January 24, 2019

Teknokra: Cinta, Benci dan Damai

Oleh Ferry Faturokhman



SAYA tak pernah bisa melupakan saat-saat awal mengenal Teknokra di akhir Agustus 1999. Saat itu saya bersama lima ribuan mahasiswa baru lainnya berada di GSG Unila (Gedung Serba Guna Universitas Lampung) mengikuti kegiatan propti (program pengenalan perguruan tinggi). Jadwal hari itu adalah pengenalan UKM-UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang ada di Unila. Ada Pramuka, Filateli, Menwa, Silat dan lain lain.

Setiap UKM mengenalkan diri dengan kekhasannya masing-masing. Mapala mengenalkan diri dengan meluncur membawa bendera Mapala dari ketinggian 20 meter langit-langit GSG. Saya menyukai panjat tebing dan naik gunung sejak SMA (Sekolah Menengah Atas). Di SMA 1 Serang, saya sempat tercatat sebagai anggota Wapala (Siswa Pecinta Alam). Beberapa gunung seperti Ciremai, Gede, Pangrango dan dua gunung di Banten pernah saya naiki. Tapi saya ingin mencoba sesuatu yang baru. Lalu ada sebuah UKM, mengenalkan diri dengan cara unik membagikan koran seperti layaknya tukang koran pada mahasiswa baru. Saya mengambil satu, karena tak semuanya kebagian. Koran itu ternyata Tabloid Teknokra. Tampilannya profesional, seperti tabloid pada umumnya. Saya sempat membatin ”apa iya ini dibuat mahasiswa, rapih sekali.”


                                                                   ***

Medio Januari 2000, Ahmad Fauzi, Mahasiswa FH Unila angkatan 1999 mengajak saya mendaftar Teknokra. Pamflet rekrutmen Teknokra hampir tertempel di seluruh papan pengumunan FH Unila: selasar, gedung B dan gedung A. Saat itu ada spesialisasi magang seperti reporter, fotografer, artistik dll. Saya memilih mendaftar fotografer tanpa ada alasan khusus, hanya ingin bisa menggunakan kamera yang aneh bentuknya. Belakangan saya tahu jenis kamera itu adalah SLR (Single Lens Reflex) yang memang berbeda dengan kamera pocket.

Ada tiga orang dari FH Unila yang mendaftar Teknokra. Saya, Fauzi dan Desy Churul Aini. Keduanya sahabat saya. Desy dan saya pernah sama-sama mengikuti Latihan Kader I HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Fauzi sekarang menjadi dosen FH Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Serang. Sementara Desy kini menjadi dosen FH Unila.  

Desy sangat antusias mengikuti rekrutmen, ia aktif dalam setiap sesi, terutama diskusi. Saya baru kali itu menemukan UKM yang membuka pendaftaran serius seperti layaknya perusahaan menerima karyawan. Di awal tes ada psikotes, pengetahuan umum,  keredaksian, lalu ada sesi diskusi dengan beberapa tema yang difasilitatori anggota Teknokra. Ada juga sesi wawancara.

Saat wawancara di bidang fotografi, saya bertemu dengan kamera SLR untuk pertama kalinya. Ada dua buah kamera SLR di hadapan saya, salah satunya kamera legendaris Nikon F 301 milik Teknokra. Satu lagi milik Sulistyo Nur Adhi (belakangan saya  memanggilnya Kak Adhi), kalau tak salah jenisnya Canon FM 10. Kak Adhi adalah mantan fotografer Teknokra. Saat mewawancarai saya, ia didampingi Dewi Sukmasari, fotografer Teknokra yang kini menjadi dosen di FE Unila.

Saya ditanyai banyak hal tentang bagian-bagian kamera SLR. Tak ada satupun yang saya mengerti, semuanya asing: rana, lensa, shutter speed, dll. Anehnya Kak Adhi justru mengajari saya tentang bagian-bagian kamera SLR itu, saya bahkan berkesempatan menyentuhnya! (kamera SLR maksudnya, bukan Kak Adhi.pen). Kamera SLR itu dipreteli lensanya, dijelaskan bagian dan cara kerjanya. Saya sempat heran kok malah diajari, mungkin karena ia iba melihat muka rasa ingin tahu saya. Belakangan saya tahu, Teknokra tak mencari orang cerdas, tapi yang memiliki rasa ingin tahu tinggi.

Wawancara terakhir saya hari itu berakhir di sebuah ruangan kecil di Teknokra yang disekat partisi triplek. Di hadapan saya ada dua perempuan berjilbab dengan wajah yang yang kontras,  Nuzlah ’Iyet’ Hayati, alumni Teknokra dan Indah ’Ite’Taufany, Mahasiswi angkatan 1997 Jurusan Bahasa Inggris FKIP Unila. Mbak Iyet tampak tenang, adem dan baik hati, sementara Mbak Ite tampak judes dan cerewet. Tapi ternyata hari itu keduanya ramah, wawancaranya lebih santai dan banyak bercanda.

”Ini kan wawancara terakhir, kamu yakin nggak, diterima?” tanya mbak Ite.
”Insya Allah mbak.”
”Dari tes seharian ini kira-kira kamu diterima nggak?” giliran mbak Iyet yang bertanya, mengulang pertanyaan mbak Ite sebelumnya.
”Kayanya diterima, Insya Allah,” jawab saya.

Dari dulu memang saya nggak terbiasa dengan ambisi. Berusaha saja dengan sebaik-baiknya, sisanya serahkan pada Allah. Kewajiban kita adalah berproses, hasil bukanlah urusan kita.  

                                                                        ***

19 Februari 2000 adalah tanggal bersejarah untuk saya. Dari tiga orang yang mendaftar, Saya satu-satunya anak reguler fakultas hukum yang diterima magang di Teknokra! Pengumuman kelulusan ditempelkan di setiap fakultas di Unila. Bentuknya keren, SK Pemimpin Umum Teknokra, ditandatangani Agus Sahlan Mahbub. Desy memandang saya sebagai orang yang beruntung. Saya bersepakat dengannya.

Pasti sebuah kebetulan, angkatan magang saya yang berjumlah 23 orang di Teknokra merupakan angkatan 19, sama dengan tanggal pengumuman kelulusan. Tanggal lahir Asti Aini, saudara satu angkatan di Teknokra juga 19 Februari. 19 Februari kemudian kami jadikan sebagai peringatan ulang tahun angkatan. Wulan bahkan sempat berujar di Sate Cak Umar ”Nanti kalau kita sudah lulus dari Teknokra dan Unila, kita tetap ngumpul di tanggal 19 Februari, kalau banyak yang kerja di Jakarta, ya ngumpulnya di Jakarta.” Semua bersepakat, tapi kesempatan dan kesibukan kemudian membuatnya tak terealisir. Belakangan kemudian, tanpa alasan khusus, tanggal 19 Februari juga menjadi tanggal hari pernikahan saya.

Magang Teknokra saat itu dibuat spesialisasi, magang fotografer, magang usaha, magang reporter dll. Masa magang di Teknokra adalah enam bulan, setara dengan kuliah satu semester. Fotografer magang saat itu ada tiga orang: Saya, Hardian ’Kep’, dan Syahrudin. Kep dan Syahrudin adalah Mahasiswa Jurusan Komunikasi Fisip Unila. Keduanya sudah akrab dengan kamera SLR. Saya dan keduanya kemudian sering hunting bersama atau berbagi tugas memenuhi kebutuhan foto tabloid, di bawah arahan fotografer Teknokra, Dewi Sukmasari dan Toni Wijaya, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Fisip Unila yang baru lulus magang fotografer. Toni kini menjadi dosen di almamaternya. Dari sinilah petualangan saya dimulai, mengambil foto di beberapa tempat di Bandar Lampung dan terkadang di luar kota. Awalnya saya adalah jenis mahasiswa ’kupu-kupu’, kuliah-pulang-kuliah pulang.   

Kami bertiga menjunjung tinggi kebersamaan, bahkan hingga semangat kedua sahabat magang fotografer saya mulai mengendur saya berusaha membantunya, saya ingin kami semua lulus magang.

Ada satu cerita saat magang. Rubrik sorotan berencana mengangkat persoalan rumah dinas Rektor Unila di Pahoman. Rumah dinas pemberian Pemerintah Provinsi Lampung di era Gubernur Poedjono Pranyoto itu didiami keluarga Alhusniduki Hamim, padahal jabatan Rektor Unila telah digantikan Muhajir Utomo.

Dariyus Hartawan yang menulis reportase itu. Ia menyuruh saya mengambil foto rumah dinas tersebut.
”Jalan Cendana nomor 10, di Pahoman, lo cari aja,” katanya.

Saya betul-betul buta daerah Bandar Lampung saat itu. Sebelum berangkat, saya bertanya pada Agus Sahlan Mahbub, Pemum Teknokra yang kemudian menjelaskan lebih rinci angkutan kota yang harus saya naiki.
”Di Karang naik angkot Pahoman, warna hijau, bilang jalan Cendana,” jelasnya.

Rumah itu akhirnya ketemu, setelah berjalan kaki menyusuri Jalan Cendana. Rumahnya besar dan asri, model rumah tahun 1990an, dekat Stadion Pahoman. Di depannya ada sekolah dasar. Saya memanjat tembok pagar SD, mengambil angle yang agak bagus. Lengan kemeja jeans putih saya sempat robek tersangkut pagar SD saat turun dari tembok.

Foto-foto kemudian saya cetak, dan ditulisi nama di belakang foto sebagai kredit foto. Saya menulisksan nama Syahrudin. Saat dilay out, Joko Herwindo, Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FT Unila yang menjadi artistik saat itu menuliskan nama Syahrudin di bawah foto rumah dinas rektor. Wawan kemudian mengecek berita hasil tulisannya dan menemukan nama Syahrudin dalam foto tersebut.

”Fer, ini kan foto elo, soalnya gua inget banget, gua yang nyuruh, ini foto elo kan?” katanya.
”Iya kak,” saya tak bisa mengelak, karena saya pernah memperlihatkan foto-foto hasil jepretan hari itu padanya. Wawan tak tahu kalau saya yang menuliskan nama Syahrudin di belakang foto.
”Ganti Jok, gua inget banget kok.”         
Inisial Srd kemudian diganti menjadi fer. Nama magang yang memberikan kontribusi baik dalam tulisan maupun foto saat itu selalu ditulis dengan inisial. Hardian menggunakan inisial Hrd.

Enam bulan berlalu, saya dinyatakan lulus dan diterima sebagai fotografer Teknokra. Kep dan Syahrudin dinyatakan diperpanjang masa magang. Namun kami tetap bersahabat, bahkan terkadang berbagi rezeki jika ada job foto yang tak tertangani semisal foto wisuda. Tarif untuk satu rol foto wisudawan  saat itu Rp 150 ribu, saya bisa mendapat untung bersih Rp 75 ribu darinya. Banyak mahasiswa yang minta ritual momen wisuda dari A sampai Z dirinya diabadikan. Cuma ya itu, cukup melelahkan, karena kita harus mengikuti perjalanannya mulai dari rumah atau kosannya, GSG Unila hingga kembali ke kosannya saat makan-makan bersama teman-teman dan keluarganya, bonus mengasyikannya, kita dapat makan siang gratis. Untuk foto pernikahan tarifnya lebih besar dari foto wisuda. 

Menjadi fotografer Teknokra memang menjadi berkah tersendiri, penghasilan saya terbesar saat itu adalah Rp 500 ribu, saat diminta panitia festival teater karya-karya  seniman eksil Tatang Utuy Sontani.    


F 301 dan Saidatul Fitriah
Saya beruntung bisa memegang kamera Nikon F 301. Kamera yang pernah dipegang Alm Saidatul Fitriah dalam liputan terakhirnya. Saidatul Fitriah adalah fotografer Teknokra yang meninggal beberapa hari kemudian setelah menjalankan tugas meliput demonstrasi mahasiswa menentang RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya). Hari di 28 September 1999 itu kemudian dikenang sebagai tragedi 28 September UBL (Universitas Bandar Lampung) Berdarah.

F 301 sempat terjatuh dan hilang di sekitar UBL. Beberapa hari kemudian seseorang datang ke Teknokra mengembalikan F 301. F 301 memang ditempeli stiker Teknokra di bodynya. Masih ada film di dalamnya, hasil jepretan terakhir mbak Atul. Film itu kemudian dicetak. Ada sekitar enam frame foto yang kini dibingkai dan dipajang di Teknokra. Beberapa diantaranya berjenis foto spot. Mbak Atul membekukan (freezing) seorang demonstran yang sedang melempar batu saat chaos terjadi.

Mbak Atul meninggal di Rumah Sakit (RS) Abdul Muluk 3 Oktober 1999 setelah sebelumnya dirawat di RS Advent. Sebelum meninggal, saat sempat siuman dari koma ia pernah berkata bahwa dirinya sudah diincar aparat. Hasil rontgen menunjukkan, tulang tengkorak kepala mbak Atul cekung melengkung, akibat pukulan benda tumpul. Peradilan atas kematian mbak Atul tak pernah digelar, kurang bukti dijadikan alasan ’memetieskan’ kasusnya. Hukum bertekuk lutut di bawah sepatu laras, keadilan tak dapat dihadirkan. Bagaimana mungkin pelakunya tak dapat diusut dan dimintakan pertanggungjawaban, suatu hal yang aneh yang terjadi di dalam negara hukum. Satu-satunya peradilan yang digelar atas tragedi itu adalah peradilan atas kematian Yusuf Rizal, Mahasiswa angkatan 1997 Jurusan Sosiologi Fisip Unila yang menjadi aktivis Dema (Dewan mahasiswa), lehernya berlubang ditembus peluru.   

Saya tak pernah bertemu dengan mbak Atul. Saya mengenalnya dari F 301, cerita senior dan puisi-puisi yang ia tulis di komputer ’jangkrik’ (Jenis MS Dos) Teknokra. Perempuan kecil berjilbab itu ternyata menyenangi puisi.

Dalam sebuah DJMM (Diklat Jurnalistik Mahasiswa tingkat Menengah) yang diadakan Teknokra di Guest House Wisma Dahlia Unila. Triono Subagyo, fotografer Trans Sumatera dan LKBN Antara yang merupakan alumni Teknokra menceritakan sebuah pengakuan pada peserta DJMM.

”Saya ada disitu melihat Atul saat chaos terjadi di UBL, bagi wartawan itu adalah sebuah momen, tapi saya ingat bulan depan saya mau menikah, saya mundur, saya tak seberani Atul,” paparnya di tengah keheningan peserta DJMM.   

Angkatan 18 Teknokra (Yamin dkk) adalah angkatan terakhir yang bertemu mbak Atul. Sementara angkatan 19 Teknokra (Saya dkk) adalah angkatan pertama di Teknokra yang tak bertemu mbak Atul. Teknokra kemudian memiliki tradisi berziarah ke makam mbak Atul di Gading Rejo tiap akhir September atau awal Oktober.

Setelah kemudian saya menjadi Pemum Teknokra periode kepengurusan 2003/2004, saat berziarah ke makam mbak Atul, saya mengingatkan adik-adik di Teknokra untuk meneruskan tradisi ziarah Teknokra. Ziarah itu mengingatkan kita akan kematian, bahwa suatu saat kitapun akan mati, dikubur dalam tanah. Mbak Atul telah menjemput kematiannya sebagai suhada. Sementara kita, belum tahu bagaimana akan berakhir. Ziarah ke makam mbak Atul juga menjadi semangat dan menyadarkan bahwa kita belumlah seberapa dibandingkan perjuangannya.   

F 301 diwariskan pada saya sebagai penerus fotografer di Teknokra. Toni menjelaskan habis detail bagian dan fungsinya. Saya kemudian menelusuri sejarah F 301. Kamera itu rupanya dibeli untuk Teknokra oleh Rizani Puspawijaya, dosen FH Unila yang pernah menjadi PR III Unila. Saat itu ia sedang melakukan kunjungan ke Singapura dan menemukan F 301 di sana.

Dalam suatu kesempatan saya pernah bertemu dengannya di gedung rektorat. Ia menanyakan kabar kamera yang pernah dibelinya itu. Rizani Puspawijaya adalah dosen yang dikenal sebagai dosen killer. Mahasiswa fakultas hukum bahkan menyebut gedung tempat Rizani berkantor sebagai gedung pentagon. Tapi salah satu keuntungan jadi anak Teknokra adalah mendapat semacam privillege, dikenal dosen, bahkan dosen killerpun menjadi hangat dalam obrolan.

Saya pernah juga mengabadikan sebuah pernikahan dengan kamera itu. Kebetulan teman kakak saya di Serang menikahi seorang gadis Lampung di Kaliawi Bandar Lampung. Saya membeli film tiga hingga empat roll, foto pernikahan ini harus gratis, tak enak saya meminta bayaran, hadiah untuk teman kakak saya.

Gadis yang dinikahi itu ternyata sepupu Anis Marsela, artis penyanyi dangdut yang mulai  meredup digantikan generasi Vetty Vera, Cici paramida, Iis Dahlia, Ike Nurjanah, Nini Karlina dan Lilis Karlina. Anis Marsela menyisakan kecantikan sebagai ibu beranak satu. Konon ia bercerai dengan suaminya, saat itu kawin cerai di kalangan artis sudah biasa terjadi. Anaknya seorang laki-laki berumur lima tahun, lucu dan mengakrabi saya. Saya kebetulan orang yang ramah pada anak-anak. Beberapa kali tampak saya pergoki Anis Marsela memperhatikan saya yang akrab dengan anaknya. Mungkin ia melihat saya cocok dengan anaknya. Ia bahkan sempat menyapa saya dengan sebutan om untuk anaknya.  Ada pikiran nakal sempat menyelinap di benak saat itu, saya menjadi ayah dari anak itu. ”Duh kacau, Ferry....Ferry, punya selera juga kau dengan penyanyi dangdut, fokus Fer, profesional, ini lagi kerja, istighfar,” saya mengingati diri sendiri.

Menjadi fotografer Teknokra membuat saya mengenal beberapa fotografer harian lokal di Bandar Lampung karena sering bertemu di lapangan saat mengambil foto. Kadang bertemu dalam demonstrasi mahasiswa, event-event kesenian, atau dalam sebuah persidangan di pengadilan. Saat itu fotografer di Bandar Lampung masih sedikit, hanya sekitar empat lima orang. Ada Rohimat  Lampung Post, Triono ’Yoyo’ Subagyo Trans Sumatera dan seorang fotografer Radar Lampung yang saya tak tahu namanya mungkin karena cara bekerjanya mirip James Nachtwey, wartawan perang untuk beberapa majalah seperti Time, tak banyak bicara. Baru kemudian ada nama-nama baru semisal Dedi Triadi, dari Lampung Post, nama belakangnya mungkin terinspirasi dari Darwis Triadi, salah satu fotografer kondang Indonesia.

Kami sering berbagi pengalaman dan ilmu, dari teknik fotografi hingga tempat service kamera. F 301 mulai bocor, ada garis vertikal merah terbakar di beberapa cetakannya.  Dari 38 cetakan, ada sekitar 3 sampai 4 frame yang ada garis merahnya. Saya mengonsultasikannya pada bang Rohimat, Ia memberitahu alamat service yang bagus.
”Kalau nggak jual aja, tuker tambah,” sarannya.
”Banyak sejarahnya bang,” jawab saya.
”Ya iya, tapi daripada kayak gitu, saya juga tau kok kamera itu, banyak kenangannya.” Ia terdiam.

Hampir semua fotografer di Lampung saat itu mengenal F 301 yang lekat dengan tragedi UBL berdarah. Saat itu kami berada di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, ada persidangan atas dugaan korupsi dana bantuan gempa Liwa dengan terdakwa Siti Nurbaya mantan Ketua Bappeda Propinsi Lampung yang kini jadi Sekjen DPD RI. Siti Nurbaya divonis bebas (vrijpraak) dalam persidangan tersebut. Berita dugaan korupsi gempa Liwa saat itu menjadi tema Laporan Utama Tabloid Teknokra. Doddy Wuryanto dan Muhammad ’Ucup’ Makruf yang menulisnya saat itu.

F 301 kemudian diwariskan pada Ismet, fotografer Teknokra penerus saya. Ismet satu angkatan dengan saya di FH Unila, tapi masuk Teknokra belakangan, diterima menjadi angkatan 20 di Teknokra. Kulitnya kuning tak begitu langsat, wajahnya tirus, kurus kerempeng, sekilas mirip Malih, komedian Betawi. Ismet adalah orang Tangerang dengan karakter Betawi yang kuat, menanam lagu-lagu Benyamin S di komputer Teknokra. Orang yang mudah tidur dalam posisi apapun, di depan komputer, duduk saat rapat dll.

Seperti yang dilakukan Toni, saya menjelaskan habis prinsip kerja kamera dan bagian-bagian F 301. Satu persatu dipreteli dan dijelaskan. Ini rana, itu lensa, ini diafragma atau bukaan, funginya itu, yang itu fungsinya ini, kalau film habis sebelum gulung geser ini dan pencet itu secara bersamaan. F 301 merupakan kamera SLR semi otomatis, tak perlu dikokang karena otomatis tapi nggulung filmnya masih manual. Saat itu era digital belum populer.

Lama kelamaan kebocoran pada F 301 sudah semakin parah, tugasnya kemudian banyak digantikan oleh Canon T 90, SLR otomatis pemberian alumni Joni Widodo saat DJMM, saat itu Joni Widodo bekerja di Sriwijaya Pos, Palembang. Tapi T 90 tak berumur lama, jendela rananya koyak setelah dibawa Dariyus Hartawan saat liputan aksi peringatan reformasi mahasiswa se Indonesia di gedung DPR RI, Jakarta. Saya kemudian menjual gitar elektrik di rumah dan membeli Nikon F 60 D untuk memback up kerja-kerja Teknokra. 
                                                                        ***

Sebagai fotografer Teknokra, saya sering diminta penulis atau PJ rubrik untuk mengambil gambar sesuai dengan tulisan. Sebelum mengambil gambar, saya pelajari outline tulisan dan berdiskusi dengan penulisnya. Diantara semua penulis, Yamin adalah penulis yang permintaannya relatif sulit dan menantang.  Misalnya saat ia menulis tentang perjudian di Bandar Lampung dan pelacuran di Pemandangan, Panjang, Bandar Lampung.

Liputan ke lokasi judi dimulai tengah malam sekitar pukul 01.00. Saya dan Yamin meluncur ke sebuah gudang di jalan Yos Sudarso, sepeda motor Yamin sebelumnya dititipkan di rumah saudaranya, antisipasi jika terjadi sesuatu.

Bangunan besar berbentuk gudang itu tampak aneh dengan beberapa mobil jenis sedan, kijang dan beberapa sepeda motor di halaman parkir. Di dekat parkiran itu ada warung yang menjajakan gorengan, mie rebus, kopi dan rokok. Saya memesan segelas kopi. Yamin membuka obrolan dengan orang sekitar sambil menyulut rokok. Rokok habis sebatang, kopi di gelas tinggal ampasnya, kami berdua masuk ke gudang.

Ruangan itu ternyata memang gudang yang ’disulap’ menjadi tempat perjudian. Gelap,  dingin ber-AC. Satu-satunya cahaya yang ada berasal dari monitor mesin judi seperti permainan ding-dong yang digandrungi anak SMP. Mesin itu dikenal sebagai mesin mickey mouse. Saya membawa kamera di tas, tapi tak mengambil gambar. Riskan.

Beberapa malam kemudian saya mengajak Mas Nana Jumena, Gubernur Mahasiswa FH Unila yang mempunyai kedekatan dengan Jajuli Isa, tokoh Golkar yang beberapa anak buahnya menjadi ’keamanan’ di tempat judi. Memesan kopi dan mengobrol di warung yang sama. Malam itu juga tak memungkinkan saya mengambil gambar.

Keesokan sorenya saya kembali ke lokasi seorang diri. Masuk ke dalam, langsung ke toilet. Kamera saya keluarkan dari tas untuk distel, bukaan maksimal, shutter speed rendah, flash dimatikan. Toilet itu berada di ruangan semacam dapur, disekat dengan kaca buram. Saya keluar menuju kembali ke ruangan utama judi.

”Mas sebentar mas!” Sial, seseorang berseragam polisi di dapur memanggil. Ada dua orang berseragam di ruangan itu.

”Apa itu di dalam tas?”

”Buku pak,” jawab saya.

”Coba lihat.”

Saya mengeluarkan F 60 D. Rupanya ia memerhatikan saya dari kaca buram saat menyetel kamera. Ia merebut kamera.

”Siapa nama kamu, dari koran apa?”

”Ferry, Teknokra Unila,” jawab saya sambil memperhatikan papan nama si polisi. Saya bersumpah karirnya saya habisi kalau sesuatu terjadi pada F 60 D. Tapi ternyata ia mengembalikan kamera.

”Hati-hati aja,” ancamnya.

Saya masuk ke gudang. Gelap. Menyusuri mesin judi sambil mengeluarkan kamera dikurungi tas. Sialannya, seseorang mengikuti saya di belakang. Saya berhenti dia berhenti. Saya jalan dia jalan. Dibuatnya saya tak bisa bekerja. Dia menunggu saya beraksi. Polisi tadi mengabari ’keamanan’ judi rupanya. Saya ke luar gudang. Tak ada satu gambarpun yang saya ambil, benar-benar sialan. Akhirnya saya hanya mengambil foto gudang dari jarak jauh. Seseorang dari warung mendatangi saya, menanyakan identitas dan diam di dekat saya. Rupanya ia ingin saya pergi. Hari yang sial.

Saat hendak menyetop angkot pulang, sebuah mobil polisi berjenis Daihatsu Taft atau Feroza masuk ke areal parkir judi, berhenti tepat di belakang dapur. Ada tulisan”Polisi” menempel di kaca belakang. Saya masuk lagi, mengambil foto dari jarak jauh, zoom dimaksimalkan, keberadaan saya sudah diketahui banyak orang di situ, termasuk orang-orang yang berkerumun di warung luar. Hasil foto tak maksimal, lensa yang saya bawa hanya 28-80 mm. Saya sedih tak bisa mengimbangi tulisan Yamin. Idi Dimyati, Pemred Teknokra kala itu, menambah banyak caption untuk foto mobil polisi tersebut. Foto dengan banyak caption adalah foto yang jelek. Sebab foto itu tak dapat menceritakan dirinya sendiri.

Liputan foto menarik lainnya adalah saat Yamin menulis feature komplek pelacuran di Pemandangan. Saya datang dua kali ke lokasi, mewawancarai Ketua RW setempat. Ketua RWnya ternyata ustad yang sudah lama diempatkan ke Pemandangan oleh Dinas Sosial Propinsi Lampung. Seperti komplek-komplek pelacuran di kota lain, pelacur Pemandangan juga banyak didatangkan dari Indramayu Jawa Barat.

Di pertengahan gang masuk, saya sudah ditawari pelacur untuk mampir.

”Mau ke mana mas, naik gunung ya, di sini saja,” ajaknya.
Saya membalasnya dengan senyum.  

Saya mengambil sudut-sudut gang Pemandangan. Mushola yang sedang direhab dengan dana sumbangan Rp 15 ribu tiap pelacur. Mencuri beberapa foto para pelacur dengan autofocus. Ada juga yang seizin mereka.

“Tapi jangan dimasukin koran ya mas,” pinta perempuan seksi sambil berpose dengan lelaki hidung belang.

“Nggak mbak, untuk penelitian,” saya berbohong, sesuatu yang sebenarnya tak dibolehkan.

Majalah Tempo pernah memotret seorang pelacur dalam sebuah kamar dalam posisi telungkup. Saya bisa juga melakukannya di dalam kamar, membayar sejumlah uang, tapi saya khawatir setan lewat, bisa gawat urusannya.

Menjelang pulang saya ditawari lagi oleh seorang mami, yang membedakan dengan sebelumnya, ia tahu saya dari Unila!

”Mampir mas, dari Unila ya,” ajaknya ramah.

Saya segera teringat cerita dosen hukum dalam sebuah perkuliahan. Pernah ada mahasiswa Unila yang ’jajan’ di lokalisasi. Setelah selesai ’berbuat’, ia lupa kalau tak membawa uang, si pelacur tak mau melepasnya pergi begitu saja. Bodohnya kemudian mahasiswa tadi menggadaikan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) miliknya sebagai jaminan pada si pelacur. KTM itulah yang kemudian membuat cerita menyebar.     

Saat pulang saya melihat sebuah bukit di belakang Pemandangan menghadap ke teluk Pelabuhan Panjang. Saya mendaki esok harinya, ada jalan aspal di tengah bukit dan vila yang entah milik siapa. Dari atas bukit, Pemandangan terlihat utuh dan indah dengan latar belakang Pelabuhan Panjang. Jepret. Saya ingat mengambilnya satu, hanya satu. 

Foto-foto itu kemudian mengimbangi tulisan Yamin, tapi ada kesalahan tulis pada kredit foto, tertulis Ismet, bukan nama saya. Ya ndak papa, ndak masalah, Ismet dan saya asyik-asyik aja.

                                                                ***

Selain memotret, kru Teknokra juga diwajibkan menulis, semua kru Teknokra pasti bisa menulis, karena hakikatnya semua adalah reporter. Demikianpun saya, diajari menulis dari rubrik kecil seperti ekspresi (ekspresi adalah rubrik di tabloid tentang profile seseorang. pen) hingga rubrik besar seperti sorotan dan laporan utama. Beberapa berita yang sifatnya kelampungan pernah saya tulis semisal proyek Ittara (Industri tepung tapioka rakyat) unggulan Gubernur Oemarsono yang gagal, penipuan ala Yayasan Amalillah. Beberapa kali saya berpartner dengan Turyanto dalam reportase dan menulis.

Dari sekian tulisan, yang paling menarik bagi saya adalah saat liputan ke Way Tuba Kabupaten Way Kanan.

Ceritanya bermula pada suatu Jumat subuh di Unila. Seseorang yang kemudian diketahui dari  Kecamatan Way Tuba mendekati Kholid, Ketua Fosi (Forum Studi Islam) Faperta Unila yang sedang mengadakan program Jumat bersih di Faperta Unila.

Ia bercerita bahwa kemungkinan dirinya ditipu oleh mahasiswa Unila. Ada mahasiwa Unila yang datang ke Way Tuba menawarkan pemeliharaan DOC (Day Old Chick), itik ayam untuk dibesarkan sebagai ayam pedaging. Satu orang membayar Rp 5.000 untuk tiga ekor DOC. Untuk meyakinkan warga, oknum mahasiswa tadi meminta perwakilan warga ke Bandar Lampung untuk mendapatkan pelatihan dalam melakukan pemeliharaan yang baik. Uang dari warga terkumpul. Dua orang diutus mengikuti si mahasiswa ke Bandar Lampung. Keduanya kemudian menginap di Hotel Hartono. Malangnya kemudian, keduanya ditinggalkan, bahkan harus membayar kamar hotel yang dipesankan mahasiswa. Si mahasiswa hilang entah kemana.

Turyanto kemudian menuliskan cerita ini untuk Teknokra News. Berita oknum mahasiswa Unila menipu-pun geger di kampus. Kebetulan saat itu ada RtF (Road to Faculty), sebuah program Senat KBM Unila untuk menjaring aspirasi mahasiswa, mempertemukan masalah  mahasiswa, dekanat dan rektorat.

Entah bagaimana ceritanya, Teknokra disudutkan di hampir RtF tiap fakultas. Para reporter Teknokra melaporkan dan membahasnya bersama. Teknokra dianggap mencemarkan nama baik Unila. Bahkan di Faperta, Turyanto yang berada di sana ’diadili’ habis-habisan. PD III Faperta saat itu ikut menyalahkan Turyanto. Turyanto ’babak belur’ di fakultasnya sendiri. Saya tak habis pikir, seharusnya Unila berterima kasih atas informasi tersebut dan menerjunkan tim untuk mengklarifikasi kemudian meminta maaf pada warga Kecamatan Way Tuba. Setidaknya itu bisa memulihkan nama baik Unila di Way Tuba.

Pemred Teknokra M ’Ucup’ Makruf dan Redpel Zaenal Musthopa saat itu memutuskan  
harus ada kru Teknokra yang meluncur ke Way Tuba, mendalami kasus ini. Saya dan Tur yang kemudian direncanakan berangkat. Saya menyiapkan segala keperluan, termasuk meminjam jam tangan hitam Nuril, teman sekamar saya. Biasanya saya tak memakai jam tangan, tapi kali ini benda kecil itu dibutuhkan. Tur tak jadi berangkat, selain berhalangan iapun masih trauma atas tekanan yang dialaminya.

Di Terminal Raja Basa saya menanyakan bis ke arah Way Tuba. Rupanya bis trayek Belitang melewati Way Tuba. Perjalanannya panjang, enam jam, mungkin karena banyak berhenti. Di Pulau Jawa, enam jam setara dengan perjalanan Serang-Cirebon. Turun di Way Tuba saya menuju kecamatan, hari mulai agak sore untuk ukuran jam kantor, 15.30. Kecamatan sudah sepi, satu dua orang terlihat pamit pulang pada seseorang di sebuah ruangan. Saya menemuinya, seorang sekretaris camat. Seorang Sunda berkulit hitam, kurus dan suka blak-blakan bicara, saya suka gayanya. Recorder diputar, wawancara dimulai. Ia mencegah saya menemui camat di rumah dinas di sebelah kecamatan.
”Kalau ada yang bisa saya bantu saya jelaskan, bapak (camat.pen) ini kan gelarnya tinggi, nggak enak, karena kemaren kan penipuan,” paparnya.

Saya melirik papan nama camat, memang ada banyak gelar di belakangnya, SE, MM. Dari sekmat saya tahu bahwa uang warga yang berhasil digondol sebanyak lima juta telah diganti camat.

”Bagi kami tak ada masalah disini, justru Unila yang dirugikan dalam kasus ini, kami tak harus ke sana (Unila.pen), semestinya Unila yang ke sini menjelaskan, karena sebenarnya Unila yang dirugikan,” paparnya berapi-api.      
                    
Wawancara selesai, giliran saya yang bingung. Hari sudah sore, saya harus menginap. Besok harus ke desa tempat oknum mahasiswa melancarkan aksi penipuannya. Ada dua desa di Way Tuba yang ditipu oknum mahasiswa. Saya menanyakan masjid terdekat, rencananya saya tidur di sana. Sekmat malah mengajak saya menginap di rumahnya, suatu kebetulan yang diharapkan. Di rumahnya saya dijamu habis-habisan. Malamnya malah sempat diajak anaknya jalan-jalan ke Martapura, Sumatera Selatan. Jaraknya ternyata dekat dari Way Tuba.

Keesokan harinya setelah sarapan, ia mengisyaratkan agar saya tak usah ke desa yang pernah ditipu karena sudah dapat cerita lengkap darinya. Saya bersikeras harus ke desa.

“Ya nggak papa kalau mau tetap ke sana, saya memang melihat anda dari awal memang wartawan bener, nanti di sana temui kepala desanya ini, sekdesnya ini, bilang anda sudah menemui saya,” paparnya.

Saya berterima kasih dan tersenyum. Saat itu memang banyak wartawan amplop, bodrek atau muntaber (muncul tanpa berita), hmm.. wartawan Teknokra bukan dari jenis itu.

Ongkos ojek rupanya mahal Rp 15 ribu, bolak-balik Rp 30 ribu, ini diluar dugaan, tak bisa ditawar pula. Uang di kantong tinggal Rp 30 ribu plus sedikit lembar ribuan. Saya nekat, berangkat.

Lima belas ribu rupiah memang tarif yang pantas. Jalanannya tanah merah jeblok menyusuri perkebunan sawit, jauh. Sesekali ban motor tergelincir. Penipunya benar-benar merencanakan dengan matang, memilih daerah pedalaman, ke desa yang akses informasi dan transportasinya sulit dijangkau. 

”Kalau habis hujan besar, kadang rantai motor bisa putus mas,” ujar tukang ojeg.

Kami mulai masuk desa yang dituju. Ada kerumunan ibu-ibu di depan sebuah sekolah dasar sedang membeli sayur. Saya menanyakan nama kepala desa. Ibu-ibu berbisik dan memerhatikan saya. ”Dari Unila....dari Unila.”

Seorang ibu muda menarik lengan saya,
”Dari Unila ya mas,” bisiknya dan langsung mengajak saya ke rumahnya.
Ibu muda itu ternyata istri sekretaris desa (sekdes) yang pernah diajak ke Bandar Lampung oleh oknum mahasiswa yang kemudian bertemu Kholid di Jumat subuh.

”Warga disini tidak tahu kalau ditipu, mereka tahunya program gagal dan uangnya dikembalikan, mereka menunggu-nunggu,” ujar sekdes, saya lupa namanya kalau tak Patumin.
”Iya makanya tadi mas saya langsung tarik kesini,” istrinya menimpali.

Saya lalu minta diantarkan ke kepala desa, wawancara, kemudian ke balai desa tempat warga dikumpulkan.

”Di sini warga dikumpulkan, diberi arahan, ngomongnya pinter dan meyakinkan, saya malah yang narikin uang warga di sini,” jelas sekdes.

Cerita lengkapnya segera didapat, dengan menggabungkan cerita sekmat sebelumnya. Dua mahasiswa itu datang ke kecamatan menyosialisasikan program penggemukan DOC, namun warga harus membayar Rp 5000 untuk tiga ekor DOC. Berbekal surat pengantar camat, dua mahasiswa tadi menghubungi kepala desa untuk menyosialisasikan pada warga di balai desa. Agar lebih meyakinkan, satu orang perwakilan desa tersebut harus ikut ke Bandar Lampung untuk mendapatkan pelatihan. Ada dua desa di Way Tuba yang menjadi korban penipuan oknum mahasiswa.    

Dari sekdes saya tahu ciri-ciri oknum mahasiswa, ia mengerti persoalan peternakan, bicaranya meyakinkan, berjas almamater biru, satu hal penting lainnya, saya mengantongi nama lengkap mahasiswa tersebut, seseorang dengan inisial E, sekdes mengetahui dari KTM yang ditunjukkannya. Warna jas Almamater adalah informasi yang sangat berharga, sebab terjadi perubahan warna jas almamater di Unila. Jas almamater mahasiswa angkatan 1998 ke atas berwarna biru, sementara angkatan 1999 ke bawah berwarna hijau.

Saya kembali ke Way Tuba. Persoalan baru muncul, uang transport dari Teknokra tak cukup untuk ongkos pulang! Hanya menyisakan satu dua lembar ribuan. Wajah sekmat segera terbayang, saya ke kecamatan, pamit dan terutama meminjam uang sejumlah ongkos pulang.

Ia memberikan Rp 20 ribu dengan status pemberian, ia tak mau dipinjami. Saya pamit dan berterima kasih. Rencananya saya berniat mengunjugi anaknya yang sekolah di SMP Al  Kautsar Bandar Lampung. Namun hingga bertahun-tahun dan tulisan ini dibuat, saya tak sempat mengunjunginya. Jika jalur pendidikannya lancar, semestinya sekarang ia sudah mahasiswa semester akhir.       

Di Teknokra saya segera menghubungi Asti, kru Litbang. Litbang Teknokra punya data base mahasiswa Unila. Kami berdua mencari nama yang dimaksud di antara angkatan 1998-1995 di Faperta. Binggo! Ketemu. Rasanya seperti menemukan puzzle yang hilang. Saya menanyakan status mahasiswa tersebut ke anak-anak pertanian angkatan tua. Mahasiswa tersebut sudah lama tidak aktiv, statusnya terancam DO (Drop Out). Saya segera menuliskan beritanya. Tak semua informasi saya masukan. Keterbatasan ukuran Teknews dan deadline yang mepet mengurangi kualitas tulisan.

Setelah tulisan saya turun, Unila malah tambah gerah. Tapi ada sisi positifnya, Unila menerjunkan tim yang dikoordinatori Wan Abbas yang saat itu menjabat PD III FP Unila ke Way Tuba untuk mengklarifikasi kasus penipuan. Sepulangnya tim Unila saya mendengar kabar bahwa sebenarnya di Way Tuba permasalahan ini tak diributkan. ”Ya iyalah tak diributkan, lha wong uang warga sudah diganti oleh camat,” pikir saya saat itu.

Tragedi Bali
Ini kepingan cerita lain yang pernah geger di Teknokra. Suatu hari saya menemukan undangan dari Persma (Pers Mahasiswa) Universitas Udayana untuk Teknokra. Isinya undangan untuk mengikuti pelatihan jurnalisme advokasi. Pembicaranya Haris Azhar dari Kontras dan LBH Pers. Saya kemudian berfikir sayang kalau tak ada yang datang. Tak ada niat apapun dalam diri saya saat itu selain ini harus ada yang datang, siapapun orangnya. Saya kemudian mencari tahu siapa yang diutus ke pelatihan tersebut. Ternyata rapat pimpinan tidak membahas hal tersebut. Sekali lagi saya berfikir sayang kalau tak ada yang datang. Saya kemudian mengajukan diri, menelpon Zaenal Musthopa, Pemum Teknokra yang sedang berada di Subang kalau tak salah karena sebuah musibah keluarga. Di ujung telepon Zaenal mengizinkan saya berangkat dengan catatan mengajukan proposal untuk biaya transportnya melalui Wulan, Manajer Keuangan Teknokra.

Tanpa alasan khusus saya kemudian mengajak Turyanto untuk ikut, yang paling jelas saya sering bersamanya dan Tur belum pernah dikirim ke luar mengikuti pelatihan. Tur setuju, berangkat atas nama Persma Agriprekto FP Unila, karena persyaratannya tiap LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) hanya boleh mengirimkan satu peserta. Kamipun berangkat ke sebuah Bank untuk menyetor uang pendaftaran, tiap orang Rp 100 ribu. Saat itu hari Jumat, hari terakhir pendaftaran. Sialannya motor kami sempat distop di tikungan depan  Plaza Indonesia oleh polisi. Motor saya memang sering distop karena plat nomornya A dan warnanya ngejreng, biru kuning. Di Lampung, mayoritas plat nomor adalah BE.

Uang pendaftaran berhasil disetor. Menjelang keberangkatan ke Lampung Turyanto membatalkan diri berangkat. Saya kemudian mencari kawan lagi. Tanpa alasan khusus pula, saya mengajak Asti Aini. Yang paling jelas terfikir saat itu adalah dua teman angkatan saya Fitria ’Pitot’ Agustina dan Eva ’Eput’ Danayanti pernah dikirim ke Jakarta, ada beberapa yang belum, Asti salah satunya. Selain itu Asti punya akses ke Pilar, Pers Mahasiswa FE Unila. Asti setuju, iapun direstui Ani, Pemimpin Umum Pilar  untuk memakai nama Persma Pilar untuk keberangkatan Asti. Pilar bahkan menitipkan produk terbitan dan undangan sebuah kegiatan yang akan digelar untuk dibagikan kepada pers mahasiswa se Indonesia di Bali nanti.

Karena waktu pelaksanaan yang mepet, Wulan berbaik hati membantu menyelesaikan proposal pencairan dana. Dana keluar Rp 700 ribu. Saya juga punya tugas di redaksi menulis tulisan yang sudah saya selesaikan 3/4nya. Pitot berbaik hati menawarkan diri untuk menyelesaikan tugas saya. Saya terenyuh melihat mereka mendorong saya untuk segera berangkat agar tak terlambat di Bali.

Di Bali, saya berkesempatan mewawancarai Suryo Pratomo, Pemimpin Redaksi Kompas yang menjadi pembicara dalam pembukaan pelatihan. Acara di Bali ternyata tak sebaik acara di Teknokra dalam segala halnya. Teknokra dikenal well prepared dari konsep hingga teknis dalam mengadakan sebuah acara. Konsep acara jurnalisme advokasi tak jelas, ngaco. Saya mendapatkan penjelasan pribadi dari SC (Steering Committee) yang justru semakin menunjukkan ketidakpahaman konsepnya. Pada akhirnya malah saya dibenturkan dengan Haris Azhar, fasilitator pelatihan.
”Kami tidak ada masalah dengan pembicara, tapi dengan panitia,” ujar Yudi Armen peserta dari Universitas Sumatera Utara (USU) membela saya. Acaranya memang tak jelas hingga menuai kritik. Kritik itu dimulai oleh saya tanpa niat menjatuhkan, hanya mempertanyakan kejelasan konsep acara, mau dibawa kemana. Ketidakjelasan konsep juga ternyata dirasakan mayoritas peserta sehingga diadakan pertemuan besar antara peserta, panitia dan pembicara.

Kekisruhan pelatihan semakin parah dengan hilangnya Hand phone (HP) Yudi Armen. Sampai disitu belum selesai, penyelesaian hilangnya HP Yudi lebih ngaco lagi. Semua peserta dikumpulkan di Aula di pagi hari, panitia menggeledah kamar tiap peserta. HP tak ditemukan. Sebuah solusi terlontar dari panitia, tiap orang menyumbang untuk penggantian HP Yudi, hasilnya dihitung secara transparan, memang tak menggantikan nominal HP, tapi Yudi terharu. Saya tak mengerti jalan pikiran panitia, bagaimana mungkin pertanggungjawaban dibebankan pada tiap orang terutama peserta? Ini bukan persoalan sumbangannya, tapi cara penyelesaian masalahnya. Prasangka memang paling mudah muncul dalam situasi seperti itu. Tapi kalau panitia menduga pelakunya peserta, bukankah kemungkinan yang sama juga bisa terjadi pada panitia? Bahkan panitia berpeluang lebih besar karena ada momen-momen kamar kosong saat peserta mengikuti materi pelatihan. Asti dan saya geleng-geleng kepala. Unbelievable. Ternyata sebagian besar peserta juga menangkap keanehan solusi pagi itu.

Pelatihan berakhir, tapi dua hari lagi ada peringatan satu tahun meledaknya bom Bali di Legian, Kuta. Peserta pelatihan telah pulang semua. Saya dan Asti memutuskan menunda kepulangan untuk meliput peringatan ground zero. Jangan anggap kami bersenang-senang di sana, saya tidur di ruangan kelas Unud, sekretariat persma disana terlalu sempit untuk ditiduri. Asti agak beruntung mendapat kenalan anggota KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang mau berbagi tempat tidur kosannya.

Malam peringatan tiba, kami memasuki lokasi ground zero, kemananan diperketat, tiap orang harus discan dengan metal detector sebelum masuk lokasi. Saya mengambil banyak gambar, Kapolda Bali, monumen, poster foto korban perempuan Australia dengan tulisan yang memilukan ”seharusnya ia kini merayakan ulang tahun manisnya yang ke 19 jika saja teroris muslim tak membunuhnya.” Saya menghela nafas. Islam memang pernah tersudutkan pasca pengeboman. Supir angkot muslim yang pernah saya tumpangi sempat merasa malu jadi orang Islam di Bali. Kawan KAMMI Asti mengalami beberapa ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan itu saya saksikan sendiri di Legian. Asti yang berjilbab terkadang disapa ”Assalamualaikum,” dengan nada sinis.                                  

Peringatan selesai, kami pulang keesokan harinya setelah pamit pada Erwin, kawan baik persma yang banyak mengantar kami selama di Bali. Kami memutuskan mampir ke Jogja dengan dua agenda, beli buku untuk Teknokra di Shoping (Pasar buku terkenal di dekat Malioboro) dan studi banding ke tiap persma di Jogja. Asti membeli dua buku tebal untuk Teknokra : Analisis Wacana dan Analisis Framing. Mata saya berbinar menemukan bundelan majalah persma Balairung UGM, segera setelah negosiasi harga bundelan itu berpindah tangan. Balairung adalah persma UGM yang sedikit ekslusif, tapi hasil terbitannya bagus. Kami sering mengomparasikannya dengan Teknokra. Kawan baik persma Ekspresi UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) mengantarkan kami ke mana saja, HIMMAH UII, Atma Jaya, Sunan Kalijaga, tapi tidak ke Balairung.

”Kalau mau ke Balairung sendiri aja ya, saya nggak ikut nganter,” katanya. 

Balairung akhirnya kami lewatkan.  Selama di Jogja saya menginap di sekret Ekspresi, Asti di kosan kru ekspresi perempuan. Sebelum pulang, Asti sempat meminta blue print pengkaderan di Ekspresi UNY untuk dikomparasikan dengan alur kaderisasi Teknokra. Blue print itu diberikan, tapi dengan cara diam-diam. Ekspresi UNY punya banyak SDM berkualitas yang telah menerbitkan buku, diantaranya Muhidin M Dahlan dan seorang perempuan yang saya lupa namanya. 

Di bis menuju Lampung Asti dan saya kembali diskusi soal Teknokra seperti halnya dalam perjalanan menuju Bali. Persoalan diskusi seputar kaderisasi, rekrutmen dan krisis kader di Teknokra. Beberapa sms dari teman angkatan Teknokra mengabarkan berita tak menyenangkan tentang kami di Teknokra, Asti dan saya mengira-ngira. Ada apa?

Di Teknokra suasana tak nyaman mulai terasa. Ada pandangan aneh dari senior, adik-adik, Tur bahkan Eva, teman angkatan saya. Pitot menceritakan bahwa kepergian saya dipermasalahkan. Kawan Teknokra lainnya, Ananta Dhani Hendrawan, belakangan juga cerita bahwa saya hampir dibahas di tiap rapat, yang lebih gila lagi, Rudi Haryadi, teman saya di luar Teknokra sempat bertanya di Masjid Kampus Alwasi’i. ”Fer katanya saat ke Bali kemarin bermasalah ya, nggak direstui?” tanyanya.

Hasil dari pelatihan di Bali kami sosialisasikan, yang datang cuma sedikit, padahal pengumuman di whiteboard sudah ditulis sebelumnya. Hanya ada beberapa orang dan Joko Herwindo, senior angkatan Zaenal, saya terenyuh melihat kehadirannya. Tak lama dari sosialisasi, saya diingatkan Zaenal, pemum Teknokra, untuk datang dengan Asti pada suatu malam.

Malam itu adalah malam yang sulit saya lupakan, sebuah malam jahanam. Saya dan Asti disidang oleh jajaran pemimpin saat itu, Zaenal, Yamin dan Shemone, kalau tak salah Aismet dan Eva juga hadir di situ, saya lupa kapasitasnya sebagai apa. Beberapa jajaran middle Teknokra menguping di belakang lemari perpustakaan.

Kepergian saya dianggap ilegal. Uang Rp 700 ribu otomatis juga ilegal. Saya mendebat dan mengingatkan pemum, saya tak mungkin berangkat kalau tak ada kata iya dari pemum. Zaenal menganalogikan dengan lampu lalu lintas bahwa kemarin bukan lampu hijau, tapi lampu kuning, apalagi saat itu ia sedang tak konsentrasi karena persoalan yang sedang dihadapinya di Subang. Otak saya berputar menganalisa. Ada apa dengan pemimpin umum? Mengapa jadi tak konsisten? Lampu kuning yang dimaksud adalah proposal yang kemudian diselesaikan Wulan. Apa masalahnya?

Yamin mengeluhkan saya meninggalkan tulisan rubrik laporan utama saya. Ia keteteran. Saya ingat tulisan laput yang tinggal 1/4nya itu rencananya akan diselesaikan Pitot, tapi Pitot kalah cepat oleh Yamin yang segera mengambil alih. Atas kesalahan ini saya minta maaf pada Yamin. Yamin mengendur setelah tahu bahwa saya bukan bersenang-senang hura-hura ke Bali dan banyak membawa oleh-oleh tulisan hasil liputan. Ia menerima maaf saya. Eva yang juga menanyakan dana Teknokra akhirnya mengendur dan menyarankan dana Rp 700 ribu tak usah dikembalikan, dihitung sebagai biaya reportase. Saya tak menyetujuinya, dana itu akan saya kembalikan, sudah hilang mood saya malam itu.   

Yang lebih mengherankan adalah Shemone, ia menyangka saya memanfaatkan pelatihan di Bali dengan tujuan politis. Saya tak mengerti maksudnya. Apakah ia mengira saya mengincar jabatan pemum, karena di Bali banyak delegasi persma lainnya dan popularitas saya di Teknokra naik karena dianggap sebagai wakil Teknokra sebagai pemum ke depan? Kalau memang itu persangkaannya, sungguh tak ada niat secuilpun saya untuk menjadi pemum, saya tak pernah punya ambisi menjadi pemum.

Sementara Asti disalahkan karena menggunakan nama Pilar, padahal Asti bukanlah anggota Pilar. Ini juga hal yang aneh karena Pemum Pilarnya saja tak keberatan, merestui dan mengizinkan Asti berangkat, bahkan menitipkan undangan kegiatan Pilar.

Sidang malam itu kemudian mengarahkan agar saya meminta maaf secara resmi pada Teknokra. Saya heran tak habis pikir sehingga akhirnya bertanya ”minta maaf atas apa?” Tak ada yang menjawab. Shemone beranjak ke belakang, meninju tembok dengan keras. Saya menahan emosi sekuatnya. Sejak SD hingga SMA saya selalu terlibat duel fisik dalam menyelesaikan masalah. Jika tak mengingat adik-adik Teknokra yang menguping di belakang lemari perpustakaan, ’berangkat’ saya susul ke belakang malam itu. Shemone kembali lagi ke sidang. Hati saya kacau balau. Asti tak bisa bicara.

Zaenal meredakan situasi dengan menyarankan saya meminta maaf karena telah mengalihkan dana Rp 700 ribu pada Asti (Saya memang mengalihkan dana pada Asti, saya punya tabungan sendiri untuk berangkat ke Bali) dan Asti meminta maaf karena telah menggunakan nama Pilar padahal Asti bukan anggota Pilar.

Tambah ngaco bukan. Itu artinya saya direstui berangkat dan didanai, tapi harus meminta maaf karena dana yang telah diberikan pada saya sebagai transport itu saya alihkan pada Asti. Padahal kalau dilihat, dari tiga roll film yang saya beli, 2/3nya adalah foto liputan, buku-buku tebal untuk Teknokra yang dibeli pada akhirnya dari uang pribadi Asti. Ditambah ongkos, biaya makan, oleh-oleh untuk kru Teknokra dan yang lainnya, jumlahnya lebih besar dari Rp 700 ribu.

Sidang disudahi tanpa kesimpulan jelas yang disepakati. Saya pulang malam itu, malangnya teman-teman saya di kontrakan Koga tertidur lelap tak dapat dibangunkan. Terpaksa saya kembali ke Teknokra tidur di tengah dengan perasaan aneh, seperti bukan di rumah sendiri. Asti pulang dan meledakan tangisnya di kosan.  

Saya mengalah, dan memilih ’menyelamatkan’ pemum. Surat permintaan maaf dibuat dan ditandatangani Asti dan saya, isinya kurang lebih begini ”Saya meminta maaf karena telah mengalihkan dana yang diperuntukan untuk saya kepada Asti, sementara Asti meminta maaf karena telah mengatasnamakan anggota Pilar, padahal Asti bukan anggota Pilar meskipun hal tersebut telah mendapatkan persetujuan Pemum Pilar.” Di bawah surat itu juga saya beri keterangan bahwa dana yang dimaksud di atas telah dikembalikan pada Teknokra, Bukti Kas Masuk (BKM) Teknokra terlampir sebesar Rp 700 ribu. File surat itu saya beri judul surat aneh dalam komputer.   

Asti kemudian mengembalikan uang Rp 700 ribu yang telah dipakainya pada saya. Sementara uang pendaftaran Tur yang kadung disetor telah kami mintakan pada panitia dan dikembalikan pada Tur.

Nama saya dan Asti rusak serusak-rusaknya di Teknokra. Tak ada forum klarifikasi yang disediakan sementara informasi yang diterima kru Teknokra tak berimbang. Ada perasaan aneh menyergap setiap saya masuk Teknokra.

                                                                        ****

Pra Mubes (Musyawarah Besar) dan Mubes Teknokra akan digelar, maka kepemimpinan Zaenal akan berakhir. Sesi pencalonan dalam PraMubes tiba. Turyanto, Eva dan saya adalah nama yang dicalonkan sebagai pemimpin umum, ada beberapa nama lain, namun kemudian mengerucut pada tiga nama tersebut. Saya banyak merenung. Nama saya telah rusak di Teknokra, cemar, dianggap menyerobot, pembangkang dll. Hari-hari di Teknokrapun tak menyenangkan. Saya orang yang asyik-asyik saja sebenarnya. Saya takkan peduli sekalipun seribu orang menuduh saya maling, yang penting saya bukan maling, dan saya tak butuh legitimasi manusia. Tapi cemarnya nama juga dialami Asti, sementara saya yang mengajak Asti ke Bali. Saya merasa bersalah dan harus memulihkan nama baiknya. Ini benar-benar mengusik saya. Asti tak berakhir dengan indah di Teknokra, kalau saya tak masalah, saya sudah terbiasa.

Sungguh saya tak pernah berniat jadi pemum awalnya, tapi situasi membuat saya harus maju. Saya tak diberikan pilihan, saya harus maju, atau nama baik Asti rusak. Saya membuka obrolan dengan Asti, kami bersepakat, ini harus diakhiri dengan indah. Asti tak begitu bersemangat sebenarnya, hatinya hancur.

Saya kemudian memutuskan untuk tidak mengundurkan diri. Kampanye dimulai, pamflet digelar internal di Teknokra. Ada dua agenda penting saat itu: penyampaian visi misi dan debat kandidat.

Penyampaian visi misi dimulai, saya dimoderatori Romadhoni Yunanto. Setelah penyampaian visi misi, seorang kru Teknokra jajaran middle mengajukan pertanyaan dengan sinis di awal kalimat. ”Saya pikir tadinya curhat karena terlalu panjang menceritakan kepemimpinan di Teknokra.” Saya tersenyum karena merasa ada pengaruh orang lain dalam pertanyaannya.

Diantara audiens, shemonelah yang paling bernafsu ’menelanjangi’ saya. Bagi saya ini keuntungan, karena justru menjadi ajang klarifikasi. Ia juga menyerang konsep pendanaan alternatif saya di Teknokra.

”Mau dibawa ke mana Teknokra, kapitalis?” Tanyanya.

”Kawan-kawan ’kiri’ kita seperti FMN (Front Mahasiswa Nasional) menentang kapitalisme, tapi mereka tetap membutuhkan kapital untuk menentang kapitalisme, mereka membutuhkan batu batere dan logistik lainnya untuk melakukan unjuk rasa. Kapital jangan dijadikan tujuan, kapital harus dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan, kalau dijadikan tujuan jadi kapitalislah kita,” jelas saya.

Kalau sekiranya shemone yang bertanya saya bisa mengerti, tapi shemone juga sebagai pemimpin usaha di Teknokra, dan saya tak dapat mengerti.

Semakin lama ’suhu’ shemone semakin panas, Ia kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing emosi, saya melayaninya.

”Anda terjebak, emosi, bahaya kalau jadi pemum Teknokra,” nadanya kesal.

Eny Mutotawiyah sempat berbisik pada Pitot, ”Sebenarnya yang emosi siapa?”

”Mungkin saya emosi, tapi kalau shemone dihadapkan pada posisi saya, pasti anda lebih emosi karena saya tahu anda,” saya mengembalikannya pada shemone.        

Nada shemone bagaimanapun terdengar lebih emosi dari saya. Mungkin Shemone tak tahu kalau sebenarnya saya tahu dijebak, dan saya memilih untuk masuk dalam jebakannya.

Malam hari setelah penyampaian visi misi, angkatan 19 berkumpul di depan mall kartini, mengevaluasi performance saya.

”Pake kemeja Fer seperti Tur, jangan kaos,” pinta Asti. Eka dan Wulan mendukung, keduanya lebih cerewet.
”Saya nggak biasa, gak suka pake kemeja,” jawab saya.
”Iya tahu, tapi sekarang ini harus.”

Saya terharu melihat mereka semua. Saya seperti Muhammad Ali yang bertanding melawan Frazier. Lalu rehat ronde, dan mereka semua menyarankan strategi, menyemangati. Saya hanya diam mendengarkan mereka.

Debat kandidat dimulai. Saya berkemeja dimasukan celana, rapih. Rasanya aneh. Agak ganteng saya hari itu. Perasaan saya tak enak harus berdebat dengan Tur, kami bersahabat, demikianpun dengan Eva. Shemone seperti biasa lebih banyak menyerang saya dibanding yang lain, saya tak mengerti kenapa, dari mana asal kebencian ini?

Saat pra mubes, hubungan saya dan Tur semakin aneh, ada sesuatu yang mengganjal. Tur menuliskan sebuah kalimat di secarik kertas di sela rapat. Saya masih ingat isinya. ”Selama ini tanpa sadar kita berkompetisi, kini saatnya tiba, bagaimana sikap kita.” Begitu kurang lebih isinya. Saya benar-benar tak nyaman. Sekiranya peristiwa Bali tak digugat takkan maju saya mencalonkan diri menjadi pemum.

Mubes digelar. Saya dengan tegas menolak LPJ pemum. Ada banyak yang menjadi dasarnya. Saya tak melihat ada pemum di kepemimpinan Zaenal, kalaupun ada itu adalah Shemone. Saya tak melihat adanya pemus di Teknokra, kalaupun ada itu adalah Wulan sang manajer keuangan. Saya hanya melihat adanya pemred di kepemimpinan Zaenal, Yamin. Pengelolaan keuangan juga acak-acakan, satu edisi tabloid terakhir tak jadi naik cetak karena miskalkulasi. Kru redaksi yang sudah menyiapkan tulisan menjadi tak semangat. Yamin bahkan sempat kecewa. Tapi tetap ada hikmahnya, skripsi saya tentang kasus trafficking di Lampung adalah bahan rubrik sorotan yang tak jadi naik cetak itu.

Jajaran pemimpin kemudian keluar untuk menunggu hasil rapat mubes. LPJ akhirnya diterima dengan catatan. Ada beberapa perbaikan yang harus diselesaikan kepemimpinan Zaenal, salah satunya utangan satu edisi. Yamin kemudian yang paling bertanggungjawab atas utangan tersebut.

Pemilihan Pemum Teknokra dimulai, Eva mengundurkan diri saat ditanya kesediaan ulang. Saya kaget. Sebelum pemilihan angkatan kami berkumpul singkat. Di rapat internal singkat itu disepakati tak ada yang mundur.  

Tinggal saya dan Tur. Pemilihan dimulai. Satu persatu suara dihitung. Posisi kami kejar-kejaran. Terakhir posisi kami sama imbang, tinggal satu kertas suara. Pitot dan Eka terlihat tegang. Kertas suara dibuka, nama Ferry tertulis di dalamnya. Allah menakdirkan saya menjadi Pemum Teknokra periode 2003/2004. Perasaan saya campur aduk terharu juga tak enak.

Di awal sambutan, sesaat setelah penghitungan saya menjelaskan bahwa saya tak akan menjelaskan tentang keberangkatan ke Bali yang pernah geger di Teknokra. Saya serahkan untuk menilai sendiri. Shemone tampak hendak memotong tapi tak jadi melihat saya tak membahas lebih jauh.      

                                                            ****

Turyanto kemudian didaulat menjadi Pemimpin Redaksi, sementara jabatan Pemimpin Usaha dipegang Eva. Saya beruntung didampingi keduanya karena kompetensi Tur dan Eva yang tak diragukan lagi. Namun bagaimanapun sisa-sisa kompetisi Mubes lalu masih terasa. Antara saya dan Tur seolah terbentang dinding tebal. Eva yang biasa menjembatani komunikasi di antara kami. Menurutnya kami seperti orang yang pacaran, saling ingin mengetahui keadaan masing-masing tapi gengsi untuk menanyakan langsung.

Kepemimpinan kemarin menyisakan pe’er yang berat. Kami belum bisa cetak. Ada persoalan administrasi pajak yang menghalang. Saya ke kosan Zaenal untuk membereskan hal ini, satu dua kali ia ada dan ikut mengurus, namun kemudian tak kelihatan lagi. Akhirnya saya, Wulan dan Eva mengurus sendiri, bolak-balik percetakan Ganesha. Salah satu diantara kami sempat kesal dan pernah berkata untuk tak usah mengurusi karena ini pe’er tahun lalu. Saya tahu, tapi jika kita tak mengurusinya, maka kita tak bisa cetak.

Saya kemudian menjalankan Teknokra dengan banyak kendala. Yang memberatkan, kendala tersebut justru datangnya dari internal. Seperti saat saya memotivasi (nama orang) magang Teknokra, ia malah menceritakan bahwa seorang senior mengatakan saya orang yang ’tipis’. Saya menanggapinya dengan enteng, saya memang kurus, tipis. Atau Jajaran Pemimpin misalnya yang coba dipengaruhi bahwa saya tak pantas jadi pemum. Saya menghela nafas. Belum lagi kebijakan yang saya buat yang selalu dikritisi. Tak membuat kebijakan saja juga disinisi, serba salah saya. Tapi yo weislah, saya jalani saja Teknokra dengan baik dan benar.

Hubungan antara jajaran pemimpin khususnya saya dan Tur memang tak berjalan harmonis hingga pertengahan masa kepengurusan. Tidak ada buku teori kepemimpinan manapun yang bisa mencairkan suasana ini. Ini persoalan hati. Saya sering berdoa di Masjid Alwasii agar hati kami kembali dicairkan, agar perseteruan kami disudahi. Allah kemudian menjawab doa saya dengan sakit gangguan fungsi hati yang saya derita. Satu bulan saya berbaring di sebuah rumah sakit di Serang. Tur, Eva dan Asti datang menjenguk. Dinding tebal yang selalu menjadi penghalang antara saya dan Tur runtuh hari itu. Sejak saat itu, hari-hari di Teknokra tak lagi menjadi berat.    

Dalam kepengurusan kami, PT. Teknokra Cendekia Utama (TCU) dirintis. Pendirian PT TCU kemudian rampung dan resmi diluncurkan di kepengurusan selanjutnya. PT TCU merupakan ide lama yang telah bertahun-tahun mengendap. Saya kemudian berinisiatif untuk mendirikannya. Idenya PT tersebut menjadi semacam holding company Teknokra dan memberdayakan alumni-alumni Teknokra. Saat itu syarat untuk mendirikan PT adalah memiliki modal/kekayaan yang terpisah sebanyak Rp.20 juta,-. Maka saya mencari alumni dan pengurus yang berniat menanamkan modal. Modal terkumpul meskipun tak sampai Rp. 20 juta, sebagian lainnya berbentuk komitmen. Dua orang pengurus turut menanam modal, saya dan Eva. Direksi dan Komisaris PT TCU dipilih. Juwendra Asdiansyah dipilih memimpin direksi, sementara mas Budi Santoso Budiman dipercaya memimpin jajaran komisaris.

Pada awalnya PT TCU berjalan baik, apalagi beberapa nama berpotensi ada di dalamnya seperti Agus Sahlan Mahbub dan M Fakhruriza Pradana mantan Pemum Teknokra, Joko Herwindo mantan layouter dan artistik yang dikenal punya segudang ide kreatif, Asti Aini mantan Kapuslitbang Teknokra. Salah satu proyek kegiatan yang pernah berjalan adalah Pelatihan yang ditujukan untuk bidang Humas (Hubungan Masyarakat). Beberapa instansi dan perusahaan tercatat mengirimkan delegasinya untuk mengikuti pelatihan yang diadakan di Hotel Hanum Bandar Lampung. Beberapa proposal dan pengajuan kerjasama juga pernah dijajaki ke beberapa perusahaan media seperti Lampung TV dan lain-lain.

Namun, beberapa nama kemudian terpaksa harus mengundurkan diri dari PT.TCU. Joko Herwindo harus terbang ke India, mendapatkan sebuah proyek pekerjaan. Saya, Fakhruriza Pradana dan Asti harus ke Serang Banten karena diterima sebagai akademisi di perguruan tinggi di Banten. Kondisi ini kemudian membuat PT TCU sulit bergerak. Dalam sebuah rapat yang melibatkan jajaran direksi dan komisaris kemudian diputuskan untuk membekukan sementara PT TCU, agar sisa modal yang ada tidak habis untuk operasional harian kantor.      
                                                                        ***

Satu tahun berlalu, perahu kami yang bernama Teknokra akhirnya berlabuh. LPJ kami bacakan, dan saat menunggu keputusan diterima atau tidaknya LPJ, kami malah makan bakso di luar ruang mubes, menikmati detik-detik akhir kebersamaan kami. Bagi kami tak penting lagi LPJ itu diterima atau tidak, kami sudah berproses dengan sungguh-sungguh, hasil bukan lagi urusan kami. Bakso belum habis, kami dipanggil ke ruangan kembali. LPJ kami diterima. Erieck, salah satu kru Teknokra mengabarkan bahwa Shemone mengirim pesan singkat dan menitipkan salam untuk saya. Saya tersenyum. Shemone memang filsuf sejati. Apa yang dilakukannya selalu dilandasi dasar filosofi. Di dalam hati, bagaimanapun saya harus berterima kasih padanya. Ia telah mengingatkan dan mengajarkan saya bahwa dunia bukanlah surga, tak semua orang senang pada kita. Dan ia telah menyampaikannya dengan cara yang unik.

Dalam LPJ tersebut juga saya tuliskan pada Asti bahwa kita telah mengakhirinya dengan indah, mungkin tak begitu indah, tapi tak serusak dulu.

Kami harus turun di sebuah pulau. Kapal Teknokra hanya berlabuh sebentar. Ia harus kembali berlayar dengan nahkoda baru. Nahkoda itu bernama Abdul ’Ago’ Ghofur.


Ferry Fathurokhman, Mantan Pemimpin Umum Teknokra Periode 2003/2004.
Sekarang bekerja sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

*Dikirim ke email Udo Z Karzi tertanggal 24 September 2010 unuk Teknokra: Jejak Pers Mahasiswa (edisi revisi)

No comments:

Post a Comment