February 10, 2008

Khazanah: Syair Ringgok-Ringgok, Nyanyian Di Pesta Perkawinan

-- Anton Bae bin Yazid Amri bin Abdul Kohar*

SYAIR ringgok-ringgok merupakan peninggalan leluhur (puyang) masyarakat Komering, Sumatera Selatan, yang biasanya dinyanyikan dalam acara perkawinan (sebelum atau sesudah akad nikah), dimana para tetangga dan keluarga besar yang punya hajatan sedang berkumpul atau bertatap-tatap muka di dalam rumah, baik saat memasak di dapur, atau bercerita sebelum tidur di kamar, atau pada saat bercerita di ruang tamu.

Tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun itu, biasanya, didendangkan di tempat keluarga yang mengadakan hajatan perkawinan.

Bila dikategorikan sebagai bagian dari sastra tutur yang ada di Sumatera Selatan, syair ringgok-ringgok memiliki keunikan tersendiri, yaitu didendangkan secara bergantian. Ketika si penutur pertama merasa lelah, akan diganti oleh penutur berikutnya, begitu seterusnya tanpa ada rencana terlebih dahulu. Hampir sama dengan gayung bersambut dalam pantun, tetapi berbeda isi dan cara penyampaian.

Masih diperdebatan pengertian ringgok-ringgok tersebut. Ada yang mengatakan berasal dari bahasa Komering yaitu ghringgok yang artinya bergerak.

Pendapat itu bisa dibenarkan, karena biasanya dalam mendendangkan syair tersebut, si penutur dan si pendengar dalam posisi sedang duduk sambil memasak, atau sedang tidur (tidur ayam), atau sedang membersihkan rumah. Pada saat itu mereka dalam perasaan gembira, walaupun ada juga tangisan yang keluar dari keluarga yang mengadakan hajatan ketika mendengar syair tersebut, karena akan berpisah dengan saudara atau dengan anak kandungnya.

***

SEBENARNYA, apa yang ditawarkan dari syair yang mengalun seperti aliran Sungai Komering itu ---sungai yang bila musim hujan penuh dengan air, dan bila kemarau kering seperti padang pasir.

Syair itu mengandung unsur nasihat. Hanya saja pemilihan kata dan gaya bahasanya menggunakan bahasa satir. Biasanya, bila isinya berupa humor, maka akan terdengar tawa dan saling sahut-menyahut antar pendengar seakan mereka sedang menertawakan diri mereka. Sementara itu, apabila syair tersebut sedih, biasanya akan terjadi hujan air mata di dalam keluarga yang punya hajatan. Di sinilah letak keberhasilan syair tersebut, yaitu ketika ada respon dari si pendengar, baik tangis maupun tawa.

Dilihat dari isi dan cara penyampaian, ada tiga hal menarik dalam tradisi lisan itu. Pertama, syair itu diciptakan sesuai keadaan, dan biasanya langsung dikarang hari itu atau secara improvisasi oleh si yang menuturkan. Misalnya, penutur mengetahui bahwa acara pernikahan itu adalah perpisahan seorang ibu dengan anaknya yang akan menikah, yang dihibur adalah ibu. Atau mengenai adik yang menikah mendahului kakak perempuannya, yang dihibur adalah kakak. Misalnya jodohnya seharusnya si ini, kenapa dengan si itu. Si itu yang bakal dihibur atau bahkan disindir halus, agar dia berpikir jodoh itu ada di tangan Tuhan.

Salah satu contoh syair ringgok-ringgok dengan tema adik mendahului kakak (perempuan):

Dang da suya niai
Nyak haga kahwin mona
Redhoko nyak niai
Sambah sujudku munih

Jodohku ko wat rik kyai di hulu

Ku konalko rik niku dang niku maa pandai
Sija silindangku ju ko rik niku
Ghuai pelangkahku rik niai

Dang da niku miwang
Sodihmu sodihku munih.

(Janganlah kau marah ayuk/ mbak
Aku mau kawin dulu
Ridhokan aku
Sembah sujudku pula

Jodohku sudah ada, dengan kakak di ulu
Kukenalkan denganmu, jangan sampai tidak tahu
Ini selendang kuberikan padamu
Untuk pelangkahku dengan ayuk

Janganlah kau menangis
Sedihmu sedihku pula)

Kedua, syair ringgok-ringgok didendangkan tidak terpaku dimana tempat, kapan, dan alat apa yang digunakan. Baik di dapur pada saat memasak, di ruang tamu, di kamar, atau di halaman. Penutur sengaja mendendangkannya sebagai media hiburan, sebagai jeda atau pelepas sepi.

Ketiga, penutur syair tidak ditentukan siapa dan kapan dia mendendangkan. Biasanya, yang mendahului adalah orang tua yang mengerti (tidak dibedakan lelaki atau perempuan). Artinya, tradisi tersebut beranjak dari sebuah kesadaran, bukan atas perintah atau peraturan yang mengikat.

Terlepas dari semua itu, syair ringgok-ringgok adalah tradisi yang dipakai dalam adat Komering. Tradisi itu tidak akan digunakan di daerah lain. Walaupun yang punya hajatan adalah orang dari suku Komering, jika acara resepsi pernikahan tersebut di daerah lain, misalnya di daerah Pagaralam, tetap syair itu tidak akan dinyanyikan, karena ada perbedaan tradisi. Begitupun sebaliknya, bila acara diadakan di daerah Komering, maka syair itu akan dinyanyikan, sekalipun salah satu dari keluarga mempelai bukan dari suku Komering.

Banyak yang menarik dari tradisi perkawinan di daerah Komering, daerah yang dikenal dengan buah duku itu. Jika kita membukanya, seperti membaca koran, maka syair ringgok-ringgok hanya sebagian kecil dari tradisi Komering.

* Anton Bae bin Yazid Amri bin Abdul Kohar, pekerja seni

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 10 Februari 2008

No comments:

Post a Comment