Oleh M Fajar Marta dan Yulvianus Harjono
LAJU pemekaran daerah di Provinsi Lampung berlangsung cukup pesat dalam dasawarsa terakhir ini. Sayangnya, pemekaran yang dilakukan kurang berhasil memenuhi tujuan awalnya, yakni mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah setempat.
Jalan negara di jalan lintas pantai timur Sumatera di Tulung Pasik, Lampung Timur, rusak parah. Kerusakan infrastruktur ini mempersulit lalu lintas manusia dan aktivitas ekonomi di daerah. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)
Justru daerah-daerah otonom baru kerap menimbulkan masalah baru, mulai dari tumpang tindih wewenang hingga menjadi ladang baru kolusi dan korupsi. Bagaimana daerah otonom baru sebaiknya dikelola agar bisa betul-betul bermanfaat bagi masyarakat banyak?
Sejak tahun 1990-an telah terbentuk sembilan daerah otonom baru di Lampung sehingga provinsi paling selatan di Sumatera itu memiliki 14 kabupaten/kota. Pada tahun 1991 lahir Kabupaten Lampung Barat. Pada 1997, dua daerah baru lahir, yakni Kabupaten Tulang Bawang dan Tanggamus.
Pada 1999 dibentuk tiga daerah baru sekaligus, yakni Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Timur, dan Kota Metro. Selanjutnya, pada tahun 2007, Kabupaten Lampung Selatan dimekarkan dan melahirkan kabupaten baru, yakni Pesawaran. Terakhir, pada 2008, muncul Pringsewu, Tulang Bawang Barat, dan Mesuji, hasil pemekaran kabupaten induk, yakni Tanggamus untuk Pringsewu dan Tulang Bawang untuk Tulang Bawang Barat dan Mesuji.
Pengamat otonomi daerah di Lampung, Syarif Makhya, mengatakan, meskipun telah berusia lebih dari sepuluh tahun, kabupaten hasil pemekaran, seperti Way Kanan, Lampung Barat, Lampung Timur, dan Tulang Bawang, hingga kini masih tergolong sebagai daerah tertinggal. Padahal, pemekaran sejatinya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan daerah otonom baru.
Kondisi itu terjadi karena terlampau banyak masalah yang menghadang. Peraturan mengenai otonomi daerah, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyangkut otonomi daerah, saja, kata Syarif, masih banyak kekurangan. Salah satunya adalah rantai birokrasi yang tidak efisien. Berdasarkan UU No 32/2004, kabupaten yang ingin membangun jalan harus melapor dulu kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
”Peraturan-peraturan daerah juga harus dievaluasi pemerintah pusat sebelum diimplementasikan sehingga memperpanjang rantai birokrasi,” ujar Syarif.
Selain itu, kata dia, belum ada aturan jelas yang mengatur koordinasi kebijakan antara pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat. Ini mengakibatkan terjadi tumpang tindih kebijakan, terutama program-program yang berkaitan dengan isu-isu utama di daerah, semisal kemiskinan dan pengangguran. Misalnya, pemerintah pusat mengadakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM Mandiri), sementara pemerintah provinsi dan kabupaten juga melakukan hal serupa di daerah yang sama. Ini menunjukkan bahwa setiap pemerintah cenderung hanya melihat program sebagai proyek dan cara menghabiskan anggaran.
UU No 32/2004, kata Syarif, juga belum mengatur batas-batas kewenangan di antara setiap pemerintah secara jelas. Ini mengakibatkan, pemerintah provinsi, misalnya, menerobos kewenangan yang sebenarnya dimiliki pemerintah kabupaten.
Model kelembagaan daerah otonom baru ini juga belum disesuaikan dengan karakteristik daerah. Semua daerah baru dipandang memiliki kapasitas sama sehingga struktur kelembagaannya diseragamkan. Daerah baru berupa kota, misalnya, masih diharuskan memiliki dinas kehutanan, padahal tidak ada lagi hutan di perkotaan. ”Di samping tidak efektif, ini juga mengakibatkan pemborosan,” ujarnya.
Peneliti Lembaga Survei Rakata Institute di Lampung, Eko Kuswanto, mengatakan, praktik pemekaran daerah juga belum sepenuhnya mendorong partisipasi masyarakat. Pemilihan kepala daerah atau pemilihan bupati yang notabene dilakukan secara langsung justru direkayasa demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Itu terlihat dari sering molornya pilkada di daerah otonom baru.
Berdasarkan aturan, kata Eko, sebuah daerah otonom baru selambat-lambatnya sudah harus menggelar pilkada dua tahun setelah daerah baru terbentuk. Kenyataannya, pilkada baru dilakukan setelah tiga tahun. Kabupaten Pesawaran yang didirikan pada 2007, misalnya, baru melakukan pilkada pada 2010. Daerah lain, seperti Pringsewu, Tulang Bawang Barat, dan Mesuji yang dibentuk pada tahun 2008, juga rencananya baru menggelar pilkada tahun 2011 atau tiga tahun kemudian.
Menurut Eko, alasan yang dikemukakan otoritas biasanya adalah ketiadaan anggaran. Alasan itu dinilai tidak masuk akal karena anggaran pilkada sejatinya telah dialokasikan oleh pemerintah pusat. Penundaan pilkada terjadi lebih karena sejumlah pihak yang memiliki ”jago” belum merasa siap untuk mengajukan jagonya dalam pilkada, misalnya belum terlalu populer.
Situasi itu, kata Eko, merugikan masyarakat dan calon bupati yang tidak disokong kekuasaan dan kekuatan finansial. Penundaan yang berulang-ulang itu akhirnya membuat masyarakat yang sebelumnya antusias pun menjadi apatis. Akibatnya, ketika pilkada dilakukan, partisipasi masyarakat amat rendah.
Anggota DPRD Provinsi Lampung, Khamamik, mengatakan, pejabat-pejabat bupati yang ditunjuk memimpin daerah otonom baru pada masa transisi juga kerap melakukan hal-hal yang melampaui wewenangnya. Berdasarkan UU, pejabat bupati sebenarnya hanya memiliki tiga kewenangan, yakni membentuk organisasi pemerintah daerah, mengisi kekosongan DPRD, dan menyiapkan pilkada selambat-lambatnya dua tahun setelah daerah baru terbentuk. Dalam praktiknya, pejabat bupati banyak mengeluarkan perda dan melakukan mutasi pejabat.
Sekretaris DPD PDI-P Provinsi Lampung Dedy Afrizal mengatakan, pemekaran daerah di Lampung belum sepenuhnya mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan publik. Partai politik harus berperan aktif membantu pemda untuk mencapai tujuan pemekaran daerah.
Sumber: Kompas, Selasa, 2 November 2010
No comments:
Post a Comment