November 28, 2010

[Perjalanan] Hikmatnya Gelar ‘Adok’ Marga Punduh

PUNDUHPIDADA—Prosesi pemberian gelar adat (adok) Marga Punduh merupakan upacara adat yang sarat makna. Upacara ini menjadi event menarik karena sudah sangat jarang dilakukan.

Suasana meriah dan hikmat menyelimuti suasana di Desa Punduhpidada, Pesawaran, Sabtu (21-11). Panji-panji kebesaran adat Marga Punduh, satu klan Lampung Pesisir Saibatin, yang didominasi warna merah dan emas didirikan. Tetabuhan cetik berdentang mengudara dan mendominasi suara-suara yang terdengar.

Lalu, syair-syair kearifan tua dikumandangkan oleh tetua adat yang mengerti dan memegang teguh adat dengan rima berulang dan nada puitis.

Kham jama-jama dukung kalau ya tetap jaya, sifatni ya panulung, jalma khedik jak agama. Minak Inton dang bingung, tutukh goh Khadin Jaya, ya jalma ne panghubung khek monekh bijaksana. (Kita sama mendukung kejayaannya, sifatnya yang penolong dan dekat dengan agama. Minak Intan jangan bingung, ikuti saja Raden Jaya, dia manusia penghubung yang bijaksana.)

Syair itu berkumandang saat dua orang terpilih, yakni Tommy Muhamad Nur dan istrinya, Rusnayati, dianugerahi gelar adat. Tommy mendapat gelar Raden Mas Jaya di Lampung, sedangkan Rusnayati mendapat gelar Minak Intan Berlian. Pemberian gelar ini amat langka sebab Marga Punduh baru dua kali mengangkat gelar ini.

Marga Punduh merupakan salah satu marga tertua di Lampung. Keberadaannya ditandai dengan kehadiran Saibatin Purbaningrat dari Kerajaan Skalabrak pada 1420, yang tinggal dan menempati daerah pesisir di Pesawaran ini.

Meskipun kini Marga Punduh lebur bersama dua marga lainnya—Marga Pedada dan Marga Bawang—yang membentuk sebuah daerah administratif Kecamatan Punduhpidada melalui proses musyawarah para pemuka adat tiga marga—akhirnya menyimpulkan pemberian nama daerah dengan mengambil nama dua marga.

Kedua marga yakni Marga Punduh dan Marga Pedada, yang disatukan menjadi nama daerah Kecamatan Punduhpedada dengan ibu kota di wilayah Marga Bawang.

Eksistensi marga ini tetap lekat, keturunan marga tetap tunduk pada derajat gelar. Marga ini dipimpin oleh Saibatin secara turun-temurun dan kini tampuk pimpinan kemargaan Punduh diwarisi oleh Saibatin Nurdiansyah.

Menurut Raden Dulu, salah satu pemuka adat Marga Punduh, hingga kini warisan kemargaan masih tetap ada. Selain adat istiadat khas Lampung pesisir, juga ada pedang perak. Pedang itu terbuat dari perak milik Saibatin Purbaningrat, sebagai kepala marga pertama.

Beberapa warisan marga, seperti baju zirah dan beberapa tulisan beraksara Lampung, tak bisa diselamatkan karena dimakan usia. "Kami tidak bisa merawatnya karena lapuk dimakan rayap. Yang tersisa hanya pedang perak saja," kata Raden Dulu.

Raden Dulu juga menyebut Marga Punduh melingkupi tujuh desa dengan Desa Maja sebagai desa adat tertua. Beberapa desa lainnya yang sempat menjadi bagian dari Marga Punduh lambat laun mulai kehilangan tanda-tanda kemargaannya karena terjadinya pembauran budaya dengan suku lain.

Sepintas tak ada yang membedakan marga ini dengan marga-marga lainnya, khususnya bagi masyarakat Lampung pesisir. Yang membedakan justru proses pemberian gelar adat. Marga ini terbilang ketat dalam memberikan gelar adat, apalagi untuk orang dari luar kemargaannya.

"Apa pun kesiapannya, jika pemuka-pemuka adat tidak menghendaki, pemberian gelar adat tak akan pernah ada."

Karena itu, sepanjang keberadaannya, Marga Punduh baru dua kali melakukan prosesi pemberian gelar adat.

Satu gelar diberikan kepada warga dari luar Marga Punduh. Pemberian gelar ini pun bukan sembarangan karena gelar itu diberikan atas jasa warga yang dinilai telah memajukan dunia pendidikan, khususnya di tujuh desa yang menjadi bagian dari Marga Punduh, dengan ditandai keberadaan SMA Negeri 1 Punduhpedada di Desa Maja.

"Ini gelar penghormatan," ujar Raden Dulu.

Sementara itu, gelar kedua diberikan kepada Tommy Muhammad Nur, pengusaha yang masih memiliki darah Marga Punduh dari nenek moyangnya, yang juga dianggap berjasa dalam penyebaran Islam di Punduh, yakni Syekh Abdul Fatah Naqsa'bandiah dan Syekh Abdul Rauf Naqsa'bandiah.

"Ini (pemberian gelar, red) sebenarnya gelar turun-temurun karena Tommy sudah dianggap sebagai bagian dari Marga Punduh,” kata Raden Dulu.

Demikian halnya Tommy Muhammad Nur yang menganggap dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat Punduh. "Ini kampung saya dan bagian dari diri saya walaupun pemberian gelar ini saya rasakan sangat berat," kata Tommy Muhammad Nur yang mendapat gelar Raden Mas Jaya Di Lampung.

Perlambangan gelar ini, menurut Raden Dulu, menjadi kebanggaan bagi masyarakat Marga Punduh atas keberhasilan Tommy Muhammad Nur dalam mengangkat citra Marga Punduh di luar daerahnya, khususnya di bidang usaha.

"Mudah-mudahan ia tetap berjaya di Lampung ini," ujar Raden Dulu. (MEZA SWASTIKA/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 November 2010

No comments:

Post a Comment