APRESIASI sastra daerah di kalangan pelajar di Lampung dinilai masih rendah, antara lain karena faktor penguasaan bahasa dan penekanan mata pelajaran muatan lokal (mulok) pada penguasaan tulisan (aksara) dibandingkan bahasa sebagai alat komunikasi.
Penilaian itu diungkapkan budayawan Lampung, Havizi Hasan di Bandarlampung, Selasa (25/9).
Salah satu pelaku sastra tradisional Lampung, H Ilyas, juga membenarkan penilaian Havizi tersebut.
Havizi menilai, pembelajaran bahasa Lampung lewat mulok itu harus direvisi.
Pembelajaran bahasa Lampung itu pada tingkat operasionalnya tak mencapai hasil maksimal terutama dalam praktik berkomunikasi.
"Yang terjadi siswa punya kemampuan menulis aksara Lampung tapi tidak mampu menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari," kata Havizi.
Menurut dia, persoalan sastra adalah persoalan bahasa, sehingga sangat tidak mungkin para pelajar di daerahnya dapat mengapresiasi karya sastra Lampung kalau tidak menguasai bahasanya.
"Pengembangan bahasa akan mendukung pengembangan sastra dan sebaliknya," katanya.
Dia berpendapat, Bahasa Lampung sulit berkembang tidak seperti bahasa daerah lainnya seperti bahasa Palembang, Minang, Sunda, dan Jawa.
Penyebab utamanya adalah orang Lampung sendiri yang kurang mengapresiasi bahasa daerahnya sendiri, sehingga hambatan utama dalam pemasyarakatan bahasa Lampung adalah karena tidak adanya rasa bangga menjadi orang Lampung.
"Orang Lampung sendiri tidak merasa bangga dengan bahasa ibunya sendiri, seperti dalam keluarga ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung," ujarnya.
Dia menyarankan, semestinya Pemda menerapkan aturan minimal sehari dalam seminggu untuk penggunaan bahasa Lampung di sekolah atau kantor-kantor dan berbagai metode lain untuk lebih memasyarakatkan bahasa Lampung yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahasa lisan dan pergaulan. ANT/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 September 2007
No comments:
Post a Comment