November 12, 2010

Kearifan Lokal dalam Pagelaran Seni se-Sumatera

Oleh Agusta Hidayatullah

PAMERAN dan Pergelaran Seni Se- Sumatera yang berlangsung pada 4 hingga 11 November 2010 menjadi ajang dan sarana penting untuk mengingatkan kembali bangsa ini tentang kayanya kearifan lokal di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatra.

Kekayaan budaya, bebunyian, gerak, karya rupa, kreasi kotemporer para seniman dari 10 provinsi di Pulau Sumatra itu tergambar jelas dalam pergelaran yang hampir berlangsung seminggu itu.

Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera (PPSS) XIII 2010 dibuka secara resmi di Taman Budaya Lampung pada 9 November 2010.

Sebelumnya, juga digelar acara pameran seni rupa se-Sumatera 2010, berlangsung dari tanggal 4 hingga 11 November 2010 di Galeri Taman Budaya Lampung.

Pameran lukisan yang berlangsung selama 10 hari itu menjadi "gimmick" acara Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera XIII 2010.

Acara itu diikuti oleh 33 pelukis se-Sumatera, dan menampilkan 54 lukisan dari berbagai aliran dan tema, yang dipadukan dalam satu tema utuh, "Rupa-rupa harmoni Sumatra".

Kepala UPTD Taman Budaya Lampung, Helmy Azharie, menyebutkan Lampung menjadi tuan rumah untuk yang kedua kalinya dalam pergelaran seni se-Sumatera itu, setelah sebelumnya pada 1999.

"Ada ajang baru pada PPSS tahun ini, yaitu festival 'Happening Art', yang akan berlangsung pada hari kedua pergelaran," kata dia.

Pembukaan acara itu akan dihadiri Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Nurmantias, Guru Besar Seni Tari Universitas Indonesia Prof Dr Edy Setiawati, Kepala Galeri Nasional Tubagus Andre, dan Kepala UPTD Taman Budaya se-Sumatra.

Pergelaran itu merupakan kegiatan tahunan yang menyajikan kesenian tradisional dan kontemporer dari seluruh Sumatra.

PPSS ke-13 diisi dengan pameran seni rupa, seni lukis, seni tari, seni musik, pembacaan puisi, diskusi seni, Festival Happening Art, bazar seni, dan Pan Essemble Music.

Sejumlah daerah yang mengikuti acara tersebut adalah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Bengkulu, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Lampung, dan Kepulauan Riau.

Malam harinya, delapan daerah di Pulau Sumatra unjuk kebolehan dalam pergelaran seni tari di ajang Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera (PPSS) XIII 2010, di Taman Budaya Lampung, Selasa malam.

Daerah yang ikut ambil bagian dalam ajang tersebut adalah Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Sumatra Barat, Bangka belitung, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung.

Kecuali Lampung yang menampilkan empat tarian dan Bangka Belitung yang membawakan dua tarian, enam daerah lain hanya meyuguhkan satu tarian sebagai perwakilan Taman Budaya masing-masing.

Taman Budaya Sumatra Utara menampilkan tari garapan Mateus Suwarsono, yang berjudul Cawan Sigale-gale.

Tari tersebut mengeksplor idiom etnis Toba dengan penggunaan cawan sebagai salah satu pendukung yang lazim digunakan dalam ritual masyarakat sana.

Selajutnya Taman Budaya Riau, menampilkan tarian berjudul Raja Buang Asmara, garapan koreografer Susi Vivin Astuti.

Tarian itu menggambarkan Raja Buang Asmara yang memerintahkan panglimanya untuk membunuh Belanda dengan menggunakan sebilah keris.

Sedangkan Taman Budaya Sumatra Barat menampilkan karya Joni Andra berjudul Potret Nan Kanduang.

Tarian tersebut bercerita tentang harapan orang tua terhadap sosok anak, yang sayangnya tidak sesuai dengan realitas karena sang anak justru berkembang tidak sesuai dengan harapan sang orang tua.

Provinsi Bangka Belitung menampilkan karya koreografer Attoufiq, dengan judul Tari Peking, yang menceritakan tentang keriaan petani dalam mengusir burung peking yang saat ini sudah langka terlihat.

Selain itu, daerah itu juga menampilkan tari Penjual Kue yang bercerita tentang penjual kue yang gigih dalam melaksanakan pekerjaan.

Selanjutnya, Didin Siroz, koreografer asal Jambi menampilkan tari "Rentak Baro Api" yang dikemas dengan gata kotemporer, yang menggambarkan upacara besale suku anak dalam di Kabupaten Batanghari, Jambi.

Sementara Taman Budaya Bengkulu menampilkan tarian Pering Bandendang, yang banyak dipakai dalam acara perkawinan di daerah itu.

Pada pergelaran istimewa itu, Taman Budaya Lampung menampilkan empat tarian sekaligus, yaitu "Mande Angin" karya Rizqon Agustya Fahsa, Muli Khagom karya Thantasia Nangniva, Dayang Malini karya Ayu Dewi, dan Kenui Begukhau dengan koreografer Sudarmanto.

Keesokan malamnya, giliran para seniman musik yang mementaskan sejumlah alat musik tradisional khas dari berbagai daerah di pulau itu.

"Kekayaan dan keragaman budaya itu merupakan potensi kearifan lokal yang ampuh sebagai pembentuk identitas bangsa," kata Helmy.

Sejumlah alat musik tradisional khas Sumatra yang dimainkan itu berasal dari beberapa daerah di Sumatra, di antaranya Aceh, Sumatra Utara, Jambi, Bengkulu, Sumatra Barat, dan Lampung.

Seperti Teganing asal Aceh, yang merupakan alat musik tradisional berasal dari dataran tinggi Gayo, malam itu dipentaskan oleh 14 musisi asal daerah tersebut.

Pada pementasan yang dikonduktori oleh Ismuha itu, alat yang dibuat dari ruas-ruas bambu dan memiliki senar dari kulit bambu itu, terasa menghanyutkan penonton.

Di daerah asalnya, Teganing biasa dimainkan oleh beberapa anak gadis di beranda rumah sambil mendendangkan lagu-lagu syahdu.

Dari Sumatra Utara, grup musik bernama Barabajaba yang dipimpin Junaidi mementaskan permainan ritem alat tradisional daerah itu dalam sebuah pola yang bernama patam-patam.

Teknik patam-patam pada tradisi Melayu, Toba, Karo, dan Mandailing dijadikan sebagai konsep garapan dengan mengolaborasikannya dalam sebuah komposisi pementasan.

Sementara dari Lampung, alat musik tradisional cetik dipadukan dengan alat musik modern seperti jime, rebana, drum, bas, gitar, beduk, dan biola, dalam sebuah pementasan yang diberi nama Betong Perkusi.

Sedangkan dari Jambi, Azhar MJ dengan lima pemusik tradisional asal daerah itu mencoba mengangkat tradisi menyiangi padi yang disebut "tele basiang" di Kabupaten Kerinci dalam pementasan mereka yang diberi nama "nyeru angin".

Pementasan itu memadukan tradisi itu dengan instrumen musik tradisional Sumatra dan modern, seperti yang dilakukan seniman asal Lampung.

Pertunjukan musik tradisional Sumatra itu mendapat apresiasi bagus dari penonton.

Sebagian besar penonton memujii pementasan itu yang menurut mereka telah mengajak untuk mengeksplorasi kebudayaan asli Sumatra.

Seniman peduli bencana

Sementara itu, pada ajang "Happening art" pada hari ketiga pergelaran tersebut, Rabu (10/11), diisi dengan pengumpulan dana bagi korban bencana gempa dan tsunami di Mentawai, Sumatra Barat, serta korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta.

"Ini betul-betul spontanitas, beberapa saat menjelang pertunjukan langsung terlintas ide tentang pengumpulan dana dari penonton yang menyaksikan," kata penampil yang mengonsep "Happening art" tentang pengumpulan dana itu, Didin Siroz.

Pikiran spontan itu langsung direalisasikan dengan menambah properti pertunjukan berupa keranjang rotan, yang ditutupi kain putih bertuliskan "Selamatkan korban bencana", yang dipanggul oleh Didin.

"Happening art" yang dilakukan oleh seniman asal Jambi itu ditampilkan oleh tiga musisi, dua pemain teater, dan seorang perupa.

Dalam aksi teaterikal yang tanpa konsep itu, dua orang aktor digambarkan berjalan tertatih-tatih di pelataran Taman Budaya Lampung, dengan iringan sayatan biola yang menyayat sebagai simbolisasi penderitaan korban bencana.

Sekujur badan aktor tersebut ditaburi dengan bubuk putih, sebagai simbol hujan abu yang terjadi di Merapi.

Aksi pengumpulan dana dalam pertunjukan itu berhasil meraih simpati penonton dan terkumpul dana sebanyak Rp200 ribu dalam sekali pertunjukan.

Dana itu akan langsung diserahkan kepada panitia PPSS XIII yang akan menyerahkan bantuan itu secara bersamaan atas nama seluruh seniman Sumatera.

"Aksi itu akan terus kami lakukan hingga hari terakhir festival, dan berharap dana yang terkumpul akan lebih banyak lagi," kata dia.

Penggambaran di atas merupakan sebagian kecil manfaat kasat mata dari festival seni tahunan se-Sumatra itu.

Meski masih perlu perbaikan di sana-sini, nampaknya ajang PPSS XIII layak dan harus diadakan kembali pada tahun selanjutnya.

Bukan hanya sebagai ajang silaturahmi dan tukar ide antarseniman, namun yang terpenting acara tersebut mampu menjadi kawah pencerahan bagi masyarakat tentang ragam budaya dan pluraslisme Indonesia.

Sumber: Antara, Jumat, 12 November 2010

No comments:

Post a Comment