Oleh Iswadi Pratama
KOLN. Suhu malam itu, Rabu 17-11, 2010, kian anjlok mendekati titik 0 derajat Celsius. Pohon-pohon kalisa dan maple yang di musim semi rimbun menaungi area seluas lebih kurang 1 ha tempat gedung Orangerie Theater berdiri di jantung Kota Koln, Jerman, seperti menggigil tanpa daun.
Di gedung inilah lakon Nostalgie Einer Stadt (Nostalgia Sebuah Kota) karya Iswadi Pratama dari Teater Satu Lampung dipentaskan hingga 21 November mendatang. Gedung yang pada pasca-Perang Dunia II menjadi gudang penyimpanan bibit-bibit pohon jeruk di musim dingin. Lalu dibagikan ke seluruh penjuru Kota Koln jika musim semi tiba. Itulah mengapa gedung ini disebut Orangerie (jeruk). Di gedung yang hanya berkapasitas 100 bangku atau lebih kurang sama seperti Teater Utan Kayu, Jakarta, penonton telah berdatangan mengantre tiket sejak pukul 19.00 waktu setempat.
Pertunjukan akan dimulai setengah jam lagi. Di antara kerumun penonton yang siap berdiri di depan pintu masuk gedung pertunjukan itu, tampak teman-teman dari Indonesia yang ada di Koln; Ging Ginanjar dan Andi dari Radio 68 H Komunitas Utan Kayu, Edith yang bertugas di salah satu Radio Jerman; Amanda mahasiswa Indonesia yang magang di Orangerie Theater; dan Angga yang sejak pagi sibuk membuat film dokumentaer Budi Laksana; aktor dari Teater Satu . Di antara mereka juga tampak beberapa seniman dari Tanz Theater Fina Baush, para sastrawan, seniman visual dan tentu saja seniman-seniman teater dari Koln, Bonn, dan Berlin.
Tepat pukul 19.30 pertunjukan dimulai. Berbekal tiket seharga 9—15 euro satu per satu penonton beringsut ke dalam gedung. Berbarengan dengan masuknya penonton, musik dan cahaya merambat pelan mengiringi para penari dan aktor bergerak menyusup ke panggung berlatar gelondongan-gelondongan tabung setinggi 2 meter dalam berbagai ukuran yang dirancang oleh Gerburg Stoffel dari Fina Bausch Tanztheater's. Komposisi musik techno dan sound yang diciptakan Gintesdorfer dan Dirk Specht, peraih pengharagaan dalam Kontemporary Techno-Music Festival 2010 di Koln, mampu menggedor perhatian penonton yang telah dihajar dingin sebelum masuk ke dalam gedung pertunjukan.
Lima penari yang berasal dari beberapa sekolah balet; Ruben Reniers (Belanda), Helene Henkel (Hungaria), Cornelia Trumper (Spanyol), Hannah Pletzer, Kathrin Wankelmuth (Jerman) membangun komposisi dengan gerak-gerak balet kontemporer yang lebih terlihat sakit daripada indah. Tubuh mereka meregang dan mengerut, berjumpalitan di atas matras yang menutupi lantai panggung, jatuh terbanting, melenting, dan di satu titik tertentu tiba-tiba diam. Hening. Budi Laksana (Indonesia) perlahan menyusur tepian panggung dengan karakter gerak yang khas Indonesia. Kedua tangannya mengembang berayun dengan sepasang sayap dari linen hitam yang telah koyak. Ia seperti seekor burung yang terbang ditingkahi gemerisik suara hujan di kejauhan.
Serge Nekpe, aktor dari Pantai Gading, dengan tubuhnya yang legam dan kukuh mengendap di antara para penari yang mematung seperti hendak menebarkan ketakutan. Gerakannya mengingatkan tari-tarian dari pedalaman Afrika. Lalu, perlahan-lahan, lamat-lamat para aktor dan penari mengucapkan teks-teks Nostalgia Sebuah Kota dengan diksi yang beragam. Mengucapkan sejumlah kenangan tentang kota Tanjungkarang. Tentang gedung-gedung yang terus tumbuh, hibuk pasar, orang-orang yang bergegas, tentang seseorang yang tak mampu menghafal nama-nama jalan, tentang kesendirian, dan seterusnya.
Kristof Szabo, sutradara dari Hungaria yang menangani pertunjukan ini, membangun impresi-impresi tentang sebuah kota, keterasingan, kepanikan, kenangan, dengan citraan-citraan visual yang bergerak antara permainan (bermain-main) dan drama. Antara teks verbal yang dilisankan dan tubuh-tubuh yang menyusun bentuk dan gambar lalu diremukkan. Apa yang koyak dan bahkan tercabik dari kehidupan sebuah kota juga dihadirkan melalui pilihan-pilihan kostum rancangan Emese Kasza (Hungaria) dan Animasi Ivo Kavacs.
Tegangan yang biasa terjadi dalam drama, dirawat Kristof sepanjang pertunjukan melalui karakter gerak dan ekspresi yang dimainkan Budi Laksana dan peran yang dimainkan Kathrin dan Rubben yang menjadi sosok Silam dan Bayang. Sementara aktor dan penari lainnya lebih banyak mempresentasikan carut marut dan keangkuhan sebuah kota; pelacur yang kesepian, orang-orang yang tenggelam dalam belanja, gedung-gedung yang terus tumbuh dan segenap ancaman yang selalu mengintai dari balik hibuk kota. Semua ini dipertajam oleh pilihan video Ivo Kovacs sehingga setiap suasana yang dibangun memberi impresi silih berganti antara mencekam, menyayat, sepi, sekaligus urakan dan banal.
Satu setengah jam pertunjukan berlangsung dan penonton bergeming meski disergap dingin. Di setiap kursi juga telah disediakan selimut tebal berwarna hitam selebar 1 meter. Di akhir pementasan, semua berdiri memberi tepuk tangan dan melempari para aktor dan penari dengan bunga yang sengaja mereka beli; sebuah tradisi untuk menyaksikan peremiere pertunjukan. Juga di antara para seniman penyaji karya masing-masing membawa hadiah kecil dan diberikan kepada teman satu tim. Seperti juga pertunjukan malam itu, semoga menjadi persembahan tersendiri bagi Indonesia.
Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu, Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 November 2010
No comments:
Post a Comment