February 20, 2011

[Perjalanan] Tilas Sejarah di Bumi Menggala (2-Habis)

BERBAGAI jejak yang masih bertakhta meneguhkan bahwa Menggala memang kota tua di Lampung. Banyak tempat dan tilas-tilas di bantaran Way Tulangbawang itu masih menyimpan cerita yang menyejarah.

Aspek menonjol pada peninggalan sejarah salah satunya adalah arsitektur. Mencermati rumah-rumah panggung di Menggala selintas mirip dengan rumah-rumah bangsawan Jawa tempo dulu. Terbuat dari kayu tembesu yang panjang mencapai 20 meter menambah eksotis rumah panggung keluarga Warganegara.

Di beranda yang luas kita akan disambut beberapa furnitur khas awal abad ke-18 dan 19. Di antaranya kursi kayu dan beberapa perabot rumah tangga. Yang unik adalah tempat untuk meletakkan topi dan tongkat menir-menir Belanda pada masa kolonial terlihat dengan anggunnya. Selain itu, ada sebuah kursi putar yang terbuat dari kayu menambah lengkap nuansa klasik tempo dulu.

Menurut catatan tertulis yang terdapat di rumah bersejarah tersebut, terakhir kali rumah direnovasi oleh Pangeran Warganegara IV pada 1879. Setelah itu dilakukan perbaikan, tapi tidak mengubah bentuk dan keaslian bangunan.

Masuk ke dalam rumah kita akan disambut dengan pepadun Sutan Ngukup (Pangeran Warganegara IV) yang dibuat pada abad ke-19 serta beberapa benda lainnya seperti talam pemenganan bertarikh tahun 1650—1727 (semacam talam untuk makan) milik Krio Warganegara (Menak Kesuhur) yang merupakan leluhur dari Pangeran Warganegara IV (1852-1927).

Di sebelah pepadun tersebut terdapat sebuah kamar yang dahulunya ditempati oleh seorang dokter asal Surabaya bernama dr. Kajat. Dia merupakan dokter pertama di Lampung yang pernah menjabat sebagai kepala Kantor Kesehatan pertama Karesidenan Lampung di era Residen Pertama Lampung Mr. A. Abbas, jauh sebelum masyarakat Lampung berkenalan dengan sosok dokter asal Padang Panjang-Sumatera Barat, Abdul Moeloek.

Setiap bulan di era tahun 1940-1950-an, dr. Kajat mengunjungi Menggala untuk memberikan pengobatan bagi masyarakat Tulangbawang dan sekitarnya pada masa tersebut. Hubungan persaudaraan yang erat antara Kepala Mega (anak dari Pangeran Warganegara IV) dengan dr. Kajat menjadikan masyarakat Tulangbawang mendapat akses untuk memeroleh pengobatan kala itu.

Tidak hanya eksotisme rumah bersejarah itu yang membuat kami kagum. Ketika sang empunya rumah, Maulana, menunjukkan beberapa pusaka keluarga Warganegara berupa beberapa bilah keris membuat hati terperanjat. Maklum, untuk sebagian orang Lampung barang-barang pusaka hanya bisa dilihat dan dinikmati oleh keturunan-keturunannya saja. Tapi hari itu kami beruntung, Maulana mau mengeluarkan beberapa bilah keris pusaka keluarganya. Memang tidak semua koleksi keluarga diperlihatkan oleh Maulana, tapi dari beberapa koleksi yang diperlihatkan sudah membuat hati kami riang. Hilang semua kepenatan yang kami rasakan hampir tiga jam berkendara dari Bandar Lampung menuju menggala.

Karena keris-keris tersebut bersejarah dan sedikit keramat, saya pun bergegas untuk meminta izin dengan empunya rumah untuk berkulonuwun. Setelah itu, Maulana memperlihatkan 10 (sepuluh) buah keris yang merupakan jejak serta peninggalan leluhurnya.

Mata kami terarah pada sebilah keris yang paling besar dan agak unik. Keris itu bernama keris Traju Domas milik Menak Kemala Bumi (leluhur dari Pangeran Warganegara I).

Keris tersebut berusia hampir 500 (lima ratus) tahun bertarikh tahun 1587. Menak Kemala Bumi merupakan luluhur dari Pangeran Warganegara I, menurut silsilah keluarga ini Menak Kemala Bumi masih merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi terakhir. Keunikan Keris Traju Domas, di samping keris itu terlihat besar dari pada keris lainnya, juga terdapat 2 (dua) tanda patri emas di ujung keris dan di pangkal keris.

Konon menurut sejarahnya Keris Traju Domas adalah salah satu pusaka yang dipakai oleh Pangeran Warganegara I pada awal abad ke-18 untuk merebut Benteng Petrus Albertus. Sejarahnya, tahun 1668 penjajah Belanda mendirikan benteng pertama di Menggala dengan nama Petrus Albertus. Benteng tersebut tempat menyimpan hasil bumi terutama lada, dan dijaga oleh opas yang dipersenjatai dan diberi meriam.

Pada 1752 Belanda mendirikan kembali benteng Petrus Albertus Muda di tiyuh (Kampung) Kibang. Pada 1774 Pangeran Warganegara I, Pangeran Anggadijaya, Pangeran Saja Laksana, Pangeran Wirajaya, dan Natadiraja (mereka berlima adalah penggawa lima Tulangbawang, seba (menghadap) ke Sultan Banten meminta bantuan pasukan keamanan yang akan ditempatkan di DKibang. Bait sejarah ini tertulis dalam sebuah piagam yang tersimpan di Perpustakaan Nasional (tanda surat Pangeran Andikanegara, Mangku Bumi Sultan Banten). Setahun kemudian, tepatnya 1775, Benteng Petrus Albertus Muda di Kampung Kibang dapat rebut oleh penduduk Kibang dan diratakan dengan tanah.

Kembali pada koleksi keris-keris kuno tersebut, kami juga tertarik dengan sebilah keris kecil yang terbuat dari kuningan yang dahulunya menjadi salah satu keris kesayangan dari Demang Kepala Mega. Di samping ukurannya yang kecil dan terbuat dari kuningan yang membuat kami bertanya-tanya adalah terdapat tulisan Arab dan China di badan keris tersebut. Sayang, Maulana tidak bisa menjelaskan apa makna di balik tulisan Arab dan China tersebut. Dalam kesehariannya yang banyak mengetahui soal keris ini adalah Darsani. Pada malam tertentu ada ritual yang dilakukan beliau dan anak-anaknya terhadap keris-keris tersebut.

Setelah melihat-lihat beberapa keris pusaka milik keluarga Warganegara kami bergegas tertarik menyusuri keadaan lain dari rumah panggung yang luas ini. Di beberapa bagian kami melihat beberapa keramik-keramik tua peninggalan zaman kolonial yang bercorak negeri Belanda dan bahkan terdapat keramik yang bercorak Tiongkok peninggalan Dinasti Ming.

Memang mengurus rumah bersejarah seperti ini perlu pengabdian dan dana yang tidak kecil. Tetapi menurut Maulana, hal itu mesti dilakukan sebagai bagian dari pengabdian kepada keluarga. Bahkan dia dan keluarga sangat senang saja ketika banyak orang mengunjungi rumah ini hanya untuk berfoto dan melihat-lihat. “Kami sudah terbiasa menerima tamu untuk melihat-lihat dan baru-baru ini saja salah satu stasiun televisi swasta nasional meliput keberadaan dan jejak rumah bersejarah ini,” kata Maulana.

Setelah puas melihat koleksi rumah milik keluarga Warganegara kami pun bergegas. Maklum ada dua lagi tempat yang kami ingin kunjungi, yaitu Masjid Agung Kibang yang didaulat sebagai masjid tertua di Lampung. Juga Tangga Raja, yang konon merupakan tempat sandar dan tempat menaiki perahu bagi raja-raja Tulangbawang.

Tidak jauh dari rumah keluarga Warganegara, kami akhirnya tiba di Masjid Agung Kibang. Sebuah masjid tertua di Lampung dan telah mengalami beberapa kali pemugaran.

Menurut sejarah, pada hari Minggu tanggal 1 Pahing bulan Syakban 1194 H (awal abad ke-18) di Kibang, Menggala, Pangeran Warganegara I, Pangeran Anggadijaya, Pangeran Saja Laksana, Pangeran Wirajaya dan Natadiraja (mereka berlima adalah penggawa Lima Tulangbawang) dibantu oleh Pangeran Muterjagad, Pangeran Robbana, dan Marga Liyu mendirikan Masjid pertama di Desa Kibang, Menggala.

Masjid tersebut berbentuk pangung bertiang terbuat dari papan dan kayu yang dikerjakan secara gotong royong oleh penduduk Kibang. Masjid sederhana ini diresmikan tepat pada 1 Syawal 1194 H, tepatnya hari Rabu dengan Marbot H. Ratu Bagus Mujahidin. Sedangkan Imam pertama Syekh Zulaipah dan beberapa orang ustaz, seperti Tuan Alim, Tubagus M. Ali.

Tahun 1825 asisten residen Du Bois memerintahkan agar Kota Menggala dibangun. Tak luput Masjid Kibang harus dipindahkan ke Kibang Libou dan pada 1829 dibangun Masjid Kibang.

Masjid Agung Kibang diresmikan tahun 1830 dengan Marbot pertama H.M. Thahir Banten. Menara Masjid Agung Kibang dibangun tahun 1913 M (1332 H) dan dipugar tahun 1938 (1357 H) dengan ketua panitia Pangeran Warganegara V (cucu dari Pangeran Warganegara IV/Sutan Ngukup), Sekretaris M. Umar, Keuangan H.M. Said. Setelah itu atau lebih tepatnya pascakemerdekaan sudah beberapa kali masjid ini mengalami renovasi.

Tempat terakhir kami dalam perjalanan ini adalah mengunjungi Tangga Raja. Menurut hikayat masyarakat setempat, Tangga Raja adalah sebuah tangga atau jalan setapak yang dahulu kala dipakai oleh raja-raja Tulangbawang untuk turun ke perahu dan berlayar. Posisi Tangga Raja memang tepat berada di hilir Sungai Tulangbawang.(SUSI, ARIZKA, DIDI, ASEP, RIZKI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Februari 2011

2 comments:

  1. Thank you Mr. for your post of this article.

    ReplyDelete
  2. Saya juga keturunan keluara warganegara, dari garis keturunan nenek saya.

    ReplyDelete