February 6, 2011

Kreatif, Enggak Ada Matinya

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Industri kreatif menjadi potensi baru sebagai penggerak roda ekonomi di Tanah Air.

LUKISAN SEPATU. Perajin seni kreatif aplikasi Andi Agust Hidayat melukis sepatu di Eighternal Creative art And Design (ECAD), Gunungterang, Bandar Lampung, Jumat (4-2). Industri kreatif memiliki banyak potensi, tapi juga terganjal beberapa kendala. (LAMPUNG POST/IKHSAN)

Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Denpasar, dan Jember merupakan contoh berseminya industri kreatif. Beberapa produk bahkan mampu menangkis serangan industri kreatif impor dari China dan Amerika Serikat.

Bagaimana dengan Lampung? Meski menggeliat, gerakan industri beromzet Rp112 triliun per tahun ini masih berkiblat ke kota-kota tersebut. Perkembangan industri kreatif seperti periklanan, arsitektur, pasar seni, barang antik, kerajinan, desain, mode, video, film, fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan/percetakan, dan layanan komputer, masih bisa dihitung dengan jari.

Wakil Ketua Asosiasi Perancang Busana Muda Indonesia (APBMI) Lampung Raswan mengatakan perkembangan industri kreatif di Lampung terkendala minimnya ajang kreativitas pengembangan produk. "Tapi mulai berjalan baik, meski masih skala lokal," kata Raswan, Sabtu (5-2).

Lampung berpotensi mengembangkan industri kreatif seperti busana, karena memiliki ciri khas seperti sulam usus, batik, dan tapis. "Tinggal bagaimana mengembangkan kreativitas sehingga mampu bersaing khususnya di bidang etnik," kata Raswan.

Di bidang kerajinan, Ketua Asosiasi Kesenian dan Kerajinan Lampung (Akkal), Nasorudin Habi, mengatakan industri kreatif Lampung masih terbuat dari bahan sederhana seperti pelepah pisang, gerabah, mancung, bernuk, dan bambu. "Potensinya besar, terlebih bahan baku tersedia banyak. Tantangannya bagaimana mengembangkannya," kata Nasorudin yang juga pemilik Galeri Nabilla.

Di galeri ini, sedikitnya 15 produk kreatif ramah lingkungan yang dibuat bersama dengan perajin seperti gitar, kapal laut, asbak, tempat tisu, dan cendera mata. "Konsumen produk kreatif Lampung, bukan hanya dari kabupaten/kota se-Lampung, bahkan ada yang dari Bali," kata dia.

Etnik Lampung

Sebenarnya, masyarakat Lampung haus industri kreatif beretnik Sang Bumi Ruwa Jurai. Sayangnya, sumber daya manusia sebagai roda kreativitas di sektor ini belum menyadarinya. "Industri kreatif bagai oasis. Masyarakat berharap alternatif ada produk yang bisa mengangkat etnik dan budaya sendiri," kata Dana E. Rahmat, penggiat kesenian Lampung, Sabtu (5-2).

Menurut Kang Dana, sapaan akrabnya, perkembangan kreativitas produk seni terkendala aspek kehidupan yang relatif belum tertantang atau belum terjebak kesulitan tinggi seperti di Jawa. Hal tersebut membuat banyak seniman Lampung belum berpikir realistis mengembangkan keterampilan dan produk kreatif. "Jangan bermimpi cepat kaya di bisnis ini jika tidak konsisten," kata Dana.

Sebagai upaya menghilangkan dahaga produk etnik daerah Lampung, bersama 14 rekannya, Dana mencoba mengaplikasikannya melalui lukisan kaus yang dikenal dengan Kawoz Demon.

"Masyarakat Lampung itu bangga menggunakan produk daerah sendiri. Karena bisanya cuma menggambar, kami mencoba mengangkat sisi Lampung melalui kaus," kata Dana.

Pasar industri kreatif dapat diciptakan jika konsisten dan bukan mustahil dapat berkembang baik. Untuk seni lukis, misalnya, keberadaannya seperti fatamorgana. "Seniman Lampung dapat bangkit dengan mengedepankan identitas. Pertahankan identitas kreatif secara konsisten dan aplikasikan sesuai spesifikasi masing-masing," kata Dana. (MG18/R-3)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Februari 2011

No comments:

Post a Comment