January 31, 2010

Seni (tak) Tergantung Anggaran

Oleh Asarpin*

DALAM beberapa bulan terakhir, ada yang unik pada diskusi sastra di Lampung. Beberapa pengarang tampaknya sedang serius merancang sebuah kredo tentang seni dan sastra yang "tergantung pada uang". Kalau tidak ada anggaran dari pemerintah, maka seni dianggap akan mati. Seniman dan sastrawan mulai berkarya dengan mengharapkan jasa!

Memang, sejak "pahlawan tanpa tanda jasa" disematkan pada para guru, lalu dikritik di mana-mana, sekarang orang malas untuk disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau perlu jadi pengarang dengan puluhan bintang jasa dan bisa kaya raya. Para seniman kemudian mendekatkan diri pada kuasa modal dan mengorbankan integritas seni. Selain itu, upaya menginduk pada negara dianggap sah demi memperoleh suntikan modal.

Menjadi kaya tidak ada yang melarangnya. Saya bersimpati pada Pramoedya walau pun rumahnya sudah mentereng, dan amat mencolok dibandingkan dari rumah-rumah di sekitarnya. Tapi Pram tidak mengemis pada pemerintah. Tidak bikin proposal. Demikian pula Afrizal Malna. Penyair ini mungkin satu-satunya yang sudah punya nama besar dengan menghasilkan ratusan puisi yang mendapat apresiasi luas, tapi sekaligus paling melarat dan sampai sekarang tidak punya rumah. Ia tak punya uang kecuali mengharapkan hasil dari honor tulisan di koran, atau sebagai pembicara dalam diskusi tentang seni.

Dulu Afrizal masih bekerja di UPC Jakarta, dan mengandalkan honor Rp1,5 juta/bulan. Padahal Afrizal adalah salah satu pendiri UPC yang sumbangannya terhadap gerakan kaum miskin kota dengan warna budaya sangat dominan. Waktu kami masih tinggal serumah, beberapa kali Afrizal meminjam uang Rp10 ribu kepada saya untuk beli rokok. Ini cukup sering, tidak hanya kepada saya.

Afrizal sempat juga diselamatkan beberapa wartawan televisi yang memintanya membuat skenario film pendek. Tapi saya tahu betul bahwa Afrizal mau menggarap skenario film itu kalau tidak diatur dan diarahkan si pemesan. Ia ingin membuatnya dengan merdeka, agar bisa tulus.

Maka, agak ganjil kedengarannya kalau seniman dan sastrawan di Lampung meributkan soal anggaran. Kita semua sepakat bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana untuk kegiatan seni dan sastra sama sebagaimana mereka memperlakukan politik, bahkan sudah sewajarnya jika perhatian pemerintah lebih terfokus pada soal seni, budaya, dan sastra, karena ini persoalan nilai. "Pada 2010 ini pemerintah harus memikirkan strategi kebudayaan di Lampung," tulis Iswadi.

Sejak dulu, pemerintah kita memang tidak peka, tidak terbiasa berpikir keras, apalagi mau memikirkan strategi kebudayaan. Sementara senimannya sejak dulu "berkesenian secara melarat", kata Taufiq Ismail. Tapi terlampau berharap pada gubernur atau wali kota, sekalipun mereka kita dukung saat pencalonan, bisa membuat ketergantungan yang tidak sehat, padahal sejak lama seniman hidup dengan memotong tali pusar ketergantungan.

Lagi pula, apa sih yang sudah dilakukan seniman dan sastrawan Lampung selama ini? Melihat cara-cara mereka mendesak pemerintah untuk memberi dana bagi perkembangan seni dan sastra di Lampung, terkesan mereka sudah banyak jasa dan perlu dihargai, seperti Sutardji dihargai oleh Pemprov Riau.

Sumbangan mereka terhadap perbaikan kualitas masyarakat Lampung tidak terlalu jelas. Selama ini mereka hanya mengharumkan nama Lampung di kancah pergaulan seni dan sastra nasional, tetapi hanya sebatas mengharumkan saja. Apanya yang harum, warganya, tradisinya, bahasanya, menjadi tidak jelas juga.

Kalau saja kegelisahan para seniman dan sastrawan Lampung itu terbit dari hati yang tulus, memikirkan seni dan sastra sampai berdarah-darah, saya sangat bangga. Tapi saya kira, tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah selama ini, punya ekor yang panjang. Kritik yang bertubi-tubi kepada pemerintah kadang menyimpan motif yang tidak punya hubungan langsung dengan nasib seni dan sastra di tanah Lampung, tetapi lebih pada mengharapkan dana pribadi.

Munculnya puluhan sastrawan di Lampung dengan karya yang lumayan bagus, dan mendapat apresiasai nasional, justru karena mereka tidak menggantungkan hidup dengan dana dari pemerintah. Jangan-jangan kalau Pemprov atau Pemkot sudah ngasih dana, para seniman dan sastrawan kita akan bernasib sama dengan para aktivis LSM di Lampung yang kehilangan daya kritis. Tidak ada dana dari Pemprov selama ini justru sudah terbukti mampu melahirkan karya-karya dengan capaian estetika yang sip.

Harumnya nama Teater Satu di kancah nasional selama ini hampir tidak ada peran yang berarti dari pemerintah daerah. Anggaran kegiatan Teater Satu dan Kober memang tidak sepenuhnya mandiri, mereka masih menggantungkan dana dari luar. Namun keberadaan dana bagi dua komunitas teater di Lampung itu bukan persoalan pokok dan mendasar. Saya kira akan tetap lahir karya-karya hebat Iswadi dan Ari Pahala sekalipun sudah tidak ada lagi bantuan dari pihak luar.

Demikian pula Isbedy, Arman A.Z., Inggit, Lupita, Oyos, Dahta, dll., mereka sudah terbukti hebat walaupun masih sering melarat. Memang, dalam event atau acara yang tingkatnya nasional atau internasional, para sastrawan kita kadang masih harus buat proposal kepada pemerintah, walaupun akomodasi dan transportasi sudah disiapkan panitia.

Memang, dengan tidak adanya anggaran dari pemerintah, para seniman dan sastrawan kita menjadi pintar bikin proposal. Kepintaran dalam membuat proposal ini nyaris mengalahkan kepintaran para aktivis LSM. Mereka juga pandai membangun jaringan di kantor-kantor pemerintah atau swasta, yang sewaktu-waktu akan mereka "manfaatkan" untuk kepentingan mendapatkan dana. Kelebihan terakhir, adalah: kalau ada momentum pemilihan kepala daerah para sastrawan dan seniman kita menjadi tim sukses, tapi ketika jago mereka menang, hanya pahit yang mereka terima.

Uang benar-benar membutakan banyak orang. Uang juga senjata paling ampuh untuk menggerogoti idealisme para pengarang dan wartawan. Sukses tampaknya cuma bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita. Para pengarang Lampung senantiasa menjadi biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri.

Lagi-lagi saya teringat Pram, terutama satu kalimatnya dalam novel Bukan Pasar Malam: "Hidup di alam demokrasi membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh–ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi."

Adakah Pram sedang bicara tentang filsafat uang? Pram bisa jadi berhutang pada ajaran Marx dan Simmel tentang filsafat uang. Dalam salah satu tulisannya, The Capacity of Present-day Jews and Christians to Become Free (1843), yang pernah dikutip St. Sunardi dalam pengantar buku A.B. Widyanta tentang sosiologi kebudayaan George Simmel, kita menemukan gagasan Marx tentang uang. Uang, kata Marx, adalah "Tuhan pencemburu bangsa Israel" (The jealous god of Israel). Tak ada Tuhan lain pun yang boleh ada di hadapan Dewa Uang.

Bisa jadi "uang menurunkan derajat semua Tuhan--dan mengubah mereka menjadi komoditas", seperti kata Marx yang sekuler. Uang terbukti menjadi nilai dari segala sesuatu yang bersifat umum, dan tidak membutuhkan nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, uang telah merampas nilai kesejatian pribadi, juga merampas nilai sesungguhnya dari seluruh dunia; baik dunia manusia maupun dunia alam. Uang adalah esensi terasing dari kerja dan hidup manusia, dan esensi ini menguasai dirinya saat dia memujanya.

Di sini kita tahu mengapa Georg Simmel (1858--1918) terseret bayang-bayang Marx. Salah satu tesis Simmel terkenal--sekaligus menghubungkan dirinya dengan Marx--adalah tentang segalanya adalah uang. Kalau ini juga yang sedang mengancam para seniman Lampung, maka pilihan kita sekarang tinggal, "Serulah," kata Asrul Sani: Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan anggaran dengan mengorbankan ideal-ideal kesenian! Kemudian katakan: "Ia yang hendak mencipta, menciptalah atas bumi ini. Ia yang akan tewas, tewaslah karena kehidupan."

* Asarpin, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Januari 2010

[Perjalanan] Menengok Dunia Buyung dan Panti

Di ujung Lampung Barat, TNWC gelagh ni
Daerah Tampang-Belimbing, TNBBS kughuk ni
Si Buyung jama Panti, Lemawong pullan Aceh
Tian ghua dikas kon,Mit pullan tian muloh
Wat Menteri Kehutanan, Sina Zulkifli Hasan
Baghong Tomy Winata, Sekebak TNWC
Tian ghua mastiko, Haga ngelestariko alam
Ngejaga kaban binatang, Konservasi di TNBBS
Buyung-Panti gembira, Ngeliak kaban uncal
Jelma di Pengekahan, bersiap ngehalau ni
Meghabai haga luagh, Wat Buyung nelop uncal
Harus ngedok solusi, Nyiapko ghang relokasi



(Di ujung Lampung Barat, TNWC namanya
Daerah Tampang-Belimbing, masuk Kawasan TNBBS
Si Buyung dan Panti, harimau asal hutan Aceh
Mereka berdua dilepaskan, ke hutan mereka pulang
Ada Menteri Kehutanan, Yakni Zulkifli Hasan
Bersama Tomy Winata, pengelola TNWC
Mereka berdua memastikan, rencana pelestarian alam
Menjaga kawanan hewan liar, konservasi TNBBS
Buyung dan Panti gembira, melihat kawanan rusa
Warga di Pengekahan menghalau jika harimau masuk kampung
Takut mau ke luar rumah, ada Buyung menyantap Rusa
Harus ada solusi, menyiapkan lahan relokasi)

BEGITULAH gambaran penglepasliaran dua harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)--Buyung dan Panti--ke Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Lampung Barat dalam bentuk syair berbahasa Lampung. Ada banyak manfaat yang didapat dari program penglepasanliaran itu, salah satunya menjaga kelestarian harimau sumatera beserta kawasan untuk tempat hidupnya. Selain itu, juga bisa mengantisipasi masuknya perambah liar yang bakal memberangus kawasan penghasil oksigen itu.




TNWC atau Konservasi Alam dan Kehidupan Liar Tambling itu berada di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Bengkunat, ujung Lampung Barat, yang berbatasan dengan Tanggamus. Kedua harimau sumatera asal hutan Taman Nasional Gunung Leuser, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) itu dilepasliarkan di habitat barunya di TNWC.

Penglepasliaran tersebut dilakukan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bersama pengusaha Tommy Winata yang menjadi pelopor karantina harimau dan Direktur Taman Safari Indonesia Tony Sumampau. Penglepasliaran itu juga bertepatan dengan pencanangan Hari Konservasi Alam Nasional (HAKN) yang dilakukan Wapres Boediono di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (22-1).

Kawasan TNWC seluas sekitar 45 ribu hektare adalah bagian dari TNBBS, menjadi habitat yang cukup ideal bagi kedua harimau itu. Apalagi sudah beberapa kali harimau yang wilayah kekuasaannya sekitar tujuh kilometer persegi itu dilepaskan di sana plus puluhan harimau asli Tampang Belimbing. TNWC di bawah pengelolaan PT Adhiniaga Kreasi Nusa, anak perusahaan Artha Graha Network.

Mangsa

Banyak sekali jenis mangsa yang bisa didapat harimau sumatera di kawasan itu. Selain rusa yang jumlahnya ratusan, juga terdapat kerbau liar dan ikan yang bisa menjadi mangsa "si raja hutan" itu.

Penglepasan itu juga dibarengi dengan Safari Night, di mana Menteri Kehutanan dan undangan dari Pemprov Lampung dan Pemkab Lampung Barat ikut menyaksikan hewan-hewan liar yang menjadi mangsa harimau dalam siklus kehidupan alam.

Sejumlah daerah terlihat kawanan rusa sedang merumput, dimulai dari kawasan runway pesawat terbang--sekitar 500 meter dari Sekretariat TNWC. Kemudian, kawanan kerbau liar juga terlihat merumput saat malam di padang rumput itu.

Namun, malam itu peserta Safari Night tidak melihat raja rimba yang baru dilepas siang harinya di sekitar lokasi merumput mangsanya. Bahkan di tempat penglepasliaran dan di danau yang menjadi tempat favorit harimau mencari mangsa malamnya pun tidak ditemui. "Biasanya harimau di tepi sungai untuk mengintip hewan mangsanya minum," kata Penanggung Jawab TNWC Tomy Winata saat acara itu.

Rangkok, Penyu, dan Ikan

Selain harimau dan mangsanya, TNWC juga dihuni berbagai jenis burung dan ikan. Sementara pantai Belimbing yang menjadi pembatas TNWC, juga dihuni penyu belimbing--menurut penduduk setempat merupakan hewan asli daerah itu.

Salah satu jenis burung yang terlihat bermain di sekitar Sekretariat TNWC adalah rangkok. Tiga burung pemakan buah dan biji-bijian itu terlihat terus mengitari kawasan itu. Ketiganya adalah sebuah keluarga yang dipelihara oleh staf TNWC yang akrab disapa Kakek.

"Mereka memang biasa terbang di sekitar tempat ini. Memang saya pelihara sejak kecil sepasang rangkok itu, sampai kemudian bertelur dan mempunyai anak," ujar Kakek.

Kakek memang menjadi andalan TNWC untuk memelihara setiap warga baru yang bakal menghuni kawasan hutan di sana. Selain keluarga rangkok itu, dua elang yang dilepasliarkan bersamaan dengan Buyung dan Panti juga buah tangannya. Selain itu, banyak lagi burung atau yang oleh masyarakat ditemukan dan kemudian diserahkan ke TNWC untuk dikembalikan ke alam. "Kadang penduduk membawa ketilang anakan. Setelah dipelihara dan besar, kami lepaskan lagi ke hutan," kata Kakek.

Hewan langka lainnya adalah penyu yang ikut dilepasliarkan Menteri Kehutanan bersama Sekprov Lampung Irham Jafar Lan Putra, Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, dan Kepala Dinas Kehutanan Lampung Hanan A.R. Penyu itu bertempurung menyerupai bentuk belimbing dan dilepasliarkan ke laut di pantai Tanjung Belimbing.

"Hewan ini sangat langka, maka harus dilestarikan kehidupannya. Agar anak cucu kita masih bisa melihatnya," kata Tomy Winata.

Apresiasi Pemerintah

Saat kunjungan itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan juga sekaligus memberi penghargaan kepada TNWC karena keberhasilannya dalam konservasi alam. Penghargaan itu berupa penambahan luasan kawasan yang dikelolanya. "Tambahan ini akan terus dilakukan hingga sekitar 49 ribu hektare kawasan TNBBS," kata Zulkifli.

Tambahan luas kawasan pengelolaan TNWC itu menjadi tambahan tugas. Salah satunya adalah menghalau perambah dan mencari solusi relokasi penduduk. Sebab, sejumlah kawasan sudah mulai dirambah penduduk, bahkan sudah menjadi permukiman kecil.

"Pemerintah berterima kasih kepada TNWC yang mau membantu dalam sektor konservasi alam. TNBBS adalah warisan dunia, jadi kita patut menjaganya," kata Menteri. n MUSTAAN

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Januari 2010

January 27, 2010

Pelepasliaran Satwa: Dua Harimau Masih Terpisah

Tampang Belimbing, Kompas - Begitu pintu kandang terbuka, Jumat (22/1) pukul 14.30, Panti sempat 10 menit enggan keluar. Dia berdiri, sorot matanya tajam mengawasi sekeliling kandang besinya. Sejurus kemudian, Panti keluar dengan langkah gontai membawa badannya yang seberat sekitar 85 kilogram. Panti sempat membaui pintu kandang pasangannya, Buyung, sebelum berlari ke arah hutan.

Panti adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), satunya lagi si Buyung yang secara resmi dilepasliarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di area Tambling Wildlife National Conservation (TWNC) di Panimbangan, Kabupaten Lampung Barat, yang masuk kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Dalam dua tahun terakhir, Panti dan Buyung menambah koleksi harimau sumatera menjadi empat ekor setelah Juli 2008 dua ekor harimau bernama Agam dan Pangeran juga dilepasliarkan di habitat aslinya.

Direktur Taman Safari Indonesia Cisarua Tony Sumampau, Sabtu (23/1) pagi, mengabarkan, kedua harimau masih terpisah sekitar 500 meter. ”Keduanya dilepasliarkan dengan GPS Collar di leher. Kalung pendeteksi itu memungkinkan gerakan mereka terpantau,” kata Tony.

Dia mengakui, harimau memang lebih adaptif dalam habitat alaminya. Namun, habitat harus steril dari kehidupan manusia. Jangan sampai bertemu karena keduanya pasti saling bunuh.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, pelepasliaran harimau sumatera ke habitat aslinya merupakan peristiwa bersejarah di dunia. Tidak banyak negara masih memelihara harimau. Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 13 negara yang masih memiliki harimau meski jumlahnya semakin menyusut.

Prestasi pelepasliaran ini akan menjadi isu penting penyelamatan harimau, yang akan dibawa ke pertemuan negara-negara yang masih memiliki harimau, akhir Februari 2010 di Thailand.

”Peristiwa ini menjadi tonggak pemerintah untuk penyelamatan kawasan hutan konservasi di Indonesia. Hutan konservasi kini tinggal 15 persen atau sekitar 25 juta hektar,” kata Zulkifli.

Menurut Kepala Balai Besar TNBBS Kurnia Rauf, TNBBS sejak Juli 2004 ditetapkan sebagai tapak warisan dunia, The Tropical Rainforest Haritage of Sumatera, oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).

Kurnia mengatakan, kawasan TNBBS belum steril. Masih ada 170 keluarga yang tinggal di kawasan yang rawan konflik dengan mamalia besar. (WHO)

Sumber: Kompas, Rabu, 27 Januari 2010

January 26, 2010

Tommy Winata: Berterima Kasih pada Alam

TAMBLING Wildlife Nature Conservation ibarat jiwa seorang Tommy Winata. Pria yang lahir dengan nama Oe Suat Hong di Pontianak, Kalimantan Barat pada 23 Juli 1958 itu, adalah seorang pengusaha sukses. Dia adalah pemilik Grup Artha Graha. Tommy Winata yang biasa disapa TW, menggerakkan roda bisnis di berbagai bidang, seperti perbankan, tekstil, dan konstruksi.

Tommy Winata (SP/Gusti lesek)

Tetapi, sejak 1999, TW melirik sebuah kawasan yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatera, bernama Tambling. Tambling adalah singkatan nama dari dua kawasan, yakni Tampang dan Belimbing.

Secara geografis, Tambling masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Barat. Kawasan ini berada atau menjadi bagian Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Di bawah pengelolaan PT Adhiniaga Kreasi Nusa, anak perusahaan Grup Artha Graha, kawasan Tambling kemudian dikenal dengan nama Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC). Total area TWNC mencapai 45.000 hektare.

Memasuki kawasan TWNC yang luasnya 45.000 hektare ini, pengunjung disuguhi keindahan dan keaslian lingkungan alam yang menakjubkan. Kawasan ini mirip sebuah istana atau kerajaan. Segala sesuatu tersedia.

Untuk mengelilingi kawasan TWNC, disediakan sejumlah mobil, sepeda motor, dan traktor. Kalau hendak berkeliling dari udara, ada helikopter, yang setia parkir di samping lapangan terbang, yang landasan pacunya berumput hijau. Lapangan terbang ini juga menjadi sarana bermain anak-anak rusa dan kerbau liar. "Setiap sore, ratusan rusa merumput di lapangan terbang ini," kata Rizal, karyawan TWNC.

Sejumlah rumah berdiri selaras alam, bertebaran di beberapa tempat, lengkap dengan fasilitas seperti hotel. Pohon-pohon baru ditanam di sejumlah lahan kosong yang kritis. Dalam waktu 10 tahun, TWNC yang sebagian besar adalah lahan kritis, berubah menjadi hutan rimba tropis.

TW melalui PT Adhiniaga Kreasi Nusa menyulap wilayah Tambling menjadi taman konservasi alam, surga bagi berbagai jenis binatang liar dan langka. Di TWNC, kata Tommy Winata, terdapat 40-an harimau sumatra, 52 jenis reptil/ampfibi, 332 jenis burung, dan beberapa jenis primata.

Mamalia

Di tempat ini juga terdapat enam jenis mamalia yang hampir punah, yakni gajah sumatra, badak sumatra, harimau sumatera, kerbau liar, tapir, dan beruang madu. "Harimau sumatra adalah satwa milik Indonesia yang tersisa," katanya.

Tommy mengakui, biaya pembuatan, perawatan, dan gaji 105 karyawannya di TWNC sangat besar. Tetapi, ia tidak memedulikan berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk sebuah tanam konservasi seluas 45.000 ha itu. "Yang penting kita bisa menjaga lingkungan hidup dan mengurangi ancaman perubahan iklim global," katanya.

Lalu, apa yang melatarbelakangi seorang TW mau membuang uang dalam jumlah besar untuk sebuah bisnis yang jelas-jelas tidak mendatangkan laba? Bagaimana bisa, seorang TW rela merogoh kocek hanya mengurus beberapa ekor harimau sumatra yang terancam punah? "Saya mau menyampaikan terima kasih pada alam," kata Tommy Winata membuka cerita masa lalunya.

Saat remaja, kata TW, dia bekerja di tengah hutan rimba Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan daerah-daerah yang lingkungan alamnya masih asri selama 7-8 tahun. "Yang luar biasa, selama di hutan, saya tidak pernah mengalami musibah atau kesulitan di luar akal sehat saya," katanya.

Jika lapar, Tommy mengaku langsung ke hutan, mencari hasil hutan yang bisa dimakan, entah itu talas, jantung pisang, keladi, akar rotan, dan berbagai jenis buah-buahan. Selama bekerja di kawasan hutan, Tommy mengaku harus rela menjadi pekerja kasar, menjadi karyawan biasa, penjaga gudang, dan bahkan membantu membuka jalan dari Kalimantan ke Entikong, Malaysia.

"Pada saat Tuhan memberikan rezeki yang lebih kepada saya, dan membimbing langkah ke Tambling, memori masa lalu itu muncul kembali, sehingga memunculkan the power of love of Tambling," katanya. Di sinilah (Tambling), TW menemukan kembali masa remajanya. "Di sini, saya temukan masa remaja saya," ujarnya.

Ekoturisme

Selain sebagai kawasan konservasi, Kepala Balai Besar Bukit Barisan Selatan Ir Kurnia Rauf mengatakan, pemerintah juga telah memberikan konsesi kepada TWNC untuk melakukan kegiatan ekoturisme selama 35 tahun. "Apa dan bagaimana konsepnya, kami serahkan ke pihak TWNC," katanya.

Tommy Winata yang dikonfirmasi tentang hal itu mengatakan, gagasan itu belum bisa berjalan saat ini, karena berbagai alasan. Jalur transportasi ke TWNC hanya bisa lewat udara atau laut. Itu sudah sangat mahal. Kalau dihitung-hitung, dibutuhkan US$ 3.000 untuk bisa bermalam tiga sampai empat hari di Tambling. "Biaya itu sangat mahal. Lagi pula, orang Indonesia lebih suka ke Hong Kong atau Eropa jika punya uang sebanyak itu," katanya.

Namun, alasan utama di balik itu semua adalah Tommy Winata tidak mau dicap sebagai pengusaha yang hanya menjual alam untuk keuntungan pribadi. Karena itu, ia mengaku tidak tertarik mengembangkan TWNC menjadi ekoturisme saat ini.

Dia malah mengharapkan, kalau boleh pengusaha-pengusaha kaya di Indonesia melakukan hal yang sama di daerah-daerah lain, membuat taman konservasi di sejumlah daerah, sehingga keberlanjutan flora dan fauna di Indonesia tetap lestari.

"Banyak investor yang menawarkan modal untuk membangun di TWNC. Tetapi saya tolak, dengan permintaan, kalau bisa bangun saja yang baru di daerah lain, sehingga makin banyak lahan konservasi di Indonesia," katanya.

Kita menunggu, adakah Tommy Winata-Tommy Winata lain yang menyusul, yang mau menyisihkan sedikit kekayaan mereka untuk melindungi flora dan fau- na yang terancam punah di bumi pertiwi ini? [SP/Gusti Lesek]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 26 Januari 2010

TSI Pantau Pergerakan Harimau Sumatra

[JAKARTA] Petugas Taman Safari Indonesia (TSI) terus memantau pergerakan dua harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) bernama Panti (betina, berumur 5 tahun) dan Buyung (jantan, 7 tahun) yang dilepas ke habitatnya di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), di Lampung Selatan, Jumat (22/1).

Pengusaha Tommy Winata melihat harimau sumatra bernama Panti sesaat sebelum dilepasliarkan di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Lampung Selatan, Jumat (22/1). (SP/Gusti Lesek)

Kepala TSI Tonny Sumampouw kepada SP, Selasa (26/1), mengatakan, hingga pagi tadi, sekitar pukul 03.00 WIB, kedua harimau itu terpantau oleh general packet radio service (GPRS) TWNC dan TSI, berada di sebuah lokasi dengan jarak sekitar 1,4 kilometer, dalam posisi yang sama dan arah yang sama, tetapi tidak berjalan bersamaan. "Saya melihat keduanya berada di posisi berdekatan, tetapi hanya sebentar, dan tidak jalan bersama," kata Tonny.

Dijelaskan, sejak dilepas ke alam bebas pekan lalu, kedua harimau sumatra itu telah menemukan tempat menetap. Si Buyung, sesaat setelah dilepas langsung menuju ke Danau Seleman, dan menetap selama dua hari di sana. "Itu artinya, dia telah menemukan tempat tinggal dan sumber makanan yang banyak," katanya.

Satwa Langka

Sementara itu, si Panti langsung menuju ke arah Mercusuar Belimbing dan tinggal satu hari di sana. Lokasi mercusuar tidak jauh dari bandara yang selama ini menjadi tempat merumputnya ratusan rusa liar. "Kemungkinan dia mendapat mangsanya di situ. Keduanya kini berada di hutan rimba," kata Tonny.

Pelepasan dua harimau sumatra yang berasal dari Aceh Selatan itu, dilakukan Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan dan Bos Grup Artha Graha Tommy Winata, disaksikan sejumlah pejabat Provinsi Lampung.

Menhut mengatakan, pelepasan harimau langka ini dilakukan pada saat dunia sedang menggalakkan perlindungan terhadap satwa langka tersebut. "Pada 28 Januari dan September nanti, para kepala negara akan berkumpul di Thailand dan Rusia, membicarakan upaya pelestarian harimau," katanya.

Karena itu, Menhut berterima kasih kepada seluruh masyarakat, terutama TWNC yang bersedia merawat dan menampung satwa langkah itu di lahan konservasi mereka di Tambling. "Tolong jaga harimau ini," imbau Menhut kepada masyarakat sekitar TWNC sesaat setelah melepas dua ekor harimau sumatra, dua ekor burung elang, dan beberapa ekor penyu.

Tommy Winata mengatakan, harimau yang dilepas ini adalah jenis harimau sumatra yang ditangkap oleh warga Aceh Selatan. Pemerintah kemudian meminta TWNC untuk mengambil dan merawatnya, dengan pesan harus dikembalikan ke habitatnya. "Karena diminta, kami siap menerima dan merawat," kata Tommy Winata.

Ditanya, apakah TWNC akan menerima lagi jika ada harimau sumatra yang masuk ke tempat konservasi ini, Tommy mengatakan, jangankan harimau, semua binatang yang dilindungi akan diterima di tempat ini. Binatang apa saja yang menurut Kementerian Kehutanan sebagai binatang dilindungi, kita terima masuk konservasi di sini," katanya.

Pelepasan dua harimau tersebut berlangsung tegang. Harimau Panti yang dilepas pertama kali, setelah kunci kerangkeng dibuka oleh Tommy Winata, ternyata tidak langsung keluar dari kandang. Panti menunggu sekitar empat menit baru keluar.

Panti

Dia tidak langsung lari ke hutan, tetapi mengelilingi kandang Buyung, yang masih terkunci rapat. Sesekali Panti menatap ke arah tamu yang hadir, membuat banyak yang takut. Sementara itu, Buyung, keluar dari kerangkeng, mengamati situasi, dan langsung berlari kencang ke arah hutan.

Area TWNC, sebagai tempat konservasi binatang liar, yang luasnya mencapai 45.000 hektare, merupakan suatu kawasan di ujung semenanjung, yang terletak di antara Teluk Tampang di bagian barat dan Tanjung Belimbing bagian timur. Atau letaknya persis di ujung selatan Pulau Sumatera. Wilayah ini merupakan bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), yang memanjang dari Provinsi Bengkulu hingga ke Provinsi Lampung. [L-8]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 26 Januari 2010

January 25, 2010

Peluncuran Novel: Sastra Sumsel Tertinggal

Palembang, Kompas - Sastra Sumatera Selatan tertinggal dibandingkan daerah lain di Sumatera bagian selatan. Ketertinggalan itu tampak dari sedikitnya jumlah novel karya penulis asal Sumsel.

Hal itu dikatakan Koordinator Institut Jurnalistik Palembang (IJP) Maspril Aries dalam acara peluncuran novel berjudul Angin karya Toton Dai Permana, Sabtu (23/1) di Kampus Stisipol Candradimuka, Palembang.

IJP merupakan lembaga yang menyelenggarakan Program Peduli Penerbitan Buku Sumatera Selatan. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan karya sastra, seperti novel.

Acara peluncuran buku diisi diskusi novel Angin dengan pembicara wartawan Tempo, Arif Ardiansyah, dan pengamat sastra, Rapanie Igama.

Menurut Maspril, di Lampung mudah ditemukan buku fiksi dan nonfiksi di toko buku terkemuka. Namun, di Sumsel sulit ditemukan buku karya penulis Sumsel.

Arif mengutarakan, para penulis Sumsel harus berusaha agar karyanya diterbitkan penerbit buku besar. Penulis Sumsel jangan hanya mengandalkan penerbit buku lokal karena jaringan distribusinya terbatas.

Rapanie menuturkan, penerbitan novel di Sumsel sangat langka. Berdasarkan catatan Rapanie, pada tahun 2009 hanya ada empat novel karya penulis Sumsel yang diterbitkan, termasuk novel Angin .

Perlu didistribusikan

Sesepuh wartawan Sumsel, Ismail Djalili, mengatakan, novel Angin harus didistribusikan secara luas agar dapat dinikmati orang banyak.

Menurut Ismail, sebagus apa pun sebuah karya apabila tidak bisa dinikmati secara luas menjadi percuma.

Setelah novel ini terbit, harus dipikirkan bagaimana mendistribusikannya, ujar Ismail.

Maspril menambahkan, novel Angin akan didistribusikan ke perpustakaan dan sekolah di seluruh Provinsi Sumsel. IJP tidak bisa melakukan distribusi, tetapi pihak sekolah dan perpustakaan yang berminat bisa menghubungi IJP. (WAD)

Sumber: Kompas, Senin, 25 Januari 2010

January 24, 2010

Perspektif Gembira Sastra Lampung

Oleh Hardi Hamzah

Spektrum menggagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun, dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah.

SETELAH gebrakan spektakuler buku puisi Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi (BE Press, 2007), yang merambah ke tingkat nasional, akhir tahun lalu kita diperkenalkan dengan dua karya sastra yang cukup menggelitik.


Dua karya berupa kumpulan puisi berjudul Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya dan kumpulan cerpen bertitel Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami--keduanya kebetulan juga diterbitkan BE Press, Bandar Lampung, --sungguh memberi pilar penalaran tersendiri bagi khasanah kebudayaan Lampung.

Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya ini, dibuka dengan prawayang Mulang Goh. Mulang Goh merefleksikan nuansa kepasrahan, tapi menjelmakan ketidakputusasaan, dus kegembiraan akan suatu kenangan.

Detail puisi dalam karya Oky, kiranya memang menghentak semangat baru melalui jebakan kata dan seribu nuansa, misalnya saja, puisi yang berjudul Kituk. Sebagai orang Lampung kita tentu mengernyitkan dahi dengan judul tidak senonoh itu.

Tetapi, kituk ternyata menyelimuti kita untuk memahami bersebadan dengan alam dan romantisme, ini dapat kita baca pada halaman 5. Sederet kelana dan romantisme dikembangkan dan diaktualisasikan lewat napas-napas menggugah. Ini dapat kita rasakan dalam Bulan Nyusut (hlm. 8).

Di keheningan Bulan Nyusut, kita diajak berlari dan menggebrak nuansa baru dari sebuah karya, penulis lalu mengingat kumpulan sajak sepatu tua karya Rendra yang menyentak dan menggugah hati dalam kebeningan bahasa. Gugahan itu kemudian diintrodusir pula oleh penulisnya dalam puisi Tentang Bebai Melok Jukuk (hlm. 14).

Gugusan baru memang selalu dibuka di dalam atmosfer antara puisi dan prosa, ini setidaknya bila kita ambil serapan lain dari karyanya yang berjudul Tentang Lambung di Lamban Lamban Langgar (hlm.16), Hasok (hlm. 23), Lapah Duma (hlm. 31), Sajak Jamma Kalah (hlm. 43). Sementara itu, puisi Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (hlm. 18), kita tidak begitu mendapatkan gereget, kecuali hanya paparan, meski terbilang naratif di siklus perpuisian.

Banyaknya puisi yang dimunculkan dalam buku ini, tentu saja menghantar kita untuk mencari idiom dan variabel tersendiri agar dapat memantapkan jiwa sebagai kegembiraan membaca puisi. Aneka ragam bahasan yang tidak membosankan, justru kekuatan tersendiri dalam buku ini, setidaknya bila kita memahaminya dari kelangkaan puisi berbahasa Lampung, kekuatan yang diversifikatif membulatkan pikiran kita untuk lebih jauh merayap dan tertatih tenggelam dalam penghayatan.

Mengapa harus tenggelam, karena ada karya yang serpihan katanya melantunkan kosa kata menggoda, seperti Cirik (hlm. 24), Hanipi Nganik Bulan (hlm. 26), Ulay (hal.39), Ngukui (hlm. 52), Fermentasi Tapai Kikim (hlm. 61), dan Introspeksi (hlm. 3). Dari judul-judul ini, terasa tranformasi penjajagan terhadap keberanian mengulas kata ditawarkan sedemikian baik, sehingga, terlalu arogankah bila saya membandingkan dengan karya Linus Suryadi Ag., Hujan Gerimis di Bulan Desember atau karya-karya Hamsad Rangkuti, Sampah Bulan Desember, atau seperti Obsesi Perempuan Berkumis karya Budi Darma (Jurnal Prosa Ketiga).

Singkat kalimat, dengan 74 puisinya Oky Sanjaya, bukan sekadar menggugah pecinta sastra dan budaya Lampung, lebih dari itu, Oky telah merangsang kita dalam merenung, dan rangsangan itu disetop pada kosa kata yang dalam. Dan seperti ada kesengajaan, bahwa rangsangan kosa kata Oky tidak sampai membuat kita orgasme, ini tentu menggoda kita agar berahi sastra kita tidak terlalu diumbar.

Dalam buku berikutnya, penulis dan intelektual Lampung Asarpin Aslami mengajak kita untuk membaca kumpulan cerpen melalui kaca mata biru. Kumpulan cerpen Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong, melampirkan kesukaan atau kesenangan kita untuk mengenang negeri negeri yang jauh, sehingga seakan akumulasi dari cerita memberikan penggalan-penggalan khayali antara ada dan tiada.

Dia menjadi ada, apabila rasa yang menggugah rasa kita kawinkan dengan satu kesatuan utuh dari mosaik yang dipaparkan Asarpin. Ini dapat kita rasakan bila kita membaca Hiwang (hlm. 29). Meski semangat ada itu bisa saja tergelicir bila kita komparasikan dengan Gunung Putri (hlm. 44), atau Teluk Semaka (hlml 15). Kendati Siahan (hlml.70) memberi makna tersendiri agar kita tidak sembrono dalam membangun diskursus baru bagi suatu cerita pendek.

Diskursus itulah yang merajut seluruh cerita dalam buku ini sehingga lebih bermakna, dan mengingatkan kita pada karya besar yang sangat berhati-hati semacam Collective Vision karya Gorge Luis Burges, dan memaknainya lewat komparasi dari Cerpen Pilihan Kompas Jejak Tanah, Perilaku Ganda Remy Silado, dan Ader Ader dalam Perjalanan, Kumpulan Cerpen Timur Tengah.

Menguak lebih jauh karya Asarpin, terkadang membawa stagnasi dari dinamika persuasif suatu karya. Artinya, pertimbangan Asarpin tidak hanya bersinggungan dengan tunggal nada bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Lampung), tapi ia justru mendorong dan menikam-nikam kerohanian kita untuk pandai-pandai menikmati sastera daerah. Ini terlihat dalam Warahan Semakung Pedom (93), Badok (hal.37), Lintah Ganding (hlm. 98) dan Metudau (hlm. 116).

Spektrum mengagas sastra daerah, tentu banyak kendala. Namun dengan munculnya dua karya ini, kita seakan terhenyak, karena ternyata masih ada, dan mudah-mudahan bertambah, bahwa penggiat sastra daerah telah mencoba menjadi janin baru setelah embrionya berada dalam rahim Mak Dawah, Mak Dibingi. Dalam konteks inilah, tentu kita berharap embrio dan janin, kelak mampu melahirkan bayi sehat bagi perspektif perkembangan kebudayaan Lampung, khususnya di bidang kesusasteraan. Insya Allah.

* Hardi Hamzah, Peneliti INCCIS dan Staf Akhli MAHAR Foundation

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Januari 2010

[Fokus] Orang Lampung Bisa! Bahasa Indonesia Bisa!

Kebanggaan terhadap kemampuan negeri sendiri terus bergaung. Namun, kesadaran berbahasa dengan bahasa sendiri, bahasa Indonesia, terus tergerus.

MALAM Minggu (16-1). Di atas panggung megah di Lapangan Merah. Mungkin untuk pertama kali, orang-orang hebat meneriakkan dua kata silih berganti dengan penuh penjiwaan. "Orang Lampung bisa!" Tak kurang, Aburizal Bakrie, salah satu orang terkaya di Indonesia, tokoh asal Lampung itu menjadi pelopor kebangkitan daerahnya. Meskipun dibalut misi bisnis melalui perusahaan operator telepon selular; esia.

Ical, sapaan akrab anak suluh Ahmad Bakrie, taipan kelahiran Kalianda, seperti sedang bangun dari mimpi soal daerah asalnya. Sebelumnya, meski selalu digadang-gadang sebagai orang Lampung, pemilik Grup Bakrie ini terlihat kurang peduli dengan Lampung. Dan Sabtu pekan lalu, ia hadir dengan teriakan "Orang Lampung Bisa!"

Tidak berhenti di situ. Beberapa hari kemudian, beberapa tapak tilas baru sudah terlihat. Selain memang beberapa perusahaannya berada di Bumi Ruwa Jurai, ada yang menunjukkan ketertarikannya secara sosial budaya. Satu papan nama cukup besar terpasang di jalinsum tak jauh dari Kalianda bertulis; "Di Sini akan Dibangun Pondok Pesantren H. Ahmad Bakrie". Gedung yang dulu dibuat untuk markas PDI Perjuangan Lampung Selatan, kemudian diubah menjadi pangkalan Golkar, kini akan disulap menjadi pesantren.

Pekik "Orang Lampung Bisa!" bukan hanya milik Aburizal yang juga membawa anaknya Anindya Bakrie yang juga bos perusahaan operator telepon seluler itu. Ada Arzetti Bilbina, model kondang Ibu Kota yang juga asal Lampung. Arzetti juga serasa "insyaf" bahwa ia punya "pusara" yang secara moral wajib diziarahi. Yakni, Lampung.

Masih ada lagi. Grup musik yang sedang naik popularitasnya, Hijau Daun. Belasan kali, setiap kali ada kesempatan, Dide, sang vokalis meneriakkan kalimat itu.

Hijau Daun memang fenomenal. Sejak masuk major label di Jakarta dan langsung mendapat tempat di hati penggemarnya yang mayoritas remaja, baru dua kali dia mendapat kesempatan konser di kampung halamannya. Padahal, mereka sudah tur ke pelosok negeri. Mereka juga serasa bangun dari mimpi untuk kemudian mengemban amanat moral untuk mencintai apa-apa yang lebih melekat pada dirinya sendiri.

Tak ketinggalan, grup band yang sedang merangkak naik, The Potters juga hadir sebagai ikon lain keunggulan Lampung. Mereka juga seperti geregetan menginspirasi ribuan penonton yang memadati Lapangan Parkir GOR Saburai untuk bisa berkreasi dan berhasil seperti dirinya.

"Orang Lampung Bisa!" memang tema krusial untuk daerah. Kesadaran kembali bahwa kita mempunyai tanggung jawab moral kepada daerah yang menjadi tumpah darahnya, bahkan yang pernah memberi sokongan besar bagi kebesarannya saat ini, adalah keniscayaan. Dan ketika Ical, Arzetti, Henry Yosodiningrat--yang tercatat dalam buku 100 Tokoh Lampung terbitan Lampung Post--Hijau Daun, dan mungkin Kangen Band, dan nama-nama kondang lainnya berteriak untuk kemajuan Lampung, maka spirit itu menjadi pemicu bangkitnya daerah ini.

Di atas panggung, di hadapan tokoh-tokoh, dalam atmosfer spirit "Lampung Bisa", Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengaku bangga dan sangat berharap spirit ini terus digelorakan. "Saya bangga dengan tokoh-tokoh kita ini. Dan orang Lampung harus bisa!" kata dia.

Kecintaan terhadap sesuatu yang berbau kedaerahan, lokal, dan dalam negeri memang terus tergerus oleh isu global yang terus merangsek. Kemudahan yang ditawarkan teknologi dari Amerika, Jepang, dan Barat memang menggiurkan untuk memerosokkan kita kepada arus derasnya. Namun, aset-aset nasional selayaknya juga mendapat perhatian dan dukungan moral untuk tetap hidup. Bahkan, dikembangkan untuk bersaing lalu menjadi pemenang.

Kesadaran Bahasa

Di tengah kesadaran diri akan potensi yang sesungguhnya besar, ada ironi lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Kawula muda saat ini memang sedang gandrung kepada musik negeri sendiri.

Perhatikan acara televisi yang tayang setiap hari, dan hampir di semua stasiun televisi swasta, banyak disiarkan secara live, pada jam tayang utama, adalah tangga lagu-lagu Indonesia anak muda. Konser musik dari luar negeri tidak dilirik. Album berbahasa Inggris yang pada dekade sebelumnya seolah menjadi prestise, kini hanya terpajang di rak toko kaset. Ring back tone setiap ponsel juga hampir dikuasai lagu-lagu lokal.

Hari ini, yang berbau lokal memang sedang mendapat tempat. Lihatlah betapa film Sang pemimpi, Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta, dan lainnya sangat digemari. Saat dirilis, bioskop-bioskop seperti kehabisan napas untuk menampung antrean penonton.

Ini kesadaran luar biasa. Sayangnya, soal bahasa dan kesadaran berbahasa bangsa ini masih kurang percaya diri. Juga soal penggunaan produk dalam negeri, kita masih silau oleh sihir gengsi yang digelontorkan produsen luar negeri dengan konsep menjual yang luar biasa.

Di Bandar Lampung, kesadaran dan kebanggan menggunakan bahasa Indonesia sebagai indentitas yang membuat percaya diri timbul tenggelam. Pada 1994, saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat Wardiman Djojonegoro, upaya mengindonesiakan Indonesia cukup mendapat respons. Banyak fasilitas umum, nama institusi, merek dagang, dan sebutan-sebutan tempat diindonesiakan.

Untuk mengingat sejenak, Hotel Indra Puri, hotel yang cukup terkenal dan cukup tua di Bandar Lampung itu dulu namanya Indra Palace. Sheraton Hotel tidak perlu diganti, tetapi penempatan katanya saja menjadi Hotel Sheraton. Ada kompleks Perumahan Golden Hill di bilangan Jalan Antasari yang kemudian diindonesiakan menjadi Bukit Kencana. Dan masih banyak lagi objek lainnya. Semua tidak masalah, tetap berwibawa, dan bahkan lebih bangga.

Instansi pemerintah juga merevisi beberapa ejaan. Kata provinsi yang dulu ditulis dengan propinsi, kini dikembalikan ke ejaan yang benar. Juga ejaan lain.

Ada semangat agak berlebihan untuk memberi sentuhan lokal ketika Gubernur Sjachroedin Z.P. terpilih untuk periode pertama. Nama kompleks rumah jabatan gubernur yang sejak lama bernama Pendopo Gubernuran diganti dengan Mahan Agung. Gedung Pusiban, aula di Kompleks Kantor Gubernur Lampung diubah nama menjadi Balai Keratun.

Namun, kini ketika pemerintah tidak terlalu memberi perhatian lagi kepada penggunaan bahasa asing, kecenderungan mengubah kesan untuk popularitas kembali menguat. Ada sekolah tinggi informatika dan komputer cukup ternama di Bandar Lampung ketika mendapat akreditasi justru berubah nama menjadi informatic and business institute. Ada usaha persewaan lapangan olahraga bernama Dome Sport Arena. Dan masih banyak lagi. Mengapa kita tidak bangga dan mengembangkan Bahasa Indonesia untuk menjadi pemenang? n SDM/S-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Januari 2010

[Fokus] Berbanggalah Berbahasa Indonesia

BAHASA, sejatinya adalah kebanggaan. Tanpa bahasa, setiap bangsa dan negara tidak akan dapat bersatu dengan baik. Apalagi, jika seperti Bangsa Indonesia, yang memiliki latar belakang suku, etnis, dan budaya yang beranekaragam. Tentu, kehadiran Bahasa Nasional sebagai Bahasa pemersatu bangsa, memiliki peranan sangat penting.

Dengan sedemikian pentingnya peran bahasa Indonesia, lalu, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sebuah kebanggaan? Tentu, tanpa kita sadari, banyak di antara kita yang telah "melukai" Bahasa Indonesia secara tidak langsung ataupun langsung, tanpa sengaja atau bahkan dengan sengaja.

Merebaknya penggunaan bahasa asing, seakan sudah bukan hal yang unik dan aneh. Bahkan, teramat seringnya, hampir di semua sudut kota, pemandangan yang terdengar ditelinga, sering ucapan kata-kata asing. Sangat miris, jika nantinya kata-kata asing justru menjadi sebuah kebiasaan atau bahkan menjurus kepada perubahan prilaku budaya dalam berbahasa. Contoh, ucapan kata privasi. Maraknya penggunaan kata yang satu ini, tanpa disadari justru telah "melukai" kata rahasia yang merupakan bentuk kata berbahasa Indonesia.

Memang, tidak ada yang salah dengan bahasa asing. Apalagi, di era globalisasi seperti sekarang, di mana kecenderungan berbahasa asing memiliki tingkat yang tinggi dalam penggunannya. Tidak komplet jika sekolah, tidak belajar bahasa asing. Atau tidak keren jika sekolah, tapi tidak menggunakan bahasa asing. Atau lain sebagainya. Namun, Bahasa Indonesia, hendaknya juga dapat terus dijaga kelestarian dan penggunaannya, jangan sampai Bahasa kebanggan, justru berubah menjadi bahaasa asing. Apa pun bahasa yang digunakan, hendaknya bahasa Indonesia tetap menjadi yang utama.

Mengutip tulisan Agus Sri Danardana dalam rubrik Laras Bahasa di surat kabar Lampung Post, yang berjudul Fobia Bahasa Indonesia, Agus mengatakan "Apakah sekarang ini Bahasa Indonesia tidak dapat lagi menjadi kebanggaan bangsa sehingga cenderung diabaikan?" Lalu, jangan karena alasan globalisasi, kita kemudian berbahasa asing (Inggris) secara membabi buta. Ingat, globalisasi tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga negara lain, seperti Jerman, Prancis, Italia, Jepang, dan China. Ternyata, di negara-negara maju itu tidak terjadi proses penggirisan yang memprihatinkan seperti di Indonesia."

Sebuah penggalan kalimat, yang secara alur logika tentunya memberikan sentuhan luar biasa. Bagaiamana, banyak negara-negara di luar sana yang masyarakatnya tidak tergoyahkan oleh apa pun dalam menjaga dan melestarikan bahasa yang notebene sebuah budaya. Sedangkan, di sini, di bangsa yang beraneka ragam etnis dan budaya ini, di negara yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan ini, justru kini terasa mulai mengabaikan bahasa sendiri.

Jangan pernah berkata bahasa asing itu keren, jika belum mengetahui apa arti dan maknanya dengan jelas. Mengapa? Karena itu sama saja mempermalukan diri sendiri. Kebanyakan orang saat ini, agar dapat terlihat keren, pintar, dan sebagainya, dalam setiap tutur kata dan bahasa, sering mengeluarkan kata-kata asing. Ironisnya, saya yakin, ada salah satu di antaranya, tidak mengetahui pasti, apa arti kata asing yang diucapkan.

"Yang perlu diingat adalah kapan kita harus berbahasa asing dan kapan pula kita harus berbahasa Indonesia. Kita selayaknya tidak harus alergi pada bahasa asing, tetapi juga tidak harus fobia terhadap bahasa Indonesia," kata Agus Sri Danardana.

Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang? Memakai bahasa asing dan Indonesia secara bersamaan? Atau bahasa asing saja? Atau mungkin bahasa Indonesia saja? Tentunya semua terserah kepada kita. Namun, yang pasti dan yang wajib dilakukan adalah jangan pernah berhenti dalam memperkaya khasanah, tatanan, dan penggunaan kata-kata berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sebagai wujud kebanggaan terhadap bahasa nasional di negeri Berbhineka tunggal Ika ini. n IYAR JARKASIH/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Januari 2010

[Fokus] Bahasa Indonesia Harus Pertama dan Utama

PENGGUNAAN bahasa Indonesia yang baik dan benar kini terasa seolah luntur oleh kiblat bahasa asing yang keberadaan dan penggunaannya seakan menjadi sebuah kebanggaan. Kalimat maupun istilah-istilah asing terdengar kian deras meluncur dari mulut-mulut generasi muda bangsa. Lebih marak, tulisan-tulisan dalam istilah asing terlihat seolah menjadi senjata mutakhir bagi banyak perusahaan dalam konteks menyebarluaskan produknya.

Lalu, jika hal ini terus berlanjut, bagaimana posisi bahasa Indonesia yang sejatinya adalah bahasa nasional pemersatu bangsa?

Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung M. Muis, mengatakan bahasa Indonesia harus menjadi yang pertama dan utama. Mengapa? Sebab, bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah kebanggaan dan idealnya harus terus dilestarikan dan dijaga keberadaannya. "Idealnya, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar," kata Muis, Jumat (22-1).

Muis menyarankan agar semua pihak senantiasa dapat menghindari setiap penggunaan bahasa dengan istilah asing karena bagaimana pun juga bahasa Indonesia adalah yang lebih baik. Muis mengatakan kini sudah banyak masyarakat Indonesia--baik yang sifatnya personal maupun perusahaan--mulai menggunakan istilah asing. Hal tersebut, kata Muis, harus dihindari sebagai upaya untuk tetap menjunjung tinggi penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

"Jika masih ada bentuk Indonesia, tidak perlu memakai kata asing. Masing-masing itu sudah ada tempatnya," kata Muis.

Pemakaian istilah asing yang seakan lebih dijadikan idola, menurut Muis, disebabkan kebanyakan orang saat ini ingin menganggap dirinya pintar ataupun menjaga gengsi. Mayoritas orang-orang tersebut menganggap dengan menggunakan istilah asing akan terdengar lebih keren, bernilai tinggi, dan sebagainya. Padahal, kata Muis, anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar.

Muis mencontohkan ketika seseorang menggunakan istilah-istilah asing dalam setiap ucapannya, belum tentu orang lain akan mengerti dan memahami dengan jelas artinya. Muis bercerita, ia pernah mendengar ucapan dari salah seorang tokoh yang pada saat sedang pidato mengatakan "Tidak ada chemistry". Hal tersebut tentu sangat miris karena tidak semua orang mengerti dengan baik. "Seandainya dikatakan dengan menggunakan bahasa Indonesia, misalnya, 'tidak ada ketertarikan' atau 'tidak ada kecocokan', tentu akan lebih baik. Jika dalam konteks penggunaan di dunia internasional istilah asing mungkin sudah biasa. Tetapi, jika penggunaannya ada di Indonesia, tentu akan lebih baik dan bermakna jika menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar," ujar Muis.

Lalu, bagaimana penggunaan istilah-istilah asing yang digunakan dalam media massa seperti surat kabar?

Muis mengatakan hal tersebut sah-sah saja selama mengikuti padanan kata yang sesuai. Namun, akan menjadi lebih baik dan mempunyai makna yang jelas jika kata-kata yang disajikan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apalagi, surat kabar merupakan bacaan yang banyak dilihat orang.

Menurut Muis, surat kabar yang menggunakan istilah-istilah asing mungkin telah menjadi kebiasaan penulisnya atau juga hanya sekadar ikut-ikutan. "Mungkin kata asing dianggap bergengsi, padahal tidak juga," kata Muis.

Saat ini memang banyak sekali surat kabar yang menggunakan istilah-istilah asing di dalam setiap rubrik tulisannya. Misalnya, kedaton square, sport style, showbiz, dan lain sebagainya. Menurut Muis, jika harus ada istilah asing, seyogianya bahasa Indonesia harus lebih didahulukan penempatannya, seperti menempatkannya di atas istilah asing.

Muis menambahkan untuk menggunakan bahasa-bahasa asing, siapa pun, apakah itu para pelaku bisnis, personal atau lain sebagainya, hendaknya dapat terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan kantor bahasa yang ada di setiap daerah masing-masing sehingga penggunaannya tidak mengenyampingkan bahasa Indonesia. */M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Januari 2010

January 22, 2010

Panti dan Buyung Dilepasliarkan

TAMPANG BELIMBING--Setelah dikaratina selama 1,5 tahun, sepasang harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) akhirnya dilepasliarkan di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) di kawasan Panimbangan, Lampung Barat, Jumat (22-1). Kawasan tersebut berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

PENGLEPASLIARAN HARIMAU. Seekor harimau sumatera bernama Buyung menjajaki lingkungannya saat dilepasliarkan di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), Lampung Barat, Jumat (22-1). Dua ekor harimau sumatera yang dilepasliarkan di TWNC yang dikelola bersama antara Kementerian Kehutanan dan Group Artha Graha adalah harimau korban konflik dengan manusia di Aceh. (ADAM/MI)

Penglepasliaran tersebut dilakukan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bersama pengusaha Tommy Winata yang menjadi pelopor karantina harimau dan Direktur Taman Safari Indonesia Tony Sumampau.

Penglepasliaran harimau itu juga bertepatan dengan pencanangan Hari Konservasi Alam Nasional (HAKN) yang dilakukan Wapres Boediono di Istana Wapres, Jakarta.

Sepasang harimau yang dilepas itu bernama Panti, betina berusia sekitar 5--6 tahun, dan Buyung, jantan berusia 8 tahun. Keduanya ditangkap di kawasan Aceh Selatan, Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

Panti mendapat giliran pertama dilepas. Ketika pintu kandangnya dibuka, beberapa saat Panti tidak bereaksi. Ia hanya melihat ke kiri dan kanan dalam kandang. Tidak lama kemudian, ia baru menjulurkan kepalanya ke luar kandang memandang ke sekeliling sebelum akhirnya melangkah pelan ke luar.

Namun, Panti tidak langsung masuk hutan, tetapi berjalan mendekati kandang di sebelah kanannya yang berisi Buyung. Panti tampak mengendus-ngendus kandang Buyung beberapa saat sebelum akhirnya berlari menuju hutan.

Setelah itu, Buyung mendapat giliran dilepas. Berbeda dengan Panti, Buyung langsung berlari masuk hutan. Lewat alat deteksi, kedua harimau itu akhirnya bertemu dan bersama-sama menuju ke pedalaman TNWC.

"Harimau ini dipasangi collar GPS (kalung pendeteksi) sehingga bisa dipantau dari Jakarta pergerakan mereka ke mana," kata Zulkifli.

Penglepasliaran di kawasan ini merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya, pada 2008, dua harimau sumatera yang juga berasal dari Aceh dilepas di kawasan tersebut.

Harimau sumatera adalah satu-satunya subspesies harimau asal Indonesia yang belum punah. Dua subspesies harimau asal Indonesia lainnya, yakni harimau jawa yang pernah hidup di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, dan harimau bali di Taman Nasional Bali Barat, sudah punah. n MI/AAN/R-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Januari 2010

January 21, 2010

Agama, Negara, dan Kemiskinan

Oleh Muslim

FENOMENA kemiskinan di negeri ini ternyata semakin memprihatinkan. Mereka yang tidak tersapa oleh kelayakan hidup telah menjadi pemandangan biasa yang acap kita pergoki dalam setiap berita di koran maupun televisi. Faktor utamanya, tak lain diakibatkan dari telikungan kapitalisme global, keserakahan penguasa, dan kekurangpedulian para agamawan.

Proses pemiskinan ini pun kian menjadi-jadi ketika tingkat pengangguran semakin tinggi, daya beli rakyat semakin merosot, kelangkaan bahan pangan, dan melambungnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Kemudian diperparah lagi dengan kondisi perekonomian dunia yang kacau-balau. Sedemikian miskinnya masyarakat, sehingga pembagian beras bulukan tetap ditunggu dan nasi aking menjadi santapan sehari-hari.

Dalam menghadapi kegetiran hidup dan kenestapaan ini, tak sedikit warga yang frustrasi. Bahkan, yang lebih tragis, seorang bapak tega bunuh diri karena merasa tak sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya. Kita tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa ini. Berbagai bentuk kejahatan, manipulasi, korupsi, dan kecurangan yang dilakukan pejabat negara telah menjadi kebudayaan akut yang membutuhkan rentang waktu panjang untuk menguranginya.

Penggusuran tanah kaum miskin yang hampir tiap saat ditayangkan di televisi dengan dalih pembangunan untuk kepentingan umum, adalah fenomena biasa yang akan terus kita tonton. Padahal, yang dibangun adalah jalan tol untuk kepentingan pemilik mobil mewah dan kendaraan mahal lainnya. Pengendara sepeda atau becak tak bisa lewat di sana. Yang dibangun adalah mal untuk berbelanja bagi orang berduit. Yang dibangun adalah ruko untuk para pedagang besar. Lalu, di mana slogan ekonomi rakyat selama ini yang selalu dilontarkan pemerintah?

Di sisi lain, puluhan anak jalanan harus merelakan dan menukar masa indahnya dengan menjadi peminta-minta di lampu merah. Menjadi pemulung sampah dari satu tempat ke tempat lain. Tragisnya lagi, nun jauh di sana, sekelompok orang Islam "menikam" saudaranya sendiri dengan dalih sesat.

Anehnya, para agamawan kita tampak tidak mau ambil pusing. Buktinya, belum ada sikap tegas dari mereka atas privatisasi perusahaan negara atau penggusuran lahan pedagang kaki lima, misalnya. Padahal, yang paling dirugikan dari kebijakan itu adalah mayoritas masyarakat bawah, yang rata-rata menggantungkan hidupnya dari pertanian, bekerja menjadi buruh pabrik, dan pemulung sampah.

Kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan menjadi pemandangan yang lazim di negeri ini. Mereka menjadi marginal, akibat tiadanya aksesibilitas yang menjembatani kesempatan kerja dan dikuasainya tanah oleh koorporasi megaraksasa dari kapitalisme global. Jangankan untuk meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik, bisa membuat perut kenyang saja merupakan sebuah kebahagiaan yang tak terhingga.

Inilah "lingkaran setan kemiskinan" yang mesti diputus. Karena miskin, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Ujung-ujungnya, mereka tak mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki penghasilan rendah. Karena berpenghasilan rendah, mereka tak bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Akhirnya, mereka kembali menjadi miskin. Dan begitu seterusnya. Sikap menerima kemiskinan sebagai takdir (given) adalah suara lantang yang acap didengungkan agamawan kita selama ini. Tuhan hanya dipersepsikan sebagai perumus absolut yang mengatur nasib perubahan manusia.

Ternyata, fatalisme yang disebabkan oleh kesadaran naif ini terus berkembang ke tengah-tengah kehidupan beragama. Seperti sebuah virus, ia terus menjalar dan menjadi mapan dalam pemikiran keagamaan. Tumbuhnya fatalisme ini diakibatkan sulitnya umat Islam menerima ide-ide pembaruan, karena menganggapnya sebagai tidak islami. Sehingga, mereka melulu meneguhkan cara beragama yang kontraproduktif dengan semangat zaman. Kedangkalan pemahaman agama tentang etos kemajuan ini pun menjadi akibat yang tak terelakkan.

Selain itu, keculasan negara melalui paham pembangunanismenya juga bisa kita tunjuk sebagai penyebab terjadinya kemiskinan. Sebab, sampai kini sedikit sekali proyeksi pembangunan yang dapat merangsang tumbuhnya produktivitas kerja. Pembangunan yang dijalankan pemerintah terbukti telah melemahkan sektor riil masyarakat (umat) level bawah. Hadirnya supermarket di tengah-tengah pasar tradisional, misalnya, adalah dampak paling gamblang darinya. Pasar modern itu memberikan pelayanan dan keasyikan tersendiri bagi para konsumen. Akibatnya, pedagang tradisional yang berteduh di pasar yang sumpek tak dapat meraup keuntungan, tapi malah kerugian dan kehilangan lapangan pekerjaan.

Begitulah realitas yang tengah terpampang lebar di depan kelopak mata kita. Di satu sisi, suara lantang agamawan yang menyeru kedamaian dan kebahagiaan hanya terdengar dari menara gading; dan di sisi lain, negara terus melancarkan misi pembangunannya meski harus menyingkirkan rakyat yang kerap dianggap "sampah".

Rentetan fakta dari beragam problem kemanusiaan yang membuat miris ini, ternyata belum menyadarkan kita bahwa sebagai bangsa, Indonesia sedang menyongsong krisis sosial yang sangat menakutkan. Kehidupan beragama kita pun menjadi tak tentu arah, karena umatnya, khususnya kalangan elite agama, tak mampu mewujudkan bahwa Islam sebagai rahmatan lil'alamiin.

Maka, sah-sah saja jika ada yang menggugat di mana tanggung jawab profetik negara atas berbagai peristiwa memilukan itu? Ke mana para agamawan? Sungguh amat jauh bentangan antara retorika yang didengungkan pejabat dan agamawan kita di hotel mewah dengan fakta empiris di lapangan. Seharusnya mereka mau dan mampu terjun ke bawah melihat segala patologi sosial yang terjadi, daripada mengeluarkan undang-undang dan fatwa-fatwa yang kurang terasa manfaatnya bagi kehidupan rakyat kecil.

Alhasil, agenda utama yang musti segera diselesaikan adalah bagaimana agama mampu membuktikan ia benar-benar membawa keberkahan bagi umat manusia. Selain itu, negara juga musti memperkuat sistem kenegaraan dengan mewujudkan good governance yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta menyediakan segala kebutuhan rakyat tanpa ada diskriminasi kaya-miskin ataupun mayoritas-minoritas.

Muslim, Alumnus IAIN Raden Intan Lampung, Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) Cabang Bandar Lampung.

Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Januari 2010

January 18, 2010

TIC Menara Siger Dioperasikan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Lampung mulai mengoperasikan Tourism Information Center (TIC) di Menara Siger, Lampung Selatan.

Sekretaris Disbudpar Siti Fajariah mengatakan TIC ini berguna sebagai pusat informasi lokasi-lokasi wisata di Lampung dan dapat diakses semua wisatawan yang berkunjung ke Menara Siger.

"TIC ini kami letakkan di dalam gedung dan dapat diakses semua orang secara mudah dan gratis karena media yang digunakan adalah layar informasi dengan sistem touch screen (layar sentuh) kata Siti saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (15-1),

Siti menjelaskan TIC ini baru dioperasikan sejak awal Januari lalu. Pihak Disbudpar, menurut dia, meletakkan TIC di Menara Siger karena menara ini berada di ujung Sumatera yakni Desa Bakauheni dan kerap dikunjungi wisatawan yang baru tiba di Lampung.

"Jadi, dengan adanya TIC ini, pengunjung tidak hanya berwisata ke Menara Siger, tetapi juga memperoleh informasi lokasi-lokasi wisata kebanggaan Lampung dan denah untuk mencapai lokasi tersebut," kata Siti.

TIC sendiri, menurut Siti, kini baru ada dua di Lampung, yakni di Menara Siger dan di Bandara Radin Inten II Beranti. Tahun ini juga Disbudpar akan memaksimalkan potensi lima lokasi wisata unggulan Lampung, yakni Menara Siger, Way Kambas, Gunung Krakatau, Tanjung Setia, dan Teluk Kiluan.

Menurut Siti, pada tahun ini Menara Siger akan menjadi pusat pertunjukan seni dan budaya yang digelar Dishub Provinsi. Selain itu, pihaknya juga akan mengimbau Disbudpar di setiap kota/kabupaten untuk mengisi stan yang tersedia di sana dengan hasil kerajinan daerah.

Sementara untuk Way Kambas dan Gunung Krakatau, pihak Disbudpar akan terus melakukan sosialisasi mengenai bagaimana cara wisatawan menjangkau daerah-daerah tersebut.

Wisata bahari seperti Tanjung Setia dan Teluk Kiluan, menurut Siti, juga akan digencarkan promosinya karena bentuk fisik dua lokasi tersebut tidak kalah dengan fisik pantai-pantai di Bali atau di Anyer.

Siti menjelaskan Tanjung Setia memiliki ketinggian ombak yang beraneka ragam sehingga bisa digunakan bermain selancar bagi pemula ataupun profesional. Sedangkan Teluk Kiluan, menurut Siti, terbilang unik karena di sana setiap pukul enam hingga pukul sembilan dan pukul 16.00 selalu muncul puluhan lumba-lumba di permukaan laut.

"Ini yang akan gencar kami promosikan karena di daerah lain belum tentu ada lumba-lumba yang secara rutin dan alami muncul ke permukaan" ujar Siti. n MG3/K-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 18 Januari 2010

Nelayan Gelar Ruwat Laut

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Nelayan di pesisir Bandar Lampung kembali melangsungkan ruwat laut atau ngelarung. Ngelarung adalah sebuah bentuk syukur kepada Tuhan atas berkah hasil laut yang melimpah. Upacara yang dilangsungkan tiap bulan Sura ini cukup meriah.

Puluhan kapal nelayan bergerak dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing, Sabtu (16-1). Mereka menuju perairan Karang Ratu di Teluk Lampung, sekitar 20 kilometer dari TPI Lempasing. Sesaji yang menjadi alat persembahan dibawa Kapal Motor (KM) Doa Mama.

Sesaji yang akan dipersembahkan diletakkan dalam kapal mini yang sudah dihiasi dengan bendera merah putih. Sesaji terdiri dari makanan tujuh warna.

Seorang tokoh nelayan Warsid mengatakan nelayan sengaja mempersembahkan tujuh warna makanan. Ada kepercayaan Karang Ratu didiami "penunggu". Nelayan tidak mengetahui selera makan penunggu Karang Ratu sehingga perlu disediakan berbagai jenis makanan.

"Karang Ratu adalah tempat yang diyakini banyak ikan. Ikan dari Karang Ratu akan menyebar ke beberapa lokasi. Ikan biasa berkumpul di sana," kata Warsid.

Dibutuhkan waktu satu jam untuk mencapai Karang Ratu. Wali Kota Eddy Sutrisno naik dalam satu kapal dengan sesaji yang akan dilarung. Selama perjalanan, beberapa orang dan Wali Kota terus berdoa memohon keselamatan dan berkah.

Berkah

KM Doa Mama memimpin perjalanan menuju Karang Ratu. Puluhan kapal lain mengikuti di belakang. Saat sampai, sesaji pun siap dipersembahkan ke laut. Wali Kota menaburkan bunga ke laut. Kemudian kapal mini yang berisi sesaji dilemparkan.

Puluhan kapal nelayan memacu kecepatan untuk memperebutkan sesaji yang dibuang. Sebuah kapal berukuran sedang melesat menabrak kapal berisi sesaji, Beberapa awak kapal mengambil bagian-bagian kapal sesaji yang hancur. Beberapa awak kapal lain mengambil air laut di sekitar sesaji yang dipersembahkan.

Air laut pun disiramkan ke beberapa bagian kapal. Kapal Doa Mama berputar arah dan langsung meninggalkan Karang Ratu.

Menurut Warsid, nelayan mempercayai mengambil bagian dari sesaji dan air laut tempat sesaji dibuang bisa mendatangkan berkah. Beberapa nelayan menempelkan potongan sesaji di kapal. Bahkan ada yang menyimpan bagian sesaji dalam dompet. Bagian yang paling banyak diperebutkan adalah kain penutup kepala kerbau yang dipersembahkan di Karang Ratu.

Warsid mengatakan persembahan harus berupa kepala kerbau. Sebelumnya pernah dicoba dengan kepala sapi. Namun, persembahan ditolak. Kepala sapi pun kembali ke pantai. "Nelayan pun kembali mengantarkan kepala sapi, tapi tetap kembali ke pantai," kata dia.

Warsid mengungkapkan ngelarung selalu diadakan pada bulan Sura dalam kalender Islam. Ada sebuah keyakinan pada bulan ini ada yang sedang lapar-laparnya. Kalau di luar Sura sedang kenyang-kenyangnya.

"kalau dikasih pada waktu lapar, akan diterima," kata Warsid.

Ucapan Syukur

Ngelarung, kata Warsid, merupakan ungkapan syukur kapada Tuhan atas limpahan kekayaan laut. Nelayan tidak pernah mengeluarkan modal untuk memelihara ikan di laut. Ikan di laut tidak pernah habis. Nelayan hanya memerlukan jaring atau pancing untuk mendapatkan ikan. "Sudah seharusnya nelayan bersyukur atas karunia ikan di laut," ujarnya.

Ketua Himpunan Nelayan Indonesia (HNSI) Bandar Lampung Zainal Abidin mengatakan nelayan berharap hasil tangkapan ikan meningkat dengan diadakannya ngelarung. Ngelarung menjadi tradisi budaya yang masih terus dilestarikan oleh nelayan. n

Sumber: Lampung Post, Senin, 18 Januari 2010

January 17, 2010

Autentisitas Kesenian Lampung

Oleh Endri Y.*

SEBUAH capaian sempurna dalam karya seni dan produk kebudayaan adalah autentisitas. Bentuk keindahan dan kebebasan, autentisitas juga merupakan klimaks dalam satu kreasi berkesenian.

Setiap karya seni perlu menjadikan autentisitas sebagai tujuan utamanya yang jika menurut pemikiran Charles Guignon, dalam buku On Being Authentic, (London, 2004) disebut orang yang bahagia dan bebas. "Ideal kontemporer tentang autentisitas," demikian tulisnya, "mengarahkan Anda untuk menyadari dan menjadi apa yang sudah merupakan diri Anda sendiri, yang unik, karakter-karakter definitif yang sudah ada di dalam diri Anda."

Pada taraf penyempurnaan karakter definitif menjadi karakter orisinal inilah, seni budaya Lampung seharusnya didiskusikan. Bukan sekadar melestarikan apalagi mengonservasi. Era keemasan cahaya kelampungan sudah terbit, sayang dan naif sekiranya Pemprov Lampung, para budayawan, dan sastrawan kita masih berkutat dalam diskursus "pelestarian". Sebab, pelestarian itu akan dengan sendirinya ada jika unsur-unsur autentisitas dan nilai-nilai dasar berkesenian yang ideal itu eksis.

Konflik Pemaknaan

Dalam novel The Brother Kamazarov, sastrawan Dostoevsky berpendapat konflik di dalam dunia modern muncul, karena orang terlalu berfokus pada dirinya sendiri, sehingga menjadi sangat individualistik. Jika ditarik dalam kajian berkesenian di Lampung, menurut Isbedy Setiawan dan Arman (Lampost, [31-12-09] dan [3-01-10]), paham yang mengarah pada benturan antar-budgeting anggaran Pemprov di bidang kebudayaan yang hanya 20% dari total pendanaan budaya dan pariwisata, semua (Seniman dan Pemprov) hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri (selfish), baik sebagai profesi pribadi maupun institusi. Jika dibaca penganggaran dana pelestarian kesenian dan kebudayaan Lampung yang 20% itu pun harus dibenturkan lagi untuk, penting mana soal seni tradisi atau modern.

Tulisan singkat ini bermaksud mengulas tentang kejernihan berpikir agar ditemukan konstruk pemahaman yang seirama terkait pengembangan seni budaya Lampung sebagai identitas daerah. Sekaligus pencarian autentisitas dalam jiwa galau seni budaya kita.

Jika ditilik dari Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung yang dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat (11) sudah sangat jelas menyebut yang dimaksud dengan sastra daerah adalah sastra yang diungkapkan dengan bahasa daerah, baik lisan ataupun tulisan. Pada Ayat (13) disebutkan "Kesenian adalah kesenian tradisional masyarakat adat Lampung, yaitu nilai estetika hasil perwujudan kreativitas daya cipta, rasa, karsa dan karya yang hidup secara turun-temurun dalam mayarakat Lampung."

Bahkan pada Pasal 9 Ayat (1) Kesenian tradisional Lampung, wajib diajarkan di sekolah pada jenjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan dan peraturan yang diberlakukan di daerah.

Dengan kutipan itu saja, apa yang digelisahkan Isbedy dan Arman tentang keberpihakan Pemprov terhadap seni modern, terkait sastra sepanjang tidak berbahasa daerah, jelas tidak memiliki porsi dalam penganggaran yang 20% itu. Sedemikian naifkah aturan itu dibuat sehingga teater, tari, sastra, dan produk kesenian lain yang tidak sesuai defenisi itu, meskipun sudah berprestasi di tingkat nasional dan membawa karakter ke-Lampung-an tidak layak dilestarikan?

Jika logika ini yang dipakai jelas perlu penataan kembali produk hukum yang sudah ada atau meninjau ulang klasifikasi sekaligus definisi tentang seni tradisi dan modern. Padahal persoalan dasar yang harus dipertanyakan dan dinalar sebagai jawaban atas benturan-benturan ini adalah autentisitas kesenian Lampung. Jika defenisi dan batas pemahaman publik atas mainstream seni budaya Lampung itu bertemu hakikat autentisitasnya, niscaya rumusan kesepahaman atas tujuan bersama dengan tanpa ada yang disalahkan atau dibenarkan, ketemu, dan menyatu.

Tak ada persoalan ketika masalah dan tujuan itu dikerjakan bersama- sama, sebab semua pihak terkait sudah merasa sepaham sepenanggungan. Maka, output untuk melestarikan, memopulerkan, menjadikan komoditas yang menguntungkan, menjadi tujuan pariwisata, menyejahterakan subjek dan atau menjaga kualitas objek kesenian, merupakan konsekuensi logis, berjalan dengan sistemik (kalau tidak boleh disebut berjalan sendiri) karena titian atas keluaran yang sekarang dikeluhkan Pemprov dan seniman sudah berjalan pada relnya.

Sederhananya, pemerintah ingin menjadikan budaya dan kesenian sebagai pariwisata yang mendatangkan PAD, seniman, dan budayawan mendapatkan nilai penghargaan yang sesuai atas jerih payah karyanya. Semuanya simultan dan harus sinergis, tak mungkin Pemprov mendapatkan PAD lewat pariwisata jika seniman tidak berkarya, alam tidak mendukung, dan kultur masyarakat abai terhadap autentisitas seni budayanya.

Sebaliknya, jika kultur masyarakatnya mapan dalam rangka suksesi ini, seniman sejahtera, pariwisata maju, Pemprov dapat PAD banyak.

Masalahnya menjadi pelik jika seperti yang terjadi sekarang, seniman masih berkutat dalam ranah definisi dan karakter kekaryaan, pemerintah abai terhadap kesenian, tapi sama-sama menginginkan keuntungan. Ini pun sebenarnya lumayan, ada geliat dan gelisah atas persoalan kemajuan kesenian kita, bahayanya jika kegelisahan atas karakter saja sudah tidak punya. Menurut Edgar F. Puyear dalam American Generalship, karakter adalah segala-galanya. Jika ada yang hilang selain karakter, itu masih belum kehilangan, tetapi jika karakter yang hilang, hilang sudah semuanya.

Masalahnya karakter merupakan salah satu faktor autentisitas, kenapa tidak lantas langsung menggelisahkan intisari autentisitas seni budaya Lampung, dalam forum yang lebih melibatkan semua pemangku kepentingan atas dunia kesenian kita? Kenapa justru muncul dari pojok bilik UKMBS Unila, tidak dari Pemprov atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang jelas fungsi dan tugasnya, sekaligus punya anggarannya.

Rentetan pertanyaan-pertanyaan semacam ini jika dirunut diharapkan dapat merumuskan masa depan seni budaya Lampung yang lebih gemilang. Bukankah pepatah ini sudah cukup familiar ditelinga kita: "Pemimpin masa lalu adalah seorang yang tahu cara berbicara, sedangkan pemimpin masa depan adalah seorang yang tahu cara bertanya." (Peter Drucker, 1993)

Jelaslah, dengan tidak merumuskan dan berusaha menyusun jawaban pertanyaan-pertanyaan dasar terkait dengan autentisitas kesenian dan kebudayaan Lampung membuat kita secara kolektif disebut manusia "masa lalu" yang ditolak masa sekarang, apalagi masa depan. Semoga rangkaian tulisan dari gagasan para budayawan-sastrawan kita itu, merupakan pemantik api untuk pencerahan seni budaya, bukan sekadar pembicaraan linglung tanpa defenisi dan orientasi ke-Lampung-an yang autentik.

Cermin Modernitas Dostoevsky

Sastrawan Rusia terbesar yang penulis harapkan menjadi cermin atas modernitas untuk menetapkan autentisitas seni budaya Lampung ini bernama asli Fyodor Mikhailovich Dostoyevsky (1821--1881) yang kadang namanya dialihaksarakan menjadi Dostoevsky. Karya-karyanya menimbulkan dampak yang panjang terhadap fiksi abad ke-20. Hampir semua tokoh- tokoh dalam karyanya berada pada kondisi putus asa dan pikiran yang sangat ekstrem, sehingga memperlihatkan pemahaman yang luar biasa tentang psikologi manusia serta analisis yang mendalam mengenai keadaan politik, sosial, dan spiritual di Rusia pada masanya. Banyak dari karya- karyanya yang paling terkenal seolah-olah meramalkan pemikiran dan kepedulian orang di masa modern.

Lampung, bahkan Indonesia sedang krisis identitas akibat modernitas sebagaimana dijabarkan Henry Sabari dalam bukunya Dostoevsky Menggugat Manusia Modern. Hubungan antarkita sering dimanipulasi dan cenderung berpokok kalkulasi untung rugi saja. Ironisnya, jika pemandu arah pencerahan zaman (baca: pemerintah dan budayawan) pun, kalkulasinya profit oriented juga? Mungkin bukan hanya ironi, tetapi innalillahi, puncak tertinggi dari kebebalan dan kekafiran. Kesamaan krisis di Rusia dengan negara kita sebagaimana dipaparkan buku inilah, penulis merujuk cermin Dostoevsky sebagai referensi kajian paling sesuai atas kondisi ke-Lampung-an kita.

Manusia, bahkan produk kesenian pun sudah dirancang pemerintah agar sesuai sistem dan perencanaan manipulatif, menjadikan seniman sebagai kaum marginal yang lemah secara struktural dan finansial. Di sisi lain, seniman dengan sikap apatis dan arogan selalu menyudutkan pemerintah. Sehingga, gempuran modernitas berdasar permenungan Dostoevsky diharapkan mampu memaksa merajut kesempurnaan kelampungan kita. Menghentikan kefasihan bicara, tetapi saling kontemplasi untuk kemudian saling bertanya.

Kita bisa memulainya dengan membuat cermin kedirian sebagai refleksi atas tanya-jawab tentang autentisitas seni budaya Lampung. Tentu dengan sikap ksatria, menerima kesalahan diri dan terbuka atas kritik dan dialektika pemikiran. Semoga 2010 dengan serangkaian gagasan sastrawan, budayawan, dan pemerintah daerah mampu mengantarkan autentisitas seni budaya kita ke arah puncak publisitas. Sehingga visi semisal visit Lampung memiliki landasan operasional yang jelas. Konsep dan kiprah berkesenian tidak latah dan sekadar nyinyir.

* Endri Y., pecinta kesenian, bermukim di Kalianda

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Januari 2010

Tokoh Gelorakan Semangat Bangga Jadi Orang Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Orang-orang Lampung yang sukses berkiprah di berbagai profesi di kancah nasional bersama-sama menggelorakan semangat membangun dan kebanggaan sebagai orang Lampung.


ORANG LAMPUNG BISA. Dua bintang asal Lampung, foto model papan atas Arzetti Biblina dan grup band Hijau Daun, memukau penonton yang memadati pelataran GOR Saburai pada acara pemberian penghargaan pada 10 Tokoh Lampung, Sabtu (16-1) malam, yang dibungkus dengan tema Orang Lampung Bisa.(LAMPUNG POST/M. REZA)

Dalam acara bertajuk Orang Lampung Bisa, di Lapangan Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (16-1) malam, sebanyak 10 orang memperoleh penghargaan sebagai orang tersukses. Penghargaan yang dimotori Bakrie Telecom itu diserahkan Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno didampingi Direktur PT Bakrie Telecom, Anindya Bakrie.

Penghargaan perorangan diberikan kepada mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) yang kini menjabat Ketua DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, model dan perancang busana Arzetti Biblina, peraih medali emas angkat besi pada ajang Olimpiade Sutrisno dan Winarni, peraih medali perunggu Olimpiade Fisika, David Halim, serta pengacara senior Henry Yosodiningrat.

Penghargaan kelompok diberikan kepada grup band Hijau Daun dan The Potters. Kedua grup musik yang digandrungi kaum muda itu masing-masing mendapat dua plakat. Dari semua penerima penghargaan itu, Ical, Arzetti, Henry, dan Sutrisno merupakan tokoh yang masuk dalam buku 100 Tokoh Lampung yang diterbitkan Lampung Post.

"Saya bangga jadi orang Lampung," kata Aburizal Bakrie dalam sambutan sebelum menerima penghargaan. Aburizal yang akrab dipanggil Ical, kemudian menceritakan pengalaman mengelola dunia bisnis dan kemudian dunia politik.

Ical memberi semangat kepada warga Lampung, khususnya para pemuda untuk tetap bersemangat dalam berusaha. "Kalau patah di tengah jalan, bangkit lagi! Berusaha, semangat, dan doa. Itu kunci menjadi orang sukses. Orang Lampung, bisa!" pekiknya diiringi tepuk tangan penonton.

Acara yang dipadati ribuan penonton itu dipandu presenter Ringgo Agus Rahman. Grup band Hijau Daun dan The Potters juga menyanyikan lagu-lagu hitnya.

Executive Vice Presiden PT Bakrie Telecom Tbk. Ridzki Kramadibrata saat konferensi pers kemarin mengatakan acara itu bertujuan memberi energi positif kepada masyarakat Lampung agar bisa sukses dan berprestasi di tingkat nasional dan internasional. "Sebagai produk nasional asal Lampung, Esia mengajak masyarakat Lampung baik yang merantau maupun yang tinggal di Lampung untuk aktif mendukung pembangunan daerah Lampung," kata Ridzki.n CR-1/MG13/U-2

Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Januari 2010

January 13, 2010

RI Bebas Keluarga Miskin?

Oleh Supadiyanto

MUSTAHILKAH judul artikel pendek di atas dapat terealisasi, entah dalam jangka waktu 10 tahun lagi, 20 tahun mendatang atau bahkan 100 tahun lagi dari sekarang? Bagaimana obsesi itu bisa gampang terealisasi, lha wong negara Amerika Serikat saja yang sejak dulu kondang sebagai Negara Adidaya (0Superpower), kini masih memiliki penduduk miskin yang jumlahnya sekitar 30 juta jiwa. Itu artinya setara 10 persen dari total penduduk Amerika Serikat yang berjumlah hampir 300 juta orang masih terus hidup di bawah garis kemiskinan.

Membandingkan Amerika Serikat dan Indonesia memang tidak sebanding. Negara Indonesia yang bukan apa-apanya jika dibanding Negeri Paman Sam itu entah dalam bidang apa pun (kecuali tingkat kejahatan korupsinya lebih unggul), jelas akan terlihat "konyol" jika berani memproyeksikan Indonesia sebagai kawasan yang terbebas dari orang-orang miskin--seperti judul yang tertera di atas.

Namun menurut hemat penulis, bukan berarti proyeksi muluk di atas tidak mungkin dicapai dalam waktu jangka panjang. Akan sangat rasional jika hampir 40 juta jiwa penduduk miskin yang sekarang masih menghuni negeri seluas hampir 8 juta kilometer persegi ini bisa ditekan hingga mendekati angka nol.

Katakanlah jika setiap satu periode pemerintahan (5 tahun), pemerintah membuat program jangka panjang (permanen) yang kebijakan ini berlaku sepanjang masa, tidak peduli apakah presiden-wakil presidennya sudah berganti orang (entah diusung dari partai politik yang berbeda atau sama dari sebelumnya), tak penting juga apakah menteri-menterinya pun telah berganti nama; program pemberantasan jangka panjang tetap diteruskan dalam estafet kepemerintahan itu.

Sehingga kesan ganti menteri atau pergantian pucuk pimpinan nasional juga berganti kebijakan dapat dihilangkan dari pengetahuan publik. Juknis sederhananya begini, targetkan saja minimal dalam satu periode pemerintahan, seperti pemerintahan SBY-Boediono (2009--2014) diplot untuk bisa mengentaskan orang-orang miskin sebanyak 5 juta jiwa (syukur melebihi dari angka yang disebut). Bukankah itu artinya, dalam waktu setahun ke depan, pemerintah hanya ditarget memberdayakan 1 juta orang miskin. Idem kalkulasi itu, dalam sebulan berarti pemerintah hanya dibebani memberdayakan sebanyak 84 ribu orang miskin. Jadi kalau dihitung jari, dalam sehari tanggungan pemerintah yang berkuasa untuk mengangkat derajat orang-orang miskin terhindar dari lubang jarum kemiskinan hanya diplot sebanyak 2.800 orang saja. Angka yang tidak besar, bukan?

Lantas berbincang soal finansial, berapa jumlah anggaran yang diperlukan untuk memberdayakan orang miskin yang dimaksud? Hitung saja, tentu sangat murah meriah. Katakanlah untuk memberdayakan orang miskin dalam 1 periode pemerintahan, dikucurkan dana pinjaman berbunga lunak Rp5 juta yang dirancang untuk diberikan kepada setiap penduduk miskin selama 5 tahun ke depan.

Dengan begitu kocek milik negara yang perlu dipersiapkan untuk mendanai proyek pengentasan kemiskinan selama 5 tahun itu cuma butuh Rp5 juta dikalikan 5 juta orang, sama dengan Rp25 triliun. Secara global, sepanjang 40 tahun ke depan (2049) cuma dibutuhkan dana negara sebanyak Rp200 triliun saja untuk bisa menghapus angka kemiskinan di Indonesia. Bukankah bila program jangka panjang itu konsisten dijalankan tiap pemerintahan yang berkuasa di negeri ini, hanya dalam waktu 8 kali periode pergantian pemerintahan atau selama 40 tahun ke depan (2009--2049), Indonesia akan terbebas dari orang-orang melarat?

Cuma yang patut diperhatikan bersama, teknis pengeksekusian program pengentasan kemiskinan berjangka panjang ini, jangan cuma dilakukan seperti dalam Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang tanpa ada proses pemberdayaan masyarakat di dalamnya. Kita menilai Program BLT kurang berdaya guna kebermanfaatannya, bahkan pembagian dana BLT itu riskan menimbulkan konflik akibat kecemburuan sosial.

Taruhlah misalkan 5 juta orang miskin di negeri ini yang masing-masing diproyeksikan untuk diberikan bantuan modal kerja Rp5 juta itu diwajibkan untuk membuka usaha kerja sesuai dengan minat, bakat, dan keterampilan yang dimiliki mereka. Andai saja mereka tidak (atau belum) memiliki bakat, belum terdeteksi minat kerjanya di bidang apa, keterampilan yang dimiliki apa saja; tanggung jawab Pemerintah Pusat dan daerah adalah melakukan pelatihan kerja (mentoring) secara intensif dengan biaya semurah-murahnya atau gratiskan sekalian.

Tingkat kegagalan dari program pemberantasan kemiskinan model jangka panjang ini bisa diminimalkan sekecil dan sedini mungkin dengan mengantisipasi agar tidak muncul orang miskin baru. Jadi, bekali saja orang-orang miskin itu dengan dengan keterampilan kerja yang memadai. Usaha perbengkelan, kerajinan tangan, jahit-menjahit, budi daya tanaman, peternakan dan perkebunan, usaha dagang warung kelontong, dan industri skala kecil lainnya adalah jenis usaha yang sangat relevan untuk memberdayakan orang-orang miskin di Indonesia. Mungkinkan tahun 2049 mendatang, RI bebas dari penduduk miskin, syukur-syukur sebelum tahun itu?

Supadiyanto
, Direktur Eksekutif ICRC Jateng-DIY, Ketua Umum PPWI DIY

Sumber: Lampung Post, Rabu, 13 Januari 2010

January 10, 2010

Sekala Bgha dan Paksi Pak

Oleh M. Harya Ramdhoni Julizarsyah

SEJAK kapan kerajaan Sekala Bgha muncul? Siapakah pendiri dan raja pertama kerajaan Hindu-Animis tersebut? Itulah beberapa pertanyaan besar yang selalu menggelayuti alam pikir masyarakat Lampung Sai Batin berkaitan asal-usul nenek moyang mereka.

Masyarakat Saibatin di daerah-daerah Kenali, Liwa, Batu Bekhak, Kembahang, Lumbok Ranau, Kota Batu, Banding Agung, Krui, Kotaagung hingga Kalianda percaya bahwa muasal mereka berasal dari lereng Gunung Pesagi yang masyhur. Di lereng gunung tertinggi di Lampung itu hidup sebuah suku purba yang bernama suku Tumi. Ahmad Safei, Saibatin Kepaksian Buay Belunguh, Paksi Pak Sekala Bgha, mengatakan suku Tumi kemungkinan berasal dari India yang datang ke wilayah dataran tinggi Lampung Barat beberapa millennium sebelum masehi. Safei menambahkan nama suku Tumi berasal dari asal nama Tamil, sebuah suku bangsa yang masih ada hingga sekarang di India (Ahmad Safei, 1972).

Berdasarkan Prasasti Bunuk Tenuar yang berangka tahun 9 Margasira 919 Saka atau sekitar tahun 997 Masehi kami meyakini itulah tarikh berdirinya kerajaan Sekala Bgha Hindu. Akan tetapi sejak tahun 2006 pendapat tersebut mulai diragukan ketika kami menemukan catatan mengenai seorang lelaki bernama Taruda yang berasal dari sebuah negeri penghasil kapur barus dan kain bermotif bebungaan dan elang yang terletak di ujung Sumatera di lereng Gunung Pesagi. Taruda merupakan utusan raja Sekala Bgha untuk menjalin persahabatan dengan kekaisaran China. Tarikh purba mencatat bahwa kedatangan Taruda pertama kali ke China adalah pada tahun 441 Masehi. Ia disebutkan membawa bermacam-macam hadiah di antaranya kapur barus yang kala itu merupakan salah satu hasil bumi negeri Sekala Bgha.

Penemuan baru nama Taruda melahirkan dugaan baru tentang asal mula kemunculan kerajaan Sekala Bgha yang telah ada sejak abad ke 5 Masehi. Sementara itu jika mengikuti Tambo Paksi Pak Sekala Bgha nama raja Sekala Bgha yang tercatat di antaranya adalah Sangkan (abad 12 Masehi) Mucca Bawok (abad 12-13 Masehi) dan Sekeghumong (abad 13 Masehi). Keterbatasan catatan dari pihak Sai Batin Paksi Pak memunculkan misteri keterputusan sejarah jurai dalam wangsa Sekala Bgha. Antara tahun 441 Masehi hingga 1200-an Masehi hanya terdapat empat nama raja Sekala Bgha yang berhasil dipastikan yaitu Sri Hardewa (Prasasti Bunuk Tenuar 997 M), Sangkan, Mucca Bawok, dan Sekeghumong (Tambo Paksi Pak Sekala Bgha). Permasalahannya kemudian adalah siapakah nama raja-raja antara tahun 441 Masehi hingga kemunculan Sangkan yang diperkirakan hidup pada abad 12 Masehi?

Pada 2001 rapat adat Paksi Pak Sekala Bgha di Liwa memunculkan sebuah nama, yaitu La Laula sebagai raja pertama kerajaan Sekala Bgha Hindu-Buddha. Pertanyaan baru kemudian muncul: siapakah La Laula? Bagaimana ia bisa menjadi raja pertama Sekala Bgha? Adakah ia merupakan penduduk asli Sekala Bgha dan termasuk ke dalam golongan suku Tumi. Hasil musyawarah Paksi Pak Sekala Bgha cukup mengagetkan karena menurut Paksi Pak La Laula bukanlah penduduk asli Sekala Bgha. Ia bersama sekelompok pengikutnya tiba di Sekala Bgha dari Hindia Belakang (sekitar Vietnam dan Kamboja) pada awal abad Masehi dengan menggunakan kapal kano. La Laula tiba di sebuah negeri yang dipenuhi pohon Sekala di mana di sana telah berdiam suatu entitas masyarakat yang bernama Suku Tumi.

Kedatangan La Laula bersama pengikutnya rupanya mengusik kedamaian yang tercipta selama ini. Suku Tumi merasa terdesak dengan kehadiran La Laula yang lambat laun berhasil menarik pengikut di kalangan masyarakat lokal. Setelah melalui pertempuran yang cukup lama, La Laula dan pengikutnya berhasil menaklukkan suku Tumi dan mendudukkan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Sekala Bgha.

Nama Sekala Bgha atau Sekala Bekhak atau Sekala Brak memiliki beberapa makna seperti "Tempat Bersemayam Dewa-Dewi", "Titisan Dewata", "Titisan Mulia" dan "Pohon Sekala Raksasa". Perihal arti Sekala Bgha masih bisa diperdebatkan dan belum dapat diputuskan manakah di antara keempatnya yang paling benar dan sesuai. Keputusan Paksi Pak mengenai La Laula, Tambo Paksi Pak yang memuat perihal nama beberapa raja Sekala Bgha Hindu dan penelitian kami yang menemukan nama Taruda sedikit banyak mulai menyambung mata rantai terputus dari wangsa purba Sekala Bgha. Teori kami yang menyatakan bahwa suku Tumi adalah keturunan imigrasi bangsa-bangsa purba dari Hindia Belakang pada tahun 2000 SM juga mulai menampakkan kebenarannya.

Hal ini diperkuat beberapa hal. Pertama, keberadaan sisa peradaban batu Neolitikum yang terletak di Pekon Purawiwitan, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. Tempat penemuan batu-batu purba tersebut telah didiami manusia jauh sebelum abad Masehi. Kedua, aksara Lappung atau Had Lappung yang kita kenal hingga saat ini merupakan bukti yang amat konkret dari betapa purbanya Tamadun Sekala Bgha. Dalam sejarah Tamadun umat manusia, kemunculan aksara terjadi setelah melalui evolusi ribuan tahun. Huruf Mesir kuno ditemukan setelah peradaban tersebut berevolusi selama 3000 tahun. Begitu juga bahasa dan huruf yang ditemukan di pepuing peradaban kota lembah Indus telah ada sejak 2000 tahun SM. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang mustahil bila Had Lappung telah ditemukan oleh nenek moyang bangsa Tumi sejak ribuan tahun yang lalu. Ketiga, hasil musyawarah Paksi Pak pada 2001 yang mengakui La Laula sebagai raja pertama Sekala Bgha sejak awal abad Masehi. Hasil musyawarah tersebut juga membenarkan eksistensi bangsa Tumi yang telah ada sebelum kedatangan La Laula.

Berzuriat Peureulak-Pase atau Pagaruyung?

Para pembesar Paksi Pak saat ini telah menyepakati bahwa Paksi Pak merupakan kerajaan konfederasi yang dipimpin oleh empat bersaudara yaitu Maulana Umpu Pernong (raja pertama Kepaksian Buay Pernong yang berkediaman di Hanibung); Maulana Umpu Belunguh (raja pertama Kepaksian Buay Belunguh yang bermastautin di Tanjung Menang, Kenali); Imam Maulana Umpu Nyekhupa (raja pertama Kepaksian Buay Nyekhupa yang berdiam di Tampak Siring); dan Maulana Umpu Lapah di Way (raja pertama Kepaksian Buay Bejalan di Way yang berkediaman di Puncak Dalom). Kerajaan konfederasi yang kami maksud di sini adalah keempat penguasa ini memiliki wilayah, rakyat, dan kedaulatan masing-masing. Kesadaran akan ingatan kolektif bahwa mereka berasal dari satu bapak yang sama, yaitu Maulana Imam Al Hasyir atau lebih dikenal sebagai Umpu Penggalang Paksi. Mereka mendirikan kerajaan Paksi Pak setelah berjaya menamatkan riwayat kerajaan Hindu-Animisme Sekala Bgha yang dipimpin Ratu Sekeghumong pada peralihan abad 13-14.

Apabila membaca Tambo mengenai asal-usul keempat Paksi apakah Paksi Buay Pernong, Paksi Buay Belunguh, Paksi Buay Nyekhupa maupun Paksi Buay Bejalan di Way akan didapat kesimpulan yang sama mereka sangat memercayai muasal nenek moyang mereka berasal dari Pagaruyung di Sumatera Barat. Syahdan disebutkan pada 1358 M ketika seorang lelaki setengah baya dan keempat putranya keluar dari Istana Pagaruyung untuk mengembara menyebarkan agama Islam. Konon kejadian itu bertepatan dengan dilepasnya Suttan Nan Selapan ke rantau (daerah luar) Minangkabau dan mulai menghitung nagari-nagari di alam Minangkabau yang berjumlah 667 buah (Ahmad Safei, 1972 : 14). Masalah yang muncul kemudian adalah kenyataan bahwa Minangkabau pada masa itu adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha yang didirikan oleh Aditywarman pada tahun 1347. Adityawarman adalah putra dari Mahesa Anabrang, panglima perang Kerajaan Singasari (Ekspedisi Pamalayu I dan Pamalayu II), dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia sebelumnya pernah bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang (Mpu Prapanca, 2006). Adityawarman sendiri adalah sepupu kandung Jayanegara (Raja II Majapahit) karena ibunya bersaudara kandung dengan Dara Petak, ibunda Jayanegara. Pada 1358 yang disebut sebagai permulaan diaspora Suttan Nan Selapan ke rantau justru merupakan masa tatkala Adityawarman masih berada dalam puncak kejayaannya memimpin kerajaan Hindu-Buddha Pagaruyung. Dongeng kanak-kanak yang dipegang-teguh oleh para pembesar Paksi Pak akhirnya harus digugurkan oleh kenyataan di lapangan. Lalu dari manakah muasal Maulana Imam Al Hasyir dan keempat putranya?

Menurut Mohd. Abdullah Syukri dari Institut ATMA-UKM proses penyebaran Islam di Sumatera telah dilakukan sejak kemunculan kerajaan Islam Peureulak yang berdiri pada tarikh 1 Muharram 225 H atau hari Rabu 12 Nopember 839 M. Akan tetapi secara intens dakwah tersebut baru diamalkan sejak tahun-tahun terakhir kekuasaan Sultan Makhdum Alaidin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat, 501--527 H (1108--1134 M). Selanjutnya pada masa kerajaan Pasai di bawah kekuasaan Meurah Silu atau Sultan Malik Al-Saleh, serombongan pendakwah dari Kana'an dan Negeri Syam tiba di kerajaan tersebut. Apabila mereka menemukan ternyata di wilayah Pasai dan Peureulak raja dan masyarakatnya telah memeluk Islam kelompok pendakwah ini meninggalkan kerajaan tersebut dan bertualang menuju selatan guna menyebarkan agama Islam kepada mayoritas penduduk Sumatera yang masih menyembah berhala. Salah satu ekspedisi dakwah tersebut adalah yang kemudian dikenal sebagai Empat Paksi yang datang ke tanah Sekala Bgha guna menyebarkan agama Islam dan berakhir dengan kejatuhan kerajaan Hindu-Animisme tersebut.

Beberapa argumentasi sederhana memperkuat dugaan muasal Maulana Bersaudara yang diperkirakan berasal dari Pasai: Pertama, dalam tradisi peperangan Islam terdapat beberapa "ritual" yang harus dilakukan setelah tentara Islam berhasil menaklukkan sebuah wilayah kafir.

1. Pihak yang kalah menghidangkan makanan kepada tentara muslim yang menang dengan tradisi mereka. Ritual ini bisa kita saksikan hingga sekarang dengan tradisi Pahar yang masih dilakukan dalam acara-acara adat Kesaibatinan Paksi Pak Sekala Bgha.

2. Tentara kafir menyatakan tanda takluknya dengan menyerahkan seorang gadis bangsawan untuk diislamkan dan dinikahi oleh pimpinan tentara muslim. Hal ini terbukti dengan perkawinan Maulana Belunguh dengan Umpu Sindi putri Ratu Sekeghumong yang dikalahkan oleh Maulana Bersaudara.

3. Kaum muslimin yang memenangkan pertempuran menyerahkan Bendera Syahadat (Al Liwa) kepada pihak kaum kafir tertakluk. Di bekas kerajaan Sekala Bgha Paksi Pak bukan hanya menyerahkan bendera kepada sisa-sisa bangsa Tumi yang terpaksa masuk Islam, akan tetapi juga mengubah nama ibu negeri Bunuk Tenuar menjadi Al Liwa atau Liwa sepertimana yang masih digunakan hingga saat ini.

Kedua, Awan Gemisikh, salah satu perangkat adat Sai Batin yang masih bertahan hingga kini merupakan hasil akulturasi budaya peperangan Islam dari jazirah Arab (Kana'an dan Syam) yang terinternalisasi di dalam adat Lampung Sai Batin melalui perantaraan kaum ekspeditor muslimin dari Samudera Pasai. Dari beberapa buku yang kami baca mengenai perang Sabil antara kaum muslimin melawan kaum nasrani, terdapat gambar Salahuddin Al Ayubi atau Saladin menerima penyerahan Yerusalem dari kaum Nasrani di bawah sebuah tenda yang amat mirip dengan Awan Gemisikih. Sebuah fakta baru mestinya mulai diungkap oleh mereka yang peduli dengan sejarah Lampung tentang Awan Gemisikh yang kini hanya digunakan sebagai alat lapah Sai Batin tanpa memahami makna yang sebenarnya.

Ketiga, cara masuknya Islam di bumi Sekala Bgha dengan peperangan yang dilakukan Maulana Bersaudara melawan Sekeghumong merupakan khas penyiar Islam dari jazirah Arab seperti Kana'an dan Negeri Syam. Gaya dakwah seperti itu bukanlah tipe syiar Islam yang bisa kita temui di Jawa melalui Sembilan Wali. Apabila diperbandingkan secara historis penyebaran Islam di Jawa lebih menggunakan jalan damai yang juga merupakan tipikal pedagang muslimin dari Gujarat. Penyebaran Islam versi jalan damai senantiasa menghormati kebudayaan lama masyarakat setempat dengan cara sinkretisme budaya Islam-Hindu-Buddha yang masih kental nuansanya hingga saat ini terutama di wilayah-wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sembilan Wali juga membiarkan keberadaan tamadun Hindu Budha seperti Borobudur dan Prambanan. Sementara di tanah Sekala Bgha, Islam tiba dengan jalan perang yang mengedepankan pertumpahan darah. Selain itu budaya lokal diberantas habis sebagai khurafat, syirik dan bidah. Salah seorang Pangeran Paksi Pak yang kami wawancarai mengatakan bahwa pada masa awal Paksi Pak semua bangunan pemujaan wangsa Sekala Bgha dihancurkan tak bersisa. Hal ini menguatkan dugaan Islam tiba melalui Maulana Bersaudara atau Paksi Pak dengan menggunakan jalan perang sepertimana penyebaran Islam yang diamalkan sebagian besar pendakwah-pendakwah Islam dari jazirah Arab.

* M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, staf pengajar FISIP Unila, kandidat Ph.D. Sains Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Januari 2010