dan bahkan menjadi pemantik tambahan yang tersampaikan kepada masyarakat—selain diskusi-diskusi terkait yang tidak terpublikasi—demi terwujudnya rencana besar untuk masa depan budaya di Lampung ini. Namun, setelah dikaji lagi, ada hal-hal implisit yang menurut saya perlu untuk diperhatikan.

Pertama, rencana pewujudan yang cenderung lebih mengutamakan nilai-nilai empiris melalui fakultas ilmu budaya (FIB) yang kelak akan didirikan di Universitas Lampung (Unila). Kedua, pengerucutan fungsi yang secara tidak langsung dapat memicu disintegrasi dengan FIB di universitas lain yang lebih dulu ada di Indonesia.

March 18, 2014

Mengapa Sai Bumi Ruwa Jurai?

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

SENYAMPANG memperingati hari kelahiran ke-50 Provinsi Lampung yang jatuh pada 18 Maret 2014, marilah kita melakukan refleksi kritis atas seloka Provinsi Lampung yang pada 2009 diubah dari Sang Bumi Ruwa Jurai menjadi Sai Bumi Ruwa Jurai. Demikianlah, melalui Perda Provinsi Lampung No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Perda Provinsi Lampung No. 01/Perda/I/DPRD/71-72 tentang Bentuk Lambang Daerah Provinsi Lampung yang diundangkan pada 5 Mei 2009, seloka Sang Bumi Ruwa Jurai diubah menjadi Sai Bumi Ruwa Jurai.

Hal ini tercantum pada Pasal I yang berbunyi, “Ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Lampung Nomor 01/Perda/I/DPRD/71-72 tentang Bentuk Lambang Daerah Provinsi Lampung, yaitu pada penjelasan Peraturan Daerah, Pasal 2 angka 1 huruf b, penulisan kata dan pemaknaan arti tulisan Sang Bumi Ruwa Jurai diubah menjadi sebagai berikut: b. Sai Bumi Ruwa Jurai: Rumah tangga agung jurai adat pepadun dan jurai adat saibatin.”

Budaya Politik Lampung

Oleh Arizka Warganegara

LAMPUNG, sebuah provinsi di ujung Pulau Sumatera, sesungguhnya banyak mengundang misteri, terutama bagi para ilmuan politik. Menjadi misteri karena provinsi yang saya duga sebagai satu-satunya tempat di Indonesia ini masyaratkanya sudah mengamalkan nilai demokrasi kosmopolitan, sebuah pandangan hidup yang pluralis dan menghargai perbedaan. Dugaan tersebut menjadi wajar karena heteregonitas etnis di Lampung sangat bervariasi, terutama akibat kolonisatie dan program transmigrasi pada masa Orde Baru.

Istilah demokrasi kosmopolitan diperkenalkan Profesor Anthony Giddens, mantan direktur sekolah ekonomi politik ternama di dunia, London School of Economic and Political Science, di Inggris. Giddens mengatakan sebuah masyarakat yang sudah bisa menghargai perbedaan berpotensi mengembangkan sistem demokrasi kosmopolitan sebuah sistem demokrasi yang melintas batas perbedaan antarkelompok SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Menjaga Muruah Budaya Lampung

Oleh Sudjarwo

SEBAGAI orang yang hidup, besar, dan—kalau boleh minta—mati di Lampung, ada semacam kebanggaan tersendiri jadi warga daerah ini. Perasaan keindonesiaan dari hari ke hari memang tumbuh tersemai dengan pupuk keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman budaya. Ini menjadi semacam penanda yang khas di daerah ini.

Sebagai nomenklatur keindonesiaan, pelan tetapi pasti, melalui instrumen budaya terus berproses. Akulturasi, amalgamasi, perlahan terus maju menyeruak ke jantung Lampung dalam arti budaya. Benar adanya, jika ada korban terpinggirkan, tetapi tetap harus diakui pelestarian, paling tidak pada tata nilai, tetap terus diperjuangkan.

Gubernur Lampung Luncurkan Buku di Akhir Pengabdian

GUBERNUR Lampung Sjachroedin ZP meluncurkan buku "Merampungkan Tugas Sejarah" Memoar Komjen Pol (Purn) Drs Sjachroedin ZP SH Satu Dekade Memimpin Pembangunan Lampung (2004-2014), karangan Zulfikar Fuad, sekaligus tanda berakhir masa jabatannya pada 2 Juni 2014 nanti.

Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menunjukkan buku biografi
"Merampungkan Tugas Sejarah" karangan Zulfikar Fuad yang
diluncurkan di Hotel Novotel Bandarlampung, Senin (17/3) malam.
(FOTO: ANTARA LAMPUNG/Kristian Ali).
Gubernur Sjachroedin ZP, di Hotel Novotel Bandarlampung, Senin (17/3) malam, mengaku pada awalnya tidak mau untuk dibuatkan sebuah buku, namun ada penulis dari Jakarta yang menawarkan sehingga akhirnya dia menyetujuinya serta mempersilakan mencari bahannya sendiri hingga dicetaklah buku ini.


March 16, 2014

[Lampung Tumbai] Telok Betong, Sekampong, Sepoetie, Toelang Bawang, dan Samangka

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


Raden Singalaja Semangka, 1880
(KITLV, Leiden)
JALAN-JALAN setapak yang ada di dalam belantara kerap bercabang ke kiri dan kanan. Bila ditelusuri, jalan-jalan itu biasanya berakhir di sebuah pohon karet atau pohon medang atau berujung di rawa-rawa yang terbentang luas atau menghilang ke dalam sebuah sungai.

Jalan-jalan itu, yang lebih kecil lagi dari jalan setapak, adalah jalan yang dibuat oleh para peramu hasil hutan. Orang yang hendak mencari karet, rotan, lilin lebah, dan madu memang terpaksa mblusuk sampai ke relung hutan.


[Perjalanan] Lembah Indah itu, Ulubelu

Oleh Meza Swastika

Dari bukit, di pintu masuk wilayah Ulubelu, memandang lembah sejuk itu seperti lukisan pemandangan. Indah.

HARI masih terang, tetapi hawa sejuk sudah mulai membekap desa-desa di lereng Bukit Rendingan, Ulubelu, Tanggamus. Petani-petani kopi yang pulang dari kebun menggendong ranting-ranting kayu menyeruak dari rerimbunan hutan.


[Buku] Kegelisahan yang Melahirkan Restorasi

Oleh Zulkarnain Zubairi

Buku ini untold story tentang perjuangan Surya Paloh sebagai tokoh pejuang kemerdekaan pers, demokrasi, dan restorasi Indonesia, khususnya sebelum dan sepanjang reformasi.

SEPULUH tahun terakhir pascareformasi, Surya Dharma Paloh sangat prihatin terhadap karut-marut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Era reformasi telah menghembuskan demokrasi yang sangat berarti. Tumbuh berkembangnya demokrasi seharusnya dimanfaatkan sebagai jembatan emas untuk mempercepat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.


Selamat Datang Tetimbai Anak Dalom (2-Habis)

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

SEBAGAI hasil ikutan dari kembalinya Kamus Van der Tuuk itu, kiranya TAD dapat pula diterjemahkan dan diterbitkan secara lengkap. Adapun TDR masih terdapat di Lampung dan sudah diterbitkan sebagai buku oleh Dewan Kesenian Lampung pada tahun 1996 melalui terjemahan Sutan Ratu Gumanti, Razi Arfin, dan Krisna Sempurnadjaja, serta disunting oleh Iwan Nurdaya-Djafar. Buku ini diterbitkan berdasarkan transliterasi dari manuskrip dalam had (huruf) Lampung berbahasa Lampung berbaur dengan bahasa Indonesia yang kurang teratur dan bertitimangsa 1905.

Sinopsis TDR adalah sebagai berikut. Dalam semua versi, Anak Dalom, seorang pemuda yang dilahirkan dari serumpun bambu dan hidup di istana Bengkulu, berlayar ke Patani di Pantai Timur dari Semenanjung Malaya (atau, dalam beberapa teks, ke Siam) dan dia melarikan pengantin pilihannya.

March 15, 2014

Memimpikan FIB di PTN Lampung

Oleh Dina Amalia Susamto


TEMPUS mutantur et nos mutamur in illid ialah kata pepatah Latin yang berarti waktu berubah dan kita pun berubah di dalamnya. Kita di sini adalah subjek pencipta kebudayaan sekaligus pengguna kebudayaan. Kita adalah masyarakat yang bergerak seperti apa yang dikatakan ahli-ahli budaya bahwa kebudayaan sebagai hasil budi (akal) dan usaha manusia.

Koentjaraningrat (2009) menjelaskan tentang tujuh unsur-unsur kebudayaan secara universal yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, religi, dan kesenian. Raymond William dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (2005) melihat budaya atau culture dengan huruf c sebagai suatu aktivitas keseharian manusia, lebih bersifat demokratis, milik siapa pun, dan tidak ada satu kebudayaan yang lebih adiluhung dari kebudayaan lainnya.


March 13, 2014

Urgensi FIB di Unila

Oleh Hardi Hamzah

Hardi Hamzah
PEDANG emas yang dikibaskan Lampung Peduli tentang keinginan untuk mendirikan fakultas ilmu budaya (berikutnya dibaca FIB) selayaknya kita sambut dengan kibasan hangat. Mengapa saya sebut sebagai kibasan pedang emas? Sebab, kilaunya kelak bisa dirasakan dalam refleksi yang konkret bersama turunannya, semacam Lampungnologi dan beberapa turunannya sampai pada usaha antisipatif terhadap antropologi budaya.

Lebih jauh lagi, menurut hemat penulis, bila FIB didirikan, tranformasi budaya terus mengalir bersamaan globalisasi dan tentu kita harapkan tidak hanya sebagai filter secara normatif terhadap akulturasi budaya yang muncul. Sebab, bila standarnya sedemikian ini, selain klise, akhirnya FIB hanya terseok pada teks book thinking.

March 9, 2014

Selamat Datang Tetimbai Anak Dalom (1)

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

Ikut kembali bersama manuskrip kamus Van der Tuuk adalah dua karya klasik cerita rakyat Lampung, yaitu Tetimbai Anak Dalom (TAD) dan Tetimbai Si Dayang Rindu (TDR), yang tercantum pada bagian akhir manuskrip kamus.

KAMIS, 27 Februari 2014, adalah hari bersejarah bagi bahasa Lampung, karena pada hari itu bertempat di Hotel Emersia, Bandar Lampung, secara simbolis telah diserahkan manuskrip Kamus Bahasa Lampung-Belanda karya Hermanus Neubroner van der Tuuk dari Kerajaan Belanda kepada masyarakat Lampung yang diwakili oleh Dr. Kees Groeneboer (Kepala Erasmus Tallcentrum) kepada Panji Utama dari Lampung Peduli.


[Perjalanan] Desau Napas Hutan Way Kambas

Oleh Rinda Mulyani dan Agus Susanto

Menjaga hutan Way Kambas memang bukan perkara mudah. Namun, apakah paru-paru dunia ini akan kita biarkan sekarat karena ketidakpedulian?

Taman Nasional Way Kambas
SUARA tonggeret mengisi udara hutan seluas 125 ribu hektare itu tanpa jeda. Kicau burung, pekik siamang, dengus babi, teriakan gajah, bahkan seringai macan kadang mengisi senyap. Juga obrolan empat anggota Rhino Protection Unit (RPU) Taman Nasional Way Kambas yang sedang patroli suatu siang.


[Lampung Tumbai] Malu Bertanya Sesat di Jalan

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukin di Belanda

BANYAK sungai di Lampung memang memudahkan mobilitas penduduknya. Itu tidak berarti bahwa tak ada jalan di darat. Daerah dataran rendah, yang sering terendam sama sekali pada waktu musim hujan, memiliki jalan-jalan setapak yang berkondisi jelek. Tidak mengherankan bahwa jalan-jalan itu tidak terlalu diperhatikan karena lalu-lintas air lebih mudah dan praktis digunakan oleh penduduk daerah itu.

Patroli Infanteri 11 di Telukbetung, 1949 (Gahetna.nl)
Di daerah dataran tinggi, lebih banyak jalan. Di sini pun keadaannya tidak terlalu bagus. Biasanya jalan-jalan (setapak) itu melewati umbul (permukiman sementara di ladang) yang terdapat di antara dua dusun yang lebih besar. Namun, sistem peladangan berpindah yang dilakukan di Lampung menyebabkan jalan setapak itu digunakan selama dua-tiga tahun saja.


March 7, 2014

FIB Terkendala SDM

Oleh Delima Natalia Napitupulu

Agus Hadiawan
SALAH satu syarat membuka prodi baru adalah minimal memiliki enam dosen dengan kualifikasi pendidikan yang linier. Usulan perlunya pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung terkendala pada keterbatasan SDM.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unila Agus Hadiawan mengatakan terkait keinginan masyarakat tentang pembukaan FIB, saat ini FISIP hanya memiliki dosen antropologi dan sosiologi. Sementara untuk membuka ilmu budaya, SDM itu tidak cukup karena harus memiliki dosen budaya yang spesifik.

March 6, 2014

Budayawan Lampung Dukung Petisi Berdirinya FIB

Oleh Rudiyansyah

Fakultas itu sudah direncanakan sejak Rektor Margono Slamet. Mungkin karena pergeseran paradigma, akhirnya rencana tersebut dimentahkan.

Juperta Panji Utama
SEMANGAT konkret menyelamatkan budaya lokal benar-benar dilakukan para budayawan Lampung. Sebuah petisi untuk segera didirikan fakultas ilmu budaya (FIB) di Lampung telah diedarkan dan mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan.

Juperta Panji Utama, penyair, salah satu motor pengembalian Kamus Bahasa Lampung van der Tuuk mendukung petisi yang beredar melalui jejaring sosial Facebook tersebut.

March 5, 2014

Pentingnya Kajian Naskah Kuno Lampung

Oleh Andriyati Rahayu dan Dina Amalia Susamto

BAGAIMANA sebenarnya Anda mengimajinasikan naskah kuno? Teks dari masa lalu yang mungkin karena Anda tidak mengerti huruf dan bahasanya kemudian menyingkirkannya dan tidak memedulikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Titik Pujiastuti tentang sikap masyarakat Lampung pada aksara dan naskah kuno yang dilakukan pada 1996 menyatakan pada tahun-tahun itu naskah kuno dianggap tidak relevan, sudah tergantikan dengan aksara latin dan tidak penting.


Disdik Akomodasi Pelajaran Bahasa Lampung

Apa pun alasannya, bahasa Lampung tetap harus diajarkan pada siswa.

Tauhidi
TIM pengembang kurikulum Dinas Pendidikan Provinsi Lampung siap mengakomodasi pertemuan tim pengembang kurikulum Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) bahasa Lampung. Tujuannya, mendukung penyusunan kurikulum bahasa Lampung untuk sekolah se-Lampung.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Tauhidi mengatakan tim pengembang kurikulum dinas kabupaten/kota tidak hanya bertugas mengevaluasi dan menganalisi kurikulum dari pusat, tetapi juga melakukkan validasi kurikulum. Selama ini kurikulum bahasa Lampung dibuat oleh MGMP.

March 4, 2014

Terancam Punah, Pendidikan Bahasa Lampung Malah Dihapus

Oleh Delima Natalia Napitupulu

Jumlah penutur bahasa Lampung di wilayah ini semakin menurun. Diperkirakan jumlahnya hanya sekitar 1,19 juta orang.

Warsiyem
PARA guru di sekolah implementasi kurikulum 2013 bingung, harus tetap mengajarkan atau justru meniadakan pelajaran Bahasa Lampung. Dampaknya, ada sekolah-sekolah di beberapa kabupaten yang menghapuskan mata pelajaran tersebut bagi siswa kelas VII SMP.

Seorang guru di salah satu kabupaten yang mengajar Bahasa Lampung di kelas VII, kepada Lampung Post, Senin (3/3), mengakui jika sekolahnya tidak lagi mengajarkan Bahasa Lampung kepada siswanya.


March 3, 2014

Pembukaan FIB Selamatkan Budaya Lokal

Oleh Rudiyansyah


Upaya pemerintah mengembangkan kebudayaan lokal saat ini baru pada tatanan kosmetik.

Sudjarwo
WACANA pembukaan fakultas ilmu budaya (FIB) terus bergulir. Direktur Pascasarjana Universitas Lampung (Unila) Sudjarwo pun mendukung pembentukan FIB sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan bahasa lokal.

“Whay not? Kami banyak punya doktor dan tenaga dosen,” kata mantan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila ini menanggapi pertanyaan tentang wacana pembukaan FIB dan gambaran tenaga dosen yang dibutuhkan, akhir pekan ini.

March 2, 2014

Waduh, Penutur bahasa Lampung Makin Sedikit!

Oleh Agusta Hidayatullah



JUMLAH penutur bahasa daerah Lampung sebagai "bahasa ibu" di wilayah ini semakin menurun dan diperkirakan hanya sekitar 1,19 juta orang.

Pemerhati bahasa Lampung Agus Sri Danardana, di Bandarlampung, Minggu (2/3), mengemukakan, jumlah penutur bahasa daerah yang makin menurun itu berdasarkan pada jumlah `ulun` atau penduduk asli Lampung saat ini.


[Wawancara] Kees Groeneboer: Lampung Harus Punya Fakultas Ilmu Budaya

Penemuan dan kembalinya kamus bahasa Lampung karya van der Tuuk dari Leiden ke Lampung terasa surprise. Bukti tingginya nilai budaya Lampung sejak lama itu mendorong pemerhati untuk menghidupkan studi tentang kebudayaan Lampung.

Kees Groeneboer
Direktur Pusat Bahasa
Belanda Erasmus, Jakarta
Medio Februari 2014, Arman A.Z., penyair dan penggiat kebudayaan Lampung, mengabarkan kembalinya kamus bahasa Lampung karya van der Tuuk melalui opini di Lampung Post, 19 Februari 2014. Atas kerja panjang dan melelahkan, sebuah tim berhasil mempersembahkan kamus yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, itu kembali ke Lampung.

Apresiasi luar biasa dari berbagai kalangan mengemukakan masalah bahasa daerah ini menjadi topik menarik. Diskusi tentang bahasa dan keingintahuan berbagai kalangan akan kamus yang ditulis tangan itu seolah tak terbendung.

[Lampung Tumbai] Berperahu ke Hulu dan ke Hilir

Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

ORANG yang bepergian melintas Provinsi Lampung pada masa kini akan sulit membayangkan lingkungan alam yang digambarkan oleh F.G. Steck dalam laporan yang dibuatnya untuk kepentingan Infanteri KNIL pada dekade-dekade pertama abad ke-19.

Teluk Lampung, 1932 (KITLV, Leiden)
Waktu itu, sebagian besar daerah di Lampung belum terjamahkan tangan manusia. Orang yang datang ke Lampung datang dengan kapal layar dan berlabuh di pantai-pantai yang tak semuanya cocok untuk tempat kapal besar membuang sauh.


March 1, 2014

Peluang Fakultas Ilmu Budaya di Lampung Terbuka

Oleh Abdul Gafur

Unila pasti akan menindaklanjuti usulan untuk membuka fakultas ilmu budaya jika memang ada desakan konkret dari masyarakat Lampung.

Hasriadi Mat Akin
PEMBANTU Rektor I Bidang Akademik Universitas Lampung (Unila) Hasriadi Mat Akin menyatakan Unila memiliki peluang untuk membuka fakultas ilmu budaya (FIB) pertama di Lampung. Dengan catatan, ada desakan dan kebutuhan konkret dari masyarakat.

"Saya pribadi pada dasarnya menyetujui wacana pembentukan fakultas ilmu budaya di Unila. Provinsi Lampung ini unik karena multietnik. Hal itu tentu akan menjadi potensi luar biasa dalam pengembangan fakultas ilmu budaya di Unila," ujarnya saat dihubungi Lampung Post, kemarin (28/2).


February 28, 2014

Mendesak, Berdirinya FIB di Unila

Oleh Wandi Barboy Silaban

Pengembangan bahsa dan sastra Lampung harus didukung lembaga akademik jurusan pendidikan bahasa Lampung dan fakultas ilmu budaya.

KAMUS BAHASA LAMPUNG. Wakil Kedutaan Besar Belanda Kees Groeneboer
(kiri) menyampaikan pandangannya dalam diskusi Mengembalikan Harga
Diri Lampung, Kamus Bahasa Lampung Pertama karya H.N. van der Tuuk di
Hotel Emersia, Bandar Lampung, Kamis (27/2). Selain Kees, diskusi
yang dimoderatori Oyos Saroso H.N. itu menghadirkan budayawan Djadjat
Sudradjat sebagai narasumber. (LAMPUNG POST/IKHSAN DWI NUR SATRIO)
PENDIRIAN fakultas ilmu budaya (FIB), selain S-1 pendidikan Bahasa Lampung, di Universitas Lampung (Unila) mendesak, mengingat pengembangan bahasa dan sastra Lampung hanya dimungkinkan jika melibatkan ilmu budaya lainnya seperti sejarah dan antropologi.