February 13, 2011

[Perjalanan] Tilas Sejarah di Bumi Menggala (1)

PAGI lengas dua pekan lalu kami berlima, Septiyansah, Rizki, Didi, Susi, dan Arizka, meninggalkan Bandar Lampung menuju Tanah Menggala. Kami ingin menghirup udara yang terberkahi Way Tulangbawang. Selain menikmati sudut bumi lain untuk memecah kebekuan rutinitas dengan menapak tilas kajayaan Tulangbawang, terutama kota tua Menggala.

Di sepanjang jalan kami saling berbagi cerita tentang kota tua yang kami tuju, kejayaan Kerajaan Tulangbawang sebelum kolonial, peninggalan zaman kolonial, sampai miniatur Tulangbawang sebagai jejak terbaru.

Sesekali obrolan kami melompat pada budaya Lampung dan asal usul masyarakat Lampung, baik pubian maupun pasisir. Dari diskusi tanpa moderator itu kami lebih banyak mendengarkan cerita Arizka, dari klan Warganegara, yang mengakui sebagian masyarakat Tulangbawang-Menggala masih keturunan Brabu Siliwangi. Informasi tentang budaya pun bertaburan, membuat perjalanan semakin bernuansa semangat penelusuran kejayaan etnis Lampung.

Sesekali Didi, yang menakhodai perjalannan kami menyelipkan tilas budaya Jawa untuk memperkaya

cerita. Tidak hanya itu, dia pun sering melontarkan lelucon yang membuat kami tergelak. Bandar Lampung telah terlewat, kami memasuki wilayah Lampung Tengah, teringat diri belum sarapan, kami pun menepi di warung tahu sumedang untuk mengganjal perut. Teh panas dan kopi kental menghangatkan pagi yang mendung. Setelah energi pulih, kami pun melanjutkan perjalanan. Untuk menghemat waktu, kami lewat Terminal Lampung tengah, menelusuri jalan yang tak seberapa ramai menyibak belukar dan tanaman muda.

Menjelang tengah hari kami memasuki perbatasan Lampung Tengah—Tulangbawang, hati mulai riang, berarti perjalanan hampir sampai. Lelah yang mulai merambat meleleh, apalagi saat kami melintasi padang rumput yang menyerupai stepa, dengan genangan air mirip danau di pinggirnya.

Kami beruntung melintasinya bukan saat kemarau, karena jika kemarau tak akan ada “danau buatan” itu, berganti rawa yang nyaris kering.

Hasrat foto bersama di sana kami tunda, karena niat kami ke kota tua Menggala belum tunai. Tak sampai sepenanakan nasi kami memasuki kota tua Menggala, ditandai dengan rumah-rumah adat khas Lampung yang terbuat dari kayu dan berbentuk panggung. Selain itu, nama-nama jalan yang masih menggunakan bahasa Belandam, strat. Kami menuju Strat I, jalan yang dahulunya banyak didiami para punyimbang (pemimpin) adat.

Setelah melintasi Strat V, Strat IV, Strat III, Strat II, kendaraan berbelok ke Strat I. Strat-strat ini dibangun searah dengan aliran Way Tulangbawang yang paling dekat dengan Strat I. Saat kami akan membelok ke Strat I, Arizka menghentikan mobil yang kami naiki, dia menunjuk sebuah arah kiri menuju dari arah Strat I.

“Jalan itu menuju tangga raja, nanti kita bisa ke sana.”

Kami semakin penasaran, tapi memilih menelusuri Strat I terlebih dahulu. Kendaran sengaja lelaju pelan, semua kaca jendela dibuka, karena kami ingin menikmati rumah-rumah kuno entis Lampung di sepanjang jalan itu. Sebuah bangunan membetot perhatian kami, meski telah terlintasi, mobil kami undurkan untuk parkir tepat di depan rumah kayu berbetuk panggung, yang di depannya tertulis “Yayasan Tuan Ratu Si Pahit Lidah.”

Meski sama dengan yang lain, sama-sama rumah panggung, rumah ini mencolok, terlihat lebih kokoh dengan kayu cokelat tua nyaris hitam. Kami menaiki tangga menuju pintu. Sebelum tuan rumah membukakan pintu, kami sengaja duduk di beranda menikmati nyamannya di rumah kuno itu. Pemilik rumah keluar, kami disambut dengan ramah, dan diperbolehkan memasuki rumah itu dari muka hingga dapur.

Menurut pemiliknya, rumah itu belum pernah dibongkar atau diganti dengan kayu lain sejak berdiri. Rumah yang berumur sekitar dua ratus tahun itu berbahan jenis kayu hitam dan merbau. Di ruang tengah kami mendapati foto-foto keluarga yang menurut empunya rumah salah satu foto itu adalah nenek dan kakek dari Sjachroedin Z.P., gubernur Lampung. Selain itu, ada pula barang-barang lama lain, seperti kursi, lampu, dan perkakas rumah tangga. Meski belum puas, kami meninggalkan rumah berebawa semlenger itu, karena masih banyak yang akan kami jelajahi.

Sepanjang Strat I kami seperti kembali ke masa lalu, di mana sebuah kampung dengan rumah-rumah adat yang teguh, seteguh masyarakatnya pada adat. Di kanan kiri jalan rumah-rumah panggung serupa berjajar, tegar, menantang arus zaman yang berlahan tapi pasti menerobos seluruh ruang, juga Menggala.

Kami menuju Rumah Informasi Budaya Lampung Rumah Adat Bumi Bolan Kibang Wargio Negaro. Di rumah ini kami banyak mendapatkan informasi tentang adat Lampung juga peninggalannya. Di antaranya pepadun yang dibuat pada abad 17, masih kokoh hingga kini. Selain itu, ada pula talam yang dibuat pada 1650—1727. Yang lebih menarik.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Februari 2011

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. maaf untuk tambahan aja asal muasal megou pak tulang bawang dari 2 kecekian ,yaitu ceki balak,dan,ceki pinggir way ini tercatat di dalam buku yang dikeluarkan dari jaman kolonial dan dapat di buktikan karna buku itu ada pada kami ,kami selama ini selalu mengawasi tatanan kebudayaan tulang bawang dan sampai saat ini banyak pelaku pelaku budaya yang sengaja atau tidak sengaja berusaha menggelapkan sejarah ( culture genocide) ,jadi himbauan saya penyimbang-penyimbang adat yang ada sekarang ini legalitas nya sangat di ragukan untuk itu perlu di reformasi (ngeberengoh)

    ReplyDelete