August 30, 2014

Kota Budaya, Kota Kreatif

Oleh Udo Z. Karzi


BANDAR Lampung Potensi Jadi Kota Budaya. Demikian judul berita Lampung Post, 23 Januari 2009. Kedengarannya gombal ya?

Bundaran Gajah, Bandar Lampung
Namun, benarlah. Ucapan itu datang langsung dari budayawan, sastrawan, teateran Putu Wijaya. Memang denyut nadi aktivitas kesenian, baik sastra, teater, maupun seni pertunjukan lain, di kota ini sangat kuat.

Saya berbincang langsung dengan Putu Wijaya di sela-sela ia memberikan workshop Penyutradaraan dan Artistik dalam Rangkaian Kala Sumatera yang diselenggarakan Teater Satu dan Hivos Belanda, di Taman Budaya Lampung (TBL), 22 Januari 2009.

Putu mengaku baru dua kali ke Bandar Lampung. Namun, sejak kunjungan pertamanya ke Lampung era 1990-an, dia sudah merasakan atmosfer berkesenian di Lampung. Berbagai event kesenian yang digelar di sini, seperti Liga Teater Pelajar, pelatihan teater, kegiatan sastra, dan kegiatan seni lain, menunjukkan kehidupan seni budaya berkembang pesat di Lampung.

"Kota ini seperti di luar amatan saya. Selama ini, orang hanya tahu Medan dan Padang sebagai pusat kebudayaan. Saya surprise di sini. Ternyata di kota ini geliat sastra, teater, dan seni lain luar biasa," kata Putu.

***

Itu sudah. Sekarang lima tahun kemudian, adakah yang berbeda dari keadaan tahun 2008 ini?

Sebelum menjawab itu, saya punya cerita lain. Dengan penuh semangat saya membaca Kompas edisi khusus energi kreatif 100 halaman tertanggal 27 Juni 2014. Sebuah laporan yang sangat menarik. Kota kreatif! Apa itu? Lalu, bagaimana menentukan kota kreatif?

Begini antara lain Kompas menulis: "... Kota dirancang atau ditata ulang dengan berorientasi pada penyediaan prasarana dan sarana untuk memudahkan mobilitas manusia, barang, dan jasa tanpa harus merusak lingkungan. Secara dialektis, kota kreatif membuat para penghuninya juga menjadi kreatif. Hanya dalam lingkungan hunian kota yang dinamis, bergairah, dan kreatif, warga dapat mengembangkan diri secara leluasa.

Sebaliknya, kota yang tidak kreatif membuat penghuninya cenderung pasif, tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Kegagalan beradaptasi membuat kota menjadi korban, berkembang liar. Kota semacam ini sama sekali tidak kondusif bagi proses pengembangan hidup yang lebih kreatif dan dinamis.
" (Rikard Bangun, Kota Kreatif Pilihan Masa Depan, Kompas, 27/6/2014 hlm. 1 dan 9)

Dengan indikator ini, tersebutlah beberapa kota kreatif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kota-kota kreatif ini digambarkan dalam peta sebaran daerah kreatif di hlm. 41.

Bagaimana dengan kota-kota di Lampung? Katakanlah Bandar Lampung? Ahai... Kota-kota kreatif itu dominan menyebar di Pulau Jawa, Bali, dan NTT. Di Sumatera hanya ada Kota Medan, Kota Batam, Kota Padang, Bukittinggi, Kabupaten Tanah Datar, Kota Sawahlunto, dan Kabupaten Belitung.

Alih-alih kota kreatif, Kementerian Lingkungan Hidup malah mengumumkan Bandar Lampung sebagai kota besar terkotor mendampingi Bekasi sebagai Kota Metropolitan terkotor pada Juni 2012. Sejak dinobatkan menjadi kota terkotor itu hingga kini Bandar Lampung belum sempat mendapatkan Piala Adipura lagi.

***

Ini cerita ketiga. Sekarang memang lagi pada keranjingan dengan ekonomi kreatif, apalagi setelah dalam sebuah sesi debat calon presiden, Joko Widodo menyatakan komitmen untuk mengembangkan ekonomi kreatif.

Ah, saya tidak kepengin mendefinisikan ekonomi kreatif. Sudah sering dibahas. Namun, saya hanya tertarik dengan sebuah rencana seminar yang akan diselenggarakan Universitas Lampung (Unila) tempat saya kuliah kelamaan 1990-1996. Heheee...

Seminar ini akan diselenggarakan di Ballroom Hotel Emersia, Bandar Lampung, 10-11 September 2014. Sebanyak 300 peserta dari berbagai kalangan dijadwalkan menghadiri seminar dengan pembicara, antara lain Direktur DP2M Dikti Agus Subekti, Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo, Bupati Way Kanan Bustami Zainudin, Ketua LPPM Universitas Brawijaya Malang Woro Busono, dan Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Pertanian (FP) Unila Erwanto.

Wah seru deh. Apalagi menyimak apa yang dikatakan Rektor Unila Sugeng P. Harianto berkenaan dengan rencana ini. Begini kata Rektor: "Kontribusi Unila, khususnya di Provinsi Lampung, dilakukan melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat oleh lembaga pengabdian masyarakat (LPM). Posisi Unila tidak hanya sebagai lembaga institusi pendidikan tinggi, tetapi LPM mampu merespons hingga mengoptimalkan gagasan, pemikiran, dan tindakan kreatif sivitas akademika maupun masyarakat?. (baca: Teras Lampung.com)Bagus kan? Namun, teman saya, Mamak Kenut, memang usil sih, nyeletuk saja, "O, ekonomi kreatif itu, kalau di perguruan tinggi kayak Unila, pengabdian masyarakat ya, Pak?"

Ya, sudah. Itu dinamika Bumi Ruwa Jurai. "Industri kreatif Lampung sebenarnya sudah mulai bangkit: penerbitan buku, komputer, pakaian, musik, film, dan lainnya. Namun, belum dikelola serius dan dibesarkan volumenya. Perlu sentuhan para pemimpin untuk memobilisasi potensi ekonomi kreatif Lampung dan peningkatan kualitas/kuantitas SDM pelakunya," hibur Zulfikar Fuad, yang sering menulis riwayat hidup orang-orang hebat di Lampung dan di Indonesia.

Saya sendiri cuma, cuma menulis komentar di Facebook: "Almamater saya (Unila) ini hebat kok. bisa melahirkan budayawan dan pemikir kebudayaan tanpa harus punya fakultas ilmu budaya, bisa bikin banyak penyair/sastrawan mesti tidak punya jurusan sastra, bisa punya aktor dan sutradara andal dengan mengandalkan unit kegiatan mahasiswa (UKM), serta bisa memproduksi seniman meski harus besar dari jalanan; bisa buat lagu, film, penerbitan, pertunjukan, dan lainnya. Meski yang bikin cuma otodidak?.

Terus kita harus bagaimana? Ya enggak gimana-gimana! Berbudaya, kreatif... kan enggak cukup kalau cuma dikata-katakan saja. Ya, kerjakan, buktikan... Begitu saja kok! n

Udo Z. Karzi, Tukang tulis, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment