September 24, 2007

Pendidikan: Unila Masih sebagai Menara Gading? (Dies Natalis ke-42 Unila)

-- Sunardi*

PADA 23 September 1965, menjelang meletusnya G-30-S/PKI, Universitas Lampung lahir di Lampung. Di usianya yang ke-42, berbagai prestasi dan "prestasi" dicatat dalam sejarah yang menandai timbul tenggelamnya prestise Unila.

A.H. Halsey (Michio Nagai, 1993), sosiolog Inggris, berpendapat pada abad pertengahan, lahirnya universitas-universitas tradisional Eropa, Bologna di Italia, Oxford dan Cambridge di Inggris, Heidelberg di Jerman, Universitas Paris di Prancis, Harvad, Yale, dan Colombia di Amerika Utara dinilai sebagai menara gading. Yakni, tempat berkumpulnya sejumlah kaum elite untuk mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri.

Namun, fungsi itu terus terkikis sejalan revolusi industri. Fungsi itu kemudian menjadi pusat-pusat latihan tenaga profesional.

Pada perkembangannya, universitas mengalami perubahan mencolok. Akibat revolusi teknologi, gelombang perluasan universitas melanda negara-negara industri di seluruh dunia.

Rekayasa (engineering) yang sama sekali tidak dimasukkan ke dalam kurikulum universitas pada masa sebelum revolusi industri, mulai menduduki tempat utama, dan bersama jurusan sains menarik hampir setengah dari seluruh jumlah mahasiawa-mahasiswa dalam bidang humaniora yang selama ini merupakan elite dalam jumlah terbatas, semenjak itu berubah menjadi cadangan calon pegawai kantor.

Gapura universitas kemudian dibuka seluas-luasnya bagi kaum perempuan, dan universitas di samping memberikan latihan-latihan profesional mulai berperan sebagai suatu lembaga pendidikan nasional yang memberikan pengajaran umum bagi warga negara biasa.

Indonesia mengenal tradisi universias pada paro abad ke-20 dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada, tak lepas dari dinamika atau pergulatan internal tersebut untuk mendapatkan peran yang pas di masyarakat. Pergulatan itu sampai sekarang belum usai dan masih terus berlangsung (Darmaningtyas, 2005).

Pada tahap awal pertumbuhan, universitas-universitas di Indonesia dapat dikatakan mengikuti pola pertama, yaitu ingin mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri. Tetapi sejak akhir 1970-an hingga sekarang, perkembangan universitas-universitas di Indonesia cenderung mengikuti pola yang menempatkan bidang-bidang teknik atau ilmu-ilmu terapan lainnya menjadi bidang utama.

Universitas selalu dituntut mereposisi diri setiap kali terjadi perkembagan inovasi teknologi, atau terjadi perubahan di masyarakat. Hal itu akan melahirkan dua kemungkinan: kalau universitas mampu mengadaptasi perkembagan secara cepat, dia akan unggul, tetapi bila tidak, maka dia akan hilang dari peredaran.

Bagaimana dengan Unila?

Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Unila bukanlah unsur yang berdiri sendiri dan terpisah dengan lingkungan (menara gading). Untuk itu, keterlibatan Unila terhadap masyarakat adalah suatu keharusan.

Unila merupakan katalisator antara dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kebutuhan nyata masyarakat. Dengan posisinya itu pula Unila diharapkan menjadi salah satu agen pembaruan (agen of modernization), pusat keunggulan (center of exellence), yaitu ikut serta berperan dalam mengembangkan mutu kehidupan masyarakat.

Pandangan ini memberikan kejelasan bahwa Unila mempunyai fungsi yang berdimesi tiga. Yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat atau yang lazim disebut dengan Tridharma Perguruan Tinggi.

Sebagai suatu institusi, Unila diharapkan melakukan fungsi mendidik mahasiswa agar mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa khususnya di daerah Lampung. Tujuannya bukan saja menghasilkan tenaga ahli untuk mengisi jaringan teknostruktural melalui pendidikan dan penelitian, melainkan juga bertujuan mengembangkan kemampuan pribadi mahasiswa yang menyangkut pengetahuan, sikap, keterampilan bertindak sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki rasa tanggung jawab serta pengabdian pada masyarakat.

Dalam kaitan ini, adanya kebijakan tentang mahasiswa manuggal dengan masyarakat merupakan manivestasi dari Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu darma pengabdian dan dilaksanakan dalam bentuk kuliah kerja nyata (KKN), meskipun akhir-akhir ini eksistensi KKN dipertanyakan oleh banyak kalangan. Terlepas dari pro dan kotra penyelenggaraan KKN, hal ini merupakan pengakuan secara formal terhadap fungsi kemasyarakatan mahasiswa.

Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, Unila merupakan aras tertinggi dalam keseluruhan usaha pendidikan. Pada aras ini seharusnya Unila menghasilkan lulusan sarjana yang menjadi kelompok profesional baru atau the new breed of professionals. Suatu generasi profesional mandiri yang merupakan calon-calon pemimpin dan pengabdi masyarakat bangsa dan negara.

Inilah idealnya, inlah harapan dan cita-cita kita semua sebagai anggota masyarakat terhadap Unila. Masalahnya adalah bagaimana mempersiapkan calon-calon profesional mandiri itu? Apakah sistem pendidikan dan kurikulum yang sekarang ada dapat diharapkan untuk menghasilkan apa yang kita cita-citakan itu. Apakah program-program pendidikan yang selama ini berlaku dapat menghasilkan apa yang menjadi harapan kita bersama.

Kebebasan untuk berpikir, berpendapat dan mengeluarkan pendapat merupakan suatu syarat mutlak bagi pendidikan yang ingin menghasilkan generasi profesional baru. Kreativitas harus selalu dihargai dan inovasi selalu diberi peluang untuk tumbuh dan berkembang.

Sikap keterbukaan dan selalu ingin tahu (belajar) harus merupakan sikap setiap pendidik (dosen). Dosen merupakan nara sumber ilmu pengetahuan bagi mahasiswa. Perpustakaan yang lengkap adalah pusat sumber pengetahuan yang harus sealu siap untuk digali dan dimanfaatkan oleh seluruh civitas academica. Sarana-sarana lain merupakan penunjang bagi kegiatan pendidikan, masyarakat luas adalah tempat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh para mahasiswa ketika belajar dibangku kuliah.

Kini, kecenderungan perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia yang latah dalam pengembangan program studi, selain disebabkan oleh dorongan bisnis yang sangat kuat, juga akibat dari krisis identitas. Sedikit perguruan tinggi, utamanya universitas di Indonesia, PTN maupun PTS, yang memiliki identitas diri cukup kuat, misalnya sebagai universitas riset atau universitas kota atau universitas ndeso dan sebagainya, (Darmaningtyas, 2005).

Di usianya yang ke-42 tahun, Unila berkewajiban mengembangkan dan memelihara fungsi-fungsi krusialnya melalui penegakan etik dan keteguhan ilmiah dan intelektual melalui berbagai aktivitasnya. Kedua, mampu berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik, kebudayaan, dan sosial secara independen. Dan, dengan kesadaran penuh tentang tanggung jawabnya, menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi, memahami, dan bertindak.

Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan-kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi peringatan dan pencegahan.

Keempat, menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan dan solidaritas seperti disinggung dalam Konstitusi UNESCO.

Kelima, menikmati kebebasan dan ototnomi akademis, seperti terlihat dalam hak-hak dan kewajiban, sementara tetap bertanggung jawab sepenuhnya (fully responsible) dan (accountable) kepada masyarakat. Keenam, memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang memengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa dan masyarakat global.

Selamat pagi Unila-ku, di usia yang ke-42 tahun, tempat di mana aku tumbuh dan dibesarkan.

* Sunardi, Guru SMA Negeri 9 Bandar Lampung, Alumnus FKIP Unila

Sumber: Lampung Post, Senin, 24 September 2007

No comments:

Post a Comment