March 8, 2007

Warahan, Sastra Tutur Lampung yang Terancam

"JIKA dilakukan pada siang hari, hujan rintik-rintik akan turun walau matahari bersinar dengan terik. Kami menyebutnya hujan panas. Lalu, jika dilakukan pada malam hari, hujan akan turun. Itulah tandanya," tutur Riagus Ria, pemerhati seni tradisional Lampung, tentang pengaruh magis yang muncul saat seorang pewarah (penutur warahan) memaparkan kisahnya.

MAGIS, karena untuk mampu mengisahkan cerita yang terdiri atas puluhan bait itu, seorang pewarah harus melakukan puasa mati raga.

"Melakukan puasa selama 40 hari. Setelah itu masih disambung lagi dengan puasa empat hari, dan masih dilanjutkan lagi dengan puasa dua hari dua malam tanpa makan dan minum. Tidak heran jika para pewarah dulu mampu menghafal kisah Radin Jambat dan mewarahkannya," tutur Riagus Ria lagi.

Ia sendiri mengalaminya, ketika Syahmin Ahyar Gelar Sutan Unjunan Paksi, ayahnya, mengisahkan Hikayat Radin Jambat. Kisah itu menceritakan tentang petualangan Radin Jambat, legenda tua rakyat Lampung. Dalam tradisi sastra lisan Lampung, kisah Radin Jambat ini merupakan kisah utama, sebuah masterpiece (adikarya).

Hikayat Radin Jambat berisi tentang kisah-kisah petualangan yang diwarnai cerita peperangan, percintaan, dan juga humor. "Yang menarik bagi anak-anak kala itu adalah peperangan saat Radin Jambat terdesak. Begitu hebatnya pewarah itu bercerita, semua seperti terpukau, terbelalak mendengar bahwa dengan pedangnya Radin Jambat menebas pepohonan, sehingga menyebabkan burung garuda mengeluh karena tak ada lagi tempat untuk hinggap," ungkap Riagus.

Kisah itu awalnya adalah petualangan Radin Jambat dalam mencari jodoh. Namun, bagi Imas Komariah, seorang seniman dan pemerhati seni di Lampung, kisah pencarian cinta Radin merupakan sebuah kisah reflektif dan pergulatan batin manusia dalam mencari keilahian. "Itu adalah kisah tentang manusia yang hendak bertemu dengan Yang Ilahi. Disebutkan dalam kisah itu tentang dewa-dewa," tuturnya.

Bagi anak-anak masa itu, menurut Riagus Ria, kisah lama begitu menarik perhatian, apalagi jika si pewarah mempunyai kekuatan magis yang seolah menyihir lewat lantunan kisah-kisah yang dipaparkan. Warahan yang dalam khazanah sastra dapat dikategorikan sebagai dongeng ini, memang dipaparkan dengan cara dilagukan.

"Dulu, pada malam hari, saat hendak tidur, bapak saya selalu mewarah. Kami, anak-anak ada di sekelilingnya sambil memijatnya. Kisah itu berhenti setelah bapak tertidur, dan kami pun juga tertidur. Kami meyakini itu juga akibat pengaruh magis pengisahan. Lalu esok malamnya diteruskan lagi. Sebelumnya bapak bertanya, kisah kemarin sampai apa, lalu diteruskan lagi. Kisah Radin Jambat sendiri biasanya selesai dikisahkan setelah empat hari empat malam," tutur Riagus.

Tak heran sebab setelah dituliskan kembali oleh Prof Hilman Hadikusuma, seorang ahli hukum adat Lampung, kisah Hikayat Radin Jambat terdiri atas 42 bait. "Hanya sayang bait ke 21 sedikit terpenggal," ungkap Riagus.

Selain Hikayat Radin Jambat, ada juga kisah lain seperti Betung Sengawan yang berkisah tentang penobatan gelar. Lalu ada juga kisah yang berbau fiktif, berbaur dengan kisah-kisah nonfiksi yang muncul dalam warahan bertema sejarah, seperti cerita tentang asal-usul Lampung yang berjudul Ompung Silamponga.

KATA warahan sendiri berasal dari kata wakhea yang dalam bahasa Lampung berarti cerita, dan akhah yang berarti maksud. Imas Komariah mengkaji, istilah warahan memiliki beberapa versi, yaitu wawarahan, warahan, dan aruhan atau ruhan. Wawarahan, menurut dia, lazim digunakan oleh masyarakat Lampung Pesisir (Sai Batin), sedangkan masyarakat Lampung Pepadun biasa menggunakan istilah warahan atau ruhan atau aruhan.

Kisah tutur itu biasanya disampaikan dengan cara dilantunkan dalam bahasa Lampung. Berbeda dari sastra lisan Lampung lainnya seperti dadi, pisaan, canggot, bubiti, dan sagata, pesan yang hendak disampaikan dalam warahan dikemas dalam cerita yang memiliki plot dengan tahapan-tahapan yang jelas.

Imas menyebutkan, berbeda dari sastra lisan yang umumnya ditampilkan dalam upacara adat saja. "Warahan dapat ditampilkan dalam setiap kesempatan, karena memang awalnya adalah dongeng dari orang tua kepada anak atau cucunya. Lingkupnya lebih terbuka dibandingkan dengan bentuk sastra lisan lain yang lebih terikat pada peristiwa atau perhelatan adat saja," paparnya.

Dikatakan, dalam kajian sejarah, ada kemungkinan warahan berkembang seiring dengan masuknya pengaruh Kesultanan Banten dan Islam di Lampung, terutama untuk masyarakat adat pesisir. Tetapi, menurut Riagus, warahan sudah mulai berkembang sebelum Banten datang.

Bahkan, menurut Riagus, warahan telah berkembang dalam komunitas masyarakat Lampung jauh sebelum masuknya pengaruh Islam di Lampung. "Pengaruh Islam di Lampung lebih banyak diserap oleh masyarakat adat Lampung Peminggir, sedangkan untuk masyarakat adat Pubian tempat warahan bermula pengaruh itu agak kurang," tuturnya.

Menurut Riagus, warahan bermula dari kawasan Way Kanan di kawasan Setegi. Mungkin saat ini masih ada pewarah-pewarah lama yang masih tinggal di sana.

"Mungkin di pedalaman-pedalaman. Saya hendak menyusurinya, tetapi yang jelas belum ada pengaruh dari Banten. Warahan sudah ada sejak saat nenek moyang masyarakat Lampung masih berada di kawasan Kerinci dan Pagarruyung, dan kemudian baru menyebar ke Way Kanan," tuturnya.

Hingga kini, warahan umumnya masih menggunakan bahasa Lampung Way Kanan. Warahan itu kemudian juga berkembang ke arah Sungkai di Way Kanan, Rantau Tijang-Pugung, Kabupaten Lampung Timur. Namun, ironisnya, warahan justru berkembang dalam masyarakat Lampung Pubian dibandingkan dengan Lampung Way Kanan.

Dalam pandangan Sutan Unjunan Paksi, mewarah sebagai alternatif pengajaran kepada para muridnya yang pada siang hari telah diajarnya pencak silat. Saat malam tiba dan pada murid itu beristirahat, Sutan Unjunan Paksi mewarah.

Kisah yang menjadi kegemaran para muridnya adalah kisah peperangan Radin Jambat. Selain menghibur, kisah itu memberi inspirasi bagi para murid dalam berlatih pencak silat.

WARAHAN, menurut Imas, awalnya adalah bentuk imbalan dari orang tua kepada anaknya. Agar anak tidak mengantuk saat memijat orang tua yang kelelahan, orang tua mendongengkan sebuah kisah seperti Puteri Petani yang Cerdik, Incang-Incang Anak Kemang, atau Si Bungsu Tujuh Bersaudara, atau dongeng lainnya.

Hal itu dibenarkan juga oleh Riagus Ria. Bahkan untuk memperseru kisah, si orang tua juga memperagakan apa yang tengah dikisahkannya. Sesekali dalam dongeng itu dilantunkan juga puisi atau syair yang sesuai dengan isi cerita.

Dalam kajiannya, Imas melihat warahan mengalami perubahan bentuk, isi, dan fungsi. Awalnya adalah sastra tutur, untuk konsumsi keluarga. Pewarah sengaja diundang ke rumah, umumnya pada sore hari. Mereka diundang tanpa imbalan apa pun, dan dilakukan hingga beberapa hari.

Umumnya untuk masyarakat Lampung Pepadun yang diceritakan adalah kisah Radin Jambat. Sementara, bagi masyarakat Lampung Pasisir kisah yang disampaikan beragam dan sesekali diiringi oleh petikan gambus lunik.

Pada periode tahun 1940-an, ketika berbagai kelompok dan pertunjukan sandiwara muncul atas prakarsa para pejuang, warahan masih tetap menjadi konsumsi keluarga saja, dan belum muncul dalam pertunjukan untuk umum. Selain karena jumlah pewarah yang terbatas, tak ada orang Lampung yang memang sengaja mempelajari warahan sebagai profesi.

Dalam kajian Imas, ada pula pewarah yang berkeliling dari kampung ke kampung untuk mewarah. Akan tetapi, kemudian menghilang, karena desakan radio dan televisi. Pada tahun 1970-1980, warahan berkembang menjadi teater tutur dan kemudian teater rakyat. Pada titik terakhir perkembangannya warahan justru kehilangan bentuk aslinya, kehilangan kemandiriannya.

Menurut Imas, pereduksian warahan menjadi teater rakyat terjadi pada era tahun 1980-an, ketika pemerintah membutuhkan media untuk menyosialisasikan program-program pembangunan. Pada masa itulah warahan berkembang menjadi seni pertunjukan.

"Namun sayang, nilai esensial dari warahan yang terletak pada diri si pewarah menjadi hilang. Bahkan, pewarah yang mestinya menjadi tokoh utama justru terpinggirkan, dan hanya menjadi pemanis saja," ujarnya.

Seiring makin berkembangnya budaya baru dan masuknya arus teknologi ke pedesaan, warahan mulai kehilangan pamor. Warahan yang berkembang menjadi teater pertunjukan itu justru kehilangan rohnya.

Minat generasi muda untuk mempelajari bentuk warahan asli pun sangat kecil, sedangkan para ahli warah pun sudah uzur. "Kami kehilangan para ahli warah yang tahu betul struktur kisah itu, yang paham betul dengan pakem-pakemnya, sehingga untuk mengembangkannya tidak bergeser dari cerita dan bentuk aslinya," tutur Imas.

Saat ini kondisi sastra lisan itu jauh lebih parah dibandingkan dengan nasib sastra lisan asli Lampung lainnya. Bahkan dibandingkan dengan dadi, sastra lisan asli Lampung, kondisi warahan jauh lebih parah.

"Jika untuk dadi kami masih memiliki Ibu Masnuna. Tetapi, untuk warahan tampaknya kami sudah sangat sulit menemukan kembali pewarah yang hebat," ungkap Riagus. (B Josie Susilo Hardianto)

Sumber: Kompas, Jumat, 11 Februari 2005

No comments:

Post a Comment