September 9, 2007

Sastra: Dicari: Novelis Lampung!

-- Maman S. Mahayana*

SELEPAS saya membolak-balik catatan perjalanan novel Indonesia, sejak sebelum Balai Pustaka sampai sekarang, saya berdoa: semoga pengamatan saya salah. Di sana, tidak ada novel karya sastrawan Lampung! Padahal, Lampung punya sejarah panjang tradisi bersastra. Datang saja misalnya ke Kabupaten Way Kanan. Maka, di daerah itu kita akan menjumpai begitu banyak sastra lisan yang menarik. Bahkan, nyeleneh dibandingkan sastra lisan di daerah lain di Nusantara. Lampung pun punya sejarah aksara sendiri, sejajar dengan aksara Bali, Jawa, Sunda, Melayu dan sejumlah aksara daerah lain di Nusantara. Jadi, secara kultural, wilayah ini punya kekayaan tradisi yang membanggakan. Lalu, mengapa tak ada novelis dari kawasan ini yang mencatatkan diri dalam peta sastra Indonesia? Bukankah selama ini Lampung juga telah dikenal sebagai salah satu poros penting kesusastraan Indonesia?

Sebelum Indonesia merdeka, Balai Pustaka didominasi sastrawan Sumatera dengan Minangkabau yang paling banyak melahirkan sastrawan. Tetapi, ketika itu pun tak ada novelis Lampung di sana. Medan yang lebih jauh dari pusat pemerintahan, malah ikut bermain. Dua di antaranya, Muhammad Kassim dan Suman Hs., meski Suman kemudian hijrah dan menjadi warga Melayu di Riau. Keduanya bahkan dipandang sebagai perintis novel-novel komedi.

Pada dasawarsa 1930-an Medan begitu banyak melahirkan novelis. Terbitnya majalah Pedoman Masyarakat pertengahan tahun 1935-an yang dikelola Hamka dan Helmy Yunan Nasution, ikut menyuburkan penulisan novel. Di majalah itu juga kita dapat menjumpai iklan-iklan novel terbitan sejumlah penerbit Medan. Termasuk juga iklan sayembara penulisan novel (roman). Para novelis Medan ketika itu, cukup populer terutama dalam penulisan novel detektif dan kisah-kisah petualangan (adventure). Beberapa di antaranya, Merayu Sukma, Yusuf Sou'yb, S.M. Taufik, Zalecha, dan Ghazali Hasan. Jalur penerbitan dan distribusi buku Medan, Tebingtinggi, Bukingtinggi, dan Padang memungkinkan perkembangan sastra masa itu bergerak semarak.

Selepas merdeka, Balai Pustaka dikelola dengan kebijaksanaan membiarkan semangat dan ciri keindonesiaan. Pemerintah tak lagi ikut campur dalam soal yang menyangkut tema cerita. Keinginan untuk mempertahankan bahasa Indonesia yang khas Balai Pustaka, juga diperlakukan lebih longgar. Ada kesadaran dari redakturnya untuk mempertahankan unsur bahasa dan kebudayaan daerah yang masuk dalam naskah yang dikirim ke Balai Pustaka. Maka, unsur-unsur bahasa daerah (Sunda dan Jawa) dalam novel Atheis (1949) karya Achdiat Karta Mihardja dan Keluarga Gerilya (1949) karya Pramoedya Ananta Toer dibiarkan bertebaran dalam kedua novel itu.

Akibat kebijaksanaan Balai Pustaka itu, dominasi sastrawan Sumatera mulai pudar. Sastrawan dengan latar budaya Jawa dan Sunda, bermunculan. Meskipun demikian, Minangkabau (sekadar menyebut dua nama: A.A. Navis, Motinggo Boesje) dan Medan (Barus Siregar dan Bokor Hutasuhut) ditambahkan dengan mereka yang kemunculannya setelah hijrah ke Jawa (Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, Nasjah Djamin). Palembang, selepas tahun 1950-an, memunculkan nama Bur Rasuanto dan K. Usman.

Sampai kini, poros-poros novel Indonesia di Sumatera itu masih memperlihatkan kontribusinya. Bahkan lebih semarak dibandingkan tahun 1950-an. Sumatera Barat, misalnya, masih merupakan penyumbang terbesar novelis Indonesia. Sekadar menyebut beberapa, Wisran Hadi, Darman Munir, Gus tf Sakai. Riau, selepas Ediruslan P.E. Amanriza, masih ada Sudarno Mahyudin, lalu muncul pula Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, Mohammad Nasir, Olyrinson, Hary B. Kori'un. Bahkan Juli lalu, Rida K Liamsi meluncurkan novel Bulang Cahaya (JP Book Surabaya dan Yayasan Sagang, 2007, 326 halaman), sebuah kisah percintaan Romeo dan Juliet model Melayu yang dikemas dalam bingkai besar terbelahnya keagungan kerajaan Melayu. Belum lagi menyangkut kawasan Kepulauan Riau, Bintan dan Batam, di antaranya, Samson Rambah Pasir dan Tusiran Suseno. Malahan, Tusiran Soseno tercatat sebagai pemenang kedua Lomba Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, 2006.

Sementara itu, Aceh selepas bencana mahadahsyat--tsunami--seperti menggeliat dan tiba-tiba membangunkan kehidupan kesusastraan di sana menjadi lebih semarak. Sulaiman Tripa, misalnya, kini telah menghasilkan tiga novel, Safiah, Perempuan Perlasia (2003), Malam Memeluk Intan (2007) yang bercerita tentang tragedi tsunami, dan Kala Senja di Gampong Tua sedang dalam persiapan terbit. Para penyair dan cerpenis di sana makin bergiat menerbitkan karya-karya mereka. Ke depan, sangat boleh jadi Aceh akan memberi kontribusi penting bagi perjalanan kesusastraan Indonesia.

Palembang yang dalam satu dasawarsa terkesan redup-senyap dalam ingar-bingar kesusastraan Indonesia, belakangan ini memperlihatkan gairah yang menjanjikan. Para penyair dan cerpenis bermunculan dengan kualitas yang boleh disandingkan dengan sastrawan dari daerah lain. Toton Dai Permana lewat novelnya Angin niscaya akan menyemarakkan peta novel Indonesia. Sebelum itu, Taufik Wijaya telah memperlihatkan talentanya lewat Juaro (Pustaka Melayu, 2005, 164 halaman). Kini, novel berikutnya, Buntung dalam persiapan terbit.

***

Pengalaman sebagai juri dalam sejumlah sayembara penulisan novel, kerap membawa saya pada satu kesimpulan: tak ada naskah novel yang ditulis sastrawan Lampung. Ke manakah mereka? Apakah penyelenggaraan Krakatau Award sejak 2002 yang berkutat pada puisi dan cerpen itu berdampak juga pada proses kreatif yang lain hingga novel tak tersentuh? Atau, Krakatau Award sesungguhnya representasi dan sekaligus legitimasi atas ketakberdayaan menjamah novel?

Dulu saya agak akrab dengan nama-nama Aan Sarmany Adiel, Ahmad Yulden Erwin, Diro Aritonang, Iwan Nurdaya Djafar, Naim Prahana, Hasanuddin Z. Arifin. Mereka pernah cukup memukau. Saya, bahkan sempat mengagumi Iwan Nurdaya Djafar atas karya-karya terjemahannya yang cantik. Kini, mereka mungkin sedang asyik-masyuk dalam kubangan kemapanan.

Saya mencari Syaiful Irba-Tanpaka yang juga seperti tenggelam di antara nama-nama Ari Pahala, Dahta Gautama, Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, Lupita Lukman, Oyos Saroso, Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan, dan sederet panjang nama yang di luar jangkauan. Apakah di antara deretan nama itu tak ada satu pun yang punya napas berlebih untuk menulis narasi panjang?

Isbedy yang cerpennya bertebaran sesungguhnya sangat potensial menunjukkan kualitasnya sebagai novelis andal. Coba cermati sejumlah cerpennya. Di sana tersimpan potensi untuk menjadi narasi panjang. Saya kira, Isbedy patut lebih sabar untuk tidak tergesa-gesa menyelesaikan prosanya agar tak sekali jadi.

Iswadi Pratama juga sesungguhnya punya kemampuan yang sama. Penggarapan sejumlah naskah dramanya adalah miniatur novel. Bukankah tindak perbuatan melakukan transformasi naskah drama ke novel pernah dilakukan Putu Wijaya dalam "Bila Malam Bertambah Malam" dan Nano Riantiarno dalam "Primadona"? Kenapa Iswadi tak mau menunjukkan kualitasnya sebagai penulis novel yang andal, meski sesungguhnya ia mempunyai kualitas itu?

Boleh jadi nama-nama yang disebutkan tadi sesungguhnya novelis yang menjanjikan. Boleh jadi pula mereka belum menyadari kualitasnya sendiri, sehingga sudah cukup puas dengan puisi dan cerpen. Meski begitu, tentu saja mereka bebas memilih. Bukankah tak menulis apa-apa pun dan hidup sambil menikmati kemapanan tak berdosa lantaran tak dilarang Tuhan. Bahkan, jika tak ada satu pun novelis Lampung sampai entah kapan, Indonesia tak bakal runtuh dan kehidupan akan tetap berjalan sebagaimana biasa. Kebudayaan dan kesusastraan di Lampung juga tetap akan menggelinding. Hidup tanpa novel, seperti di Papua atau di daerah-daerah terpencil, bukankah tetap berjalan dan tak menimbulkan pemberontakan? Cuma, jika terbit sebuah novel karya sastrawan Lampung, sangat mungkin namanya akan tercatat sebagai perintis, sebagai sang pemula; novelis Lampung pertama!

Sebaliknya, jika novel dipercaya sebagai representasi intelektualitas, sebagai yang melengkapi lanskap peta kesusastraan, sebagai sumbangsih kultural yang membawa nama wilayah masyarakatnya, maka patutlah dipikirkan untuk segera melahirkan novelis(-novelis) andal. Dalam hal ini, pemerintah daerah (pemda) sesungguhnya bertanggung jawab secara kultural, intelektual, bahkan juga moral. Jadi, Pemda mestinya memfasilitasi sastrawan di wilayahnya untuk menulis novel sebagai usaha mengangkat citra, bahwa Pemda Lampung peduli pada kehidupan kebudayaan intelektual. Peradaban dan reputasi bangsa di dunia yang punya sejarah panjang kesusastraan, selalu dibesarkan para novelisnya.

Dalam banyak kasus, hanya wilayah terbelakang yang tak pernah melahirkan novelis? Pemda dan Dewan Kesenian Lampung niscaya sangat menyadari keprihatinan ini. Bangsa besar adalah bangsa yang selalu punya novelis. Novelis lahir dari bangsa yang merasa punya marwah dan martabat sebagai bangsa besar. Apakah Lampung termasuk kategori bangsa besar? Kita lihat saja nanti, bagaimana pemdanya punya perhatian atau tidak atas masalah ini. Di balik kecemasan ini, saya berdoa: semoga pengamatan saya salah!

n Maman S Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 September 2007

No comments:

Post a Comment