Kebudayaan adalah sebuah cara atau strategi yang bisa menyelamatkan kita dari kepungan berbagai masalah sosial.
JURNALISME DAMAI. Peluncuran dan Diskusi Buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung Minggu (3-2). Tampil sebagai pembicara kiri ke kanan: Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nasional Eko Maryadi, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, dan sosiolog Unila Hartoyo. FOTO: DOKUMEN INDEPTH PUBLISHING
SEBENARNYA, tidak ada yang keliru dalam diskusi Jurnalisme Damai yang digelar Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bandar Lampung dan Indepth Publishing di Toko Buku Fajar Agung, Minggu, 3 Februari lalu.
Hanya sedikit kekurangjelian, barangkali. Bedah buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung menghadirkan tiga pembicara yang memang berkata sesuai dengan kapasitasnya: Ketua AJI Pusat Eko Maryadi, sosiolog Unila Hartoyo, dan Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat.
Diskusi itu sebenarnya akan lebih bernas jika menghadirkan satu lagi perspektif, yakni kebudayaan dalam melihat konflik, kekerasan, dan amuk massa yang mengggejala. Sebenarnya, Djadjat Sudradjat sudah menyinggung sedikit sisi kebudayaan dalam diskusi tersebut, begitu juga dengan Hartoyo. Sayangnya, persoalan budaya kurang tereksplorasi.
Perspektif Budaya
Ada yang meleset dari perkiraan ketika kita membaca buku yang ditulis 20 penulis ditambah dengan tulisan pengantar dari Ketua AJI Nasional dan Ketua AJI Lampung dan penutup dari Djadjat Sudradjat. Judulnya memang soal jurnalisme damai, tetapi mayoritas penulisnya justru bukan menulis sebagai jurnalis.
Akibatnya, bahasan tentang jurnalisme damai atau contoh karya jurnalistik yang menerapkan jurnalisme damai relatif lebih sedikit dibanding dengan tulisan yang mengulas kasus Way Panji dari perspektif masing-masing.
Ini barangkali kelemahan, tetapi sekaligus kekuatan buku ini. Karena setiap penulis punya sudut padang yang berbeda, buku menjadi kaya perspektif. Ini penting dalam upaya memahami fenomena konflik, kekerasan, dan kerusuhan yang terjadi susul-menyusul di Lampung setahun terakhir ini.
Tanpa mengabaikan perspektif lain, kajian budaya dalam melihat konflik di Lampung cukup menarik kita simak. Lampung sebagai daerah yang mempunyai berbagai etnik dan budaya tentu mempunyai potensi konflik tinggi. Tapi, jika bisa disatukan dengan pendekatan pluralisme dan multikultural, tentu berpotensi pula menjadi daerah yang damai dalam keberagaman. Budayawan Anshory Djausal, misalnya, meyakini konflik antarwarga di Lampung bisa diatasi dengan sentuhan rekayasa budaya (hlm. 101).
Mengenai keberagaman budaya di Lampung, Iwan Nurjaya-Djafar menggambarkan suku yang datang ke Lampung jauh sebelum ada transmigrasi (kolonisasi) di masa pemerintahan Hindia Belanda. Ada suku Bugis, Banten, Minangkabau, yang hidup berdampingan dalam perdamaian. Ini tentu menjadi catatan sejarah kemanusiaan yang indah.
Dalam masyarakat majemuk ini tentu tidak cocok jika dilakukan pendekatan etnosentrisme maupun cawan peleburan. Etnosentrisme memandang kebudayaan etnik tertentu lebih hebat ketimbang budaya etnik lainnya. Ada dominasi di situ. Segala yang mendominasi tentu ada pihak yang didominasinya. Ada yang tidak seimbang dan sejajar di sana. Sementara cawan peleburan, menurut Iwan, berusaha melebur semua budaya etnik yang ada menjadi satu kebudayaan baru, tetapi sifatnya menghilangkan eksistensi budaya yang ada.
Selain pendekatan multikultural, sikap menghormati budaya lain agar bisa menjadi manusia antarbudaya yang memahami baik budaya etnik sendiri maupun budaya etnik lain.
Kearifan Lokal
Hal lain yang mengemuka dalam buku ini adalah bagaimana mengembalikan, menjaga, dan menumbuhkan kearifan lokal (local genius) dalam menjaga sosial harmoni. Bartoven Vivit Nurdin mengapungkan perlunya memperkuat modal sosial dengan pemetaan konflik berbasiskan culture area (peta dengan batas-batas budaya dan etnik) dan kearifan lokal di Lampung (hlm. 70).
Menurut Syahran Lubis, sangat penting memberi penghormatan dan tempat yang memadai untuk kearifan lokal, karena kearifan lokal bagian dari pemelihara kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, dan menguatkan toleransi antarsuku. Kearifan lokal yang diberi ruang akan menjadi potensi tumbuh yang positif.
Seperti contoh keberadaan para punyimbang adat. Jika penyimbang adat diberi kekuasaan mengatur rakyatnya, tentu potensi masyarakat untuk menjaga nilai-nilai adat akan lebih tinggi. Jika masyarakat menjaga nilai-nilai adat, ketenteraman dan kerukunan tentu akan tercipta, karena masing-masing suku punya sosok yang diikuti. Jadi, jabatan penyimbang tidak hanya sebagai simbol adat yang bisa dimanfaatkan saat pemilu. Lebih dari itu, mereka memang panutan masyarakat yang menjaga warisan kebudayaan juga nila-nilai luhur adat.
Jika masing-masing kepala adat dari berbagai suku diberikan kesempatan untuk menjaga nilai-nilai adat, akan muncul potensi-potensi untuk hidup berdampingan dengan kearifan suku masing-masing. Bagi Udo Z. Karzi, ini adalah kekuatan dasar keberagaman bangsa Indonesia, tak terkecuali Lampung.
Jika pada masa lampau, saat segala urusan masih diserahkan pada pimpinan adat, Lampung bisa menjadi daerah yang damai. Sekarang, dengan segala pandangan yang maju dan dengan tatanan sosial yang modern, kenapa tidak?
Maka, upaya-upaya untuk menciptakan kedamaian adalah sebuah keniscayaan. Banyak celah yang bisa ditembus untuk menciptakan perdamaian itu jika ada ruang-ruang dialogis antarbudaya, saling menghargai, dan memberi ruang pada potensi-potensi yang ada pada setiap suku.
Pada hakikatnya setiap suku mempunyai nilai-nilai luhur yang sejak lama mengawal harmonisasi kehidupan bangsa. Jadi sebuah keniscayaan jika hari ini nilai-nilai itu mampu mengawal perdamaian bangsa ini, terutama di Lampung. (WANDI BARBOY/P-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2013
JURNALISME DAMAI. Peluncuran dan Diskusi Buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung Minggu (3-2). Tampil sebagai pembicara kiri ke kanan: Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nasional Eko Maryadi, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, dan sosiolog Unila Hartoyo. FOTO: DOKUMEN INDEPTH PUBLISHING
SEBENARNYA, tidak ada yang keliru dalam diskusi Jurnalisme Damai yang digelar Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bandar Lampung dan Indepth Publishing di Toko Buku Fajar Agung, Minggu, 3 Februari lalu.
Hanya sedikit kekurangjelian, barangkali. Bedah buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung menghadirkan tiga pembicara yang memang berkata sesuai dengan kapasitasnya: Ketua AJI Pusat Eko Maryadi, sosiolog Unila Hartoyo, dan Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat.
Diskusi itu sebenarnya akan lebih bernas jika menghadirkan satu lagi perspektif, yakni kebudayaan dalam melihat konflik, kekerasan, dan amuk massa yang mengggejala. Sebenarnya, Djadjat Sudradjat sudah menyinggung sedikit sisi kebudayaan dalam diskusi tersebut, begitu juga dengan Hartoyo. Sayangnya, persoalan budaya kurang tereksplorasi.
Perspektif Budaya
Ada yang meleset dari perkiraan ketika kita membaca buku yang ditulis 20 penulis ditambah dengan tulisan pengantar dari Ketua AJI Nasional dan Ketua AJI Lampung dan penutup dari Djadjat Sudradjat. Judulnya memang soal jurnalisme damai, tetapi mayoritas penulisnya justru bukan menulis sebagai jurnalis.
Akibatnya, bahasan tentang jurnalisme damai atau contoh karya jurnalistik yang menerapkan jurnalisme damai relatif lebih sedikit dibanding dengan tulisan yang mengulas kasus Way Panji dari perspektif masing-masing.
Ini barangkali kelemahan, tetapi sekaligus kekuatan buku ini. Karena setiap penulis punya sudut padang yang berbeda, buku menjadi kaya perspektif. Ini penting dalam upaya memahami fenomena konflik, kekerasan, dan kerusuhan yang terjadi susul-menyusul di Lampung setahun terakhir ini.
Tanpa mengabaikan perspektif lain, kajian budaya dalam melihat konflik di Lampung cukup menarik kita simak. Lampung sebagai daerah yang mempunyai berbagai etnik dan budaya tentu mempunyai potensi konflik tinggi. Tapi, jika bisa disatukan dengan pendekatan pluralisme dan multikultural, tentu berpotensi pula menjadi daerah yang damai dalam keberagaman. Budayawan Anshory Djausal, misalnya, meyakini konflik antarwarga di Lampung bisa diatasi dengan sentuhan rekayasa budaya (hlm. 101).
Mengenai keberagaman budaya di Lampung, Iwan Nurjaya-Djafar menggambarkan suku yang datang ke Lampung jauh sebelum ada transmigrasi (kolonisasi) di masa pemerintahan Hindia Belanda. Ada suku Bugis, Banten, Minangkabau, yang hidup berdampingan dalam perdamaian. Ini tentu menjadi catatan sejarah kemanusiaan yang indah.
Dalam masyarakat majemuk ini tentu tidak cocok jika dilakukan pendekatan etnosentrisme maupun cawan peleburan. Etnosentrisme memandang kebudayaan etnik tertentu lebih hebat ketimbang budaya etnik lainnya. Ada dominasi di situ. Segala yang mendominasi tentu ada pihak yang didominasinya. Ada yang tidak seimbang dan sejajar di sana. Sementara cawan peleburan, menurut Iwan, berusaha melebur semua budaya etnik yang ada menjadi satu kebudayaan baru, tetapi sifatnya menghilangkan eksistensi budaya yang ada.
Selain pendekatan multikultural, sikap menghormati budaya lain agar bisa menjadi manusia antarbudaya yang memahami baik budaya etnik sendiri maupun budaya etnik lain.
Kearifan Lokal
Hal lain yang mengemuka dalam buku ini adalah bagaimana mengembalikan, menjaga, dan menumbuhkan kearifan lokal (local genius) dalam menjaga sosial harmoni. Bartoven Vivit Nurdin mengapungkan perlunya memperkuat modal sosial dengan pemetaan konflik berbasiskan culture area (peta dengan batas-batas budaya dan etnik) dan kearifan lokal di Lampung (hlm. 70).
Menurut Syahran Lubis, sangat penting memberi penghormatan dan tempat yang memadai untuk kearifan lokal, karena kearifan lokal bagian dari pemelihara kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, dan menguatkan toleransi antarsuku. Kearifan lokal yang diberi ruang akan menjadi potensi tumbuh yang positif.
Seperti contoh keberadaan para punyimbang adat. Jika penyimbang adat diberi kekuasaan mengatur rakyatnya, tentu potensi masyarakat untuk menjaga nilai-nilai adat akan lebih tinggi. Jika masyarakat menjaga nilai-nilai adat, ketenteraman dan kerukunan tentu akan tercipta, karena masing-masing suku punya sosok yang diikuti. Jadi, jabatan penyimbang tidak hanya sebagai simbol adat yang bisa dimanfaatkan saat pemilu. Lebih dari itu, mereka memang panutan masyarakat yang menjaga warisan kebudayaan juga nila-nilai luhur adat.
Jika masing-masing kepala adat dari berbagai suku diberikan kesempatan untuk menjaga nilai-nilai adat, akan muncul potensi-potensi untuk hidup berdampingan dengan kearifan suku masing-masing. Bagi Udo Z. Karzi, ini adalah kekuatan dasar keberagaman bangsa Indonesia, tak terkecuali Lampung.
Jika pada masa lampau, saat segala urusan masih diserahkan pada pimpinan adat, Lampung bisa menjadi daerah yang damai. Sekarang, dengan segala pandangan yang maju dan dengan tatanan sosial yang modern, kenapa tidak?
Maka, upaya-upaya untuk menciptakan kedamaian adalah sebuah keniscayaan. Banyak celah yang bisa ditembus untuk menciptakan perdamaian itu jika ada ruang-ruang dialogis antarbudaya, saling menghargai, dan memberi ruang pada potensi-potensi yang ada pada setiap suku.
Pada hakikatnya setiap suku mempunyai nilai-nilai luhur yang sejak lama mengawal harmonisasi kehidupan bangsa. Jadi sebuah keniscayaan jika hari ini nilai-nilai itu mampu mengawal perdamaian bangsa ini, terutama di Lampung. (WANDI BARBOY/P-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2013
No comments:
Post a Comment