Oleh Arizka Warganegara
Note:
Tulisan ini dikompilasi dari berbagai catatan panjang perjalanan Provinsi Lampung, termasuk interview dengan beberapa tokoh-tokoh pejuang yang tersisa, sengaja saya share di forum fb semoga bermanfaat bagi generasi muda khususnya Lampung untuk tidak melupakan sejarah Lampung yang selama ini seolah-olah hanya dimulai tahun pada tahun 1964 pasca Lampung berpisah dari Provinsi Sumsel, padahal banyak fakta yang menarik menilik Lampung di era 1945 s.d. 1964. tabik. Arizka Warganegara: arizka@unila.ac.id
1. Pendudukan Jepang
Pada masa pecahnya perang Pasifik, yaitu mulai tanggal 8 Desember 1941, Jepang berusaha untuk memenangkan peperangan di kawasan Asia Tenggara. Di Birma, Malaya, dan Singapura, Jepang berhasil menghancurkan pasukan Inggris. Di Pilipina, Jepang berhasil menghancurkan kekuatan pertahanan Amerika Serikat. Di Indonesia, Jepang berhasil mengalahkan pasukan Belanda.
Malaya dan Singapura jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 15 Pebruari 1942. Dari Singapura, Jepang menyerang Sumatera, yang khususnya ditujukan ke Palembang dan sekitarnya yang kaya akan minyak bumi. Akhirnya, Palembang jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 16 Pebruari 1942. Dari Palembang, Jepang berhasil menguasai seluruh pulau Sumatera.
Dari Palembang, Jepang berhasil menduduki Lampung, setelah menghancurkan tentara Belanda di Tulung Buyut. Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, yaitu pada tanggal 7 Maret 1942 di Kalijati. Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, Letnan Jenderal H. Ter Poorten, menyerahkan kekuasaan kepada pimpinan angkatan perang Jepang, Letnan Jenderal H. Imamura.
Berbeda dengan zaman Hindia Belanda yang hanya memiliki satu pemerintahan sipil, maka pada zaman Jepang, terdapat tiga pemerintah militer pendudukan, yaitu:
a. Tentara keenam belas di Pulau Jawa dan Madura, berpusat di Jakarta.
b. Tentara kedua puluh lima di Pulau Sumatera, berpusat di Bukittinggi.
c. Armada Selatan kedua di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya, dengan pusatnya di Ujung Pandang (Makassar).
Di Sumatera, pemerintahan Militer membentuk 10 Syu (Karesidenan) yaitu Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jambi, Palembang, dan Bangka-Belitung.
Lampung segera dijadikan karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen militer (Syukocan). Kolonel Kurita yang yang dibantu oleh seotang Kepala Kepolisian bernama Subakihara.
Di bawah Karesidenan diadakan Kabupaten, dan di bawah Kabupaten ada Kawedanan yang dikepalai oleh seorang Guncho (dijabat oleh orang Indonesia asli). Di bawah kawedanan terdapat keasistenan yang nanti menjadi kecamatan yang diketuai oleh Asisten Demang (Fuku Guncho). Di bawah kecamatan adalah desa/ kampung yang oleh Jepang disebut Ku. Di Lampung disebut Son. Kepala kampung disebut Soncho.
Setiap orang yang ingin menjadi tentara harus menjalani latihan terlebih dahulu di Tanjung Karang selama tiga bulan. Setelah itu mereka kembali ke tempat asal, kemudian praktek latihan perang secara teritorial sebagai persiapan untuk digodok di Pagar Alam. Selesai di Pagar Alam, dilantik di Jepang di Lahat dan mendapatkan pangkat Letda yang disebut Gyu Soi.
Pemilihan pimpinan kompi di Lampung, ternyata tidak jadi dilaksanakan, disebabkan meletusnya perlawanan Peta di Blitar. Pada masa itu, kebanyakan tokoh politik dan perwira di Lampung, dijadikan sebagai alat propaganda agar segenap rakyat mau membantu Jepang. Tokoh yang dicurigai mereka dipindahkan ke luar Lampung.
Sejak pertengahan April 1942, Jepang melalui polisi rahasianya yang disebut “Kempetai”, melakukan tindakan tegas terhadap unsur-unsur yang dicurigai. Tindakan ini ditujukan kepada tokoh masyarakat, pegawai pamong praja, dan polisi yang berkebangsaan Indonesia. Semakin lama, rakyat berkurang kepercayaannya kepada Jepang.
2. Karesidenan Lampung sebagai bagian Propinsi Sumatera
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia, setelah sebelumnya mendengar berita tentang menyerahnya Jepang dari sekutu.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. A. Abbas sebagai anggota Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Lampung, bersama 2 orang anggota PPKI dari Sumatera Utara, yaitu Mr. Teuku Mohammad Hasan dan Dr. M. Amir, pada tanggal 23 Agustus 1945 bersama-sama berangkat dari Jakarta dengan kapal terbang ke Palembang. Mereka inilah yang membawa berita resmi mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Setelah ketiga anggota PPKI ini bertemu dan berunding dengan Dr. A. K. Gani, seorang tokoh Nasional Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, maka malamnya tanggal 23 Agustus 1945 itu juga Mr. A. Abbas melanjutkan perjalanannya dengan kereta api ke Tanjungkarang (Lampung).
Selanjutnya, Mr. A. Abbas segera mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka masyarakat di Tanjungkarang dan sekitarnya untuk mengambil langkah berikutnya sesuai degan petunjuk dari pemerintah pusat di Jakarta.
Mr. A. Abbas yang ditunjuk sebagai Residen pertama untuk Lampung setelah proklamasi, membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Lampungm yang selanjutnya disusul dengan dibentuknya komite-komite Nasional di tingkat Kawedanan dan Kecamatan. Sebagian besar anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Lampung, sebagian besar merupakan mantan anggota Susyangikai (semacam DRPD buatan Pemerintah Tentara Pendudukan Jepang) Karesidenan Lampung, yaitu sebagai berikut.
Dewan Pimpinan:
Ketua : R. A. Basyid
Wakil Ketua : Dr. Badril Munir
Sekretaris Umum : R. Suharjo Harjowardoyo
Anggota Dewan:
1. W. A, Rakhman 8. Abdullah Suhaili
2. Mr. Gele Harun 9. A. Yasin
3. A. Aziz Gustam 10. Sumarno
4. A. Aziz Cindarbumi 11. Suward
5. K. H. Harun 12. R. P. Alam
6. K. H. Ali Tashim 13. K. H. Nawawi
7. Syamsuddin 14. Dr. Kajat
Badan Pekerja:
Ketua : W. A. Rakhman
Wakil Ketua : Mr. Gele Harun
Sekretaris Umum : A. Aziz Cindarbumi
Sekretaris I : Aziz Rauf
Sekretaris II : A. Khalik Shahib
Bendahara : Kgs. A. Solikhin
Perlengkapan : H. Zainal Nuh
Pada tanggal 5 September 1945, keluarlah sebuah instruksi dari Pemerintah Pusat untuk dilakukan pengambilalihan kekuasaan di kawedanan-kawedanan, serta pengibaran bendera Merah Putih secara menyeluruh, dengan penjagaan seperlunya.
Setelah Mr. A. Abbas berunding dengan beberapa pejabat kantor Karesidenan Lampung, antara lain Sultan Rahim Pasaman dengan pihak Residen Lampung, maka pihak pemerintah Jepang (Syukocan) bernama Kobayashi, bersama dengan beberapa pejabat Jepang, menyerahkan kekuasaan kepada Mr. A. Abbas selaku Residen Lampung dari Pemerintah Republik Indonesia.
Adapun susunan Pemerintah Republik Indonesia yang pertama dari Karesidenan Lampung adalah sebaga berikut.
Residen : Mr. A. Abbas
Pembantu : Sutan Rahim Pasaman
Sekretaris : A. Lumban Tobing
Kepala Kepolisian : R. Suharjo Harjowardoyo
Kepala Kehakiman : Mr. Gele Harun
Kepala Kantor Kemakmuran/ Ekonomi : Kgs. A. Somad Solikhin
Kepala Kantor Penernagan : Amir Hasan
Kepala Kantor Kehewanan : Dr. Samil
Kepala Kantor PU : Mas Sahid
Kepala Kantor Kesehatan: : Dr. Kajat
Kepala Kantor Pos Besar : Lim Ceng Kieng
Kepala Kantor Telepon/ Paragraf : M. Nur
Kepala Jawatan Kereta Api : Ibrahim
Kepala Kantor Agama : K. H. Muhammad Thoha
Pada bulan Agustus hingga September 1945, para bekas perwira Gyuugun dan Heiho mendririkan berbagai organisasi perjuagan, seperti Badan Penolong Korban Perang (BPKP), Penjaga Keamanan Rakyat (PKR), Angkatan Pemuda Indonesia (API), organisasi Barisan Pelopor, Gerakan Pegawai Angkatan Muda (GPAM), Lasykar Hisbullah, Sabilillah, serta lain sebagainya.
Selanjutnya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk dalam sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat pada tanggal 5 Otober 1945. TKR bertugas menjaga keamanan masyarakat dan menjaga kedaulatan Republik Indonesia.
Adapun Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) yang telah dibentuk oleh Pangeran Emir M. Nur harus dibubarkan, atas perintah Dr. A. K. Gani selaku Koordinator TKR Sumatra. Pada bulan Desember 1945, Suharjo Harjowardoyo, Kepala Kepolisian Daerah Lampung atas panggilanDr. A. K. Gani, berangkat ke Palembang, untuk diangkat menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat Komandemen Sumatera dengan pangkat Jenderal Mayor.
Di Lampung, pada pertengahan bulan Desember 1945, para bekas perwira Gyugun Lampung yang memimpin PKR, Pelopor, dan Organisasi Kelasykaran bermusyawarah untuk membentuk Resimen TKR di Lampung. Dalam musyawarah tersebut, terpilihlah Iwan Supardi sebagai Komandan Resimen dan Mayor Sukardi Hamdani sebagai Kepala Markas Uum Resimen III Divisi Lampung,
Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan Pebruari tahun 1946, tentara Jepang yang menduduki daerah Lampung telah selesai seluruhnya meninggalkan Lampung menuju Palembang. Namun demikian, sejak negara Republik Indonesia diproklamirkan, sisitem pemerintahan Jepang masih diteruskan. Pada Surat Keputusan Gubernur Sumatera (Medan) tanggal 17 Mei 1946 No. 113, Karesidenan Lampung dibagi menjadi 3 Kabupaten, 11 Kawedanan. Setiap Kawedanan dibagi atas beberapa Kecamatan dan setiap Kecamatan dibagi lagi menjadi beberapa Marga.
Kabupaten-kabupaten dan Kawedanan-kawedanan di daerah Karesidenan Lampung itu adalah:
Kabupaten Lampung Utara dengan Kawedanan:
Kawedanan Menggala Bupati: Burhanuddin
Kawedanan Kotabumi
Kawedanan Way Kanan
Kawedanan Krui
Kabupaten Lampung Tengah, dengan Kawedanan
Kawedanan Sukadana Bupati: Zainabun
Kawedanan Metro
Kawedanan Way Seputih
Kabupaten Lampung Selatan, dengan Kawedanan
Kawedanan Kalianda Bupati: R. A. Basyid
Kawedanan Telukbetung
Kawedanan Kedondong
Pada tanggal 10 September 1946, terjadilah suatu rapat raksasa di Lapangan Enggal Tanjung Karang yang diadakan oleh Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM), yang tokoh-tokoh penggeraknya antara lain: Abdullah Sani, Abdul Kohar, dan sebagai pembicaranya adalah Zainal Abidin. Mereka mendesak agar Mr. A. Abbas segera turun dari jabatannya dan digantikan oleh Dr. Badril Munir sebagai Residen Lampung, dan wakilnya adalah Ismail. Selanjutnya, Pemerintahan Karesidenan Lampung diambil alih oleh Komandan Resimen III Letkol M. Arief, dan diberikan kepada Dr. Badril Munir dan Ismail sebagai wakilnya, sambil menunggu keputusan dari Pemerintah Pusat.
Kemudian, pada tanggal 29 Oktober 1946, Mr. Hermani dari Pemerintah Pusat melalui Palembang datang ke Tanjung Karang untuk menyelesaikan kekalutan masalah ini. Oleh Pemerintah Pusat, disetujui bahwa Dr. Badril Munir menjadi Residen Lampung, tetapi Ismail tidak dapat diterima menjadi Wakil Residennya. Selanjutnya, ditugaskanlah R. M. Rukadi Wiryoharjo dari Jakarta sebagai Wakil Residen Lampung. Mereka menjabat hingga pada tanggal 29 November 1947 Dr. Badril Munir meletakkan jabatannya, dan diganti oleh R. M. Rukadi Wiryoharjo sebagai Residen Lampung yang baru. Adapun yang menjabat sebagai Wakil Residen adalah R. A. Basyid.
Pada bulan Agustus 1945 sampai dengan pertengahan tahun 1947, Sumatera merupakan satu propinsi, uang dipimpin oleh gubernur M. Teuku Muhammad, yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara. Pada pertengahan tahun 1947, Propinsi Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) sub Propinsi, yaitu:
Subpropinsi Sumatera Utara di Medan
Sumatera Tengah di Bukittinggi
Sumatera Selatan di Palembang
Karesidenan yang masuk Sub Propinsi Sumatera Selatan, ialah Karesidenan Palembang, Karesidenan Lampung, karesidenan Jambi, Karesidenan Bengkulu, dan Karesidenan Bangka Belitung. Pada tanggal 5 Mei 1947, Pemerintah mengeluarkan sebuah dekrit yang berisi perintah untuk mempersatukan semua kekuatan bersenjata, yaitu TRI dan laskar-laskar atau badan pejuang.
4. Karesidenan Lampung Pada Masa Pemerintahan Darurat
Suatu ketika, dalam sebuah perundingan dengan Belanda, Perdana Menteri Amir Syarifuddin menolak beberapa tuntutan yang diajukan oleh Belanda terhadap Indonesia pada jawaban Perdana Menteri Amir Syarifuddin tertanggal 17 Juli 1947. Sebagai konsekuensinya, pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak kepada daerah-daerah di Indonesia, yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I atau Clash I.
Di sub propinsi Sumatera Selatan, Belanda mulai menyerang Lampung melalui jalur darat dari Palembang. Kemudian, setelah bertempur selama 3 hari dan mendapatkan perlawanan gigih dari kesatuan-kesatuan TNI, pada tanggal 25 Juli, Belanda berhasil menduduki Baturaja. Namun, pada peristiwa-peristiwa selanjutnya, Belanda tidak berhasil menduduki Lampung.
Pada bulan Agustus 1947, dalam rangka melaksanakan mobilisasi umum, maka Seksi Mobilisasu Umum dari Staf Resimen 41 bersama dengan para pimpinan partai dan organisasi-organisasi kemasyarakatan membtnuk Dewan Pertahanan Daerah Lampung dan Palembang Selatan. Pada kegiatan itu, Ketua DPR Wan Adurrakhman terpilih menjadi Wakil Ketua, Marsyid Alamsyah Carepoboka dari Kantor Keresidenan sebagai Panitera, sedangkan Ketua Dewan adalah Komandan Resimen.
Kemudian, dibentuklah Mahkamah Tentara di Lampung di bawah pimpinan Mr. Gele Harun dengan pangkat Letkol tituler. Setelah itu, sebagai akibat ditandatanganinya Perjanjian Renville oleh Pemerintah Republik Indonesia dan tentara Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pelaksanaan instruksi penghentian tembak-menembak diadakan perundingan antara pihak tentara Belanda dengan TNI di daerah Palembang Selatan, yaitu di kota Martapura. Mereka yang berunding adalah Kolonel Ssyamaun Gaharu, Komandan Brigade Garuda Hitam, sebagai Ketua Delegasi, dan juga R. M. Rukadi Wiryoharjo (Residen Lampung) sebagai anggota.
Salah satu hasil perundingan tersebut adalah bahwa garis pertahanan yang memisahkan antara daerah yang diserhkan kepada tentara Belanda dan yang dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia di Palembang Selatan ini, adalah garis sepanjang Way Pisang dan Way Tuba. Sebagian besar dari pasukan-pasukan Garuda Hitam bersama dengan pejabat sipil yang tetap setia pada pemerintah Republik Indonesia beserta keluarga-keluarga mereka lebih kurang 4.000 orang pindah dan hijrah ke daerah Lampung, dengan melintasi “garis pemisah” ini.
Dalam rapatnya pada tahun 1948, Dewan Pertahanan Daerah Lampung memutuskan bahwa jika Belanda menyerang Lampung, maka Residen dan Komandan Brigade Garuda Hitam pergi ke luar kota, sedangkan wakil residen tetap berada di dalam kota untuk melindungi rakyat Lampung.
Selanjutnya, pemerintah Belanda melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II (Clash II), yaitu pada tanggal 19 Deseember 1949, dimana pasukan Belanda pertama-tama menyerang ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, melalui pasukan lintas Udara. Dalam serangan tersebut, Belanda dapat menguasai Lapangan Terbang Maguwo, yang kemudian menguasai seluruh kota Yogyakarta.
Di Lampung sendiri, serangan baru dimulai tanggal 1 Januari 1949, ketika Belanda memasuki Teluk Lampung melalui Kalianda menuju Pelabuhan Panjang. Kira-kira pukul 05.00 pagi, kapal perang Belanda mulai menembaki pelabuhan Panjang. Tetapi, karena perlawanan dari pihak tentara kita di Panjang, baru setelah kira-kira jam 06.00 pagi, mereka dapat mendarat di pantai luar Pelabuhan Panjang dan di pantai sekitar Gunung Kunyit Teluk Betung. Ibukota Karesidenan Lampung akhirnya dapat diduduki oleh pasukan Belanda pada hari itu juga. Karena peristiwa inilah, maka Pemerintah Karesidenan beserta stafnya menyingkir ke luar kota.
Komandan Sub-Territorial Lampung, Letkol Syamaun Gaharu, dengan anggota-anggota stafnya beserta beberapa pejabat Pemerintah Sipil Karesidenan Lampung tanggal 1 Januari sudah berada di Gedong Tataan, sedangkan rombongan keluarga militer dan sipil yang mengungsi sudah berada di Pringsewu.
Saat itu, Komandan Front Utara, dengan Batalyon Mobilnya, yang dipimpin oleh Mayor Nurdin pada tanggal 1 Januari 1949 sore hari sudah berada di Kotabumi. Pada malam harinya, Mayor Nurdin mengadakan rapat dengan Bupati Lampung Utara beserta beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan Partai, untuk membentuk Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung.
Karena diketahui bahwa Residen Rukadi dan wakil Residen R. A. Basyid tidak keluar dari Tanjung Karang, maka rapat di Kotabumi memutuskan untuk menunjuk Bupati Akhmad Akuan menjadi Residen Darurat Lampung sambil menunggu kabar dan Keputusan Komanda Sub-Territorial Lampung (STL). Hasil rapat yang lainnya, adalah keputusan untuk mencetak uang uang darurat, yang ditandatangani oleh Bupati Lampung Utara, Akhmad Akuan, untuk menanggulangi kebutuhan belanja dan logisitik bagi Batalyon Mobil dan pemerintahan sipil di Lampung Utara.
Pada tanggal 5 Januari 1949, Wakil Presiden R. A. Basyid telah meninggalkan kota Tanjung Karang dan berangkat menuju ke Pringsewu. Berdasarkan hasil musyawarah antara Komando Staf Sb-Territorial Lampung (Letkol Syamaun Gaharu da Mayor N. S. Effendi), para pimpinan partai, K. H. Gholin dari pesantren Pringsewu, serta para pejabat Karesidenan Lampung, maka diangkatlah Mr. Gele Harun sebagai Residen Pemerintahan Darurat Lampung menggantikan Residen Rukadi yang masih berada di daerah pendudukan Belanda di Tanjung Karang dan kemudian ke Bekasi, dan R. A. Basyid pun ditetapkan menjadi Wakil Residen.
Setelah dibentuknya Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung di Pringsewu, maka Pemerintah Darurat Karesidenan Lampung yang dipimpin oleh Akhmad Akuan, dikembalikan jabatannya ke posisi sebelumnya, yaitu sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara.
Dr. A. K. Gani selaku Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan selanjutnya mengeluarkan Surat Ketetapan No. 40/49 tanggal 23 April 1949 yang isinya adalah sebagai berikut.
Territorial Palembang Selatan dan Krui dari Daerah Pertahanan Sub-Territorial Lampung dimasukkan ke dalam Sub Territorial Palembang.
Kawedanan Krui dan Karesidenan Lampung dalam sipil dan keuangan dimasukkan dalam Kabupaten Palembang Selatan Karesidenan Palembang.
Kabupberaten Palembang Selatan dalam hal jabatan sipil dan keuangan yang semula dikoordinir oleh Residen Lampung, dikembalikan kepada Residen Palembang, Gubernur Sumatera Selatan.
Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah Darurat dan Staf Sub Territorial Lampung kemudian pindah ke Talapngpadang, terus ke Gunung Meraksa hingga ke Way Tenong. Baru menjelang penyerahan Kotabumi dari Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Darurat pindah ke Bukit Kemuning.
Pembentukan pemerintah darurat tidak saja terjadi di tingkat Karesidenan, namun juga terjadi di tingkat Kabupaten, Kawedanan, Kecamatan, dan Desa. Pemerintah Darurat itu antara lain:
1. a. Di Sukoharjo, Wedana Pringsewu Ramelan diangkat menjadi Bupati Lampung Selatan.
b. Pujoatmiko diangkat menjadi Camat Sukoharjo Utara
c. Hi. Abdul Halim, Camat Ambarawa diangkat menjadi Wedana Perang.
d. Lurah Minganudin diangkat sebagai Lurah Sukoharjo
e. R. M. Waluyo, Camat Gadingrejo, juga berada di Sukoharjo.
2. Imam Muhajir, seorang pegawai Kantor Penerangan Pusat, diangkat menjadi Camat Perang di pinggiran kota Tanjung Karang, yaitu dengan nama Camat Perang Hutan Gedongwani.
3. Abdullah diangkat sebagai Camat di Kedondong.
4. Abdurrahman, Camat Sukadana, oleh Wedana diunjuk sebagai Pejabat Wedana, karena Wedana sedang tidak berada di tempat. Tetapi laporan mengenai kepergian Wedana itu dibuat oleh camat Labuhan Meringgai, Pangku Ratu, camat ini yang ditunjuk Komandan Batalyon Mobil di Lampung Utara sebagai pejabat Wedana.
5.Letnan Muda Robain menjadi Komandan desa militer di Labuhan Meringgai.
6.Letnan Muda R. Makmun Haji Somad menjabat sebagai Komandan Desa Militer di Jabung.
Pada pemerintahan darurat yang terkahir, yaitu di Bukit Kemuning, Pemerintahan Darurat mulai tinggal di sana sejak akhir bulan Juli 1949. Begitu pula dengan Komando STL yang telah lebih dahulu berada di Ulakrengas-Bukit Kemuning dengan akomodasi rumah H. Abdurrahman (mantan Pasirah Marga Rebang Seputih). Selama lebih kurang 4 (empat) bulan, yaitu pada akhir Juli hingga permulaan Desember 1949, Pemerintahan Darurat Karesidenan Lampung pimpinan Mr. Gele Harun, stafnya berkantor di suatu rumah mi.ik kepala Kampung Bukit Kemuning bernama Kontar, yang cukup besar dan terletak menghadap pasar Bukit Kemuning. Kontar adalah ayaah dari Azis Kontar dan mertua Letnan II Laut Abubakar Sidik, tokoh yang sangat disegani masyarakat marga Rebang Putih khususnya dan masyarakat Kawedanan pada umumnya pada masa itu.
Instansi pemerintahan sipil tingkat karesidenan darurat yang pernah berkantor selama 4 bulan di Bukit Kemuning, antara lain: Acting Residen Lampung Republik Indonesia Mr. Gele Harun dan keluarnya, serta Ketua DPR Karesidenan Lampung, A. Yasin dan Wedana diperbantukan Umar Umaya ditempatkan akomodasinya di Kampung Sekipi (kurang lebih 4 km dari Bukit Kemuning), sedangkan rombongan Wakil Residen Lampung, R. A. Basyid dan 19 orang yang bersamanya ditempatkan di pinggiran Bukit Kemuning (kompleks kinciran padi), yaitu di Menjukut jalan ke Neki.
Pemerintahan Darurat RI tetap dilaksanakan demi menjaga harga diri dan kewibawaan bangsa Indonesia di hadapan Belanda. Kegiatan pengadilan dan memenjarakan masyarakat juga tetap dilaksanakan, bagi orang-orang yang melakukan suatu perkara. Begitu pula dengan Hari Ulang Tahun ke-IV Republik Indonesia, tetap dirayakan secara meriah oleh masyarakat Bukit Kemuning dan sekitarnya.
Selama 3 bulan, bahan makanan berupa beras disuplai dari zakat padi Umat Islam Kecamatan Bukit Kemuning, yang dikelola oleh panitia khusus, yang diketuai oleh Camat Buki tsetiap hari Kemuning, Sutan Batin, dengan Sekretaris M. A. Arief Makhya dan Bendahara K. H. Syafi'i (Kepala KUA Kecamatan Bukit Kemuning). Acting Residen Mr. Gele Harun dan Ketua DPR, A. Yasin, setiap hari diangkut dengan gerobak kerbau dari Sekipi ke Bukit Kemuningm dan mereka melaksanakan tugas dengan hanya berpakaian hitam-hitam dari kain belacu.
Pada tanggal 7 Desember 1949, instansi-instansi, para pejabat, dan pegawai sipil RI tingkat Karesidenan Lampung tersebut semuanya meninggalkan Bukit Kemuning, kemudian masuk dan berkantor di Kotabumi, dengan dipimpin oleh Wakil Residen R. A. Basyid, karena Mr. Gele Harun sakit. Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, barulah mereka semua berkantor di Tanjung Karang-Teluk Betung.
Pada tahun 1951 sampai dengan 1956, 3 (tiga) daerah kabupaten, yaitu Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara didampingi oleh DPRDS (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara), yang setiap kabupaten terdiri dari 20 orang unsur partai dan organisasi masyarakat setempat yang masih hidup pada masa itu. Lima orang dari masing—masing DPRDS Kabupaten itu juga merangkap sebagai Dewan Pemerintahan Daerah Sementara Kabupaten (DPDS), mendampingi bupati/ kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari.
Struktur pemerintahan Lampung di tingkat terbawah mengalami perubahan, sesuai dengan Surat Ketetapan Residen Lampung tertanggal 3 September 1952 No. 153/D/1952 dan diperbaiki kembali pada tanggal 20 Juli 1956. Perubahan itu adalah untuk struktur pemerintahan pengganti marga, ditetapkan kesatuan daerah yang disebut dengan Negeri, yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan IGOB Stb. N. 490. Dengan demikian, maka sejak itu hirarki pemerintahan di Lampung adalah Karesidenan, Kabupaten, Kawedanan, Kecamatan, dan Negeri.
Pada tahun 1963, timbulllah perkembangan baru dalam struktur pemerintahan di Lampung, yaitu dengan adanya Peraturan Presiden No. 22/ 1963, maka pemerintahan Kawedanan dihapuskan. Dengan demikian, maka hirarki pemerintahan di karesidenan Lampung sejak tahun 1963 adalah karesidenan, kabupaten, kecamatan, dan negeri.
Sejak saat itu, mulai bulan Pebruari 1963, dimulailah sebuah perjuangan baru, yaitu perjuangan yang terorganisir oleh pemerintah dan rakyat Lampung untuk merubah karesidenan Lampung menjadi Propinsi Lampung.
Sumber: Ariska Warganegara's Facebook,06 Agustus 2011 jam 13:09
No comments:
Post a Comment