August 24, 2014

Mencari Perempuan Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


CERITA percintaan si bujang Lampung dengan gadis idamannya belum berakhir. Walaupun si bujang sudah bolak-balik datang berkunjung dan sudah pula berlembar-lembar surat cinta ditulisnya, percintaan itu belum dapat dilanjutkan ke jenjang selanjutnya, perkawinan, sebelum persetujuan resmi dari orang tua si gadis telah diperoleh.

Burung koewou.
Persetujuan itu baru diberikan setelah si bujang menyerahkan sejumlah uang kepada calon mertuanya. Besarnya jumlah uang itu tergantung dari tingkat dan status sosial keluarga si gadis. Biasanya jumlahnya berkisar di antara $60?$300. Siapa pun dan dari mana pun asalnya boleh saja mengawini seorang gadis Lampung asal gadis itu bersedia dikawini dan lelaki itu sanggup menyerahkan uang yang dituntut untuk mendapatkan jodohnya.


Poligami diperbolehkan di masyarakat Lampung. Konon, beberapa lelaki bahkan mempunyai istri sampai 12 orang! Upacara perkawinan diawali dengan arak-arakan. Di depan, berjalan orang-orang yang mengusung panji-panji dan rombongan yang memainkan gong, semacam gendang dan seruling-seruling yang terbuat dari bambu. Arak-arakan itu tiba di balai. Beberapa orang mulai menari diiringi alat-alat musik tadi.

Di tempat lain, orang-orang menyembelih kerbau-kerbau yang dibawa oleh pengantin lelaki. Dagingnya dimasak untuk dinikmati bersama. Setelah upacara ini berakhir, pengantin perempuan dibawa oleh pengantin lelaki ke rumahnya sendiri.

Tiba-tiba cerita Kapten Jackson berakhir. Orang Inggris ini tidak melanjutkan ceritanya mengenai Lampung. Tetapi, saya keburu penasaran. Lalu, bagaimana kehidupan perkawinan pasangan pengantin itu? Pertanyaan seperti ini dapat menimbulkan frustrasi karena tidak selalu ada jawaban yang memuaskan.

Kapten Jackson memberikan gambaran bahwa perempuan Lampung yang cantik dan semampai itu memiliki kuasa menentukan apakah ia tertarik atau tidak pada lelaki yang mengincarnya. Hak seperti ini tidak selalu dimiliki seorang perempuan. Pun di masa kini.

Hebatnya Mbah Google! Dengan beberapa ketikan saja di laptop, ketemulah artikel mengenai perempuan Lampung. Artikel itu terdapat di dalam majalah perdagangan dan pelayaran Hindia-Belanda: Nederlandsche Hermes: Tijdschrift voor Koophandel, Zeevaart, Nijverheid, Wetenschap en Kunst No. 7, 1830. Majalah itu diterbitkan di Amsterdam oleh M. Westerman.

Siapa sangka gambaran mengenai perempuan Lampung akan ada di majalah perdagangan? Betul-betul mengherankan. Sayangnya, nama penulisnya hanya tercatat dengan singkatan: JHT. Siapa JHT itu? Entahlah. Daftar Isi di majalah itu hanya memuat judul artikel, tanpa menyebutkan nama penulisnya.

Dalam pengantarnya, JHT menyampaikan artikel mengenai Lampung yang ditulisnya merupakan lanjutan dari artikel lain yang pernah dikirimkan sebelumnya. Artikel sebelumnya itu ditulis menggunakan singkatan BTM. Misterius sekali. Apa boleh buat. Tulisannya menarik sehingga dalam minggu-minggu berikut akan diolah untuk disimak bersama pembaca Lampung Tumbai.

Gambaran yang dilukiskan JHT mengenai Lampung didasarkan atas pengamatan, wawancara, dan pengalamannya selama tiga tahun menjadi Residen Banten. Pada waktu, Lampung termasuk dalam wilayah residensi itu (barangkali ada pembaca yang berani dan dapat menebak siapa penulis artikel ini).

Selama menjadi Residen Banten, JHT sempat berkeliling di Lampung selama dua bulan. Selain dari pengamatan dan pengumpulan data sendiri, JHT juga mendasarkan ceritanya atas laporan-laporan anak buahnya yang ditugaskan di Lampung, terutama Francis. Ketika artikel ini terbit, Francis sendiri sudah mendapatkan penugasan baru sebahai asisten Residen di wilayah Pantai Barat Sumatera. Lampung sudah menjadi residensi sendiri di bawah pimpinan Du Bois.

Alam memberkahi Pulau Sumatera dengan kekayaan, kata JHT membuka ceritanya. Ada emas dan aneka logam lainnya, kapur barus, gading, lada, kapas, kopi, cendana, damar, kura-kura, sarang burung, aneka jenis kayu, dan berbagai komoditas lainnya yang dicari-cari para pedagang. Tidak mengherankan bahwa sejak dahulu kala pulau itu sudah dikunjungi oleh orang-orang asing.

Marcopolo sudah bercerita mengenai Pulau Sumatera yang dikunjunginya pada awal abad ke-13. Di abad ke-15, pulau itu disinggahi pula oleh Vasco da Gamma. Seorang teman sebangsanya, Alvaro Telezzo, singgah di Sumatera pada tahun 1506. Bukan disengaja, melainkan terbawa oleh angin dan arus laut.

Sejak saat itulah, semakin banyak orang asing yang singgah di daratan Sumatera hingga datangnya orang Belanda pada tanggal 15 Juni 1596. Pada waktu itu, empat kapal Belanda, Mauritius, Hollandia, Amsterdam, dan ?t Duijfken, singgah dulu di Sumatera sebelum melanjutkan perjalanan menuju Banten.

Selain Lampung, di Pulau Sumatera terdapat kerajaan-kerajaan seperti Palembang, Siak, Atjin (Aceh), juga ada orang-orang gunung pemakan manusia?orang Batta. Di pantai barat terdapat kerajaan Maningcabo (Minangkabau). Belantara yang menutupi tanah Sumatera dipenuhi oleh berbagai binatang buas yang istimewa: gajah, harimau, badak, dan beruang hitam.

Tapir (yang tadinya diduga hanya ada di Benua Amerika) pun ada di Sumatera. JHT sempat menangkap seekor tapir dan menghadiahkannya kepada Gubernur Jenderal van der Capellen di Pulau Jawa. Binatang itu mati empat tahun kemudian. Seekor tapir lain yang berhasil ditangkap mati tenggelam bersama kapal yang membawanya. Tapir memang binatang langka di Sumatera dan tak diketemukan di Pulau Jawa.

Selain itu, yang juga istimewa adalah burung merak Sumatera (burung juno) dan ular kecil yang sangat beracun: oeay gelang. Konon, tak seorang pun selamat dari gigitan ular mungil itu.

Burung merak juno dan ular gelang itu merupakan binatang-binatang khas Lampung. Dalam bahasa Lampung, burung merak itu disebut koewou. JHT menangkap dan mengirim 10?12 burung merak istimewa itu ke Bogor (Kebun Raya), tetapi hanya 2 atau 3 ekor yang bertahan hidup. Itu pun tak lama.

Acuan Kepustakaan:
Capt. Jackson. Course of the Tulang Bawang River on the Eastern Coast of Sumatra: Extracted from the Journal of Cap. Jackson of the Brig Tweed dalam Malayan Miscellanies. Bencoolen: Sumatran Mission Press. 1822.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 September 2014

No comments:

Post a Comment