August 20, 2011

Melihat Upaya Menyelamatkan Naskah Kuno di Lampung: Terbitkan Tiga Buku untuk Perkaya Khazanah Sastra Lampung

Laporan Taufik Wijaya, BANDARLAMPUNG

Khazanah sastra Lampung bertambah dengan terbitnya tiga buku yang kental dengan sejarah dan budaya Lampung. Seperti apa?

MINIM: Beberapa buku bernuansa Lampung. FOTO NET


DIBANDINGKAN daerah lain, khazanah sastra Lampung dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Bandingkan saja dengan provinsi tetangga, Riau misalnya, Lampung sudah jauh tertinggal. Apalagi dibandingkan daerah lain seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya.

Di dunia maya pun masalah sastra Lampung sangat minim. Hal itu dipicu banyak faktor. Salah satunya karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur. Kondisi ini makin diperparah dengan minimnya perhatian elemen masyarakat, terutama aparat pemerintah, terhadap masalah tersebut.

Sangat jarang terdengar acara diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal membahas tentang sastra Lampung.

Kondisi ini makin miris dengan tingginya biaya operasional pencetakan buku.

Akibatnya dapat dirasakan. Saat ini siswa kesulitan menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas.

Namun, kini kita bisa sedikit tersenyum. Sebab, masih ada masyarakat Lampung yang peduli dengan permasalahan tersebut. Kepedulian itu ditandai dengan upaya menerbitkan tiga buku yang kental dengan nuansa Lampung.

Budayawan Iwan Nurdaya Djafar mengatakan, ketiga buku yang diterbitkan tiga penerbit itu terdiri dua buku berbahasa Lampung, yaitu novel Radin Inten II karya Rudi Suhaimi Kalianda terbitan BE Press, Bandarlampung, dan karya klasik Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar dengan redaktur ahli Hilman Hadikusuma yang diterbitkan Pustaka Labrak, Bandarlampung.

’’Satu lagi, Hikayat Nakhoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu karya Lauddin dkk. diterbitkan Ilagaligo Publisher, Bandarlampung,” kata Iwan.

Dalam novelnya Radin Inten II, Rudi ingin menceritakan kembali sejarah perjuangan pahlawan nasional dari Sai Bumi Ruwa Jurai dengan penuturan berbahasa Lampung.

’’Buku Radin Inten II terdiri enam pembabakan cerita. Diawali dengan Sanak Ngura Sai Mebani, Jadi Kepala Keratuan Darah Putih, Kalianda Berkobar, Pertempuran di Benteng Bendulu, Sampai Sepebelaan Rah, dan Gugorni Sang Pahlawan,” ujar editor Penerbit Pustaka Labrak, Udo Z. Karzi.

Sedangkan Hikayat Nahkoda Muda: Memoar Sebuah Keluarga Melayu merupakan karya sastra klasik berbahasa Melayu dalam huruf Jawi (Arab Melayu) yang ditulis oleh La Uddin dkk. Kisah petualangan ini rampung pada 1202 Hijriah atau 1778 Masehi.

Naskah ini kemudian diterjemahkan William Marsden ke dalam bahasa Inggris dengan judul Memoirs of a Malayan Family pada 1830. Lalu diterjemahkan lagi ke bahasa Indonesia oleh Iwan Nurdaya Djafar.

Menurut Iwan, awalnya Warahan Radin Jambat merupakan manuskrip yang didapat Profesor Hilman Hadikusuma (alm.) dari seorang peneliti asal Jepang Yoshie Yamazaki dari perguruan tinggi Tsuda College Jepang. Naskah ini diperoleh semasa Yamazaki melakukan penelitian tentang transmigrasi di Lampung pada tahun 1984-1986.

’’Warahan Radin Jambat memiliki 703 bait. Bentuknya reringget yang paling tua di Lampung. Dengan pola persajakan tetap dan terikat banyaknya baris dalam setiap bait. Reringget merupakan sastra lisan yang mendekati pantun yang biasa kita kenal,” terang Iwan.

Sementara itu, Udo Z. Karzi mengemukakan, kehadiran tiga buku ini diharapkan dapat memperkaya wawasan generasi muda sekarang, terutama untuk mengenal sejarah dan sastra klasik di Lampung.

Dia menjelaskan, penerbitan Warahan Radin Jambat dan Hikayat Nakhoda Muda merupakan upaya menyelamatkan naskah kuno di Lampung.

’’Agar kekayaan bumi Lampung yang tak ternilai harganya ini dapat tetap ada dan tak hilang dimakan zaman," kata dia.

Senada, Direktur BE Press Y. Wibowo menyatakan kegembiraannya dengan terbitnya tiga buku ini. ’’Ketiga buku ini, baik yang berbahasa Lampung maupun yang tidak, memiliki setting Lampung dan kental dengan aroma sejarah serta budaya Lampung,” ujarnya. (c1/fik)

Sumber: Radar Lampung, Sabtu, 20 Agustus 2011

No comments:

Post a Comment