-- Muhammad Sukirlan*
TANGGALl 21 Februari ditetapkan Unesco (United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Secara eksplisit, hal ini mengandung arti bahwa bahasa ibu (bahasa daerah) harus terus-menerus diingat seluruh anggota lapisan masyarakat di daerah setempat. Keberadaan bahasa daerah harus dipertahankan secara konstan dan pemakainnya serta diberdayakan fungsinya.
Di Provinsi Lampung, keberadaan bahasa daerah Lampung (BDL) berhadapan dengan bahasa Indonesia (BI) yang pemakaiannya merambah di ranah horizontal (keluarga, sekolah, media masa, dan perdagangan) dan vertikal (pejabat pemerintah, pengusaha, dan rakyat biasa). Selain berhadapan dengan bahasa Indonesia, BDL juga berhadapan dengan bahasa-bahasa daerah lain yang jumlah penuturnya barangkali secara akumulatif jauh lebih banyak daripada jumlah penutur BDL itu sendiri.
Padahal, sejak 1951 UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan di sekolah. Bahasa daerah memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan bahasa Indonesia. Pertama, secara psikologis bahasa daerahlah yang telah membentuk pola pikir seseorang sejak dini karena dengan bahasa daerah seseorang (anak) diperkenalkan ibunya mengenali berbagai objek dan peristiwa di lingkungannya sehingga seorang anak dapat berkomunikasi untuk mengungkapkan berbagai hal dan maksud.
Kedua, secara sosial, bahasa daerah memiliki vitalitas yang tinggi bagi penuturnya karena sesama penutur telah memiliki semacam ikatan emosionl sehingga komunikasi yang dijalin akan berjalan dengan lebih efektif. Bahasa daerah telah sejak lama digunakan penuturnya untuk berkomunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya.
Ketiga, setiap bahasa derah memiliki keraifan lokal (local wisdom) yang tentunya tidak dimiliki (berbeda) dengan bahasa-bahasa daerah lain. Dengan menggunakan bahasa daerah, sesama penutur akan lebih dapat mengungkapkan suatu konsep (sosial, budaya) secara lebih jelas, ringkas, dan.
Keempat, secara edukasional, bahasa daerah mempermudah penuturnya memperoleh pengetahuan yang dapat memperlancar program pendidikan. Sebagai contoh, program pemberantasan buta huruf dengan menggunakan pendekatan bahasa Sunda di Cibago, Cisalak, Subang, Jawa Barat, yang disponsori UNESCO berhasil dengan baik. Warga setempat belajar membaca dan menulis menggunakan bahasa Sunda. Salah satu keuntungannya adalah pembelajar tidak dipusingkan lagi dengan makna kata sehingga peserta lebih terkonsentrasi pada kegiatan belajar (Kompas, 20 September 2007).
Revitalisasi Bahasa Daerah Lampung
Salah satu cara yang digunakan untuk merevitalisasi bahasa BDL adalah dengan mengadakan perencanaan bahasa (language planning). Perencanaan bahasa merupakan usaha menyeluruh, pengerahan segala upaya dan potensi yang dilakukan berbagai komponen masyarakat seperti pemerintah, akademisi, tokoh adat, tokoh seni dan budaya, pengusaha dan lainnya agar BDL dapat dipertahankan dan difungsikan dalam berbagai ranah. Perencanaan ini meliputi tiga kegiatan yakni perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan korpus (corpus planning), dan perencanaan pembelajaran (acquisition planning).
Di tingkat perencanaan kebijakan inilah peran pemerintah daerah sangat penting mengeluarkan peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan status BDL. Dengan dimasukkannya BDL dalam kurikulum muatan lokal di berbagai tingkat pendidikan formal merupakan bentuk usaha awal pemerintah daerah mempertahankan keberadaan dan fungsi BDL. Perencanaan korpus meliputi standardisasi tubuh bahasa yang meliputi berbagai aspek yakni jumlah kosakata, sistem ejaan, unsur serapan, tata bahasa, penulisan dan lain-lain.
Keunggulan bahasa juga dapat ditentukan bobot internalnya yang antara lain melalui kosakata yang dimilikinya. Sebagai contoh bahasa Inggris (Webster, 1981) memiliki sekitar 450 ribu kata, sedangkan bahasa Indonesia (Dardjowijoyo, 1991) mencatat sekitar 72 ribu kata. Bagaimana dengan BDL? Dan perencanaan pembelajaran dapat ditempuh melalui berbagai jalur yakni sekolah, karya sastra, buku-buku agama, media cetak dan elektronik, lingkungan kerja, artefak budaya, dan lain-lain.
Di tingkat ketiga inilah yang barangkali memerlukan bujet, langkah perencanaan operasional dan teknis yang lebih rumit yang melibatkan pendekatan metode pengajaran bahasa, pemberdayaan penulisan sastra daerah Lampung, pemberdayaan pelaku seni atau kerajainan sehingga orang-orang yang telah mengabdikan diri dalam kesenian daerah dapat menggantungkan hidup dari profesi yang telah dipilihnya.
Langkah antisipatif perlu dilakukan mumpung belum diserobot dan dipatenkan negara lain! Bahasa daerah Lampung adalah salah satu warisan leluhur yang bernilai sangat tinggi dan patut mendapatkan cinta dari generasi kini dan selanjutnya.
* Muhammad Sukirlan, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Februari 2008
No comments:
Post a Comment