September 2, 2007

LAF 2007, Gairah Kebangkitan Seni Tari

LAMPUNG Arts Festival (LAF) yang digelar di panggung terbuka Pasar Seni Enggal, Rabu (29-8) malam, memberikan semangat baru untuk menggiatkan kesenian di Lampung. Termasuk mengembalikan fungsi dan keberadaan Pasar Seni Enggal.

Banyaknya penonton membuat suasana benar-benar berbeda. Obor dari bambu menghiasi halaman tengah Pasar Seni Enggal. Panggung yang dibalut kain hitam dengan dua layar lebar di sisi kiri dan kanan menambah kemegahan gelaran ini.

Diawali penampilan lima tarian kontemporer dengan tajuk "Nuansa Lima" karya lima koreografer muda Lampung seolah memompa gairah seni ke setiap nadi pembuluh cabang kesenian di Lampung. Ini menjadi pengobat "kecewa" saat dua hari sebelumnya, rangkaian LAF dengan agenda pemutaran film independen karya sutradara Lampung dan pembacaan puisi oleh penyair papan atas tak menggugah penikmat seni Lampung. Bayangkan, penonton film itu hanya 20-an orang. Artinya, buatan sendiri ditonton sendiri. Masyarakat yang salah?

Pertanyaan itu butuh introspeksi untuk menjawab. Selain materi, peralatan yang digunakan pada pemutaran film-film pendek itu sekenanya. Layar proyektor kecil menyempil di tengah panggung seperti "yatim-piatu". Dukungan sound system juga seadanya.

Rommy Ramadhan, entertainer asal Jakarta yang turut menyaksikan, menyatakan secara umum film-film yang ditayangkan sangat monoton. Terutama dengan cerita. Tema free sex, narkoba, serta kekerasan dalam rumah tangga, katanya, memang tak habis "ditimba", tetapi di tangan para sineas amatiran, hal itu menjadi amat biasa.

Rommy bilang satu karya yang lumayan menarik idenya ialah "Ini kan Lampung?". Meskipun belum maksimal digarap, idenya sangat unik dan cerdas. Bahkan, pesan yang ingin disusupkan tersampaikan dengan baik.

"Secara umum, ada yang salah persepsi soal film pendek ini oleh sineas Lampung. Mereka cenderung mengartikan film indie ini merupakan sinetron yang dipendekkan," katanya.

Reuni Dunia Puisi

Gelaran Dunia Puisi, Senin (27-8) malam, menghadirkan puluhan penyair Lampung dan luar Lampung yang dikenal di kancah nasional. Mereka berkiprah sejak tahun 1980-an hingga 2000-an.

Ada Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Subhanuddin Alwy, Micky Hidayat, Bambang Widiatmoko, Anwar Putra Bayu, Y.S. Agus Suseno, dan Endang Supriadi yang bisa dibilang mewakili generasi tahun 80-an.

Mereka berkolaborasi dengan generasi yang baru bermunculan seperi I Wayan Sunarta, Ari Pahala Hutabarat, dan Inggit Putria Marga.

Malam apresiasi Dunia Puisi diisi pembacaan puisi dari penyair asal Lampung yang jumlahnya lebih dari 16 orang. Lalu penyair asal Sumatera Selatan, Jakarta, Yogyakarta, Cirebon, Bali, Banjarmasin, dan Makassar. Sayang, cukup pantas juga dikatakan "seniman ditonton seniman itu sendiri". Padahal, sempat ada ujaran bahwa Lampung sebagai negeri para penyair. Ini menjadi semacam "reuni" antarpenyair yang memang sudah saling kenal.

Dengan target "memberikan ruang apresiasi yang lebih besar kepada masyarakat atas dunia sastra, terutama puisi di Lampung", event ini boleh dibilang tidak berhasil.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan dunia tari yang selama ini sering dianggap sebatas seni yang bergulat di ranah seremonial. Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL), Syaiful Irba Tanpaka, pernah mengatakan selama ini tarian di Lampung hanya ditaja apabila ada suatu event.

Begitu pun kreasi tari yang ada, umumnya hanya sebatas tarian pesanan. Hasil kreasi yang ditampilkan dalam bentuk gerak tersebut hanya sebatas mengembangkan tarian tradisi Lampung yang ada dengan penambahan beberapa gerak serta aksesori yang dikenakan para penarinya.

Koreografer muda dari Sanggar Raden Intan, Ahmad Barden Moegni, mengatakan beberapa tahun terakhir, kondisi kesenian Lampung sepi akan gerak tari kontemporer. Malahan dia mengakui perkembangan tari kontemporer kini di Lampung dibanding dengan daerah lain sangat tertinggal.

Untuk itulah Barden merencanakan usai pertunjukan kali ini akan mengangendakan berbagai pertunjukan tari kontemporer lagi ke depannya. Sebab, dia menilai potensi yang dimiliki koreografer muda asal Lampung sangat besar. "Sebab itu, mereka ini harus memiliki peluang untuk berkembang dan mengembangkan kehidupan berkesenian di Provinsi Lampung terutama dalam hal tari kontemporer," katanya.

Gelaran "Nuansa Lima" digarap Kemas Abdulah Helmi (Sanggar Sangsaka), Agus Gunawan (Sangishu), Joni Effendi (Sanggar Bunga Mayang), Muhhamad Aris (Sanggar Kayu Ara), dan Barden (Sanggar Radin Intan).

Agus Gunawan menghadirkan tarian berjudul "Aning Anung". Agus menampilkan tarian komplentatif yang mengeksplor lekuk gerak dan gesture tubuh serta mimik penarinya. Tiga penari (Asep Sudrajat, Cintya Widyastuti, dan Dadang) dihadirkan dengan kostum kain putih melilit hampir seluruh tubuhnya, meliuk mengikuti tembang berirama seperti pemujaan agama Budha.

Muhammad Aris mengyuguhkan tarian bertajuk "Singlon of Love" dengan mengeksplorasi gerak dasar tarian balet. Sepasang penari (Aris dan Wika) memainkan elastisitas tubuh dengan bebas seolah saling isi dengan mengandalkan gerak improvisasi.

Sang laki-laki hanya dengan celana merah medok transparan dan perempuan berbusana cukup minim dipadu kerudung merah tampil memesona. Di akhir penampilan, muncul perempuan berpakaian agamais biru dan berkerudung yang kemudian menjadi fokus perhatian dua penari itu.

Aris mengatakan tarian itu berupaya memaknakan aksesori yang dikenakan seseorang terutama kerudung atau jilbab. Sebab, ternyata banyak perempuan yang mengenakan kerudung itu terlihat menjaga kesuciannya, akan tetapi dia sendiri tidak mengerti akan arti kesucian diri itu sendiri.

Sedangkan Kemas Abdullah Helmi menghadirkan tarian berjudul "Belenggu" menurunkan lima penari yang saling terikat tambang putih sambil membaca koran. Koran tersibak dan akhirnya kelimanya bisa berontak mencari kebebasan.

Kemas tampaknya ingin mengekspresikan kebebasan. Musik yang mengiringi juga bernuansa kebebasan. Diawali irama Mandarin, lalu berubah menjadi suara radio, musik chill out, dan dengan beraninya mengumandangkan suara mengaji. Akan tetapi, kata Kemas, pesan yang ingin disampaikan ialah kebebasan bukan tanpa batas karena masih ada Sang Pencipta.

Joni Efendi dari Sanggar Bunga Mayang yang menyuguhkan tarian berjudul "Katam". Enam penari mengangkat tema perpecahan suku, agama, dan ikatan saudara yang dialami Minak Pati Ali dan Batin Sumbing yang melakukan sumpah di Way Seputih untuk sehidup semati. Eksplorasinya yang dilakukan dalam gerak komplementatif yang ditambahkan gerakan tarian Lampung.

Penampilan pamungkas diberikan Sanggar Radin Intan dengan koreografer Ahmad Barden Moegni yang menghadirkan tarian "Mendadak Bos" dengan tiga penari. Di sini Barden berhasil memberikan suguhan tarian yang mengeksplorasi perpaduan tarian Lampung, nasional, serta modern. Bahkan, Barden memberikan sentuhan kisah secuil drama.

Yang menarik, Barden mencoba melibatkan penonton dalam karyanya. Penari pria yang berperan sebagai bos turun dan membagikan kertas bertuliskan kampanye kepada penonton. Dan ini tentu saja memberikan khazanah baru bagi dunia tari kontemporer yang ada di Lampung.

Dan kesuksesan gelaran "Nuansa Lima" yang digelar DKL bersama dengan Ikatan Masyarakat Pasar Seni dan Rain Arts ini memberikan satu keyakinan akan bangkitnya dunia berkesenian terutama seni tari kontemporer di Lampung.

Selain itu memberikan pelajaran bahwa ternyata manajemen juga perlu dimiliki para seniman ataupun penggiat seni lain. Paling tidak untuk menarik minat masyarakat hadir dalam event seni menjadi satu perhatian utama karena ternyata dunia seni juga milik masyarakat.

Serta yang utama menggiatkan kehidupan berkesenian di Pasar Seni Enggal ternyata membutuhkan keterlibatan pihak luar atau swasta. Jika menunggu pemerintah daerah yang bekerja, diibaratkan menunggu godot. n TEGUH PRASETYO/S-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 September 2007

2 comments:

  1. Tari Sigeh penguten dieksplor donk bang....
    mulai dari sejarahnya, filosofinya, pokoknya semua tentang tari sigeh penguten...

    ReplyDelete
  2. boleh juga tuh. kenapa nggak disya yang nulis?

    ReplyDelete