January 24, 2019

Kumpulan Orang-Orang ”Gila”

Oleh Hapris Jawodo


BAGI saya, penggalan kehidupan di Teknokra Unila selama empat tahun (1986-1990) merupakan catatan yang membekas sangat dalam. Selama di sini, semua pengalaman sebagai seorang mahasiswa rasanya sangat lengkap. Pun bergudang-gudang bekal ilmu, wawasan, dan pengalaman, yang kemudian menjadi modal penting pasca lulus kuliah.

Kehidupan di kampus ibarat di surga. Di sini, saya punya kawan yang seperti saudara. Di sini saya punya dosen-dosen yang bersikap seperti sahabat. Di sini saya kenal banyak mahasiswa, dosen, bahkan karyawan dan Satpam Unila, di mana mereka juga memberi akses yang sangat luas—yang orang lain belum tentu mendapatkannya.

Pun bisa dapat honor bulanan, makan gratis (meski seringnya nasi tempe, nasi telor ”mahaaal”!), sering dapat undangan acara (berarti ada ”perbaikan gizi”), ada vespa redaksi yang bisa dipinjam ”ngapel”, bisa main biliar hingga tengah malam (milik PR III, tapi bola dan dan stiknya disimpan di Teknokra), bisa telepon sepuasnya dari ruangan PR III ”Kyay” Rizani Puspawijaya (harus ce-es dulu dengan Selamet, penjaga gedung BKK), dan lain-lain, yang untuk ukuran mahasiswa tergolong ”mewah”.

Belum lagi penghasilan tambahan dari menulis di koran-koran daerah, dapat hadiah lomba menulis. Nah, apalagi coba kurangnya! (Sebenarnya sih tetap saja kurang, karena saya memang berasal dari keluarga pas-pasan, kalau disebut ”kekurangan” nanti Tuhan bisa marah).

Dari banyak pengalaman itu, ada satu kata yang tetap membekas hingga sekarang, yaitu ”gila”. Teknokra bisa eksis karena di sini ada orang-orang ”gila”. Istilah itu pertama kali saya dapat dari Yoke Muelgini dalam sebuah sarasehan ulang tahun Teknokra, yang kemudian jadi judul dalam laporan utama yang saya garap (mungkin sekitar April 1987). Kak Yoke juga yang mengusulkan rubrik ”Etos Kita”.

Hingga sekarang pun, saya masih sangat menyukai kata itu. Bagaimana tidak. Andai sekitar tahun 1977, tidak ada orang ”gila” seperti Pak Muhajir Utomo, Bang Thoha Sampurnajaya, dan lain-lain, mungkin Teknokra tidak akan lahir. Andai tidak ada orang ”gila” seperti Eddy Rifai, Yuswanto, dan lain-lain, mungkin tidak ada Cendekia, yang setelah ”disemprit” oleh Departemen Penerangan, kemudian berubah jadi Teknokra.

Saya juga jadi berpikir, kalau ingin maju, organisasi mana pun, baik sosial, bisnis, termasuk negara, memang harus ada orang ”gila”-nya. Kalau tidak ada pejuang-pejuang ”gila”, mana mungkin republik ini bisa merdeka. Kalau pemimpinnya hanya berkarakter ”biasa-biasa” saja, pastilah negara ini cuma begini-begini saja. Kalau tidak ada orang ”gila”, mana mungkin ada air putih yang harganya lebih mahal dari bensin.

Banyak contoh yang membuat persepsi saya tentang ”gila” menjadi sangat kuat. Itulah kemudian yang membuat saya bersyukur karena bisa bergabung dengan orang-orang ”gila” di Teknokra. Tapi, di mana pun dan kapan pun, yang ”gila” biasanya tidak banyak.

Berawal dari Cerpen

Saya belajar menjadi orang ”gila” di Teknokra sekitar tahun 1986, yang waktu itu masih bernama Cendekia. Kalau saja saya tidak menulis cerpen (saya lupa judulnya), mungkin saya tidak pernah berurusan dengan orang-orang Cendekia.

Pokok persoalannya, dalam boks redaksi disebutkan ”bagi yang tulisannya dimuat, akan diberikan imbalasan yang sesuai”. Nah lumayan, pikir saya. Andai dapat Rp25.000, berarti bisa untuk biaya hidup anak kos, bisa beli buku, menraktir kawan, dan lain-lain.

Karena itulah saya, yang waktu itu masih tergolong mahasiswa”normal”, mendatangi markas Cendekia di Gedung BKK (sekarang namanya Gedung Kemahasiswaan). Di sini tidak ada yang saya kenal. Infonya, minta duit honornya di bendahara atau siapalah yang saya kurang begitu kenal. Belakangan, yang saya hubungi adalah Yuswanto (sekarang sudah doktor, ketua jurusan pasca sarjana hukum Unila).

Rupanya tidak semudah yang saya kira. Setelah sana-sini, sana-sini, akhirnya dapatlah honor sebesar Rp2.500. Yah...tidak sebesar yang saya kira. Jadi, pupuslah segala angan-angan sebelumnya. Tapi, alhamdulillah, persoalan makan anak kos selama dua hari selesai.

Entah bagaimana ceritanya, saya kemudian tertarik untuk bergabung dengan Cendekia. Sepertinya, sekitar tahun 1986. Saat itu belum ada namanya pelatihan menulis yang terjadwal dan sistematis. Pokoknya harus rajin bertanya dan membaca koran yang sudah jadi.

Seingat saya, liputan pertama saya adalah Opsek mahasiswa baru. Senior saya yang mengajak kesana-kemari adalah Pramudya Mukhtar, yang sebelumnya saya ketahui juga sebagai seorang pembaca puisi dan pemain teater (sudah almarhum).

Liputan saya kemudian tidak dimuat di Cendekia, tetapi di tabloid baru bernama Teknokra, yang kop namanya berwarna oranye. Begitu terbit, nama saya tercantum di bagian akhir tulisan. Wah, rasanya bangga banget.

Di sinilah saya kenal dengan Eddy Rifai, dosen Fakultas Hukum yang jadi Pemimpin Umum Teknokra, Hersubeno Arief, pemimpin redaksi; MZ Hendra Caya, sebagai pemimpin usaha. Ada juga beberapa nama yang sudah bergabung—selain yang sudah disebut tadi—di antaranya Parsah Jamseri, MA Suharto, Maspril Aries, Hermansyah, Eka Susanto, Iwan, Machsus Thamrin, Husna Purnama, dan lain-lain (mohon maaf tidak tersebut semuanya).

Setelah bergabung, saya banyak bermarkas di kantor redaksi Teknokra, di lantai II Gedung BKK. Ke Fakultas Pertanian hanya kalau kuliah dan praktikum. Ternyata sangat mengasyikkan. Melakukan liputan, menulis, ngerumpi, diskusi, dan berbagai kegiatan yang diselenggarakan Teknokra, membuat urusan kuliah tercecer.

”Kegilaan” awal mendapat pelajaran yang sangat pahit. Dua mata kuliah pada semester itu tidak lulus! Ini fakta, yang nyaris membuat saya tidak percaya. Bagaimana tidak, track record akademis saya sejak SD hingga SMA boleh dibilang cemerlang. Berarti, saya ”gila”-nya belum bener!! Ini masalah besar! Saya lalu dipanggil dosen pengajar dan pembimbing akademis. Diberi nasihat dan diminta banyak berdiskusi dengan aktivis-aktivis senior.

Saya tidak putus asa dan tetap kembali beraktivitas di Teknokra. Entahlah, mungkin saya sudah terkena virus anak-anak Teknokra (sebutan waktu itu). Apalagi, kawan-kawan sudah sudah mulai memelesetkan ”kegiatan jangan mengganggu kuliah” menjadi ”kuliah jangan mengganggu kegiatan”.

Secara perlahan, saya sudah bisa menyesuaikan diri dengan orang-orang ”gila” di sini. Walaupun, kalau dihitung-hitung secara waras, waktu saya di koran kampus jauh lebih banyak ketimbang waktu saya mengurusi kuliah di Fakultas Pertanian. Sampai-sampai orang tidak tahu, saya mahasiswa fakultas apa. Kalau ada yang tanya, saya bilang saja: ”fakultas teknokra”.

Bayangkan, waktu itu koran terbut dua minggu sekali. Untuk sebuah topik berita, dengan nara sumber lebih dari satu, yang belum tentu bisa langsung ketemu, plus membaca referensi, lalu menuliskannya bukanlah sesuatu yang mudah (jangan bayangkan seperti wartawan yang sudah ”jadi”). Belum lagi harus kuliah, praktikum dan membuat laporan-laporannya, tugas kuliah, dan lain-lain. Urusan membuat laporan, di Fakultas Pertanian tergolong paling banyak.

Saya bayangkan, untuk ukuran pers umum saja, dengan jumlah personel yang lebih banyak, terbit dwimingguan tidaklah ringan. Padahal, mereka bekerja full. Lha pengelola Teknokra tugas utamanya adalah kuliah. Meski yang tercantum di boks redaksi banyak, tapi yang mau berjibaku biasanya hanya beberapa gelintir. Inilah yang masuk kategori ”gila”.

Karena itu, menginap di markas Teknokra sudah jadi hal rutin, termasuk belajar bila esok hari ada kuis atau ujian semester. Pulang ke tempat kos hanya ganti pakaian saja. Apa boleh buat, perlengkapan mandi juga harus ada di markas. Mandinya kadang di Gedung BKK, kadang di Fakultas Pertanian. Tergantung, kamar mandi mana yang ada airnya.

Nah konyolnya, karena lupa, kadang sikat masih terselip di kantung celana belakang. Itu pula yang membuat saya sempat diledek Bu Dr. Mintarsih Adimiharja ketika kuliah di Gedung A. Saat naik ke bagian atas, ”Singa Betina” ini (begitu julukan saya atas keberanian Beliau dalam mengambil keputusan, kebetulan bintangnya juga Leo) memanggil saya lalu bilang, ”Hapris, yang di celana belakang kamu itu sikap gigi ya?”. Keruan, ruang kelas langsung gerrr...

Pengalaman Wawancara

Bu Min—begitu sapannya—adalah juga Dekan FP waktu itu. Kalau saya wawancara, Beliau lebih banyak ngajak ngobrol ngalor-ngidul, sambil menandatangani berkas-berkas. Sekali-sekali Beliau juga mengetes wawasan saya (dengan pura-pura lupa) atas topik yang sedang kami bahas. Karena itu, sebelum wawanacara, saya harus menguasai bahan dulu.

Berbeda dengan Rektor Unila Prof. Margono Slamet. Setelah basa-basi sebentar, biasanya langsung ke topik. Jawabannya sangat runut, sistematis, menggunakan bahasa Indonesia yang benar, intonasi titik-komanya sangat jelas, sehingga apa yang diucapkan ibarat membacakan teks yang sudah dipersiapkan. Mungkin karena Beliau pakar komunikasi, jadi paham betul apa keinginan media dan apa yang harus disampaikan.

Pak Margono sangat memperhatikan isi Teknokra, bahkan hingga detail. Saya sempat dengar dari salah satu stafnya, Beliau akan menggarisbawahi kalimat-kalimat yang dianggap penting. Saya sempat bangga ketika, tulisan saya atas rawannya pencurian di Unila langsung direspons: sistem keamanan ditata lagi dan Satpam dibelikan beberapa sepeda patroli (jangan berpikir motor seperti sekarang). Wah bangganya, apalagi para Satpam pun merasa saya bantu...

Ada juga pengalaman lucu dengan Dr. Muhadjir Utomo, yang baru pulang dari Amerika. Saya sudah sering mendengar nama besarnya, tapi belum pernah melihat orangnya. Ketika akan wawancara, saya coba cari di antara dosen-dosen yang sedang ada acara di Fakultas Ekonomi. Sekilas saya diberi tahu oleh seorang dosen. Dari jendela, Pak Muhajir hanya terlihat kepalanya saja.

Setelah keluar ruangan, saya cegat dan salami. Saya sangat kaget, karena bayangan saya tentang sosok Pak Muhajir yang berbadan tinggi-besar, ternyata tidak seperti aslinya: kecil, pendek, hitam, keriting....(sorry Pak). Sambil bercanda, akhirnya kami ngobrol akrab sambil wawancara di ruangannya. Beliau tampaknya sangat senang bisa melihat kembali peninggalan sejarahnya, Teknokra, hidup kembali.

Sikap Pak Muhajir sangat egaliter. Itulah yang membuat kami kemudian akrab, baik saat menjadi pengurus Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Lampung maupun saat Beliau menjadi Rektor Unila. Bahkan hingga sekarang.

Jadi wartawan kampus memang banyak dinamikanya. Kami bisa akrab dengan dosen-dosen maupun pejabat kampus (umumnya masih berlanjut hingga saya lulus). Karena di Teknokra pula, saya bisa banyak menambah wawasan dan pergaulan di luar kampus. Saya bisa mengenal desa-desa di Lampung, karena berkeliling dengan Pak Sunarto DM (sekarang sudah guru besar  dan jadi PR III Unila) dan Tim BP KKN Unila yang meninjau ke lokasi KKN mahasiswa. Bahkan hingga bermalam beberapa hari.

Saya juga bisa bertemu dengan Menpora Akbar Tanjung di ruangannya, di Jakarta, ketika bersama Hersubeno cs beraudiensi sebelum Kongres IPMI di Bandarlampung (akhirnya gagal karena ada peristiwa GPK Warsidi-Talangsari). Yang lucu, ada di antara kami yang kakinya terjepit lift (maklum, belum pernah). Saya juga bisa mengenal Bang Agusman Effendi (dulu sekjen IPMI, pengusaha, dan belakangan jadi politis Golkar).

Masih dalam rangka tugas Teknokra, saya juga bisa akrab dengan para aktivis pers mahasiswa yang berkumpul di Universitas Indonesia. Saat itu, saya berangkat bersama Umi Nisihara dan Ade Munajat. Boleh dibilang, saya menguasai forum, karena soal tulis-menulis dan mengelola koran, Teknokra-lah yang paling eksis.

Yang juga cukup berkesan, saya bersama Aak Eddy Rifai dkk sempat diterima Gubernur Lampung Poejono Pranyoto di ruangan kerjanya untuk wawancara. Sebagai mahasiswa, siapa sih yang tidak senang bisa bertemu dengan orang nomor satu di Lampung. Apalagi foto-fotonya waktu itu dipasang di koran dan ditempel di papan pengumuman Gedung BKK, he..he..he...

Sebenarnya banyak cerita lucu lainnya. Tapi, karena sudah diceritakan rekan-rekan seperjuangan, saya tak perlu lagi mengisahkannya.

Pondasi Kehidupan

Teknokra, bisa dibilang, merupakan pondasi awal bangunan kehidupan saya. Di sinilah saya mulai menggeluti dunia jurnalistik, belajar memanaje pekerjaan, membina relationship, memahami persoalan sosial-ekonomi-politik, mengambil sikap, bekerja keras, dan menghargai orang tanpa memandang status sosialnya.

Saya beruntung berkumpul dengan orang-orang ”gila”, yaitu orang-orang yang bisa berbuat lebih dari yang seharusnya (saya tak ingin narsis dengan menyebut mereka sebagai orang-orang ”luar biasa”). Hebatnya lagi, kami sudah merasa seperti keluarga dan menjaga kebersamaan, sehingga kerja gila itu terasa ringan.

Saya beruntung, Teknokra telah memberikan sesuatu yang kemudian menjadi jalan kehidupan saya. Ketika banyak lulusan sarjana puisng mencari kerja, saya yang masih mahasiswa sudah dipanggil Lampung Post untuk jadi wartawan. Tanpa tes. Rupanya, dari 73 pelamar sebelumnya, tidak ada yang ”siap pakai”.

Saya diminta datang, ngobrol sebentar dengan Bang Kolam Pandia (Redaktur Eksekutif), lalu teken perjanjian kerja di Bagian Personalia. Padahal, sebelumnya saya tidak boleh melamar karena belum punya ijasah. Alhamdulillah, tiga bulan setelah bekerja, saya ujian sarjana. Saya mungkin tidak begitu asing di mata mereka karena sering menulis (juga ambil honor) dan tahu aktivitas saya di pers kampus.

Saya beruntung, meski saya sudah di pers umum, tapi masih sering diminta membina anak-anak Teknokra untuk jadi orang ”gila”. Paling tidak hingga tahun 2000 saya rutin menjadi nara sumber berbagai pelatihan di Teknokra maupun koran-koran kampus lainnya, termasuk membina pers abu-abu (SMA). Mungkin, karena teman-teman lain banyak bekerja di luar Lampung.

Dari sini, masih muncul orang-orang ”gila” yang membuat lembaga ini tetap eksis. Ada Budi Santoso, Rozali, Triono Subagyo, Aldrin, Hartono ”Ome” Utomo, Juwendra, dan seterusnya (bisa dilihat dari para penulis buku ini).

Teknokra bukan hanya tempat lahirnya para jurnalis. Tapi juga profesi-profesi lain yang berguna bagi orang banyak: pengacara, pejabat, politisi, pengusaha, seniman, pendamping masyarakat, guru, ustad, dan lain-lain.

Saya yakin, ”kegilaan” ketika di Teknokra memberikan nilai lebih: mau bekerja keras, bisa menulis untuk publik, pandai bergaul, cerdas menentukan pilihan, berani ambil risiko, dan biasanya orangnya ikhlas...

Ada juga bagian penggalan sejarah di Teknokra, yang hingga sekarang menjadi sangat-sangat berarti, yaitu Rini Alita. Dulu saat di Teknokra, kami hanya biasa-biasa saja, sama sekali tidak ada apa-apanya. Tetapi, begitu dia pindah ke Yogyakarta, karena diterima di Fakultas Kedokteran Gigi UGM, timbul ”masalah” karena kami mulai saling menyukai.

Tetapi untungnya saya sudah terbiasa ”gila”. Masalah-masalah harus dihadapi. Jarak jauh, bukan masalah! Ongkos mahal, bukan masalah! Telepon mahal, bukan masalah! Masalah terberat ternyata mengadang lagi: orang tuanya tidak setuju! Dengan ”kegilaan” yang masih tersisa, sambil berdoa kepada Tuhan Yang Maha Baik, saya ”larikan” dia dengan cara adat Lampung, akhirnya semua merestui pernikahan kami. Alhamdulillah...

Kalau sekarang saya lewat Gedung Kemahasiswaan Unila, rasanya tidak percaya, salah satu ruangan di sini telah menggembleng saya dan kawan-kawan demikian keras. Saya masih yakin, selama para intelektual muda di kampus hijau ini masih waras, masih akan ada orang-orang ”gila” yang membuat Teknokra tetap eksis sepanjang masa...


Hapris Jawodo
Aktivis Teknokra 1986-1990, pernah sebagai care-taker pemimpin redaksi.
Redaktur Harian Lampung Post, 1990-1999.
Redatkur Pelaksana Harian Trans Sumatera 1999-2002.
Pemimpin Redaksi Tawon GMP 2002-sekarang
Public Relations PT GMP 2005-sekarang.


*Dikirim ke email Udo Z Karzi tertanggal 22 September 2010 untuk Teknokra: Jejak Pers Mahasiswa (edisi revisi)


1 comment: