-- Helena F Nababan
"Telah meninggal Senthong, satu gajah PLG (Pusat Latihan Gajah) berusia 37 tahun tadi sore pukul 17.00. Senthong segera diotopsi malam ini untuk diketahui penyebab kematiannya."
Pesan singkat itu masuk melalui layanan short message service (SMS) awal Januari 2007. Setelah ditelusuri, gajah sumatera atau Elephas maximus sumatranus—ikon PLG Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung itu—mati akibat cacingan.
Ini sebuah ironi lingkungan. Satu sisi habitus belantara tak terlestarikan, tetapi satwa penghuninya yang "dipingit" boleh dikata ditelantarkan.
Senthong tak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya PLG TNWK pada tahun 1985. PLG dibangun sebagai bagian dari penetapan TNWK sebagai Suaka Margasatwa (SM) tahun 1936 berdasarkan Surat Penetapan Residen Lampung Mr Rook Maker yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda 26 Januari 1937 Nomor 14 Stbl. 1937 Nomor 38 dengan luas 130.000 hektar.
Kepala Subbagian Tata Usaha TNWK, Tachrirudin Hasan, mengemukakan, Senthong merupakan salah satu dari 79 gajah liar yang berasal dari gugusan bukit barisan di Lampung Barat dan dari Lampung Timur dipindahkan ke TNWK pada tahun 1985. Untuk menjinakkan gajah liar itu, dipanggillah mahout (pawang gajah) dari Thailand. Ke-79 gajah dilatih selama tiga bulan.
Keberadaan Senthong dan 78 gajah lainnya pada tahun 1985 itu seolah ingin membuktikan bahwa upaya penyelamatan gajah yang terdesak habitatnya bisa dilakukan. Namun apa daya, Senthong yang ingin diselamatkan dari kepunahan karena terdesak justru mati karena cacingan. Sekarang populasi gajah di PLG tinggal 60 ekor.
Semua sakit
Memasuki kawasan PLG di TNWK, pengunjung bisa menyaksikan puluhan gajah jinak sedang diangon (digembalakan) di areal berumput sekitar PLG. Dilihat sepintas, gajah-gajah itu tampak sehat. Namun, coba dekati dan amati secara seksama. Gajah-gajah itu sama sekali tidak sehat. Keriput kulit yang membentuk kantong di perutnya terlihat menggantung, sedangkan tonjolan tulang rusuk di punggung hewan besar itu begitu jelas. "Bagaimana mau terawat dan sehat? Dana yang turun dari pusat hanya cukup untuk memberi pakan gajah berupa pelepah kelapa selama delapan bulan," keluh Soedarmadji, Kepala PLG TNWK.
Dana pakan itu pun sudah sangat jauh berkurang dibandingkan dana pakan tahun 2005. Pada tahun 2005 setiap gajah mendapat jatah Rp 12.500 per hari. Pada tahun 2006, setiap ekor hanya mendapat Rp 10.000 per hari. Coba bandingkan dengan Taman Safari Bogor. Jatah pakan seekor gajah Rp 50.000 per hari.
"Otomatis, jumlah pakan yang bisa mereka makan juga berkurang," kata Soedarmadji. Padahal, idealnya, setiap ekor gajah harus mendapat pakan seberat 10 persen dari berat badannya. Jika seekor gajah berbobot 1.000 kilogram, setidaknya dia harus mendapat pakan 100 kilogram. Kenyataan di lapangan berbicara lain.
Seorang mahout di PLG TNWK, yang minta tidak disebutkan namanya, secara blak-blakan bercerita, gajah yang diasuhnya berbobot sekitar 2 ton. Namun, setiap hari gajah asuhannya hanya mendapat pakan pelepah kelapa 20-30 batang pelepah. "Jelas tidak cukup. Makanya gajah saya kurus dan kulitnya semakin keriput."
Bahkan, dana pakan 2006 yang seharusnya turun sejak awal 2006 baru diterima pengelola TNWK per Mei 2006. Alhasil, gajah-gajah itu pun harus rela "berpuasa" makan. Untuk menyiasati keadaan, pengelola meminta para pawang untuk mengangon gajah ke lokasi di sekitar PLG yang masih berumput supaya gajah-gajah mendapat pakan lebih.
Kepala TNWK Mega Haryanto mengatakan, sejatinya pemberian makanan berupa pelepah kelapa itu hanya dimaksudkan sebagai snacks alias pengganjal perut gajah di waktu malam. Namun, dengan kondisi lingkungan yang waktu itu kering dan tidak bisa menyediakan pakan rumput—akhir 2006 di seluruh Indonesia terjadi musim kemarau ekstrem sehingga sumber air kering dan pakan rumput sulit didapat—pelepah kelapa akhirnya menjadi makanan utama gajah.
Konservasi gagal
Christopher Stremme DVM, Manager Pengawasan Kesehatan Gajah Veterinary Society for Sumatera Wildlife Conservation (VESSWIC) yang juga membantu mengawasi kesehatan gajah- gajah PLG TNWK, mengatakan, kondisi ini tidak memenuhi aspek konservasi. Dalam kegiatan konservasi, selain pakan utama rumput, setidaknya pengelola PLG juga menyediakan pakan tambahan seperti pisang, beras merah, dan vitamin. Gajah-gajah seharusnya juga mendapat pengobatan dan pemeriksaan kesehatan minimal tiga sampai empat kali setahun. Sekarang ini, akibat keterbatasan dana, jangankan pemeriksaan dan pemberian obat, pemberian pakan tambahan saja sulit dilakukan.
Dari pemeriksaan yang dilakukan tim WCS dan tim dokter Suaka Rhino Sumatera (SRS) TNWK yang dipimpin konsultan veteriner SRS TNWK, drh M Agil, pada awal September 2006, membuktikan, ke-60 gajah di PLG itu cacingan dan malnutrisi. Gajah-gajah itu mengalami hypo-protenemia atau kadar protein dalam darah rendah.
Menurut Christopher, dalam suatu kawasan konservasi jumlah 60 gajah terlalu banyak. Namun, apabila pemerintah—dalam hal ini Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan—serius, aspek konservasi seperti kandang, lingkungan, pendidikan mahout, upah mahout, pakan gajah, obat, hingga aspek reproduksi gajah, seharusnya juga diperhatikan.
Kenyataan yang bisa dilihat, gajah-gajah di PLG TNWK diperlakukan berkebalikan dari jenis dan sifat gajah yang asli. Bagaimana tidak? Pagi-pagi gajah- gajah itu dimandikan di kolam gajah, kemudian diangon di padang "berumput" untuk cari makan. Sore hari digiring pulang, untuk istirahat dan diberi pelepah kelapa tanpa aktivitas.
Sungguh suatu kondisi yang berkebalikan. Sebab gajah adalah hewan yang beraktivitas di malam hari. Dari sisi teori memperlakukan gajah, gajah-gajah itu seharusnya dilibatkan dalam suatu pekerjaan supaya gajah- gajah itu bergerak sehingga sehat. Yang terjadi, dibiarkan begitu saja.
Para mahout hanya membawa gajah mandi pada pagi hari, mengangonnya, kemudian meninggalkan gajah-gajah di lapangan, sampai saat kembali.
Menurut Christopher, rendahnya kepedulian mahout pada kesejahteraan gajah-gajah berhubungan erat dengan gaji para mahout yang rata-rata di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Dengan gaji kecil, para mahout lebih banyak keluar dari PLG untuk mencari tambahan pendapatan, sementara gajah-gajah yang seharusnya dirawat dan dipelihara, ditinggal.
Interaksi antargajah supaya bisa terjadi kehamilan juga belum diperhatikan. Hal itu menyebabkan rendahnya angka kelahiran di PLG TNWK. Di tahun 2006 baru terjadi dua kali kelahiran bayi gajah.
Kondisi makin memprihatinkan, selain karena tidak sesuainya pakan, obat-obatan, dan minimnya pemeliharaan, lingkungan kandang sekitar tempat gajah-gajah tinggal pun belum memenuhi syarat. Kandang gajah yang dimaksud pengelola hanya berupa tonggak-tonggak beton dengan jarak sekitar 10 meter antargajah.
Meski sekarang kondisi kandang sudah diperbaiki dan ditambah kanal-kanal untuk menghindarkan terjadinya serangan gajah liar, di kandang berupa kawasan tanah kosong luas itu gajah melakukan semua aktivitasnya. Kandang demikian berpotensi membawa penyakit bagi gajah, terutama cacingan.
Soedarmadji menegaskan, secara tempat, PLG sudah pas sebagai kawasan penjinakan dan pelatihan gajah-gajah liar, karena di situlah habitat asli mereka. "Namun, sebagai kawasan konservasi lanjutan, apalagi wisata, PLG belum siap. PLG memerlukan sarana untuk gajah maupun pengunjung, kandang yang layak, pengobatan yang teratur, dan tentu saja pakan yang layak bagi gajah."
Koordinator Elephant Project Wildlife Conservation Society Indonesia Programme (WCS-IP), Donny Gunaryadi, mengatakan, apabila PLG TNWK hendak dikembangkan sebagai suatu kawasan konservasi, hendaknya pengelola TNWK berpikir mengenai kecukupan sumber daya manusia dan animal welfare dari gajah-gajah itu.
Sebagai kawasan konservasi gajah sumatera, sebaiknya PLG tidak perlu mengurusi pengunjung. Tidak seperti sekarang di mana pengelola PLG masih saja kerepotan dan kebingungan bagaimana menjamu tamu-tamu melalui atraksi gajah sehingga bisa menarik pengunjung.
Mega Haryanto mengatakan, PLG TNWK tengah disiapkan untuk menjadi kawasan konservasi gajah sumatera sesungguhnya.
Akan tetapi, dengan penurunan populasi gajah dalam 20 tahun terakhir sekitar 1.000 ekor, dan 4 harimau sumatera tiap tahun dibantai pada kurun 2003-2006, kita tidak yakin Lampung masih punya keunikan alam dan satwa di masa depan.
Sumber: Kompas, Rabu, 28 Maret 2007
No comments:
Post a Comment