December 2, 2007

Khazanah: Smuong, Potret Marjinalisasi Marga

-- A Ichlas Syukurie*

DARI sedikit suku bangsa di muka bumi ini yang memiliki kebudayaan tinggi karena masyarakatnya sudah mengenal aksara, suku Lampung tetap menyimpan misteri hingga hari ini sehingga nilai-nilai yang diwariskan leluhur budaya Lampung (ulun Lappung) hampir tidak ada yang dimanfaatkan ahli warisnya. Nasib mereka sama dengan suku Sasak, dibanggakan memiliki kebudayaan tinggi, punya aksara sendiri, tapi mendapat diskriminasi dalam pembangunan.

Itu sebabnya, ragam persoalan yang mendera masyarakat seperti kemiskinan bukan sebagai implikasi dari buruknya pertumbuhan perekonomian daerah, melainkan pengaruh rendahnya pemahaman pemerintah daerah terhadap realitas masyarakat adat ulun Lappung. Salah satu indikatornya, pemerintah daerah belum memiliki definisi yang kuat secara metodologi tentang 'siapa yang pantas disebut suku Lampung', yang dikukuhkan dalam sebuah peraturan daerah sebagai implementasi dari dinamika otonomi daerah.

Tulisan ini menceritakan masyarakat adat marga Smoung (baca: smong), salah satu dari sekian banyak subetnik yang membentuk kebudayaan Lampung, hidup sebagai komunitas adat terpencil dan teralienasi dari realitas dinamika pembangunan daerah. Namun, pemerintah daerah acap melakukan identifikasi keliru mengenai penyebab kemiskinan masyarakat marga karena selalu mengaitkan dengan persoalan ekonomi sehingga solusi yang diambil tidak relevan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Padahal, kemiskinan sejumlah masyarakat marga di Lampung dapat dilihat sebagai sebuah fenomena kultural, bukan dalam arti kemiskinan merupakan watak budaya, melainkan karena kemiskinan yang terjadi dipicu persoalan kultural yang luput dari perhatian pemerintah daerah.

Persoalan budaya


Persoalan kemiskinan yang merebak di Lampung, menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), lebih banyak terjadi di daerah perdesaan. Berangkat dari data itu, penulis datang ke sejumlah desa yang termasuk miskin. Sebagian besar merupakan kampung negeri (perkampungan asli) atau biasa disebut kampung tua yang rata-rata dihuni masyarakat adat Lampung. Salah satu kampung negeri yang dikunjungi penulis adalah Pekon (Desa) Sanggi di Kabupaten Tanggamus.

Desa Sanggi dihuni komunitas marga Smoung. Ini komunitas masyarakat marga yang menetap di desa yang berada di daerah aliran Sungai Way Semaka, berbatasan langsung dengan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Untuk mencapainya, harus menempuh perjalanan sekitar lima jam dengan sepeda motor (ojek) dari Kota Agung, ibu kota Kabupaten Tanggamus, melintasi jalan setapak yang menjadi lebih sulit apabila hujan turun. Biaya perjalanan (ongkos) naik ojek berkisar Rp50 ribu sampai Rp100 ribu.

Desa Sanggi diperkirakan berdiri pada 1850, diawali pembukaan lahan untuk perkebunan cengkih oleh anak seorang saibatin dari marga Smoung yang ada di Desa Sanggi, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Lampung Barat. Perjalanan dari Desa Sanggi di Kabupaten Tanggamus ke Desa Sanggi yang ada di Kabupaten Lampung Barat melintasi medan hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan. Namun, perjalanan lebih mudah jika ditempuh dengan jalur perairan lewat Way (Sungai) Semaka.

Masyarakat marga Smoung di Kabupaten Tanggamus meyakini leluhur mereka berasal dari Desa Sanggi, dan secara adat hubungan antara masyarakat di kedua desa ini masih kuat ditandai masyarakat marga Smoung di Kabupaten Tanggamus selalu akan diundang masyarakat marga Smoung yang ada di Kabupaten Lampung Barat apabila hendak melaksanakan acara-acara adat. Komunitas marga Desa Sanggi di Kabupaten Tanggamus tetap saja menjalin komunikasi dengan komunitas marga Desa Sanggi di Kabupaten Lampung Barat.

Suku Lampung terdiri dari kumpulan masyarakat marga. JW van Royen, antropolog yang melakukan penelitian di Lampung kurun 1855-1913, menyebut masyarakat adat Lampung terdiri dari banyak marga, dan setiap marga berdiri sendiri. Setiap marga memiliki ekspresi budaya sendiri yang menyulitkan Belanda untuk menancapkan kekuasaan serikat-serikat dagangnya guna berhubungan langsung dengan para pengusaha rempah-rempah. Hasil penelitian Van Royen menjadi rumusan nota over de Lampoengsche merga's, yang oleh Jeffrey B Kingston, antropolog dari Colombia University, dalam bukunya The Manipulation of Tradition in Java's Shadow: Transmigration, Decentralization and the Ethical Policy in Colonial Lampung (1987), menjadi alasan kuat bagi Belanda untuk merumuskan sebuah politik adu domba berupa memanipulasi tradisi yang ada.

Masyarakat marga merupakan satu kesatuan sosial yang diatur tata nilai dan kebudayaan, dengan mereka secara adat memiliki seorang pemuka pendapat yang disebut saibatin. Masyarakat marga hidup terisolir dari dinamika pembangun daerah, bukan karena secara sosial mereka soliter, melainkan karena secara geografi mereka menetap di kawasan yang tidak bisa disentuh pembangunan.

Dalam nota over de Lampoengsche merga's disebutkan marga mengacu kepada sekelompok orang yang berasal dari satu keluarga besar. Dalam adat Lampung yang patriark, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga selalu ada yang disebut saibatin. Saibatin bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai dengan garis keturunan ayah, berada dalam posisi sebagai anak tertua. Namun, posisi seorang saibatin cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Saibatin dari marga A, tidak serta-merta menjadi saibatin untuk marga B, C, maupun D.

Status saibatin dalam lingkungan masyarakat adat memiliki stratifikasi berdasarkan wilayah geografisnya. Ada yang disebut saibatin umbul, saibatin tiyuh, dan saibatin marga. Yang disebut terakhir memiliki stratifikasi sosial lebih tinggi jika dibandingkan dengan saibatin lainnya. Hal itu terkait dengan tradisi pembukaan kampung yang telah berlangsung berabad-abad dalam lingkungan masyarakat adat Lampung terkait.

Kemiskinan marga


Persoalan-persoalan krusial yang menimpa masyarakat marga Smuong juga dialami hampir semua masyarakat marga di Lampung. Sayangnya, pemerintah daerah kurang memahami realitas yang sebenarnya, sehingga solusi yang dibuat untuk mengatasi kemiskinan masyarakat marga menjadi tidak tepat.

Sejak BPS mengumumkan persentase kemiskinan di Provinsi Lampung, pemerintah daerah mulai gencar membagi-bagikan dana kepada masyarakat yang diidentifikasi miskin tanpa terlebih dahulu menyelidiki dan menemukan penyebab kemiskinan tersebut.

Dalam banyak kesempatan, Gubernur Lampung Sajachroedin ZP acap mengatakan solusi untuk memberdayakan masyarakat adalah menciptakan peluang usaha baru dan peluang kerja baru dengan mengundang investor. Tetapi, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa dua solusi itu sangat terkait dengan kebijakan pemerintah daerah di sektor perekonomian berupa perumusan regulasi yang dapat mendorong tumbuhnya perekonomian daerah.

Salah satu buktinya, pemerintah daerah berusaha melebur Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan menjadi satu dinas sehingga sangat kuat kesan bahwa pemerintah daerah tidak pernah paham dengan apa yang harus dilakukan mengatasi persoalan kemiskinan yang muncul di areal-areal pertanian.

Sementara itu, masalah perizinan acap dipersulit, bahkan, untuk menerima uang pajak kendaraan bermotor saja, pemerintah daerah tidak bisa mendesain sebuah sistem yang tidak menyulitkan pembayar pajak. Masyarakat yang ingin membayar pajak (karenanya merupakan uang masuk bagi penambahan anggaran pendapatan negara) mesti melalui proses birokrasi yang bertele-tele dan menghabiskan banyak biaya serta waktu.

Untuk hal-hal yang sudah jelas dan ajek, pemerintah daerah tetap kesulitan membuat kebijakan yang memudahkan pertambahan anggaran nasional. Konon lagi, masyarakat mengharapkan pemerintah daerah memikirkan persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat marga di Lampung, yang membuat mereka bagai hidup dalam kutukan untuk tetap menjadi warga miskin meskipun telah berusaha keras guna meningkatkan kesejahteraannya.

Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap hal-hal terkait dengan kebudayaan masyarakat marga tidak pernah jauh dari urusan kepariwisataan, yang lebih memosisikan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang ada sebagai komoditas. Mestinya pemerintah daerah berusaha memahami realitas masyarakat marga itu sendiri sehingga ketika masyarakat marga menghadapi persoalan krusial, sudah ada solusi yang bisa diterapkan.

* A Ichlas Syukurie, Peneliti pada Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 2 Desember 2007

1 comment:

  1. Ka boleh minta kontak nya ga, karena kita mau kesana, disana sangat terpencil ya

    ReplyDelete