August 31, 2014

Melirik Tanah Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


BELANDA dan Inggris bersepakat: mulai Maret 1824, seluruh Pulau Sumatera menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Lampung pun tidak luput. Hampir seluruh bagian selatan Pulau Sumatera termasuk wilayah Lampung, kecuali daerah Komering (yang masuk Residensi Palembang) dan daerah di balik Bukit Barisan (yang termasuk Residensi Bengkulu).

Edward Jenner (1749—1823) dengan vaksin cacar air
yang dikembangkannya sejak 1774.
Pada awal 1800-an, diketahui Lampung termasuk wilayah kekuasaan Banten, bahkan sebelum Islam berpengaruh di sana. Namun, sejarah asal-mula terjadinya kaitan antara Lampung dan Banten tidak banyak diketahui.


Menurut JHT, yang diketahui adalah Sech Ibrahim Moelana (yang dikenal dengan nama Soesoehnang Goenong Djati setelah ia meninggal dunia) mulai menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa ketika ia tiba dari Arab sekitar 1406. Anaknya, menjadi Sultan Banten pertama yang memeluk Islam.

Seabad kemudian kejayaan Kesultanan Banten sudah mulai menurun. Apakah pada waktu itu Lampung sudah terkena pengaruh Banten? Ada yang menyangsikannya. Hampir tiadanya kaitan dan hubungan di antara Lampung dan Palembang dan Bengkulu seolah-olah mendukung kesangsian ini. Kedua daerah itu dianggap pernah berkaitan erat dengan Banten. Hubungan itulah yang diduga membuka jalan bagi VOC untuk membentuk hubungan dagang dengan Kesultanan Palembang. Lemahnya kaitan antara Banten dan Lampung menyebabkan VOC kemudian tidak banyak berpengaruh atau berdagang di Lampung. Pada 1777, Banten “meminjamkan” kekuasaan atas Lampung kepada Belanda. Secara resmi, Lampung—sebagai bagian dari Kesultanan Banten—baru resmi dianggap sebagai wilayah kekuasaan VOC pada 1808 ketika Banten ditaklukkan Belanda.

Menurut JHT, ketika Belanda mulai berpengaruh di wilayah itu, Lampung tidak terbagi-bagi ke dalam wilayah-wilayah tertentu. Pegawai-pegawai Belanda (pertama VOC, kemudian Hindia-Belanda) membagi-bagi wilayahnya ke dalam lima provinsi: Toelang Bawang, Sepoeti, dan Sekampong (sesuai aliran ketiga sungai besar di Lampung) serta Tellok Betong dan Semangka (yang diberi nama sesuai teluk-teluk besar di dekat daerah-daerah itu). Pada awalnya, pembagian wilayah itu tidak banyak kaitan ataupun dampak pada situasi masyarakat Lampung dan sistem pemerintahannya. Pembagian itu barulah terasa dampaknya ketika Belanda sendiri mulai lebih banyak berhubungan dengan daerah dan masyarakat di Lampung.

Tak banyak orang yang tinggal di Lampung. Jumlah yang pasti sukar ditentukan, tapi diperkirakan di wilayah seluas itu jumlah penduduknya tidak melebihi 100 ribu jiwa. Pada 1819, Du Bois membagi daerah Toelang Bawang ke dalam 11 distrik dan mencatat jumlah penduduknya seteliti mungkin, yaitu sebanyak 28.435 jiwa. Jumlah penduduk itu bertambah setelah Belanda mulai melakukan vaksinasi terhadap penyakit cacar (koepok). Penyakit cacar air—yang kini dikenal sebagai penyakit anak-anak—menimbulkan bencana di banyak daerah di Nusantara. Ribuan orang meninggal dunia di Makassar (1808) dan Bima (1809). Vaksinasi cacar baru mulai dilakukan di Banten pada 1820 terhadap sekitar 800 anak. Kemungkinan, setelah itu barulah dilakukan vaksinasi cacar air di Lampung juga.

Sebagian besar produk alam yang dihasilkan daerah lain di Sumatera juga dihasilkan oleh Lampung. Emas (yang jumlahnya tak terlalu banyak) dapat ditemukan tanpa keharusan membuat tambang-tambang. Pohon kamfer, yang minyaknya merupakan bahan dasar untuk membuat (kapur) barus, tumbuh di Lampung. Produk ini merupakan salah satu komoditi yang dicari Belanda untuk diperdagangkan ke Eropa.

Tanah Lampung subur, terutama di daerah sebelah timur wilayah itu. Padi tumbuh subur tanpa kebiasaan membajak tanahnya dengan kerbau seperti di Pulau Jawa. Gagal panen biasanya terjadi karena kerusakan yang disebabkan oleh kawanan-kawanan gajah yang berkeliaran. Meksipun demikian, Lampung tetap dapat dianggap sebagai lumbung padi bagi daerah-daerah di pantai barat Sumatera.

Cukup banyak kapas dari Lampung diperdagangkan ke Pulau Jawa. Begitu pula hasil hutan seperti rotan, getah-getahan, dan tentu saja lada. Konon, sebelum kedatangan Belanda, panen lada dari Lampung mencapai 3 juta ton. Biji-biji lada itu dibeli dengan harga murah oleh Sultan Banten yang kemudian menjualkannya lagi kepada Kompeni. Lada dari Lampung bahkan merupakan salah satu sumber pemasukan terbesar kesultanan itu (padahal tanaman lada di tanah Banten sendiri menghasilkan kurang 1/8 hasil dari Lampung). Keuntungan penjualan lada dari Lampung itu tidak hanya dinikmati Sultan Banten, tetapi juga para pembesar kesultanan, kepala desa, dan siapa pun yang berhubungan dengan lada: pemasokan, penimbangan, penyimpanan, dan penjualannya.

Di Poelo Bissie (yang lebih dikenal Belanda dengan nama Slebezee Eiland) juga terdapat tanaman lada. Pohon-pohon itu ditanam oleh Radja Bassa yang tinggal tak jauh dari tempat itu. Pada awal 1800-an, kebun-kebun lada di sana dihancurkan oleh para perompak. Ketika JHT membuat catatannya, penanaman pohon-pohon lada yang baru masih dipersulit oleh para perompak itu.

Setelah melirik sepintas pada wilayah dan kekayaan alam Lampung, JHT memulai deskripsinya mengenai masyarakat Lampung dengan decak heran bercampur kagum. Orang Belanda ini—yang rupanya telah banyak mengunjungi berbagai daerah di nusantara—terheran-heran melihat kontradiksi antara adat dan tinggalan budaya yang “tinggi” di Lampung dengan praktik budaya yang dianggapnya “barbar” atau tidak berbudaya. Kontradiksi itulah yang sangat menarik perhatiannya. n

Acuan Kepustakaan:
JHT Nederlandsche Hermes: Tijdschrift voor Koophandel, Zeevaart, Nijverheid, Wetenschap en Kunst No. 7, 1830 (Amsterdam: M. Westerman).

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment