March 29, 2007

Transmigrasi: Menang dan Kalah di Tanah Seberang...

-- Ahmad Arif

PADA awalnya semua penuh harap ketika meninggalkan Pulau Jawa yang sesak menuju Pulau Sumatera. Sebagian memang bisa memenuhi harapan itu, sukses menjadi juragan, tetapi tak sedikit yang pulang lagi ke Jawa dengan kepala menunduk.

Kerja keras dan kemampuan beradaptasi dari pola pertanian sawah ke perkebunan menjadi tabir pembatas yang memisahkan apakah pendatang itu bisa menjadi pemenang atau pihak yang kalah di tanah seberang.

Kisah sukses, misalnya, dialami oleh para transmigran di Satuan Kelompok Perumahan (SKP) D, Desa Rambah Muda, Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Sebutlah Haji Gholib (51) dan istrinya, Hajah Munasarah (41). Dengan modal sepeda onthel (kayuh), uang saku dari pemerintah Rp 7.000, dan utangan dari keponakannya Rp 50.000, kini mereka memiliki 40 hektar lahan perkebunan sawit dan karet, tiga toko, dua rumah yang salah satunya di Jawa, serta berhasil membiayai keenam anaknya hingga perguruan tinggi.

Gholib ngotot menanam sawit di lahannya seluas satu hektar walau sebenarnya tanah itu oleh pemerintah diperuntukkan sebagai lahan tanaman pangan. "Sawah tak menjanjikan karena pemerintah tak menyiapkan irigasi yang baik. Lagi pula, harga padi selalu jatuh saat panen raya," katanya.

Akhirnya, perhitungan Gholib terbukti ketika harga kelapa sawit naik dengan pasti dari tahun ke tahun, dan saat ini menjadi sekitar Rp 950 per kilogram. Ini jugalah yang membuat warga transmigran di Desa Rambah Muda mengikuti jejak Gholib.

Kepala Desa Rambah Muda, As’ad (43), mengatakan, para transmigran di desanya hampir semuanya sukses secara materi. "Setiap hari rata-rata ada lima warga yang datang untuk mengajukan kredit membeli sepeda motor. Setiap keluarga punya dua hingga tiga sepeda motor. Banyak yang punya mobil, membangun rumah di Jawa, dan menyekolahkan anak-anak di Jawa," kata As’ad.

Keberhasilan para transmigran asal Jawa ini bahkan telah memicu terbentuknya kabupaten baru, Rokan Hulu, yang beribukotakan Pasir Pengaraian. "Sebelum tahun 1980-an, Pasir Pengaraian masih berupa hutan belantara. Setelah kedatangan transmigran, kota ini tumbuh pesat. Lahirnya Rokan Hulu menjadi kabupaten baru juga karena transmigran itu," kata Bahari (54), warga asli Pasir Pengaraian.

Seperti para transmigran di Rokan Hulu, para transmigran di Lampung—termasuk program transmigrasi pertama di Indonesia—juga kebanyakan berjaya karena perkebunan. Salah satunya adalah Sudarma Wijaya (51), generasi kedua dari keluarga transmigran asal Jawa Barat, yang berhasil menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Ayah Sudarma, almarhum Tanu Wijaya, adalah transmigran dari Desa Cisempur, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang datang ke Desa Tri Budi Syukur pada tahun 1950. Ia datang bersama 50 orang lainnya, termasuk sebagian dari program Biro Rekonstruksi Nasional. Program ini merupakan kebijakan Presiden Soekarno untuk mengembangkan daerah-daerah yang dinilai belum berkembang.

Tanu Wijaya, yang menjadi lurah pertama di desa transmigran, memelopori penanaman kopi begitu tiba di Lampung. Pada tahun 1957, Desa Tri Budi Syukur untuk pertama kalinya mengekspor kopi. Berkat jasa transmigran jugalah Lampung dikenal sebagai sentra penghasil kopi di Indonesia.

Desa Bumi Harjo, Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, juga bisa menjadi contoh keberhasilan para transmigran. Karwan (57), salah satu transmigran asal Banyumas, Jawa Tengah, yang menjadi ketua rombongan, mengatakan, para transmigran mendapat jatah tanah dua hektar. Mereka diwajibkan menanam palawija dan padi ladang. Namun, kondisi tanah menyebabkan hasil panen sangat sedikit.

"Hampir semua lelaki kemudian merantau ke Palembang untuk menambah penghasilan, sedangkan keluarganya ditinggal di sini. Bahkan, sebagian transmigran kembali ke Jawa," kata Karwan.

Gagal beradaptasi

Memang tidak semuanya mereguk manis hidup di lokasi transmigrasi. Sekitar 200 dari 2.000 keluarga transmigran di SKP D, Desa Rambah Muda, kembali ke Jawa dengan kepala menunduk. "Kebanyakan yang gagal karena tidak cepat mengubah lahan sawah menjadi perkebunan sawit atau karet," kata As’ad.

Di Desa Batubetumpang yang berada di Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung, transmigran yang masih bertumpu pada pertanian padi juga tidak bisa lepas dari kemiskinan.

Sejak tahun 1990, pemerintah menempatkan 1.280 keluarga transmigran Jawa, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian kecil penduduk lokal Bangka. Setiap keluarga difasilitasi rumah papan sederhana, area pekarangan seluas setengah hektar, serta satu hektar sawah.

Menyusuri Desa Pancatunggal, 17 tahun kemudian tanah harapan tersebut ternyata masih jauh dari kemakmuran. Jalanan masih berupa tanah penuh lubang. Hunian para transmigran juga belum banyak berubah. Papan-papan rumah terlihat kusam dan lapuk, pertanda mereka belum mampu memperbaikinya.

Harapan para transmigran untuk dapat bercocok tanam padi memang sejak awal tidaklah mudah. "Bukannya kami malas, tetapi mencetak sawah memang sudah di luar batas kemampuan kami. Kami tidak mungkin mencabut tunggul-tunggul pohon yang ada di tengah sawah tanpa bantuan alat berat," ucap Sekretaris Desa Pancatunggal, Hamzah.

Sejak pertama kali datang pada tahun 1992, petani Pancatunggal hanya mengalami dua kali masa panen raya, yakni tahun 2002 dan 2007. Sedangkan tahun-tahun lainnya banyak mengalami kegagalan karena berbagai faktor, seperti cuaca, ketersediaan air, hama, serta keterlambatan penyaluran bantuan benih dan pupuk.

Di tanah seberang, para transmigran dibiarkan berjalan sendiri karena pemerintah seperti menutup mata begitu mereka tiba di lokasi transmigrasi. Hanya mereka yang mau bekerja keras dan cepat beradaptasilah yang mampu menjadi pemenang.... (ART/HLN/WAD/AND)

Sumber: Kompas, Kamis, 29 Maret 2007

No comments:

Post a Comment