Bandar Lampung, Kompas - Pementasan tari "Nuansa Lima" pada Selasa (28/8), yang merupakan bagian dari agenda Lampung Art Festival 2007, tidak terlalu memukau. Tarian yang ditampilkan tidak lebih merupakan tampilan para koreografer yang tengah belajar menciptakan tarian kontemporer.
Tampilan dari Sanggar Sangsaka dengan koreografer Abdullah Helmi, misalnya. Tarian berjudul "Belenggu" yang ingin menampilkan cara manusia mencapai kebebasannya justru ternodai oleh gerakan-gerakan cepat ala modern dance.
"Tarian kontemporer pada dasarnya tarian yang diciptakan dengan dasar tari klasik. Unsur kontemporer hadir sebagai pelengkap saja," kata Kritikus Tari sekaligus koreografer tari dari Lampung Gandung Hartadi, Selasa (28/8) malam.
Melalui "Belenggu", penonton yang hadir sebetulnya sudah merasakan klimaks kebebasan yang ingin dituju. Kumpulan penari yang menunjuk bendera Merah Putih yang dijunjung seorang penari di akhir tarian sudah menunjukkan arti kebebasan.
Sayangnya, selain ternoda oleh gerakan-gerakan yang tidak perlu dan keluar dari pakem kontemporer, yaitu berupa gerakan patah-patah dan berulang, "Belenggu" juga ternoda oleh iringan musik yang mirip modern dance dan juga oleh beberapa properti yang dimainkan. "Sehingga prosesnya menjadi kabur," kata Gandung.
Pada "Nuansa Lima", para koreografer juga sepertinya masih meraba-raba bentuk tari kontemporer. Tari "Singlon of Love" yang dibawakan Sanggar Kayu Hagha menunjukkan pencarian bentuk itu.
"Koreografernya belum bisa menempatkan simbol secara pas, sehingga mereka terkesan memang masih belajar," kata Gandung. (hln)
Sumber: Kompas, Sabtu, 1 September 2007
No comments:
Post a Comment