March 15, 2007

Pasar Luar Negeri Masih Sangat Terbuka

DENGAN sangat antusias, seorang eksportir lada asal Lampung mengemukakan, pasar lada hitam dan lada putih asal Indonesia, khususnya Lampung, masih sangat terbuka. Setidaknya, menurut Nonela, nama eksportir itu, setiap tahun pasar dunia membutuhkan sekitar 250.000 ton lada hitam.

Nonela mencatat bahwa pasar dunia belum mengalami kelebihan pasokan. Apalagi India sebagai salah satu penghasil lada hitam dunia ternyata juga menjadi salah satu negara yang mengonsumsi lada hitam dalam jumlah cukup besar.

"Setiap tahun, mereka membutuhkan 40.000 ton hingga 50.000 ton untuk konsumsi dalam negeri. Bahkan, mereka lebih mengutamakan pasar dalam negeri dibandingkan dengan pasar ekspor, apalagi jika harga di pasar luar negeri buruk," tutur Ela, nama panggilan Nonela, yang juga mengekspor lada hitam ke India.

Data Komunitas Lada Internasional menyebutkan, pada tahun 2003 produksi lada hitam dunia turun hingga 258.950 ton. Padahal sebelumnya, tahun 2002, produksi lada hitam dunia 272.912 ton. Pada saat itu produksi lada hitam asal India turun hingga 15.000 ton. Demikian juga lada hitam produksi Brasil turun hingga 11.000 ton, dan Malaysia pun mengalami penurunan hingga 3.000 ton.

Sebaliknya, produksi lada hitam asal Indonesia naik 10.000 ton, dari 25.000 ton pada 2002 menjadi 35.000 ton pada 2003.

Kemerosotan produksi memengaruhi angka ekspor lada. Total volume ekspor lada hitam dunia pada 2003 hanya 188.500 ton, atau berkurang 3.000 ton dibandingkan dengan volume ekspor tahun sebelumnya yang mencapai 191.500 ton.

Kala itu, ekspor lada hitam asal Indonesia justru meningkat tajam hingga 57 persen, dari 21.000 ton pada 2002 menjadi 33.000 ton pada 2003. Konsumsi dalam negeri pun sedikit meningkat, dari 5.728 ton pada 2002 menjadi 6.000 ton pada 2003.

Ela mengungkapkan, tahun ini diperkirakan Brasil akan memproduksi sekitar 50.000 ton lada. "Sekitar 10.000 ton akan dijadikan lada putih," tutur Ela.

India diperkirakan tetap memprioritaskan pasar dalam negeri, sedangkan Vietnam diperkirakan menghasilkan lada hingga 85.000 ton bahkan lebih. Sedikitnya 80.000 ton dari total produksi lada hitam akan diserap oleh pasar dunia.

Meskipun demikian, menurut Ela, peluang Indonesia untuk terlibat dalam perdagangan lada hitam dunia masih sangat terbuka. "Nyaris tak ada kendala dalam perdagangan di luar negeri. Bahkan dibandingkan dengan Brasil, kita lebih baik karena Brasil masih punya masalah dengan salmonela," tutur Ela.

Ela menambahkan, dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki masalah pada kinerja petani. Areal lada yang dimiliki petani di Lampung sebagai produsen utama lada hitam asal Indonesia relatif kecil. "Selain itu, budaya petani kita kurang mendukung. Produktivitas mereka kurang jika dibandingkan petani dari Vietnam. Di sini, kalau harga turun, mereka malas mengerjakan kebun mereka. Kadang, anggapannya toh tidak diapa- apakan tetap menghasilkan," tutur Ela.

Selain itu, secara geografis posisi Lampung sebenarnya tidak cocok untuk budidaya lada, juga varietas lada yang ditanam tidak mendukung. "Katanya kalau dipupuk justru kurang baik," tutur Ela.

Meskipun demikian, lada hitam produksi Lampung sangat dikenal di luar negeri. "Meskipun bijinya kecil, tetapi aroma dan rasanya sangat kuat sehingga banyak diminati," ungkapnya.

Keunggulan itu, ditambah dengan besarnya pasar dunia, merupakan prospek yang masih dapat digarap oleh Indonesia, khususnya Lampung. "Lada hitam asal Lampung menyuplai lebih dari 90 persen produksi lada hitam dan ekspor lada hitam nasional," tutur Sumita, Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI).

Terbukanya pasar luar negeri itu tentu diharapkan dapat memacu kinerja para petani lada nasional. Hanya saja, sebagaimana yang terjadi saat ini, kinerja mereka terhalang oleh minimnya modal dan kebiasaan buruk. Meskipun ada juga petani lada yang tetap tekun merawat tanaman mereka.

Mungkin, saat ini pemerintah dapat mulai membantu, entah dengan modal atau upaya lain, agar kinerja petani lada dapat ditingkatkan. Petani membutuhkan modal sedikitnya Rp 5 juta untuk mulai mengonversi lahan mereka, atau sekitar Rp 1,6 juta untuk merawat tanaman lada mereka yang telah menghasilkan. Di samping itu, tentu perlu membenahi lagi kebiasaan petani yang kurang baik dalam proses bercocok tanam. (jos)

Sumber: Kompas, Senin, 6 September 2004

No comments:

Post a Comment