BANDARLAMPUNG -- Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi menyatakan salah satu yang harus dilakukan pers di Provinsi Lampung adalah mengawal pelaksanaan perjanjian damai serta kebijakan pascakonflik horisontal antarwarga yang pernah terjadi di daerah ini.
Ketua Umum AJI Indonesia Eko Maryadi (kiri), Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat (tengah), dan Dr Hartoyo MSi (kanan) dalam peluncuran dan bedah buku "Merajut Jurnalisme Damai di Lampung" di Bandarlampung, Minggu (3/2). (Foto: ANTARA LAMPUNG/Gatot Arifianto)
"Konflik di Balinuraga, Waypanji, Lampung Selatan yang diakhiri perjanjian damai, selanjutnya harus dikawal oleh pers. Itu bagian penting kontribusi pers pascakonflik untuk memastikan kesinambungan perdamaian," ujar Eko, saat peluncuran buku "Merajut Jurnalisme Damai di Lampung", di Toko Buku Fajar Agung Bandarlampung, Minggu (3/2).
Ia menyambut baik penerbitan buku yang diprakarsai oleh pengurus AJI Bandarlampung dan didukung pula oleh penerbit Indepth Publishing yang secara sistemastis menyajikan hasil reportase para jurnalis dari berbagai media massa dan analisi pakar dan pengamat sosial, sekaligus memaparkan "dosa-dosa" masih dilakukan media massa dan para jurnalis dalam peristiwa konflik antarwarga di Waypanji, Lampung Selatan.
"Saya berharap buku ini menjadi sumber inspirasi positif bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan, sekaligus bahan koreksi internal bagi jurnalis profesional dan kalangan media massa di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung," ujar Eko pula.
Dia mengingatkan, dalam peliputan konflik sensitivitas jurnalis sangat diperlukan dengan mengedepankan keseimbangan terhadap etika sehingga tidak dilanggar, termasuk bagaimana jurnalis melindungi narasumbernya.
Ia menyatakan, kendati dalam Undang-Undang Pers secara tegas dinyatakan pers memiliki kemerdekaan dalam menjalankan fungsinya, hendaknya jurnalis tetap memiliki tanggung jawab profesi dan tanggung jawab sosial.
Jurnalis hendaknya dapat menempatkan diri sebagai bagian dari korban, sehingga memiliki empati, kata dia.
Media massa juga diingatkan agar tidak menjadi bagian dari konflik.
"Jangan sampai propaganda kebencian dan dendam serta peperangan justru disuarakan oleh media dan para jurnalis," ujar Eko lagi.
Eko mengemukakan, jurnalis profesional sepatutnya dapat memilih dan memilah pilihan kata, gambar dan foto yang akan dimuat dan disiarkan secara tepat, mengingat dampaknya bagi korban maupun pelaku dalam konflik itu.
"Dalam medan konflik, pers semestinya menjadi bagian dari solusi untuk mendorong terjadi perdamaian," kata dia.
Eko menegaskan pula, profesi jurnalis dapat diibaratkan antara malaikat atau setan.
Dia mengajak para jurnalis umumnya untuk berlomba-lomba menjadi jurnalis malaikat, bukan jurnalis setan.
Namun Eko juga mengingatkan bahwa jurnalis bukanlah dewa atau Tuhan yang tak bisa berbuat salah.
"Sebaliknya, jurnalis juga bisa jadi 'setan' bila sesuka hati menabrak prinsip etika profesi yang pada gilirannya dapat merugikan publik yang dilayaninya," ujar dia pula.
Pilihan untuk menjadi profesional dan bermartabat serta memberi manfaat nyata bagi publik adalah hak sekaligus kewajiban hendaknya melekat, agar tidak terjerumus berperilaku seperti mencabik-cabik diri dan masyarakat sekelilingnya.
Lebih Berkeringat
Menurut Djadjat Sudradjat, Wakil Pemimpin Umum Harian Umum Lampung Post, jurnalis sekarang untuk menjalankan prinsip Sembilan Elemen Jurnalisme saja masih susah, apalagi menerapkan jurnalisme damai.
Bukan pekerjaan ringan untuk menerapkan prinsip jurnalisme damai itu, karena perlu komitmen, wartawan harus lebih dalam menggali di lapangan, harus lebih berkeringat, serta harus bisa melawan diri sendiri.
Dia mengungkapkan, saat ini kalangan media massa nyaris tak berdaya melawan rating/oplah, sehingga menjadikan berita sebagai hiburan dan hiburan menjadi berita.
"Wartawan dan media massa meniru selebritas yang tidak mementingkan isi, tapi yang penting bisa tampil dan laku dijual," ujar dia.
Kondisi itu, membuat rating seperti tidak bisa dikritisi, apalagi dilawan karena memang dikehendaki publik.
Padahal, kata dia pula, jurnalisme yang ideal itu bukanlah mengikuti apa yang dimaui masyarakat, tapi apa yang benar berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Namun Djadjat mengingatkan, berita yang benar dan berkualitas justru akan menyehatkan masyarakat, bukan semata menampilkan berita yang penuh dengan kekerasan dan konflik.
Dia juga bersepakat bahwa perdamaian usai terjadi konflik sosial harus terus dipantau oleh para jurnalis, untuk menjamin keberlanjutan penanganannya oleh pemerintah dan pihak berwenang.
Ia menegaskan bahwa jurnalisme damai menjadi sangat penting di Lampung, apalagi belakangan konflik sosial kerap terjadi di daerah ini.
Pengamat sosial politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) Dr Hartoyo MSi mengingatkan bahwa dalam kehidupan manusia, perdamaian itu adalah bagian dari iman.
Dia mengemukakan hasil penelitian bahwa di Indonesia dengan kondisi masyarakat yang majemuk berpotensi terjadi konflik sosial.
"Kepekaan konflik itu akan tinggi secara horizontal ketika bersentuhan atau berhimpitan dengan perbedaan vertikal berupa kesenjangan sosial yang tinggi dengan berbagai pemicunya," kata dia pula.
Di Lampung dengan masyarakat yang majemuk, ujar Hartoyo, potensi konflik menjadi tinggi, sehingga perlu dikelola dengan baik.
Ia mengungkapkan, konflik yang terjadi di Lampung cenderung tidak berpola, bisa berskala luas, seperti persoalan agama dapat menimbulkan terjadi konflik politik.
Dia menyarankan, ke depan selain harus dapat menghindari konflik, juga tetap harus menangani konflik yang masih terjadi sekaligus mengelola konflik yang berpotensi terjadi.
Menurut Hartoyo, sistem siaga dini justru belum dikembangkan di Indonesia.
Padahal upaya pencegahan dan antisipasi terjadi konflik berupa tindakan preemtif dan preventif sangat diperlukan.
Ia mengapresiasi upaya dilakukan Pemprov Lampung dengan menggelar rembuk pekon untuk mengantisipasi potensi konflik sosial yang dapat terjadi di tengah masyarakat di daerah ini.
Namun dia mengingatkan, sebaiknya pemerintah dapat mengembangkan kearifan lokal yang sudah ada dan tidak perlu menciptakan yang baru.
Peranan media massa dan wartawan juga tidak kalah penting, sehingga dapat membuat konflik dapat menjadi damai atau malah semakin membara, ujar dia.
"Konflik juga tidak dapat diselesaikan secara elitis, karena bila terjadi kesenjangan penyelesaiannya akan semakin sulit untuk dapat dituntaskan," kata Hartoyo lagi.
Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih yang hadir dalam peluncuran dan bedah buku ini, mengapresiasinya.
Dia juga mengungkapkan saat kejadian juga berada di lokasi, dengan menggunakan rompi antipeluru bersama petugas kepolisian dan juga para jurnalis dari berbagai media massa yang melakukan reportase di lapangan.
"Saya juga harus siap setiap saat untuk menjawab pertanyaan teman-teman wartawan atas perkembangan peristiwa tersebut," ujar Sulistyaningsih pula.
Hadir pula dalam peluncuran dan bedah buku yang juga didukung LKBN Antara Biro Lampung dan Yabima serta beberapa lembaga lainnya itu Sidney Jones dari International Crisis Group, Ketua KPU Lampung Dr Nanang Trenggono MSi, Direktur PKBI Lampung Herdimansyah, penyair Isbedy Stiawan ZS, seniman asal Bali di Lampung I Wayan Mochoh, Ketua Komisi Informasi Lampung Juniardi, praktisi pers dan pegiat pers mahasiswa, aktivis LSM, akademisi, profesional dan masyarakat umum.
Buku yang ditulis jurnalis, akademisi, dan budayawan di Lampung itu dijual Rp50.000 per eksemplar.
Adapun keuntungan penjualan buku itu akan disumbangkan untuk pembangunan pascakonflik di Waypanji, Lampung Selatan.
Sumber: Antara, Senin, 4 Februari 2013
"Konflik di Balinuraga, Waypanji, Lampung Selatan yang diakhiri perjanjian damai, selanjutnya harus dikawal oleh pers. Itu bagian penting kontribusi pers pascakonflik untuk memastikan kesinambungan perdamaian," ujar Eko, saat peluncuran buku "Merajut Jurnalisme Damai di Lampung", di Toko Buku Fajar Agung Bandarlampung, Minggu (3/2).
Ia menyambut baik penerbitan buku yang diprakarsai oleh pengurus AJI Bandarlampung dan didukung pula oleh penerbit Indepth Publishing yang secara sistemastis menyajikan hasil reportase para jurnalis dari berbagai media massa dan analisi pakar dan pengamat sosial, sekaligus memaparkan "dosa-dosa" masih dilakukan media massa dan para jurnalis dalam peristiwa konflik antarwarga di Waypanji, Lampung Selatan.
"Saya berharap buku ini menjadi sumber inspirasi positif bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan, sekaligus bahan koreksi internal bagi jurnalis profesional dan kalangan media massa di Indonesia, khususnya di Provinsi Lampung," ujar Eko pula.
Dia mengingatkan, dalam peliputan konflik sensitivitas jurnalis sangat diperlukan dengan mengedepankan keseimbangan terhadap etika sehingga tidak dilanggar, termasuk bagaimana jurnalis melindungi narasumbernya.
Ia menyatakan, kendati dalam Undang-Undang Pers secara tegas dinyatakan pers memiliki kemerdekaan dalam menjalankan fungsinya, hendaknya jurnalis tetap memiliki tanggung jawab profesi dan tanggung jawab sosial.
Jurnalis hendaknya dapat menempatkan diri sebagai bagian dari korban, sehingga memiliki empati, kata dia.
Media massa juga diingatkan agar tidak menjadi bagian dari konflik.
"Jangan sampai propaganda kebencian dan dendam serta peperangan justru disuarakan oleh media dan para jurnalis," ujar Eko lagi.
Eko mengemukakan, jurnalis profesional sepatutnya dapat memilih dan memilah pilihan kata, gambar dan foto yang akan dimuat dan disiarkan secara tepat, mengingat dampaknya bagi korban maupun pelaku dalam konflik itu.
"Dalam medan konflik, pers semestinya menjadi bagian dari solusi untuk mendorong terjadi perdamaian," kata dia.
Eko menegaskan pula, profesi jurnalis dapat diibaratkan antara malaikat atau setan.
Dia mengajak para jurnalis umumnya untuk berlomba-lomba menjadi jurnalis malaikat, bukan jurnalis setan.
Namun Eko juga mengingatkan bahwa jurnalis bukanlah dewa atau Tuhan yang tak bisa berbuat salah.
"Sebaliknya, jurnalis juga bisa jadi 'setan' bila sesuka hati menabrak prinsip etika profesi yang pada gilirannya dapat merugikan publik yang dilayaninya," ujar dia pula.
Pilihan untuk menjadi profesional dan bermartabat serta memberi manfaat nyata bagi publik adalah hak sekaligus kewajiban hendaknya melekat, agar tidak terjerumus berperilaku seperti mencabik-cabik diri dan masyarakat sekelilingnya.
Lebih Berkeringat
Menurut Djadjat Sudradjat, Wakil Pemimpin Umum Harian Umum Lampung Post, jurnalis sekarang untuk menjalankan prinsip Sembilan Elemen Jurnalisme saja masih susah, apalagi menerapkan jurnalisme damai.
Bukan pekerjaan ringan untuk menerapkan prinsip jurnalisme damai itu, karena perlu komitmen, wartawan harus lebih dalam menggali di lapangan, harus lebih berkeringat, serta harus bisa melawan diri sendiri.
Dia mengungkapkan, saat ini kalangan media massa nyaris tak berdaya melawan rating/oplah, sehingga menjadikan berita sebagai hiburan dan hiburan menjadi berita.
"Wartawan dan media massa meniru selebritas yang tidak mementingkan isi, tapi yang penting bisa tampil dan laku dijual," ujar dia.
Kondisi itu, membuat rating seperti tidak bisa dikritisi, apalagi dilawan karena memang dikehendaki publik.
Padahal, kata dia pula, jurnalisme yang ideal itu bukanlah mengikuti apa yang dimaui masyarakat, tapi apa yang benar berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Namun Djadjat mengingatkan, berita yang benar dan berkualitas justru akan menyehatkan masyarakat, bukan semata menampilkan berita yang penuh dengan kekerasan dan konflik.
Dia juga bersepakat bahwa perdamaian usai terjadi konflik sosial harus terus dipantau oleh para jurnalis, untuk menjamin keberlanjutan penanganannya oleh pemerintah dan pihak berwenang.
Ia menegaskan bahwa jurnalisme damai menjadi sangat penting di Lampung, apalagi belakangan konflik sosial kerap terjadi di daerah ini.
Pengamat sosial politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) Dr Hartoyo MSi mengingatkan bahwa dalam kehidupan manusia, perdamaian itu adalah bagian dari iman.
Dia mengemukakan hasil penelitian bahwa di Indonesia dengan kondisi masyarakat yang majemuk berpotensi terjadi konflik sosial.
"Kepekaan konflik itu akan tinggi secara horizontal ketika bersentuhan atau berhimpitan dengan perbedaan vertikal berupa kesenjangan sosial yang tinggi dengan berbagai pemicunya," kata dia pula.
Di Lampung dengan masyarakat yang majemuk, ujar Hartoyo, potensi konflik menjadi tinggi, sehingga perlu dikelola dengan baik.
Ia mengungkapkan, konflik yang terjadi di Lampung cenderung tidak berpola, bisa berskala luas, seperti persoalan agama dapat menimbulkan terjadi konflik politik.
Dia menyarankan, ke depan selain harus dapat menghindari konflik, juga tetap harus menangani konflik yang masih terjadi sekaligus mengelola konflik yang berpotensi terjadi.
Menurut Hartoyo, sistem siaga dini justru belum dikembangkan di Indonesia.
Padahal upaya pencegahan dan antisipasi terjadi konflik berupa tindakan preemtif dan preventif sangat diperlukan.
Ia mengapresiasi upaya dilakukan Pemprov Lampung dengan menggelar rembuk pekon untuk mengantisipasi potensi konflik sosial yang dapat terjadi di tengah masyarakat di daerah ini.
Namun dia mengingatkan, sebaiknya pemerintah dapat mengembangkan kearifan lokal yang sudah ada dan tidak perlu menciptakan yang baru.
Peranan media massa dan wartawan juga tidak kalah penting, sehingga dapat membuat konflik dapat menjadi damai atau malah semakin membara, ujar dia.
"Konflik juga tidak dapat diselesaikan secara elitis, karena bila terjadi kesenjangan penyelesaiannya akan semakin sulit untuk dapat dituntaskan," kata Hartoyo lagi.
Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih yang hadir dalam peluncuran dan bedah buku ini, mengapresiasinya.
Dia juga mengungkapkan saat kejadian juga berada di lokasi, dengan menggunakan rompi antipeluru bersama petugas kepolisian dan juga para jurnalis dari berbagai media massa yang melakukan reportase di lapangan.
"Saya juga harus siap setiap saat untuk menjawab pertanyaan teman-teman wartawan atas perkembangan peristiwa tersebut," ujar Sulistyaningsih pula.
Hadir pula dalam peluncuran dan bedah buku yang juga didukung LKBN Antara Biro Lampung dan Yabima serta beberapa lembaga lainnya itu Sidney Jones dari International Crisis Group, Ketua KPU Lampung Dr Nanang Trenggono MSi, Direktur PKBI Lampung Herdimansyah, penyair Isbedy Stiawan ZS, seniman asal Bali di Lampung I Wayan Mochoh, Ketua Komisi Informasi Lampung Juniardi, praktisi pers dan pegiat pers mahasiswa, aktivis LSM, akademisi, profesional dan masyarakat umum.
Buku yang ditulis jurnalis, akademisi, dan budayawan di Lampung itu dijual Rp50.000 per eksemplar.
Adapun keuntungan penjualan buku itu akan disumbangkan untuk pembangunan pascakonflik di Waypanji, Lampung Selatan.
Sumber: Antara, Senin, 4 Februari 2013
No comments:
Post a Comment