>> Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Oleh Henry Susanto
Alkisah, Samaratungga sebagai raja ke-7 dari Kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya) mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang putri bernama Pramodya Wardani, sedangkan yang kedua seorang putra yang bernama Rakai Pikatan. Ketika beranjak dewasa, dikabarkan bahwa Rakai Pikatan mempunyai banyak guru Hindu dan akhirnya menjadi pemeluk Hindu. Sedangkan kakak Rakai Pikatan, yaitu Pramodya Wardani adalah pemeluk Buddhis sebagaimana ayahnya.
Pramodya Wardani dipersunting seorang putra pembesar enclaveBuddhis dari daerah Sekala di Lampung, yaitu Balaputera Dewa. Sebagai hadiah perkawinan kepada anaknya (Pramodya Wardani) dan menantunya (Balaputera Dewa) sekaligus untuk menunjukkan kejayaan Buddha di Tanah Jawa, Samaratungga membangunkan Candi Borobudur.
Pada Masa Samaratungga lengser keprabonyang seharusnya menjadi raja pengganti adalah putra laki-laki dari Samaratungga, yaitu Rakai Pikatan. Namun, mengingat Rakai Pikatan sudah menjadi penganut Hindu, tidaklah mungkin untuk diangkat menjadi raja pada kerajaan yang bercorak Buddhis. Oleh sebab itu, diberikanlah takhta kerajaan kepada Pramodya Wardani untuk memerintah sebagai ratu di Mataram Kuno.
Belum lama pemerintahan Ratu Pramodya Wardani berjalan, meletuslah pemberontakan Rakai Pikatan yang didukung oleh para pendeta-pendeta Hindu dari dalam maupun luar kerajaan. Pasukan kerajaan Pramodya Wardani dengan dibantu pasukan yang dibawa suaminya (Balaputera Dewa) dari daerah asalnya mencoba membantu memadamkan pemberontakan Rakai Pikatan.
Keikutsertaan pasukan dari Balaputera Dewa dalam membela takhta Pramodya Wardani justru menyulut kecurigaan Rakai Pikatan dan sebagian besar pembesar istana akan adanya usaha perebutan takhta Kerajaan Mataram Kuno oleh tangan bukan keturunan Dinasti Sanjaya. Para pembesar istana (Buddhis) yang awalnya menopang kekuatan Pramodya Wardani menjadi berbalik bergabung dengan Rakai Pikatan (Hindu) memerangi Pramodya Wardani. Tak pelak, gabungan pasukan Pramodya Wardani dan pasukan Balaputera Dewa menjadi kewalahan, dan akhirnya terpaksa harus menelan kekalahan serta harus menyingkir keluar dari istana.
Kekalahan Pramodya Wardani dan Balaputera Dewa menempatkan Rakai Pikatan bartakhta sebagai raja di Mataram kuno. Kerajaan Jawa yang dulunya bercorak Buddhis berubah menjadi bercorak Hindu. Rakai Panangkaran kemudian juga membangun Candi Prambanan (Hindu) sebagai tandingan Candi Borobudur (Buddha) yang pernah dibangunkan oleh ayahnya (Samaratungga) sebagai hadiah perkawinan untuk Pramudya Wardani dan Balaputera Dewa.
Pada masyarakat Jawa, terdapat cerita rakyat tentang asal mula Candi Prambanan, yaitu dikisahkan bahwa seorang ksatria sakti dari luar istana yang bernama Bandung Bondowoso berminat meminang Putri Roro Jonggrang yang merupakan putri seorang raja Jawa. Pinangan itu diterima Roro Jongrang, tapi sang raja minta syarat bahwa Bandung Bondowoso harus dapat membangun 1.000 candi dalam waktu satu malam sebagai maskawinnya.
Berbekal kesaktiannya, Bandung Bondowoso mencoba menyelesaikan pembuatan 1.000 candi dalam waktu satu malam. Namun, manakala baru selesai membangun 999 candi, dan tinggal satu candi lagi yang harus dibangun, sang raja menyuruh pembantu-pembantunya untuk menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Maka gagallah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kisah Bandung Bondowoso tersebut merupakan kiasan kegagalan Balaputera Dewa dalam membela mempertahankan takhta kerajaan istrinya (Pramodya Wardani) di Mataram Kuno melawan pemberontakan Rakai Pikatan.
Kerajaan Sekala
Kegagalan memadamkan pemberontakan Rakai Pikatan telah membawa Balaputera Dewa dan istrinya (Pramodya Wardani) berikut pasukan yang tersisa pulang kembali ke Sekala di Lampung. Atas dukungan keluarga besar Balaputera Dewa yang berada di Sekala, Balaputera Dewa mendirikan kursi singasana (pepadun) kerajaannya sendiri yang bercorak Buddhis di pesisir barat Lampung dengan lambang-lambang kebesarannya berupa songsong(payung) kuning, burung srigunting, kijang kencana, dan teratai. Balaputera Dewa kemudian bergelar syailendra (satria gunung), maka dianggap sebagai pendiri Wangsa (Dinasti) Syailendra. Istana pusat kerajaannya berada di daerah Sekala.
Pepadun adalah kursi singgasana raja yang dibuat dari kayu pohon khusus yang bernama pohon belasa kepampang atau nangka bercabang karena pohonnya memiliki dua cabang besar, yang satunya nangka dan yang satunya lagi adalah sebukau, yaitu sejenis kayu yang bergetah. Keistimewaan belasa kepampang ini bila terkena cabang kayu sebukau akan dapat menimbulkan penyakit koreng atau penyakit kulit lainnya. Tapi jika terkena getah cabang nangka penyakit tersebut dapat disembuhkan. Pepadun adalah singgasana yang hanya berhak diduduki oleh raja serta keturunannya. Ada dua makna di dalam mengartikan kata pepadun, yaitu:
Pertama, dimaknakan sebagai pepadunyang maksudnya untuk memadukan pengesahan atau pengakuan untuk mentahbiskan bahwa yang duduk di atasnya adalah raja.
Kedua, dimaknakan sebagai pepadunyang berarti tempat mengadukan suatu hal ihwal. Maka jelaslah bahwa mereka yang duduk di atasnya adalah tempat orang mengadukan suatu hal atau yang berhak memberikan keputusan.
Kerajaan Sekala kemudian berkembang dengan pesat sebagai kerajaan bercorak Buddhis yang mampu meluaskan wilayah kekuasaannya hingga ke luar Lampung. Kerajaan Sekala inilah yang kemudian dikenal dalam sumber berita China (catatan musafir China yang bernama Ma Huan) sebagai chi-li-fo-che, yang maksudnya adalah Se-ka-la, yang dilafalkan dalam pengucapan logat China. Orang sekarang mengenalnya sebagai Sriwijaya (awal sebenarnya adalah Sekala). Masih berdasar sumber berita China yang sama, dikatakan bahwa chi-li-fo-che merupakan kerajaan po-lim-pang, maksudnya adalah kerajaan yang ada pada orang Lampung. Kata po dalam bahasa China artinya adalah orang, dan kata lim-pangadalah logat pengucapan orang-orang China dalam penyebutan kata Lampung.
Berdasarkan informasi dalam Prasasti Talang Tuo yang di dalamnya termuat simbol Kerajaan Sekala (Sriwijaya) berasal dari tahun 684 Masehi, diketahui bahwa Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membangun Taman Sriksetra untuk kebahagiaan makhluk agar: terbangunnya Buddhis, Tri Ratna, terhentinya kelahiran kembali, dan tercapainya nirwana". Isi prasasti ini menunjukkan bahwa Kerajaan Sekala adalah bercorak Buddha. Taman Sriksetra yang dimaksud kemungkinan besar adalah dibangun secara besar-besaran di Bukit Siguntang (masuk wilayah Palembang sekarang) sebagai wahana peribadatan Buddhis pengganti Borobudur dan sekaligus menunjukkan kejayaan Sekala (Sriwijaya).
Sebagai tanda penghormatan kepada Pramodya Wardani, maka oleh Balaputera Dewa didudukkanlah sang istri (Pramodya Wardani) menjadi Ratu di Puncak (permaisuri Kerajaan Sekala), serta dibuatkan dan dipakaikan siger (mahkota) untuknya yang berbentuk mirip miniatur Candi Borobudur sebagaimana yang bernah dibuatkan oleh Samaratungga sebagai hadiah perkawinan untuk mereka semasa masih di Mataram Kuno. Perpaduan antara pepadun dan siger memunculkan sistem kekerabatan di Kerajaan Sekala yang bersifat patrilineal primogenitur, yaitu bahwa pewarisan takhta berlaku sangat ketat pada jalur keturunan laki-laki pertama dari Balaputera Dewa (selaku penguasa pepadunatau singasana Kerajaan Sekala) dan Pramodya Wardani (selaku pemakai sah siger atau mahkota Kerajaan Sekala).
Henry Susanto, dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, 14 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment