January 24, 2019

Kumpulan Orang-Orang ”Gila”

Oleh Hapris Jawodo


BAGI saya, penggalan kehidupan di Teknokra Unila selama empat tahun (1986-1990) merupakan catatan yang membekas sangat dalam. Selama di sini, semua pengalaman sebagai seorang mahasiswa rasanya sangat lengkap. Pun bergudang-gudang bekal ilmu, wawasan, dan pengalaman, yang kemudian menjadi modal penting pasca lulus kuliah.

Kehidupan di kampus ibarat di surga. Di sini, saya punya kawan yang seperti saudara. Di sini saya punya dosen-dosen yang bersikap seperti sahabat. Di sini saya kenal banyak mahasiswa, dosen, bahkan karyawan dan Satpam Unila, di mana mereka juga memberi akses yang sangat luas—yang orang lain belum tentu mendapatkannya.

Teknokra: Cinta, Benci dan Damai

Oleh Ferry Faturokhman



SAYA tak pernah bisa melupakan saat-saat awal mengenal Teknokra di akhir Agustus 1999. Saat itu saya bersama lima ribuan mahasiswa baru lainnya berada di GSG Unila (Gedung Serba Guna Universitas Lampung) mengikuti kegiatan propti (program pengenalan perguruan tinggi). Jadwal hari itu adalah pengenalan UKM-UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang ada di Unila. Ada Pramuka, Filateli, Menwa, Silat dan lain lain.

Setiap UKM mengenalkan diri dengan kekhasannya masing-masing. Mapala mengenalkan diri dengan meluncur membawa bendera Mapala dari ketinggian 20 meter langit-langit GSG. Saya menyukai panjat tebing dan naik gunung sejak SMA (Sekolah Menengah Atas). Di SMA 1 Serang, saya sempat tercatat sebagai anggota Wapala (Siswa Pecinta Alam). Beberapa gunung seperti Ciremai, Gede, Pangrango dan dua gunung di Banten pernah saya naiki. Tapi saya ingin mencoba sesuatu yang baru. Lalu ada sebuah UKM, mengenalkan diri dengan cara unik membagikan koran seperti layaknya tukang koran pada mahasiswa baru. Saya mengambil satu, karena tak semuanya kebagian. Koran itu ternyata Tabloid Teknokra. Tampilannya profesional, seperti tabloid pada umumnya. Saya sempat membatin ”apa iya ini dibuat mahasiswa, rapih sekali.”

Teknokra, Sebuah Wadah Investasi Ilmu dan Masa Depan

Oleh Moh. Ridwan


SEORANG mahasiswa baru Universitas Lampung bertanya tentang aktivitas kampus yang kemungkinan akan digelutinya di luar bangku kuliah. Visinya bagus, dia ingin menjadi ‘mahasiwa plus’ yang kelak siap menghadapi dunia nyata selepas wisuda.

Dalam pikirannya, dunia sesungguhnya adalah dunia di luar bangku kuliah, yakni dunia kerja. Sementara kampus hanya untuk bekal  menyongsong masa depan yang ‘mungkin’ tidak pasti seiring ketatnya persaingan di dunia kerja. Dan, itu dikuatkan dengan masukan-masukan orang-orang dekatnya untuk berbuat lebih di kampus, bukan sekedar menjadi mahasiswa yang datang ke kampus, belajar, dan pulang ke rumah atau tempat kost.  

January 17, 2019

Ratusan Pelajar Mengecam Koruptor dan Belajar Puisi

Review Buku Serial PMK 7: Negeri Tanpa Korupsi


Oleh Sunaryo Broto

SAYA terima buku Puisi Menolak Korupsi 7: Negeri Tanpa Korupsi terbitan Buana Grafika, Yogya pada 11 Januari 2018 di rumah saya di pinggir hutan yang asri, Komplek Pupuk Kaltim, Bontang. Sampul buku masih tetap bergambar potongan sayap kupu-kupu. Buku tebal ini dikirim penyunting buku ini, Sosiawan Leak (bersama Rini Tri Puspohardini) karena saya sebagai koordinator Kaltim untuk serial penerbitan ini. Lalu buku didistribusikan pada penyair di wilayahnya. Memang hanya ada dua pelajar dari Kaltim –kebetulan diwakili dari Bontang, yang karyanya dimuat karena kendala waktu, publikasi dan geografis. Mungkin karena keterbatasan pula, dari Lampung, Banten, Kalimantan Barat hanya 1 puisi dan dari Yogya –yang dikenal gudang penyair, hanya 2 puisi. Beberapa bulan sebelumnya sudah terjalin komunikasi dari pengumuman, publikasi, diskusi, pengumpulan karya, seleksi dan penerbitan dari koordinator PMK dengan koordinator wilayah. Sudah terbentuk koordiantor wilayah seluruh provinsi di Indonesia. Dari Aceh sampai Papua. Setidaknya infrastruktur koordinator wilayah ini bisa untuk proyek literasi berikutnya.

Kalau boleh saya berkata, saya respek pada stamina para koordinator PMK (Puisi Menolak Korupsi). Kerja volunteer dan tak ada gaji bisa menggawangi sekian karya buku dan acara. Mereka meluangkan waktunya selama sekitar 6 tahun untuk mengurusi penerbitan ini. Gerakan yang dimulai sejak Mei 2013, ini diprakarsai oleh Heru Mugiarso, sastrawan asal Semarang dan Sosiawan Leak sastrawan asal Solo. Lalu bergabung ratusan penyair dari berbagai kota yang menyatakan suara sama. PMK sudah menerbitkan buku-buku antara lain: Antologi Puisi Menolak Korupsi (85 penyair, 2013), Antologi Puisi Menolak Korupsi 2a (99 penyair, 2013), Antologi Puisi Menolak Korupsi 2b (98 penyair, 2013), Antologi Puisi Menolak Korupsi 3: Pelajar Indonesia Menggugat (286 pelajar, 2014), Memo Untuk Presiden (196 penyair, 2014), Antologi Puisi Menolak Korupsi 4: Ensiklopegila Koruptor (174 penyair, 2015), Antologi Puisi Menolak Korupsi 5 : Perempuan Menentang Korupsi (100 penyair, September 2015), Bunga Rampai PMK, Bergerak dengan Nurani (Kumpulan Esai, 69 penulis, Maret 2017), Antologi Puisi Menolak Korupsi 6, Membedah Korupsi Kepala Daerah (200 penyair, Juni 2017).