February 1, 2008

Pengumuman Hadiah Sastera Rancage 2008

Keputusan
HADIAH SASTERA “RANCAGÉ” 2008

Tahun 2008 ini genaplah Hadiah Sastera “Rancagé” 20 tahun diberikan kepada para sasterawan yang menulis dalam ahasa-bahasa ibu. Pertama kali pada tahun 1989, diberikan hanya kepada sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Tetapi sejak 1994 para sasterawan yang menulis dalam bahasa Jawa juga mendapat hadiah sastera “Rancagé”. Dan sejak 1997, para sasterawan yang menulis dalam bahasa Bali juga mendapat hadiah “Rancagé”. Insya Allah mulai tahun 2008, para sasterawan yang menulis dalam bahasa Lampung juga akan mendapat hadiah “Rancagé”.

Pada tahun pertama, hadiah “Rancagé” hanya diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku unggulan. Tetapi sejak tahun kedua, hadiah untuk karya itu didampingi oléh hadiah untuk jasa, yang diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibunya. Dengan demikian setiap tahun Yayasan Kebudayaan “Rancagé” mengeluarkan 6 hadiah untuk tiga bahasa ibu, yaitu Bali, Jawa dan Sunda. Di samping itu kadang-kadang memberikan Hadiah “Samsudi” buat pengarang yang menerbitkan buku bacaan anak-anak unggulan dalam bahasa Sunda.

Alhamdulillah dengan ridho Allah dan uluran tangan para dermawan yang menyadari pentingnya bahasa ibu dan sasteranya dalam kehidupan bangsa, tahun ini juga, Hadiah Sastera “Rancagé” akan disampaikan kepada para sasterawan yang menulis dalam bahasa ibu.

Dua tahun yang lalu kami mendapat kiriman buku karya sastera dalam bahasa Lampung. Yang satu karya para sasterawan yang tinggal di Lampung dalam bahasa Indonésia, sedang yang satu lagi merupakan kumpulan sajak dalam bahasa Lampung yang ditulis oléh seorang penyair. Tapi buku itu diterbitkan beberapa tahun sebelumnya (2002), sehingga tidak dapat dipertimbangkan untuk mendapat hadiah “Rancagé”. Di samping itu, kami juga tidak yakin akan melanjutnya penerbitan karya sastera dalam bahasa tersebut. Ada pun sebab lain yang utama ialah karena dana Yayasan “Rancagé” juga sangat terbatas. Untuk memberikan hadiah kepada sasterawan dalam tiga bahasa yang sudah dilangsungkan selama belasan tahun juga – terus terang – kami ngos-ngosan. Dana untuk keperluan hadiah dan upacara penyerahannya selalu kami dapat dengan cara – yang dalam bahasa Sunda disebut – koréh-koréh cok. Yaitu seperti ayam yang mengais-ngais makanan untuk dipatuknya. Syukurlah bahwa setiap tahun ada saja dermawan yang sadar akan pentingnya memelihara bahasa ibu yang sebenarnya merupakan kekayaan budaya bangsa kita.

Kami akhirnya memutuskan untuk memberikan juga hadiah kepada sasterawan yang menulis dalam bahasa Lampung, karena didorong oléh keyakinan bahwa para usahawan yang berbahasa ibu bahasa Lampung tidak akan berdiam diri melihat ada lembaga yang hendak memberikan penghargaan terhadap bahasa bundanya – walaupun selama ini kami hampir tidak mendapat uluran tangan dari para usahawan Jawa atau Bali.

Karena keterbatasan dana pula maka untuk bahasa Lampung hadiah hanya diberikan untuk karya. Mudah-mudahan dalam tahun-tahun yang akan datang, untuk orang atau lembaga yang berjasa dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa Lampung juga akan diberikan Hadiah “Rancagé”.

Meskipun selama 20 tahun tentang pemberian Hadiah “Rancagé” selalu mendapat tempat dalam pérs, namun tidak pernah mendapat perhatian pemerintah baik pusat maupun daérah. Tapi tahun ini Yayasan Kebudayaan “Rancagé” untuk pertama kalinya mendapat perhatian pemerintah: Kami mendapat kiriman formulir tagihan pajak.

Hadiah Rancagé 2008 untuk Sastera Sunda

Menjelang akhir tahun 2007, buku bahasa Sunda (dan juga Jawa) yang terbit mendadak melonjak jumlahnya. Mendadak banyak penerbit yang sebelumnya tak pernah memperhatikan buku bahasa Sunda (dan Jawa), tiba-tiba seakan-akan berlomba-lomba menerbitkan buku bahasa Sunda (dan Jawa), baik buku lama maupun karya baru. Namun hal itu bukan karena timbul kesadaran akan pentingnya atau minat para penerbit itu terhadap buku dalam bahasa ibu, melainkan karena ada bocoran tentang rencana pemerintah yang akan mengadakan proyék pembelian buku-buku dalam bahasa ibu yang dananya milyaran bahkan puluhan milyar rupiah. Meskipun pembeliannya – sesuai dengan aturan main yang dibuat oléh para pejabat yang cerdik — melalui “rékanan” yang sudah ditunjuk oléh pemerintah yang meminta kepada para penerbit diskon 40% sampai 60%, tetapi buat para “penerbit proyék” tidak jadi masalah, karena perusahaannya tidak mengeluarkam biaya rutin (overhead cost) sebab kegiatannya terutama hanya kalau ada proyék saja. Buku yang ditawarkannya hanya dicétak sebanyak yang diperlukan saja, sehingga biayanya rendah. Meréka tidak mau “berjudi” dengan menjual bukunya di toko-toko buku karena tahu bahwa daya beli dan minat baca bangsa kita sangat rendah. Artinya keuntungan yang dia peroléh dari penjualan “buku proyék” itu tidak akan disalurkan untuk memperkuat industri perbukuan nasional, melainkan akan disalurkan ke bidang usaha lain – membuat hotél misalnya. Dengan demikian program pemerintah membeli buku dalam jumlah puluhan atau ratusan ribu éksemplar, malah jutaan éksemplar sekalipun, tidaklah memperkuat modal industri perbukuan nasional yang lemah.

Dalam bahasa Sunda pada tahun 2007, terbit 32 judul buku tidak termasuk buku-buku ajar. Di dalamnya termasuk, kumpulan sajak, fiksi (roman dan cerita péndék), fiksi terjemahan, bacaan kanak-kanak, bahasan (ésai), kamus dan lelucon. Secara garis besar yang bisa dipertimbangkan untuk mendapat Hadiah “Rancagé” 2008 terdiri dari 3 kumpulan sajak (Lagu Simpé karya Asikin Hidayat, Ruhak Burahay di Palataran karya Itto Cs. Margawaluya, dan Jiwalupat karya Godi Suwarna yang merupakan cétak ulang dari beberapa kumpulan yang pernah terbit); 6 roman (Mapay-mapay Jalan Tarahal karya Itto Cs. Margawaluya, Saéni karya Hadi AKS, Sandékala karya Godi Suwarna, Dalingding Angin Janari karya Usép Romli H.M., Misteri Gunung Koromong karya Aan Merdéka Permana 6 jilid, Teu Pegat Asih terjemahan Moh. Ambri dari karangan Soeman Hs.), 4 kumpulan cerita péndék (Ceurik Santri karya Usép Romli H.M., Kingkin karya Itto Cs. Margawaluya, dan Kembang Kadengda yang merupakan kumpulan bersama) dan 3 uraian tentang pengalaman di kampung, pengalaman naik haji dan utaian tentang pentingnya memelihara hutan (Kuwung-kuwung: Catetan lalampahan ka pilemburan karya N. Ding Masku dan Ajun Mahrudin dan Dongéng Kuring di Tanah Suci karya Hj. Amalina Nurrohmah dan Nutur Galur Laku Rosul: Ngaheuyeuk Leuweung Ngolah Lahan karya Prof. Dr. M. Abdurrahman MA), kumpulan ésai (Urang Sunda jeung basa Sunda), polémik (Polémik Undak-usuk Basa Sunda oléh Ajip Rosidi dkk.) dan bungarampai (Sajak Sunda susunan Ajip Rosidi). Seperti yang sudah ditetapkan, buku cetak ulang, kumpulan karya bersama dan karya Ajip Rosidi tidak dinilai untuk mendapat hadiah “Rancagé”.

Selain Mistéri Gunung Koromong yang mémang diniatkan penulisnya sebagai cerita populér hiburan yang susunan bahasanya sembarangan, karya-karya prosa yang lain boléh dikatakan cukup baik susunan kalimatnya. Sesungguhnya tak ada salahnya menulis cerita populér atau hiburan untuk menarik minat pembaca, namun sebaiknya bahasa dan kalimatnya dijaga dengan baik. Begitu juga latar sosial kesejarahannya, apalagi kalau dimaksudkan sebagai cerita dengan latar belakang sejarah.

Ada hal yang menarik dalam karya-karya fiksi yang terbit tahun 2007 itu, terutama karya Hadi AKS, Itto Margawaluya dan Godi Suwarna, yaitu bahwa meréka seperti bersepakat menuliskan kehidupan daérah asalnya dengan mempergunakan bahasa lokal pula. Cerita Saéni karya Hadi, mengambil latarnya di pesisir barat Banten, cerita Mapay-mapay Jalan Tarahal dan cerita-cerita dalam Kingkin karya Itto mengambil latar di daerah Karawang dan Subang, sedang Sandékala karya Godi mengambil latar di kota kecamatan Kawali, Ciamis.

Karya-karya Itto melukiskan réalitas kehidupan daérah Pakaléran (Utara) dibumbui dengan kalimat-kalimat dalam bahasa Jawa setempat dalam dialog tokoh-tokohnya. Tapi hanya sampai melukiskan réalitas sehari-hari tak ubahnya dengan skétsa. Hadi dalam Saéni berhasil melukiskan kehidupan yang lebih dalam, dihubungkan dengan kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat setempat. Hubungan batin antara Ijan (“kami”) dengan ibu tirinya dihubungkan dengan sasakala batu Nyi Jompong di dekat sungai Cibaliung, dihubungkan dengan kepercayaan akan Nyi Munigar siluman yang menghuni laut Barat. Bahasa Sunda dialék Banten dalam Saéni tidak hanya terdapat dalam dialog tokoh-tokohnya, melainkan dengan sadar digunakan oléh penulisnya. Dengan gaya cerita orang pertama, dia menggunakan kata “kami” (bukan “kuring”), yaitu sebutan orang pertama yang umum digunakan di masyarakat Banten.

Sedangkan Godi dalam Sandékala, menggunakan sebutan orang pertama “uing” (dari “kuring”, digunakan di lingkungan akrab di pedésaan) dan bahasa dialék Ciamis. Dengan latar belakang krisis sosial-ékonomi yang melanda negeri pada masa réformasi, cerita kehidupan masa kini bersilih tukar dengan kehidupan yang tumbuh dalam kepercayaan yang berakar dalam masyarakat bertalian dengan Perang Bubat beberapa abad yang lalu. Keduanya terjalin seperti tidak dapat dipisahkan, sehingga pembaca harus teliti mengikuti arus cerita yang berhasil dipelihara dengan baik oléh Godi, meskipun penggunaan yang éksésif sukukata kata kerja yang diulang seperti “ngagegebrét”, “ngahuhuleng”, “nunungguan”, “ngajajanteng”, “ngalelempéh” dll. dan sisipan “um” seperti “gumerendeng”, “gumeter”, “jumerit”, “gumalindeng” dll. yang hanya menimbulkan tandanya

Dalingding Angin Janari karya Usép Romli H.M. melukiskan usaha sia-sia gadis kurban pergaulan kota métropolitan yang berdua dengan ibunya kembali ke kampung dekat dengan lingkungan pesantrén minta dibimbing oléh kiai dan anak gadisnya yang soléh. Ibunya berhasil, tetapi dia sendiri tersérét kembali ke dunia yang dia sadari sudah merusak dirinya. Meskipun penuh dengan uraian tentang ayat-ayat Al-Qur-an dan soal-soal keagamaan lain, namun ceritanya lancar, sayang ada ketelédoran yang harusnya diperbaiki oléh éditor namun luput, yaitu keterangan tentang tempat tinggal sang ibu, pada awalnya disebutkan menumpang di rumah orang, tapi kemudian disebut bahwa dia tinggal di rumah warisannya sendiri. Begitu juga Néndah yang ketika sehabis mengantarkan Fénny ke términal pulang ke Jakarta langsung menemui ibunya Fénny, ketika pulang dari rumah ibunya Fénny itu mendapat surat Fénny dari pos.

Kumpulan sajak Lagu Simpé karya Asikin Hidayat dan Ruhak Burahay di Palataran karya Itto Margawaluya, baru merupakan usaha menggunakan sajak sebagai bentuk pengucapan, belum sampai pada gaya yang oténtik. Téma yang dimuat di dalamnya pun merupakan téma yang biasa terdapat dalam umumnya sajak-sajak bahasa Sunda.

Setelah dipertimbangkan antara Sandékala dengan Saéni, maka akhirnya diputuskan bahwa Hadiah Rancagé 2008 untuk karya sastera Sunda diberikan kepada

Sandékala
Roman karya Godi Suwarna (l. di Tasikmalaya, 1956)
Terbitan Penerbit Kelir, Bandung

Kepada Godi Suwarna akan disampaikan piagam dan uang (Rp 5 juta). Dengan hadiah ini, Godi menjadi tiga kali memperoléh Hadiah Rancagé, semuanya untuk karya, yaitu tahun 1993 untuk kumpulan sajaknya Blues Kéré Lauk dan tahun 1996 untuk kumpulan cerita péndéknya Serat Sarwasatwa. Dengan demikian ada tiga orang sasterawan yang telah mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” tiga kali. Yang lain adalah sasterawan Jawa Suparto Brata, yaitu tahun 2000 (untuk jasa), 2001 (untuk karya kumpulan cerpén Trém) dan 2005 (untuk karya roman Donyané Wong Culika). Dan yang seorang lagi ialah sasterawan Bali I Nyoman Manda yang tahun ini mendapat hadiah lagi untuk karya. Sebelumnya dia mendapat hadiah untuk jasa (1998) dan untuk karya (2003).

Sedangkan Hadiah “Rancagé 2008 untuk jasa karena telah melakukan usaha memelihara dan melestarikan basa Sunda, dihaturkan kepada

Grup Téater Sunda Kiwari (TSK)
Pimpinan R. Dadi Danusubrata (l. 15 Oktober 1950 di Bandung)

TSK didirikan oléh R. Dadi Danusubrata, R. Hidayat Suryalaga dkk. pada tahun 1975 di Bandung. Sejak itu TSK tak henti-hentinya mengadakan pertunjukan téater modéren dalam bahasa Sunda, walaupun meréka merasakan kekurangan naskah untuk dipentaskan, karena para pengarang Sunda sedikit saja yang menulis naskah drama. Sejak 1988 TSK menyelenggarakan Féstival Drama Basa Sunda (FDBS) dua tahun sekali. Tahun 2008 ini FDBS diselenggarakan untuk kesebelas kalinya. FDBS pertama diikuti oléh 9 peserta, tetapi tahun-tahun selanjutnya terus bertambah. Tahun 2006 pesertanya ada 53 dan tahun ini ada 60 peserta. Peserta féstival itu meningkat dari tahun ke tahun, meskipun belum berhasil mendorong lahirnya grup-grup téater Sunda profésional. Kebanyakan peserta FDBS itu anak-anak sekolah, karena TSK ingin membangkitkan minat dan kecintaan anak-anak terhadap bahasa ibunya.

Kepada R. Dadi Danusubrata sebagai pimpinan TSK, akan diserahkan Hadiah “Rancagé” 2008 untuk jasa berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).

Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 untuk sastera Jawa

Dalam tahun 2007 terbit 24 judul buku sastera Jawa, berupa 4 kumpulan sajak dan 20 fiksi. Di antara fiksi ada 15 judul berupa kumpulan dongéng dari berbagai daérah di Jawa Timur seperti Lamongan, Tuban, Magetan, Tengger Trengalék, Blitar dll. Yang lima lagi adalah Gumregeté Ati Wadon kumpulan cerpén karya Sirikit Syah, Kidung Megatruh kumpulan bersama (tidak dinilai), Intan Ora Mlebu kumpulan roman secuwil karya Ary Murdiana, kumpulan satir Dongéng Sanepa Banaran Bolosukerta karya Ki Nir Puspata dan roman Tegal Bledugan karya Lanang Setyawan (kopifotoan, tidak dinilai).

Sedangkan keempat kumpulan sajak itu ialah Banyuwangi rinengga ing Gurit kumpulan bersama (tidak dinilai), Tembang Kapang, Tembang Bebrayan karya Éfféndi Kadarisman, Bledheg Segara Kidul karya Turiyo Ragilputra, Saka Kupat Sawalan Tumekan Kupatan Manéh karya Suyanto alias Yanto Garuda.

Sajak-sajak karya Effendi Kadarisman dalam Tembang Kapang, Tembang Bebrayan, memperlihatkan keseriusan penyairnya, baik dalam pemilihan masalah maupun dalam pemilihan perangkat éstétik seperti bunyi, kata dan tanda-tanda bahasa lain. Dalam membacanya kita tidak merasa jenuh karena Kadarisman menggarap sajak-sajaknya itu dengan gaya ringan, melalui persajakan yang berirama santai tapi indah seperti tembang dolanan anak-anak dalam puisi Jawa tradisional. Sayang bahwa dalam kumpulan ini ada 14 buah puisi terjemahan (dari bahasa Inggris dan Arab).

Bledheg Segara Kidul karya Turiyo Ragilputra menggambarkan sikap dan perhatian penyair kepada kebudayaan, kepada bangsa, dan kepada kawan-kawan. Ungkapan éksprésinya bervariasi, nafasnya terkadang panjang, terkadang péndék. Terkadang gayanya menggebu-gebu marah kepada yang tidak disukainya, misalnya menggambarkan kejéngkélannya kepada pembesar yang mementingkan diri sendiri. Beberapa sajaknya mémang menunjukkan simpati kepada rakyat kecil. Sangat menonjol ialah sikapnya terhadap sebagian masrayakat Jawa yang semakin jauh dari kebudayaannya sendiri, yang diéksprésikan dengan pernyataan berulang- ulang secara paralél seperti pada “Aku Kangen” dan “Aku Pengin”. Semua gagasan yang kompléks dalam jiwa penyair ini diungkapkan dengan pilihan kata yang khas Jawa, meskipun untuk menghidupkan suasana pada sajak tertentu disisipkan kata atau ungkapan serapan. Dengan variasi yang berbagai jenis itulah kumpulan ini menjadi dinamis, tetapi utuh sebagai suatu totalitas. Keragaman variasi juga menjadi penanda bahwa penyairnya tak pernah berhenti mencari kebaruan éksprési. Pemanfaatan tipografi dan bentuk épigram dalam beberapa sajaknya adalah salah satu penandanya. Sayang dalam penulisan kata-kata serapan sering tidak konsisten.

Kumpulan sajak Saka Kupat Sawalan Tumekan Kupatan Manéh karya Yanto Garuda memuat 44 buah guritan yang témanya cenderung mengenai situasi masa kini yang digarap dengan gaya diafan atau transparan, termasuk sajak satirnya “Jaranan Buto” (Kuda lumping Raksasa). Salah satu sajaknya yang menarik ialah “Gagak Ora Bakal Memba Warna” (Burung gagak tidak akan berganti warna). Sajak itu mempertanyakan nasib bangsa dengan gaya oratoris yang puitis.

Setelah membaca dan menimbang kualitas semua buku sastera Jawa yang terbit tahun 2007, maka ditetapkan bahwa penerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 adalah

Bledheg Segara Kidul
Karya Turiyo Ragilputra (l. Kebumén, 7 April 1964)
Terbitan Gema Grafika, Yogyakarta

Kepada pengarangnya akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 untuk karya berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).

Adapun untuk jasa dalam pengembangan bahasa dan sastera Jawa, Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 ditetapkan untuk dihaturkan kepada

Sriyono
(lahir di Pacitan tahun 1945)

Srijono adalah redaktur majalah Jawa Jaya Baya sejak 1979. Sebelumnya dia pernah bekerja di bank, kemudian menjadi wartawan Indonesian Daily News (IDN) yang setelah bangkrut wartawannya bergabung dengan Jawa Pos. Pada waktu itu dia mulai menulis dalam bahasa Jawa yang dikirimkan kepada majalah Jaya Baya. Karena harus menjaga ibunya yang sakit di tempat kelahirannya dia berhenti dari sk. Jawa Pos. Setelah ibunya meninggal dia bergabung dengan Jaya Baya. Salah satu rubrik yang dia selenggarakan dalam Jaya Baya ialah “Roman Secuwil” yang menjadi tempat latihan para pengarang muda pemula menulis dalam bahasa Jawa. Ruangan yang mulai dibuka tahun 1979 itu mendapat sambutan baik dari para penulis pemula sampai sekarang.

Sriyono juga penulis fiksi dan karyanya sering mendapat hadiah dalam berbagai sayémbara. Dia juga banyak menterjemahkan karya sastera asing ke dalam bahasa Jawa.

Kepada Sriyono akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 untuk jasa berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).

Hadiah Sastera “Rancagé buat Sastera Bali

Tahun 2007 buku sastera dalam bahasa Bali hanya terbit 5 judul. Jauh lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya yang biasanya ada belasan judul. Meskipun secara kualitatif menurun, namun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karya-karya terbitan tahun 2007 menunjukkan pengungkapan dan pengucapan baru tanda kreativitas jalan terus. Antaranya nampak pada pencarian dan pencapaian éstétika bunyi yang terdapat pada puisi dan éstétika bentuk yang tampak pada prosa.

Kelima buku itu ditulis oléh tiga orang, semuanya pernah mendapat Hadiah Rancagé. I Nyoman Manda menulis tiga judul buku, yaitu roman Nembangan Sayang I (Menembangkan sayang I), roman Depang Tiang Bajang Kayang-kayang (Biarkan saya sendiri selamanya) dan sebuah kisah yang dituangkan dalam pantun kilat Ajak ja Beli Mlali (Ajaklah Kakanda Rekréasi). Nyoman Manda menerima Hadiah Sastera Rancagé 1998 (untuk jasa) dan tahun 2003 (untuk karya berjudul Bunga Gadung Ulung Abancang). Dengan demikian dia menjadi tiga kali menerima Hadiah “Rancagé”.

Dua buku yang lain adalah Kunang-kunang anarung Sasi (Kunang-kunang Menantang Rembulan) ditulis oléh I Madé Suarsa penerima Hadiah “Rancagé” 2005 (untuk karya berjudul Ang Ah lan Ah Ang) dan Bangké Matah (Mayat Mentah) karya IBW Widiasa Keniten penerima Hadiah “Rancagé” 2006 (untuk karya berjudul Buduh Nglawang).

Kunang-kunang Anarung Sasi karya I Madé Suarsa memuat 118 sajak dengan téma beragam dari nilai-nilai universal, isyu korupsi, dampak pariwisata, gempa bumi Yogya sampai lumpur Sidoarjo. Semuanya itu menunjukkan keluasan perhatian penyairnya terhadap masalah aktual yang terjadi di sekitarnya. Dalam mengungkapkan téma-téma tersebut, Madé Suarsa secara konsisten menciptakan rima dan irama sehingga sajak-sajaknya menjadi indah dan segar. Kemampuan penyairnya memainkan kata menghasilkan pengungkapan makna yang dalam. Misalnya pada sajak yang berjudul “Mar Sinah” yang dalam bahasa Bali berarti kelihatan sakit atau demam, berasosiasi dengan Marsinah seorang buruh wanita yang terbunuh secara mistérius yang sampai sekarang belum terungkap. Larik akhir sajak itu berbunyi ”pamuput samar tan sinah-sinah” yang artinya “akhirnya kabur tak pernah menjadi jelas”.

Juga buku kumpulan cerpén Bangké Matah karya IBW Wiadasa Keniten memperlihatkan usaha penulisnya untuk menggarap téma-téma baru yang tidak konvénsional dengan gaya absur dan anti-réalis seperti yang berkembang dalam sastera Barat. Yang menonjol adalah suasana dan rangkaian absurditas. Gaya absur demikian sudah menjadi ciri utama Wiadasa Keniten. Karya-karya absur yang diungkapkan dalam kalimat-kalimat péndék merupakan tawaran pengucapan baru dalam dominannya pengucapan réalistik dalam dunia cerita sastera Bali.

Tawaran pengucapan alternatif juga tampak dalam Ajak ja Beli Mladi karya Nyoman Manda. Kisah percintaan muda-mudi ini dituturkan dalam pantun berbahasa Bali. Ada pantun empat baris, ada juga yang dua baris. Kisahnya dilukiskan sekitar alam indah Danau Batur. Percintaannya tidak begitu menarik, tidak mendalam, tapi pantun yang dipakai menuangkan kisah itu kréatif dan menunjukkan kekayaan éksprési dan kemampuan bahasa Bali untuk menulis pantun.

Menilai roman Nembangan Sayang I, agak sukar, karena ceritanya masih jauh dari selesai. Nampaknya sebagai sindiran halus atas kehidupan remaja déwasa ini yang santai, mengejar keriangan belaka dan terperangkap oléh gaya hidup konsumtif, sedang peran orangtua unuk mencegahnya lemah.

Roman péndék Depang Tiang Bajang Kayang-kayang melukiskan hubungan gadis Bali dengan laki-laki Australia yang tidak terhalang oléh kesenjangan kultural, namun langkahnya ke pernikahan diputuskan oléh meledaknya bom Bali. Pengarangnya seperti tidak berani atau tidak mau menyatukan keduanya, seakan mau mempertahankan tokohnya sebagai orang Bali. Yang menarik dalam roman ini bagaimana pengarangnya menggunakan tokoh Barat untuk menjelaskan keluhuran aspék kebudayaan dan kesenian Bali, baik tari, ritual maupun filsafatnya. Hal lain yang menarik juga ialah fénoména hétéroglosia dalam pengertian penggunaan beberapa bahasa dalam dialog antar-tokoh, yaitu bahasa Bali, Indonésia dan Inggris.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka buku yang diberi Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 untuk karya ialah

Depang Tiang Bajang Kayang-kayang
karya I Nyoman Manda (l. Gianyar, 14 April 1939)

Kepada pengarangnya, I Nyoman Manda, akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juga).

Sedangkan yang terpilih untuk menerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 untuk jasa ialah

I Madé Suatjana
(l. di Gadungan, Tabanan 14 Méi 1947)

I Madé Suatjana adalah penemu program penulisan aksara Bali yang disebut Bali Simbar yang bisa diaplikasi di komputer léwat program Microsoft word. Program Bali Simbar mulai dirancang tahun 1986 dengan menggunakan program Chi-writer dengan melakukan modifikasi font sehingga aksara Bali bisa diketik léwat komputer.

Temuan Bali Simbar itu pertama kali disosialisasikan tahun 1989 dalam ajang paméran Pésta Kesenian Bali di Dénpasar. Tahun 1993, Yayasan Sabha Sastra Bali yang bergerak dalam pembinaan bahasa dan sastera Bali modéren mulai menggunakan temuan Madé Suatjana untuk mengetik naskah buku pelajaran tingkat SMP.

Mulai tahun 1999 program Bali Simbar dipakai di Percétakan Bali untuk mengetik buku sastera dan buku pelajaan beraksara Bali. Tahun 2001 dia menciptakan program transliterasi huruf Latin ke aksara Bali, untuk mengembangkan program terkait.

Kepada I Madé Suatjana akan dihaturkeun Hadiah “Rancagé” untuk jasa berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).

Hadiah Sastera “Rancagé” buat Sastera Lampung

Masyarakat Lampung sebenarnya cukup kaya dengan karya sastera berupa adi-adi (pantun), warahan (cerita), hiwang (ratapan berirama) dan sebagainya, kebanyakan berupa sastera lisan, meskipun ada beberapa yang sudah dibukukan. Meréka juga mempunyai huruf sendiri meskipun sekarang tidak digunakan lagi.

Semua karya sastera tradisional itu sangat terikat oléh aturan bait, larik, dan rima dan purwakanti seperti harus berstruktur a-b-a-b dan semacamnya. Para sasterawan yang tinggal di Lampung, kebanyakan menulis dalam bahasa Indonésia baik prosa maupun puisi. Namun belakangan muncul juga sasterawan yang menulis karya modéren dalam bahasa Lampung, baik prosa maupun puisi, di antaranya ada yang terbit sebagai buku.

Yang terkemuka ialah Udo Z. Karzi (nama péna Zulkarnain Zubairi) yang telah menerbitkan buku Moméntum (2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam, 2007). Sajak-sajak Udo merupakan terobosan besar yang mendobrak tradisi sastera Lampung yang membeku. Téma-téma sajak Udo adalah masalah masa kini kehidupan rakyat kecil yang terpuruk, démonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan, sempitnya lapangan kerja, penegakan hukum yang belum memuaskan, korupsi yang merajaléla, para politisi yang tidak memikirkan rakyat dan ada juga yang melukiskan jiwa resah yang ingin menggapai Sang Pencipta yang dilahirkan dalam struktur yang modéren. Dengan kata lain, sajak-sajak Udo Z. Karzi benar-benar mencerminkan semangat zaman. Diharapkan akan mampu merangsang para sasterawan lain untuk menulis dalam bahasa ibunya, bahasa Lampung.

Untuk pertama kali Hadiah Sastera “Rancagé” untuk karya ditetapkan untuk diserahkan kepada pengarang kumpulan sajak

Mak dawah Mak Dibingi
Udo Z. Karzi (Zulkarnain Zubairi) (l. 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung)
Terbitan BE-Press, Tanungkarang Barat, Bandar Lampung

Kepada Udo Z. Karzi akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2008 untuk karya berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).


Hadiah “Samsudi” 2008 untuk buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda

Pada tahun 2007 ada 5 judul buku bacaan untuk anak-anak yang terbit dalam bahasa Sunda, yaitu Banjir Getih di Pasantrén Cimarémé oléh Aan Merdéka Permana, Lalampahan Napoléon saduran H.A. Rochman, Si Sekar Panggung dan Ochank oléh Tatang Sumarsono dan Catetan Poéan Réré oléh Ai Koraliati.

Banjir Getih adalah “cerita sejarah” yang ditulis sembarangan tanpa usaha penulisnya untuk mengetahui latar sejarahnya, bahasanya juga sembarangan. Lalampahan Napoléon, saduran mengisahkan kehidupan Napoléon Bonaparté. Ochank karya Tatang Sumarsono naskahnya memperoléh hadiah kedua dalam sayémbara mengarang roman kanak-kanak yang diselenggarakan oléh PP-SS tahun 2007. Tentang pengalaman Ochank yang dihubungkan dengan kepercayaan akan adanya dunia siluman ular, sambil membangkitkan kesadaran anak-anak yang membacanya akan arti lingkungan. Sedang Si Sekar Panggung sangat menarik karena mengenai kehidupan anak-anak yang ingin menjadi joki dan sehari-hari bergaul dengan kuda. Pengarang dengan cermat melukiskan kehidupan orang yang mempunyai dan mengurus kuda lomba yang dalam bahasa Sunda sebelumnya tak pernah ada.

Catetan poéan Réré (Catatan Harian Réré) juga mengenai masalah yang sebelumnya tak pernah dijadikan téma cerita dalam bahasa Sunda, yaitu masalah kelainan pada kajiwaan anak banci. Dan Ai mengemukakannya dengan sederhana tetapi menjaga ketegangan dengan membukanya sedikit demi sedikit melalui catatan harian adiknya yang perempuan. Masalah yang musykil itu dikisahkan oléh Ai dari kacamata anak gadis yang secara terpaksa menjadi penanggungjawab rumahtangga keluarga, karena ibunya meninggal dan ayahnya pergi. Bahasa yang digunakannya sangat cermat dan terpelihara, sehingga baik untuk contoh bagi anak-anak yang membacanya. Naskahnya mendapat hadiah pertama dalam sayémbara mengarang bacaan anak-anak yang diselenggarakan oléh PP-SS tahun 2007.

Setelah dipertimbangkan dengan saksama, Hadiah “Samsudi” 2008 ditetapkan untuk diberikan kepada

Catetan Poéan Réré
Karya Ai Koraliati (l. di Garut, 28 April 1965)
Terbitan Penerbit Grafindo Media Pratama, Bandung

Kepada Ai Koraliati akan dihaturkan Hadiah “Samsudi” 2008 berupa piagam dan uang (Rp2.500.000).

Upacara penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” dan “Hadiah Samsudi” insya Allah akan dilaksanakan melalui kerjasama Yayasan Kebudayaan “Rancagé” dengan Universitas Padjadjaran pada bulan Méi 2008 di kampus universitas tersebut.

Pabélan, 31 Januari 2008
Yayasan Kebudayaan “Rancagé”

Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina


* Dikutip dari webblog Irfan Anshory, 1 Februari 2008, www.blue4gie.com, 1 Februari 2008 dan PPSS, 1 Februari 2008

No comments:

Post a Comment