Oleh Hary B Kori'un, Pekanbaru
hbkoriun@riaupos.com
SEBAGAI daerah asal lahirnya Bahasa Indonesia, Riau memiliki peran besar dalam perkembangan dan pembentukan bangsa Indonesia. Ketika kekayaan kebudayaan Indonesia banyak diakui oleh negara lain, seperti Malaysia, Riau sebenarnya juga memiliki potensi sebagai benteng, terutama kekayaan bahasa. Menurut Drs Agus Sri Danardana MHum, Kepala Balai Bahasa Riau, banyak upaya yang bisa dilakukan untuk melindungi dan melestarikan kekayaan budaya tersebut, dan itu memang harus dilakukan dengan bekerja keras.
Berikut pandangan-pandangan mantan Kepala Kantor Bahasa Lampung tersebut dalam perbincangan dengan Riau Pos dalam beberapa kesempatan, termasuk Rabu (19/8) pekan lalu. Petikannya:
Sebenarnya fungsi Balai Bahasa itu untuk apa?
Balai Bahasa itu UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Pusat Bahasa Jakarta. Kami sesungguhnya bertanggung jawab langsung ke Menteri Pendidikan Nasional melalui sekretariat jenderal Depdiknas. Di daerah, hampir semua provinsi ada, meski belum semuanya. Tugas kami tentu saja adalah kepanjangan Pusat Bahasa di daerah, yang tugasnya mengelola masalah-masalah kebahasaan dan kesusasteraan di daerah. Untuk di Riau, itulah tugas kami. Selain melakukan penelitian kebahasaan dan kesusasteraan, juga melakukan pemasyarakatan bahasa dan kesusasteraan.
Latar belakang pendirian lembaga ini berdasarkan pertimbangan apa?
Begini, dulu masalah kebahasaan tidak dianggap penting. Dulu UPT Pusat Bahasa itu hanya ada tiga, yakni di Denpasar, Jogjakarta dan Makassar. Menjelang Reformasi 1998, muncul gonjang-ganjing akan adanya beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan itu membuat bahasa dianggap sebagai masalah penting yang kemudian membuat pemerintah punya niat mendirikan balai-balai bahasa di daerah. Ini yang menarik, ketika instansi lain melakukan penciutan, Pusat Bahasa malah melakukan pemekaran. Sekarang sudah berdiri 30 Balai dan Kantor Bahasa di 30 provinsi. Yang belum adalah di Sulawesi Barat dan Papua Barat.
Dalam menjalankan tugasnya, apa yang dilakukan Balai Bahasa karena setiap daerah memiliki persoalan dan spesifikasi masing-masing?
Sebenarnya Riau menjadi unik –apalagi sebelum terpecah menjadi Riau dan Kepulauan Riau— karena berbatasan langsung dengan negara tetangga. Balai Bahasa Riau diharapkan menjadi benteng karena isu-isu pencaplokan atau pengakuan hak cipta oleh negara tetangga terhadap kebudayaan kita terus berlangsung. Sebenarnya, ada indikasi Bahasa Indonesia ini jika tidak kita pelihara juga bisa saja dicaplok. Sebab, ternyata, secara diam-diam sekarang ini banyak negara yang membuka jurusan Bahasa Melayu, bukan Bahasa Indonesia, sementara Bahasa Indonesia dasarnya berasal dari Bahasa Melayu, meskipun pada kenyataannya memang sudah berbeda. Usaha-usaha memperkokoh kemelayuan ini sesungguhnya secara politis, barangkali, agak lengah. Ini menurut pendapat banyak pakar bahasa. Karena sesungguhnya semua yang berbau Indonesia, bisa saja diakui sebagai Melayu.
Mungkin mereka sadar bahwa bahasa adalah simbol sebuah kebudayaan dan identitas bangsa?
Sebenarnya kita menang, dalam hal bahwa Bahasa Indonesia sudah diakui. Secara hukum kita punya dasar bahwa Bahasa Indonesia-lah sebagai bahasa negara. Sementara di Malaysia, sebenarnya mereka sudah terlanjur mengumumkan bahwa bahasa negara mereka adalah Bahasa Inggris, bukan Bahasa Melayu. Tetapi sekarang ini di Malaysia ada fenomena yang berbeda dengan pemerintah dengan muncul sebuah kesadaran berbahasa, yakni ingin Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa negara. Ini yang harus kita waspadai, karena selama ini kita banyak kecolongan dari mereka. Yang sedang hangat sekarang adalah tari Pendet milik masyarakat tradisional Bali, sudah diklaim oleh mereka dalam kampanye wisatanya. Sebelumnya wayang, batik, reog Ponorogo dan sebagainya. Memang penyebabnya mungkin kemelaratan kita.
Dulu ada Kamus Nusantara yang membuat Brunei Darussalam. Yang mengagetkan, hampir 70 persen isinya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) milik kita. Nah, kabarnya Malaysia juga sedang menyusun kamus Bahasa Melayu. Nah, yang sebenarnya hal seperti ini terjadi karena kita kalah dalam hal promosi, yang membuat secara internasional kita bisa kecolongan. Sementara, sebagian masyarakat kita menganggap abai masalah kebahasaan ini karena menurut mereka bahasa hanya dianggap sebagai alat komunikasi, padahal untuk bangsa ini Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar alat komunikasi, tapi identitas bangsa ini.
Kemudian, tanggung jawab Balai Bahasa dalam menjaga keragaman bahasa lokal masing-masing daerah bagaimana?
Kalau keragaman, sesungguhnya ingin kami lestarikan, karena sesungguhnya keberagaman itu keniscayaan untuk bangsa ini dan harus kita syukuri. Keberadaan kami sesungguhnya juga untuk hal itu, meskipun sebenarnya secara hukum sejak era otonomi daerah, masalah bahasa lokal atau bahasa daerah menjadi kewenangan secara otonomi daerah masing-masing. Tapi justru itu kami siap karena sesungguhnya kami tahu bahwa persoalan-persoalan teknis masalah kebahasaan sebenarnya ada di lembaga ini, bukan di pemerintah daerah. Oleh karena itu kami sangat berharap Balai Bahasa bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Untuk Riau, karena Bahasa Indonesia lahir dan disepakati berdasarkan Bahasa Melayu dan itu lahir di tanah ini sebagai bahasa masyarakat sehari-hari, secara spesifik apa yang dilakukan Balai Bahasa Riau untuk Bahasa Melayu?
Sebetulnya kami mencoba untuk menyamakan dan kami mengakui bahwa Bahasa Indonesia itu berasal dari Bahasa Melayu, tetapi kami tetap memperlakukan Bahasa Melayu sebagai bahasa daerah, dan kami akan melakukan inventarisasi. Belakangan ini muncul semacam hujatan bahwa KBBI bukan lagi Bahasa Indonesia, tapi Bahasa Jawa, karena banyak kosa kata dari Bahasa Jawa. Nah, untuk mengurangi tuduhan seperti itu, sejak beberapa tahun belakangan ini –ini tergantung Balai Bahasa masing-masing daerah—kami mencoba menginventarisasi kosa kata bahasa-bahasa daerah. Saya belum bisa bicara banyak tentang Bahasa Melayu, yakni dialek-dialeknya, tetapi teman-teman sudah melakukan itu dan akan mencoba memasukkannya dalam KBBI. Keberadaan Bahasa Melayu tentu saja akan memperkaya Bahasa Indonesia. Sekali lagi, ini tidak mengurangi rasa hormat bahwa Bahasa Melayu adalah dasar dari Bahasa Indonesia, meski pada perkembangan selanjutnya memang terjadi banyak penambahan dan perubahan.
Di Riau banyak dialek Bahasa Melayu yang mungkin agak berbeda antara daerah pesisir dengan daratan.
Itu sangat kami perhatikan, terutama sering ada istilah-istilah yang tak bisa diterjemahkan. Artinya secara konsep dia harus dijelaskan, bukan semata-mata diterjemahkan, terutama kosa kata arkhaik yang banyak terjadi dalam Bahasa Melayu
Balai Bahasa Riau ini sebenarnya berdiri dan ada sejak lama, tetapi banyak masyarakat yang tak tahu secara jelas sebenarnya lembaga apa ini. Sebagai kepala yang baru, apa yang akan Anda lakukan untuk memberi pemahaman itu?
Mungkin kalau memang kenyataan seperti itu, lokasi (kantor, red) ini juga menentukan. Banyak orang menganggap Balai Bahasa Riau ini bagian dari Universitas Riau (Unri). Itu masalah pertama. Kemudian, saya juga tidak tahu sesungguhnya yang terjadi sebelumnya, tetapi menurut saya mungkin kami belum melakukan sosialisasi yang benar untuk menanamkan eksistensi ke masyarakat. Tetapi menurut saya, segala sesuatu itu sebenarnya tidak perlu diiklankan, karena masyarakat akan mengetahui kalau kita berkarya. Mudah-mudahan ke depan karya-karya itu akan segera diketahui oleh masyarakat dan tentu saja kami tidak ingin berada di menara gading. Masih mending kalau di menara gading, kalaupun tidak dikenal masyarakat, tempat kami masih enak. Ini celakanya, sudah tidak di menara gading dan tidak dikenal.
Karya yang seperti apa yang akan di-publish agar masyarakat mengenal lembaga ini?
Ini persoalan semua daerah, saya kira. Yang mendesak adalah, kami akan melakukan pemetaan bahasa, dan sebenarnya itu sudah dimulai. Kami sedang betul-betul melakukan penelitian tentang jumlah bahasa, dan sekarang ini untuk seluruh Indonesia kami baru bisa mengatakan jumlahnya baru sekitar 460 bahasa, ini belum termasuk bahasa-bahasa di wilayah timur Indonesia, dan sekarang masih terus dilakukan penelitian dan pemetaan.
Sebagai orang baru yang ditugaskan Pusat Bahasa untuk memimpin Balai Bahasa Riau, tentu Anda belum menguasai medan dan mungkin akan banyak tantangan yang muncul. Apa yang akan Anda lakukan?
Yang pertama saya lakukan adalah melihat kekuatan kami di dalam lembaga ini, berapa penelitinya, sertifikasinya bagaimana, kemampuannya bagaimana dan sebagainya. Keluar, saya akan mendatangi beberapa komponen masyarakat yang memiliki perhatian terhadap kebahasaan dan kesusasteraan. Mungkin teknisnya bisa saya langsung menemui beliau-beliau itu, atau mereka kami undang ke sini dalam sebuah kegiatan yang akan kami buat, dan di sana nanti kami akan share pengalaman. Saya sadar, sebagai orang baru, tak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan teman-teman, terutama kalangan sastrawan, tokoh kebahasaan dan kalangan jurnalis di Riau ini.
Pola seperti ini juga pernah Anda lakukan di Lampung?
Ya, saya memakai pola seperti ini saat saya diangkat menjadi Kepala Kantor Bahasa Lampung tahun 2004. Yang pertama saya dekati bersama teman-teman di kantor adalah kalangan sastrawan, wartawan, dan budayawan.
Support seperti apa yang akan diberikan oleh Balai Bahasa kepada kalangan sastrawan ketika Anda di Lampung?
Kami akan melibatkan mereka. Kami ajak melaksanakan kegiatan itu dan kami menyatu. Itu yang memudahkan kami, sampai-sampai kami dikenal masyarakat secara luas.
Di Riau, mungkin berbeda dengan Lampung, dan sifatnya sangat spesifik, karena mungkin Anda akan menempuh daerah-daerah yang jauh dan terisolir dalam melakukan pemetaan bahasa, misalnya. Apa yang akan Anda lakukan?
Hal itu sebenarnya bisa ditempuh dengan beberapa hal. Misalnya seperti tadi, kami undang tokoh di daerah itu, lalu kami kumpulkan teman-teman dan meminta sang tokoh untuk berceramah. Model seperti itu yang saya pakai di Lampung. Dan alhamdulillah berhasil. Ada dua hal yang bisa kami lakukan, kami bisa mengorek ketokohannya, dan sekaligus mendapatkan informasi tentang tempat tinggal daerah tokoh tersebut. Hal ini sangat efektif, karena kalau kami datang ke daerah tersebut, kami tak bisa memberangkatkan seluruh petugas peneliti kami, sementara kalau diundang, semuanya bisa mendengar langsung. Dan di Lampung, dengan pola itu, yang akrab dan kenal dengan tokoh sastra dan bahasa maupun wartawan bukan hanya saya, tetapi seluruh pegawai jadi kenal dan akrab dan ini memudahkan pekerjaan kami. Selama ini yang muncul di masyarakat, Balai Bahasa Riau seolah-olah menjadi lembaga yang eksklusif. Kalangan sastrawan, media massa dan masyakat belum melihat peran penting lembaga ini. Ini pekerjaan yang tak ringan bagi Anda.
Secara umum satu-satunya jalan adalah, kami yang mengajak bicara masyarakat, seperti yang saya jelaskan tadi. Karena sesungguhnya, tokoh sastra –baik modern maupun tradisional—, tokoh bahasa dan lain sebagainya adalah yang paling tahu dengan kondisi daerahnya. Kami akan memaksimalkan kerja sama, syukur-syukur kami bisa memberikan fasilitas kepada mereka untuk berkarya.
Sebenarnya pekerjaan secara teknis pegawai di Balai Bahasa ini seperti apa? Apakah konsen di penelitian, pelayanan, atau penyuluhan?
Kalau yang resminya, diharapkan tenaga teknis itu menjadi peneliti karena lembaga ini sebenarnya adalah lembaga penelitian. Ada “profesi” lain, yakni menjadi penyuluh dan penyunting. Penyuluh itu mirip dengan mengajar meskipun ada perbedaan, sedang penyunting itu mungkin sama dengan editor di surat kabar. Nah, saya belum tahu apakah dua hal itu sudah berjalan, tetapi di Jakarta misalnya, kami sudah kewalahan. Di bidang penyuluhan misalnya, tidak semua itu keinginan kami, tetapi instansi-instansi baik swasta maupun negara, sudah sadar dan memerlukan tenaga kami. Misalnya mereka melakukan pelatihan-pelatihan untuk karyawan maupun pegawainya, mata saji bahasa pasti ada dan itu diberikan kepada kami sebagai tenaga pengajarnya. Di DPR misalnya, saat pembahasan undang-undang, itu juga harus ada pendampingnya dari Pusat Bahasa. Di Riau, saya belum tahu, karena saya baru beberapa hari di sini. Biasanya, hal yang paling sering diminta oleh jajaran pemerintah daerah, adalah membantu dalam penulisan bahasa surat-menyurat. Ini nampaknya sepele, tetapi masih banyak yang salah yang tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.
Selama ini, hasil penelitian Balai Bahasa di Pekanbaru, dipublikasikan ke mana?
Salah satu publikasi yang efektif menurut saya adalah jurnal, tetapi saya lihat kami di sini belum memiliki jurnal. Secepatnya ini akan kami buat. Selain itu, mestinya diterbitkan dalam bentuk buku dan disebarkan ke masyarakat, mungkin lewat perpustakaan daerah, universitas atau sekolah-sekolah. Di Balai Bahasa lain, penerbitan jurnal dan buku-buku tersebut sudah terjadi dan rutin, tetapi di sini saya lihat masih sangat terbatas. Ini pekerjaan yang harus saya lakukan ke depan.
Supporting kepada kalangan sastrawan bagaimana? Pusat Bahasa setiap tahun memilih karya terbaik dari para sastrawan, begitu juga di Jogjakarta dan daerah lain. Ke depan di Riau bagaimana?
Pemikiran ke sana ada. Saya kira, itu sangat penting. Pertama, karena tidak banyak lembaga yang memperhatikan masalah sastra, dan kalau lembaga ini berkecimpung di bidang bahasa dan sastra jadi aneh kalau tidak memperhatikan mereka yang berkecimpung langsung di bidang itu. Tapi karena selama ini belum, maka kami di Balai Bahasa akan mencoba melakukannya, teknisnya kami akan mencontoh yang sudah melakukannya seperti Jogjakarta, Pontianak, Banjarmasin dan beberapa daerah lainnya.***
BIODATA
Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum.,
Lahir : Sragen, 23 Oktober 1959,
Agama : Islam,
Jabatan : Kepala Balai Bahasa Riau,
Istri : Rustiningsih,
Anak : Naratungga Indit Prahasita
Jabatan Sebelumnya
• Pegawai Pusat Bahasa Jakarta (1988-2004)
• Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung (2004-2009)
• Pengajar di Universitas Trisakti (1991-2004)
• Pengajar di Universitas Nasional (2002-2004)
Pendidikan
• Magister (S-2) Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (2003)
• Sarjana (S-1) Linguistik Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (1978)
• SMA Negri 1 Sragen (1975)
Karya Buku
• Pelanggengan Kekuasaan: Analisis Teks Dramatik Lakon Semar Gugat Karya N Riantiarno (Bandung: Kepustakaan Eja Insani, 2004)
• Pandangan Dunia Motinggo Busye (Bandarlampung: Kantor Balai Bahasa Lampung, 2007)
• Laras Bahasa: Fobia Bahasa Indonesia (Bandarlampung: Kantor Balai Bahasa Lampung, 2008)
• Ensiklopedia Sastra Lampung (Bandarlampung: Kantor Balai Bahasa Lampung, 2008)
• Struktur Drama Indonesia Modern 1980-1990 (Jakarta: Pusbinbangsa, 1995)
• Drama Indonesia Modern dalam Majalah Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru Tahun 1945-1965 (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003)
• Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920-1950 (Jakarta: Pusat Bahasa 1997)
• Peran Majalah Hiburan Tahun 1970-1989 dalam Perkembangan Kesusastraan Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2004)
• Sastra Miruda (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Pusat Bahasa, 1999)
No comments:
Post a Comment