-- Irfan Anshory**
SUATU hal yang banyak membantu penyusunan dan penulisan sejarah Asia Tenggara adalah kebiasaan para musafir Cina di masa lampau untuk menuliskan kisah perjalanan mereka, serta kebiasaan istana Cina untuk mencatat berita kedatangan utusan-utusan dari negeri lain. Hubungan negeri Cina dengan negeri-negeri di Asia Tenggara telah terjalin sejak zaman purba. Para musafir Cina yang berziarah ke India dengan menggunakan jalan laut pasti melewati satu atau beberapa negeri di Asia Tenggara. Di lain pihak, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara sering mengirimkan utusan-utusan ke negeri Cina sebagai tanda persahabatan atau meminta pengakuan dari kaisar Cina. Tidaklah aneh jika dalam kronik-kronik Cina banyak tercantum nama-nama negeri di Asia Tenggara.
Nama-nama tempat (toponimi) yang disebutkan itu tertulis dalam bahasa Cina yang berbeda dengan nama aslinya. Oleh karena itu nama-nama tersebut perlu diidentifikasi dengan cermat lalu dilokasikan di mana letaknya. Sudah pasti usaha ini tidaklah mudah. Identifikasi yang salah mengakibatkan penulisan sejarah yang keliru. Harus kita akui bahwa identifikasi yang pernah dilakukan para ilmuwan (ahli sejarah dan arkeologi) merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi penelitian sejarah. Namun tidaklah berarti bahwa pendapat-pendapat mereka mutlak dan final.
Di daerah Lampung dijumpai beberapa prasasti sebagai sumber-sumber sejarah yang sahih secara ilmiah: prasasti Palas Pasemah, prasasti Hujung Langit (Harakuning), prasasti Ulu Belu dan prasasti Batu Bedil. Sayangnya, prasasti-prasasti itu belum diteliti secara mendalam oleh para ilmuwan. Tetapi tidak dapat dipungkiri prasasti-prasasti itu membuktikan bahwa pada zaman purba pernah berdiri kerajaan di daerah Lampung, sebab dahulu hanya raja yang berhak membuat prasasti. Siapa tahu, kerajaan yang pernah ada di Lampung sebenarnya tercantum juga dalam kronik-kronik Cina.
Kan-to-li
Pada abad kelima dan keenam Masehi, di kawasan Asia Tenggara terdapat sebuah negeri atau kerajaan yang disebut oleh kronik Cina dengan nama Kan-to-li. Uraian tentang negeri ini terdapat dalam Sejarah Dinasti Liang (502-556), yang diterjemahkan Prof. W.P. Groeneveldt dalam bukunya, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Djakarta, cetak ulang 1960 (edisi pertama 1876), hal. 60, sebagai berikut: “The country of Kan-to-li is situated on a great island in the southern sea. Its customs and manners are about the same as those of Cambodia and Siam. It produces flowered cloth, cotton and areca-nuts.” (Negeri Kan-to-li terletak di sebuah pulau besar di laut selatan. Adat-istiadatnya kira-kira sama dengan Kamboja dan Siam. Negeri ini menghasilkan pakaian yang berbunga, kapas, dan pinang).
Dari kronik Cina yang lain diketahui bahwa negeri Kan-to-li mengirimkan utusan ke negeri Cina pada tahun-tahun 441, 455, 502, 518, 520, 560 dan 563. Hal ini tercantum dalam tulisan Prof. Wang Gungwu, “The Nanhai Trade: A study of the early history of Chinese trade in the South China Sea”, dalam majalah ilmiah Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, Volume 31 No.2, Singapore, 1958, hal. 120-122.
Prof. Oliver W. Wolters dari Universitas Cornell, dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, hal. 160, mengatakan bahwa ada dua kerajaan di Asia Tenggara yang mengembangkan perdagangan dengan Cina pada abad kelima dan keenam, yaitu Kan-to-li di Sumatera dan Ho-lo-tan di Jawa.
Di manakah letak negeri Kan-to-li? Hampir semua ahli sejarah berpendapat bahwa Kan-to-li terletak di Sumatera. Tetapi di mana? Oliver Wolters (op.cit. hal.162) mengikuti pendapat Gabriel Ferrand bahwa Kan-to-li terletak di Singkil (Barus), pantai barat Aceh, berdasarkan keterangan musafir Arab, Ibnu Majid, tahun 1462 bahwa pelabuhan Singkil dahulu disebut “Kandari”. Prof. Slametmulyana dalam bukunya Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Idayu, Jakarta, 1981, hal. 18, berpendapat bahwa Kan-to-li transliterasi dari nama asli “Kuntali” (Kuntala), kemudian nama Kuntal mengalami metatesis menjadi Tungkal, nama daerah di Jambi.
Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa Kan-to-li mungkin transliterasi dari nama asli “Kenali” di daerah Lampung Barat. Ada semacam legenda dalam masyarakat Lampung bahwa nenek moyang mereka berasal dari Kerajaan Sekalaberak, dan sampai kini banyak pemuka adat Lampung yang bangga mengaku keturunan Sekalaberak. Meskipun informasi tentang Sekalaberak kebanyakan berupa legenda, besar kemungkinan di daerah Lampung Barat dahulu memang pernah ada Kerajaan Sekalaberak yang namanya tertinggal dalam cerita turun-temurun.
Bahwa di Lampung Barat pernah berdiri sebuah kerajaan, hal ini terbukti dengan ditemukannya prasasti Hujung Langit (Harakuning) bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997) di daerah Liwa dekat Gunung Pesagi, yang dibahas dalam buku Prof. Dr. Louis-Charles Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, hh. 26-45. Nama raja yang mengeluarkan prasasti itu tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof. Damais namanya Sri Haridewa. Inilah nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti! Melihat lokasinya, barangkali prasasti tersebut ada hubungannya dengan Kerajaan Sekalaberak yang legendaris itu, dan mungkin kerajaan itu sudah ada sejak abad kelima dengan beribu kota di Kenali, yang disebut Kan-to-li dalam kronik Cina.
To-lang-po-hwang
Dalam kronik Tai-ping-huan-yu-chi dari abad kelima Masehi, disebutkan nama-nama negeri di kawasan Nan-hai (“Laut Selatan”), antara lain dua buah negeri yang disebutkan berurutan: To-lang dan Po-hwang. Negeri To-lang hanya disebut satu kali, tetapi negeri Po-hwang cukup banyak disebut, sebab negeri ini mengirimkan utusan ke negeri Cina tahun 442, 449, 451, 459, 464 dan 466. Prof. Gabriel Ferrand, pada tulisannya dalam majalah ilmiah Journal Asiatique, Paris, 1918, hal. 477, berpendapat bahwa kedua nama itu mungkin hanya satu nama: To-lang-po-hwang, lalu negeri itu dilokasikan Ferrand di daerah Tulangbawang, Lampung.
Prof. Purbatjaraka, dalam bukunya Riwajat Indonesia I, Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952, hal. 25, menyetujui kemungkinan adanya kerajaan Tulangbawang, meskipun diingatkannya bahwa anggapan itu semata-mata karena menyatukan dua toponimi dalam kronik Cina, serta belum ditemukannya data arkeologis yang membuktikan bahwa di daerah Tulangbawang pernah berdiri suatu kerajaan. Kita berharap semoga segera ditemukan data arkeologis dari kawasan Tulangbawang.
Yeh-po-ti
Negeri Yeh-po-ti hanya tercatat dalam uraian perjalanan pendeta Fa-Hsien pada tahun 414 yang berjudul Fo-kuo-chi (Catatan Negeri-negeri Buddha). Prof. Paul Wheatley, dalam bukunya The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1961, hal.37-38, merangkum uraian tentang negeri Yeh-po-ti sebagai berikut: “Dalam perjalanan pulang dari India ke Cina kapal yang ditumpangi Fa-Hsien terserang badai sehingga terpaksa berlabuh di negeri Yeh-po-ti di kawasan laut selatan. Di Yeh-po-ti berkembang agama Hindu, sedangkan agama Buddha dalam kondisi yang tidak memuaskan. Sesudah tinggal di Yeh-po-ti selama lima bulan, Fa-Hsien berangkat ke Cina dengan menumpang kapal dagang yang lain. Berlayar ke arah timur laut, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”
Identifikasi para ilmuwan tentang negeri Yeh-po-ti juga masih simpang siur. Pada tahun 1876 W.P. Groeneveldt (op.cit hal 6-7) beranggapan nama Yeh-po-ti transliterasi dari nama Yawadwipa (Pulau Jawa). Pendapat ini diikuti oleh banyak ahli sejarah. Tetapi Prof. Paul Wheatley dan Prof. Oliver Wolters menyangsikan identifikasi ini, sebab nama “Jawa” biasa ditransliterasikan She-po dalam kronik-kronik Cina. Seandainya nama Yeh-po-ti menyatakan Jawa, tentu nama ini banyak dijumpai. Kenyataannya, nama Yeh-po-ti hanya ada dalam kisah pelayaran Fa-Hsien dan tidak pernah disebutkan dalam kronik-kronik Cina yang lain. Hal ini berarti bahwa negeri Yeh-po-ti jarang dikunjungi musafir atau kapal Cina.
Wheatley dan Wolters berpendapat bahwa Yeh-po-ti negeri kecil yang terletak di pantai timur Sumatera bagian selatan, tetapi mereka tidak berusaha mencari di mana lokasinya. Tidaklah tertutup kemungkinan, jangan-jangan nama Yeh-po-ti transliterasi dari nama “Seputih”, daerah pantai timur Lampung.
Data-data arkeologi membuktikan bahwa daerah Seputih pernah berkembang pada zaman purba. Di daerah Pugung Raharjo, daerah Seputih, telah ditemukan lingga dan arca Hindu yang besar. Demikian pula di Gunung Sugih, di tepi Way Seputih, ditemukan patung seorang dewi Hindu (Lihat: “Hasil Survey Kepurbakalaan di daerah Lampung”, Berita Penelitian Arkeologi, No.2, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1976). Hal ini membuktikan bahwa di daerah Seputih pernah berkembang agama Hindu. Lagi pula, arah pelayaran dari pantai timur Lampung menuju Kanton memang ke arah timur laut dan diperkirakan memakan waktu sebulan. Jadi, identifikasi Yeh-po-ti dengan Seputih, selain berdasarkan kemiripan bunyi, juga cocok sekali dengan uraian-uraian Fa-Hsien.
Negeri Yeh-po-ti (Seputih) tidak pernah disebutkan oleh kronik-kronik Cina yang lain, karena letaknya kurang strategis sehingga jarang dikunjungi musafir Cina. Fa-Hsien terpaksa singgah di Yeh-po-ti akibat kapalnya terserang badai. Kiranya kapal-kapal Cina tidak setiap saat berlabuh di Yeh-po-ti. Itulah sebabnya Fa-Hsien tertahan sampai lima bulan di sana dalam menunggu kapal yang akan ditumpanginya pulang ke Cina.
Pada akhir abad ketujuh, negeri Seputih ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang sekarang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Sriwijaya di Palas Pasemah yang terletak di sebelah selatan Way Seputih dekat Kalianda. Prasasti ini terdiri dari 13 baris, dan telah dibahas oleh Prof. Buchari dari Universitas Indonesia pada tulisannya, “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, dalam buku kumpulan makalah Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979, hal. 19-40.
Prasasti Palas Pasemah merupakan salah satu “prasasti persumpahan”, yaitu prasasti yang berisikan ancaman bagi mereka yang tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya. Sampai saat ini prasasti-prasasti persumpahan telah ditemukan di Telaga Batu (Palembang), Kota Kapur (Bangka), Karang Berahi (Jambi) dan Palas Pasemah (Lampung). Hanya satu yang bertarikh, yaitu prasasti Kota Kapur: tanggal 1 Waisaka 608 Saka (28 Februari 686). Tetapi karena isinya persis sama, para ahli sejarah sepakat bahwa prasasti-prasasti persumpahan itu dibuat pada masa yang sama.
Wallahu a`lam bish-shawab.
* Dimuat secara bersambung dalam Lampung Post Minggu, 9 dan 16 Desember 2007
** Irfan Anshori, peminat sejarah dan kebudayaan Lampung
No comments:
Post a Comment