December 12, 2007

Transmigrasi: Membangun dan Merekatkan Bangsa

-- Muhajir Utomo*

HARI ini, tanggal 12 Desember 2007 adalah Hari Bakti Transmigrasi yang ke-57. Tepatnya pada tanggal 12 Desember 1950, pemerintahan Republik Indonesia secara resmi melanjutkan program kolonisatie yang telah dirintis pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama yang lebih nasionalis, yaitu transmigrasi.

Pada saat itu, rombongan pertama kolonisatie sebanyak 155 keluarga dari Bagelan, Karesidenan Kedu, dikirim di Gedongtataan, Lampung. Di tempat itulah para pendatang membangun desa pertama yang diberi nama Bagelen, sesuai dengan nama desa asalnya. Dari sinilah dimulainya sejarah ketransmigrasian yang selama satu abad (dihitung dari tahun 1905) ikut membantu perjuangan bangsa.

Dengan adanya program transmigrasi yang dicanangkan Pemerintah RI pascakemerdekaan, tujuan program transmigrasi pun berubah. Tujuan awal program kolonisatie pun masih sederhana, yaitu demografis semata berubah menjadi program yang lebih kompleks, yaitu pembangunan wilayah dan bahkan terakhir menjadi salah satu program integrasi nasional.

Perjalanan satu abad kolonisatie atau 57 tahun transmigrasi dengan berbagai plus-minusnya, ternyata berdampak luar biasa terhadap pembangunan bangsa. Program ini telah banyak berperan dalam menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, pusat-pusat keunggulan (lumbung pangan, lumbung ternak, dan perkebunan), dan telah melahirkan para tokoh intelektual dan tokoh masyarakat.

Meskipun demikian, pada awal reformasi, stigma buruk transmigrasi muncul di mana-mana. Transmigrasi yang selama ini dianggap berjasa dalam pemerataan penduduk dan pengembangan wilayah, serta-merta citranya menjadi buruk.

Kritik pedas muncul di mana-mana, mulai masyarakat awam, para akademisi, birokrat, legislatif sampai para eksekutif. Mereka meragukan manfaat program transmigrasi bagi pembangunan karakter bangsa.

Transmigrasi bukan hanya dicap sebagai penyebab kerusakan lingkungan, penyebab meningkatnya ketimpangan wilayah, penyebab munculnya kantong-kantong kemiskinan, dan penyebab konflik antaretnis, melainkan juga sebagai penyebab hilangnya budaya lokal. Bahkan yang lebih mengerikan, isu miring tentang transmigrasi sebagai program implisit jawanisasi, balinisasi, dan islamisasi telah memengaruhi kebijakan nasional tentang transmigrasi. Klimaksnya, pada awal reformasi, transmigrasi dianggap sebagai penyebab disintegrasi bangsa. Benarkah demikian?

***

Kebijakan awal program kolonisatie sampai program transmigrasi, bertujuan mengurangi ketimpangan demografis antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Jika tujuannya hanya itu, program pemindahan penduduk besar-besaran ini tentu tidak memenuhi sasaran. Sebagai contoh, walaupun sebenarnya sudah 6,4 juta jiwa ditransmigrasikan sejak tahun 1905--1990 ke luar Jawa, tetap saja penduduk Jawa meningkat dari 30 juta jiwa menjadi sekitar 108 juta jiwa pada periode tersebut.

Bagi Pulau Jawa yang mempunyai daya sedot tinggi bagi pendatang, perpindahan penduduk sebesar itu tentu tidak ada artinya. Sebaliknya, bagi daerah luar Jawa yang masih jarang penduduknya dan daya sedotnya rendah, tentu tidak menarik bagi pendatang. Di sinilah peran program transmigrasi sebagai prime mover pembangunan wilayah yang pada akhirnya dapat memacu pertambahan penduduk melalui transmigrasi spontan.

Ternyata, besarnya pertambahan penduduk tersebut bukan karena kolonisatie dan transmigrasi umum, melainkan justru karena adanya transmigrasi spontan yang besarnya mencapai tiga sampai lima kali lipat dibanding dengan program transmigrasi itu sendiri. Sebagai contoh, pada tahun 1905, penduduk Lampung berjumlah 157 ribu jiwa, dan pada sensus tahun 2005 telah menjadi lebih dari tujuh juta jiwa, 75% di antaranya suku Jawa, Sunda, dan Bali.

Dengan demikian, dari aspek demografis, jika aksesibilitas dan tata ruangnya mendukung, program kolonisatie dan transmigrasi lebih berperan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian banyak mengundang transmigran spontan. Sebagai konsekuensi program kolonisatie/transmigrasi tersebut, telah tumbuh masyarakat multikultural (kebhinnekaan) di daerah-daerah tujuan kolonisatie dan transmigrasi. Secara umum mereka dapat hidup rukun damai.

Masyarakat multikultural itu, jika dikelola dengan arif bijaksana bisa menjadi aset (bukan beban) untuk meningkatkan daya saing bangsa. Kebhinneka-tunggal-ikaan inilah yang menjadi roh pengelolaan kemajemukan bangsa.

***

Peningkatan kualitas hidup masyarakat transmigran dapat diwujudkan melalui pola transmigrasi yang sesuai dengan potensi lokal (tanah, iklim), infrastruktur, teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas, dan kualitas SDM (semangat kemandirian dan keterampilan transmigran). Pada era kolonisatie, pemilihan lokasi kolonisatie betul-betul berdasarkan studi kelayakan yang cermat dan dilaksanakan dengan konsekuen.

Pemilihan Bagelen, Metro dan Belitang sebagai lokasi kolonisatie misalnya, sangat layak untuk pola kolonisatie berbasis padi sawah. Dengan dukungan irigasi yang baik dan transmigran yang ulet, umumnya mereka berhasil.

Pada era transmigrasi (setelah tahun 1950), contoh daerah transmigrasi lahan kering yang berhasil karena kesesuaian pola transmigrasi, lokasi dan teknologinya adalah transmigrasi Batumarta. Transmigrasi Batumarta yang polanya berbasis tanaman keras (karet) lebih sustained daripada Sitiung maupun Pakuan Ratu yang berbasis tanaman pangan lahan kering. Hal ini disebabkan tanah Sumatera yang tipis dan masam lebih sesuai dengan tanaman keras daripada tanaman pangan.

Di Batumarta, walaupun transmigran dari Jawa yang ahli budi daya padi sawah, tidak paham tata cara budi daya karet. Namun, dengan pembinaan dan penyuluhan yang cukup, mereka cepat beradaptasi dan ternyata berhasil. Di sinilah perlunya studi kelayakan sebelum penempatan transmigran dan kesesuaian pola transmigrasinya dengan potensi lokal.

Semangat kemandirian dan keuletan yang menjadi ciri transmigran, juga akan mempercepat keberhasilan peningkatan kualitas hidup transmigran. Berbeda dengan penduduk lokal, di daerah transmigrasi, sudah biasa terlihat suami, istri, dan anak bahu-membahu bekerja untuk menambah penghasilan.

Meskipun demikian, ada juga transmigran yang tidak berhasil, bahkan ada yang kembali ke daerah asalnya. Kegagalan transmigran tersebut, umumnya disebabkan kesalahan dalam memilih lokasi, kesalahan dalam memilih transmigran, kesalahan dalam menentukan pola transmigrasi, dan kurangnya dukungan tata ruang.

***

Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai keragaman tinggi dalam hal agama, etnis, pulau dan partai, serta mempunyai posisi strategis dalam konteks persaingan global, sangat rapuh untuk dipecah belah. Risiko terjadinya disintegrasi bangsa memang sangat besar. Sejak bangsa ini diproklamasikan sampai era otonomi daerah sekarang, gerakan separatisme tidak kunjung usai, seperti gerakan separatisme di Maluku, Papua, Aceh, DI/TII, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI, dll.

Isu Aceh Merdeka, Riau Merdeka, Papua Merdeka juga kembali mencuat. Kecenderungan ini, jika tidak dicari solusinya secara baik, bukan hanya akan berdampak pada disintegrasi sosial-kultural, melainkan juga bardampak pada disintegrasi politik. Di sinilah peran transmigrasi sebagai integrating force dalam menyelamatkan bangsa.

Masyarakat transmigran yang multikultural, bukan hanya berperan langsung dalam mewujudkan keutuhan NKRI, melainkan juga berperan secara tidak langsung dalam merekatkan bangsa. Peran secara langsung dilakukan dengan cara membantu pemerintah dalam menumpas pemberontak yang ingin memisahkan diri dari NKRI, sedangkan secara tidak langsung melalui asimilasi, integrasi dalam interaksi sosial.

Selain itu, multikulturalisme transmigrasi juga dapat sebagai penguat wawasan kebangsaan. Para transmigran di berbagai daerah telah berperan aktif dalam membendung isu kedaerahan dan isu separatisme yang makin kuat. Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) yang lahir pada tanggal 16 Februari 2004 dan mempunyai tata nilai lintas kultural, lintas etnis, dan lintas agama, merupakan bukti kuat bahwa transmigrasi juga merupakan program investasi SDM yang dapat memperkokoh persatuan/kesatuan dan meningkatkan daya saing bangsa.

Kelahiran anak-anak transmigran tersebut telah ikut berkiprah dalam pembangunan karakter bangsa yang berakar dari kebhinnekaan kultural. Bersama-sama dengan penduduk lokal, para transmigran juga berperan aktif dalam memelihara keanekaragaman sosial secara dinamis dalam bingkai kebhinnekaan tunggal ika NKRI.

Pembauran melalui perkawinan dan interaksi sosial telah membangun kebersamaan yang akhirnya dapat menjadi kekuatan dalam mempertahankan NKRI. Pada saat isu disintegrasi bangsa makin kuat, ternyata program transmigrasi walaupun not by design, mampu membangun komunitas plural yang dapat merekatkan bangsa. Agar dampaknya lebih efektif, pembauran natural tersebut masih perlu diimbangi dengan pendidikan multikulturalisme sejak dini.

Ternyata apa yang dinyatakan secara tegas oleh Presiden Soekarno (1964) bahwa program transmigrasi adalah wahana membangun bangsa melalui asimilasi dan integrasi etnis, memang benar adanya.

***

Itulah best practices program transmigrasi yang telah teruji selama lebih dari satu abad. Dengan segala kelemahannya, ternyata program transmigrasi telah berperan besar dalam membangun bangsa dan merekat NKRI. Belajar dari pengalaman panjang dan berharga ini, ke depan program transmigrasi diharapkan lebih mampu dalam menjawab isu-isu kemiskinan, ketahanan pangan, energi alternatif, ketimpangan wilayah, dan ketahanan nasional. Namun, perlu diingat bahwa tujuan multidimensi program transmigrasi tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan sektor lain karena sektor ini hanyalah subsistem dari sistem pembangunan nasional.

* Muhajir Utomo, Guru Besar Unila dan Ketua Umum DPP PATRI

Sumber: Lampung Post, Rabu, 12 Desember 2007

No comments:

Post a Comment