BANDAR LAMPUNG -- Lima pelukis, tiga dari Lampung dan dua asal Jakarta, melakukan perjalanan ke Pekon Tengor, Putihdoh, Kabupaten Tanggamus, akhir Januari lalu.
Mereka ingin menyatu, merekam denyut nadi, dan merasakan rasa hati warga desa tak berlistrik dan tanpa televisi itu untuk kemudian dikibaskan ke atas kanvas. Mereka adalah Syahnagra Ismail, Atuk, Yen Joenaidy, Lilis Suryati, dan Semut Prashida.
Lima jam perjalan dengan van cukup melelahkan. Jalur Gedongtataan, Kedondong, dan seterusnya hingga menembus laut itu adalah tantangan sekaligus spektakulasi. Jalan sempit beraspal buruk, tikungan meliuk, tanjakan terjal, turunan curam, dan sejumlah hambatan. Namun, kearifan lokal dan pemandangan alamiah menjadi penyeimbang.
Meskipun berat, alam Tengor tak mengecewakan. Pantai berpasir putih, debur ombak, batu karang di laut, dan laut biru bersih adalah tebusan. Masyarakat alamiah begitu ramah meskipun tinggal di rumah-rumah yang mengundang desah.
Lampung Post tidak serta dalam ekspedisi tiga hari itu. Namun, memandangi 66 lukisan hasil karya mereka di “pertapaan” yang dipamerkan mulai hari ini (16-2) di Taman Budaya Lampung, cukup mewakili deskripsi tentang Tengor. Dengan tajuk Lampung Art Adventure 2011, mereka menggelar hasil ekspresi tentang Tengor di atas kanvas.
“Ada satu pelukis tamu yang kami ajak. Namanya Rifa Nabila Putri. Umurnya baru 11 tahun,” kata Syahnagra di sela-sela persiapan pameran, kemarin.
Menyimak lukisan mereka, terlihat napas kebebasan para perupa berekspresi. Syahnagra, pelukis kelahiran Telukbetung yang telah menasional, mempertahankan gaya impresifnya meski disuguhi objek lukisan natural.
Ia tampak lebih tertarik dengan kerumuk rumah-rumah bersahaja tempat bersatunya keluarga-keluarga dalam komunitas yang tenteram. Beberapa menara masjid ditonjolkan sebagai identitas rasa bahagia yang tak terukur dengan materi.
Perupa Atuk terasa lebih menikmati adventure. Dua lukisan pertama digarap naturalis dengan proporsi anatomi yang cukup baik. Ia sepertinya berdecak dan langsung menggoreskan kuasnya begitu melihat alam yang demikian memukau. Namun, pada empat lukisan lainnya, ia terhanyut pada motif-motf dan simbol-simbol yang ditangkap dari Tengor.
Sama dengan Atuk, Yen Joenaidy terlihat benar-benar merekam keindahan alam Tengor. Sedangkan muridnya, Lilis, begitu menikmati suasana. Ada sunset dengan warna jingga yang membakar, ada siluet kelam, dan beberapa pemandangan.
Sedangkan Semut Prashida mencomot realitas yang ia tangkap untuk kemudian berusaha direkonstruksi dengan imajinasinya yang kuat. Ini terlihat dari lukisan impresif dengan latar depan lautan luas yang di tengahnya ada feri dengan asap putih tebal sedang melaju.
Tengor, desa nun di ujung Tanggamus dan berhadapan di Teluk Semaka itu menjadi subjek yang mendamaikan. “Saya bangga dengan warganya yang tetap cerdas, meskipun jauh dan tanpa televisi. Saya pikir, kita rusak justru karena televisi,” kata Syahnagra. (SUDARMONO/D-1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Februari 2011
No comments:
Post a Comment