Bandarlampung, 9/11 (ANTARA) - Kolaborasi seniman musik Se-Sumatera yang menyajikan "Pan Essemble Music", mengajak seluruh penonton untuk merasakan kepedihan warga Mentawai akibat bencana alam di pulau itu, dalam sajiannya di ajang Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera XIII/2010.
Mediator pertunjukan, Jefri A Pasaribu, di Bandarlampung, Selasa, mengatakan, dalam kolaborasi tersebut, mereka mengajak seluruh penonton merasakan kepedihan warga Mentawai pascabencana tsunami yang menimpa mereka, sekaligus mengajak semua hadirin untuk bangkit dan hidup berdampingan dengan alam.
"Komposisi yang kami tampilkan sekitar setengah jam itu merupakan hasil diskusi dan pergolakan batin secara bersama-sama seluruh musisi yang terlibat selama lima hari terakhir," kata dia.
Dia melanjutkan, kepedihan dan kesedihan warga Mentawai itu disimbolkan dengan vokal tolak bala dan rintihan pada "interlude" pertunjukan.
"Setelah rintihan itu, kami tampilkan musik rampak yang menyimbolkan ajakan kepada seluruh warga Sumatera untuk bangkit dan kembali hidup berdampingan dengan alam," kata dia.
"Pan Essemble Music" merupakan kolaborasi etnik yang berisi bunga rampai pertunjukan dan cuplikan bunyi-bunyian dari beragam alat musik di Sumatera.
Kolaborasi itu ditampilkan dalam pembukaan Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera XIII/2010, yang diadakan di Taman Budaya Lampung, Selasa.
Lagu "anak kala" dijadikan benang merah yang menyatukan seluruh bunyi-bunyian dengan ketukan dan nada berbeda-beda itu.
Kolaborasi itu melibatkan 19 musisi dari seluruh provinsi di Sumatera, minus Kepulauan Riau yang berhalangan hadir.
Hampir 50 instrumen musik tabuh, tiup, melodi, dan petik, dimainkan secara bersamaan hingga terbentuk sebuah harmonisasi dalam kolaborasi itu.
Pementasan itu terdiri atas empat bagian, masing-masing vokal tutur dan pola tuturan dari masing-masing daerah, melodi yang memainkan lagu "anak kala", interlude berupa rintihan dan vokal tolak bala, dan diakhiri dengan rampak alat musik tabuh dan pukul.
"Kami berproses sejak Kamis (4/11) dengan alat seadanya, dengan cara satu orang melempar ide besar, dan diikuti oleh yang lain untuk mengembangkan ide tersebut," kata Jefri.
Dia menjelaskan, tidak ada istilah komposer dalam proses tersebut, dan lebih suka menyebutnya dengan istilah mediasi ide dari berbagai seniman musik se-Sumatera.
Dia juga menceritakan, seluruh pemain berlatih hingga 8 jam per hari demi kesempurnaan pertunjukan tersebut meskipun keseluruhan alat yang akan dipakai pada saat pertunjukan baru terkumpul lengkap pada delapan jam sebelum pementasan berlangsung.
"Saya percaya saja dengan semua teman-teman, karena toh mereka semua sudah ahli di bidangnya," kata dia.
Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera XIII/2010, digelar di Taman Budaya Lampung selama dua hari, hingga 11 November 2010 mendatang.
Lampung sudah menjadi tuan rumah untuk yang kedua kalinya dalam pergelaran seni Se-Sumatera itu, setelah sebelumnya pada 1999.
Pada PPSS tahun ini terdapat ajang baru yang tidak pernah ditampilkan pada PPSS sebelumnya, yaitu festival Happening Art, yang akan berlangsung pada hari ke-2 pergelaran.
Pergelaran itu merupakan kegiatan tahunan yang menyajikan kesenian tradisional dan kontemporer dari seluruh Sumatera.
PPSS ke-13, diisi dengan pameran seni rupa, seni lukis, seni tari, seni musik, pembacaan puisi, diskusi seni, Festival Happening Art, bazar seni, dan Pan Essemble Music.
Sejumlah daerah yang mengikuti acara tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, dan Kepulauan Riau.
Sumber: Antara, Selasa, 9 November 2010
No comments:
Post a Comment